Dengan dimilikinja sebagian besar saham Kongsi Terusan Suez oleh pemerintah Tnggris dan Perantjis (sebagian ketjil perseorangan), maka persoalan mengenai Kongsi menjangkut kepentingan negara dengan negara.
Tindakan Mesir untuk menasionalisasikan sebuah Kongsi diwilajahnja adalah hak sepenuhnja dari negara itu, sebagai suatu negara jang merdeka dan berdaulat. Tindakan itu tidak dapat dianggap melanggar hukum internasional atau mengingkari kewadjiban internasional, sedjauh mana tindakan itu didukung oleh sjarat-sjarat jang tertentu, jakni: sjarat-sjarat penasionalisasian jang lazim diterima oleh hukum dan umum, seperti:
a. Berdasarkan kepentingan umum.
b. Dilakukan dengan Undang-undang.
c. Pembajaran ganti kerugian kepada mereka jang berhak menerimanja.
Mesir telah berkali-kali menjatakan, bahwa penasionalisasian Kongsi Terusan Suez adalah untuk memperbaiki taraf hidup rakjat Mesir. Dengan demikian ia memenuhi sjarat ,,berdasarkan kepentingan Umum". Sjarat kedua djuga dipenuhinja sebab penasionalisasian telah dilakukan dengan Undang-undang Mesir nomor 285 tahun 1956, jang diumumkan oleh Presiden Gamal Abdul Nasser dalam sebuah pidatonja di Alexandria tanggal 26 Djuli 1956.
Pasal 1 dari undang-undang penasionalisasian menjebutkan, bahwa Mesir akan mengganti kerugian sepantasnja kepada para pemilik saham dan founder's bonds Kongsi Terusan Suez, menurut harga jang ditaksir pada waktu diumumkannja undang-undang penasionalisasian itu. Menurut ketentuan ini, maka Mesir djuga telah memenuhi sjarat jang ke-3. Tetapi ada suatu hal jang dapat ditafsirkan, bahwa Mesir tidak memenuhi sjarat jang ke-3 tersebut, jakni, bahwa Mesir tanpa melalui perundingan lebih dahulu dengan Kongsi Terusan Suez telah dengan mendadak melakukan penasionalisasian.
Memang benar adalah mendjadi kesopanan internasional, apabila hendak memutuskan perdjandjian, supaja melalui perundingan terlebih dulu dengan pihak jang bersangkutan, sehingga dapat diatur sebaik-baiknja tentang penggantian kerugian. Tetapi dalam batas
24