12
guru. Sekolah Rakyat dulu yang lain dengan Sekolah Rakyat sekarang, melainkan terutama bagi anak-anak orang kecil (bukan priyayi), sedang bagi anak priyayi sudah disediakan apa yang dinamakan H.I.S., atau Hollands Inlandse School = Sekolah untuk Pribumi dengan bahasa Belanda. Tamat dari Sekolah Normal ia diangkat menjadi guru di Makasar. Tidak lama kemudian ia mendapat Surat Keputusan, bahwa ia dipindah ke Singkang di Sulawesi juga. Hal ini tidak mendapat persetujuan kakak perempuannya. Maka ia disuruh minta berhenti menjadi guru. Berhenti dari sini ia mendapat pekerjaan dalam satu kantor Advokat (Pengacara) teman Eldik di Makasar. (?). Penghasilannya mencukupi. Ia banyak uang dan hidup royal. Ia banyak kenalan yang biasa melantai. Banyak gadis-gadis Indo-Belanda menjadi teman pergaulannya di tempat dansa, sampai mereka bebas dan berani minta uang kepada Soepratman.
Kehidupan di lingkungan tangsi Belanda memang suasananya demikian. Lama kelamaan ia tidak suka. Kalau ditilik, bahwa kemudian ia menjadi wartawan yang suka avontur (petualangan), maka ia lalu minta izin pada kakaknya untuk pergi ke Jawa. Pada permulaannya dirasa berat oleh kakaknya. Tapi akhirnya diizinkan. Ia tahun 1924 menuju ke Bandung, tempat di mana familinya masih tinggal. Umurnya sudah 23 tahun. Tapi belum mempunyai pekerjaan untuk hidup.
Tidak jelas dalam ceritanya bagaimana asal mulanya ia tertarik kepada pekerjaan jurnalistik. Padahal gaji tidak banyak. Pun rintangan dari pihak Belanda banyak. Beda dengan kedudukan jurnalis Tionghoa dan terutama Belanda yang di mana-mana pintu boleh dikatakan terbuka. Sebaliknya wartawan Indonesia yang korannya pun kecil, dalam pandangan masyarakat Hindia Belanda tidak mendapat kehormatan. Waktu itu di Bandung ada koran yang bemama Kaoem Moeda, di mana Soewardi Soeryaningrat (Ki Hajar