Lompat ke isi

Halaman:Aspek-aspek arkeologi Indonesia No. 7.pdf/16

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Biara-biara Sriwijaya pasti tidak banyak bedanya dengan pondok pesantren di Sumatra Utara itu. Lagipula para penghuninya pasti tidak akan meninggalkan sisa-sisa kehidupan, karena alat-alat mereka terbuat dari bahan-bahan yang lekas musnah. Begitu pula keadaan ”kota” yang letaknya di tepi atau malah di atas sungai Musi. Penduduk hidup dengan cara yang sama seperti penduduk Sungsang sekarang, ialah sebuah desa di Muara Sungai Musi, 90 km dari kota Palembang, yang kami kunjungi pada bulan Juli tahun 1978. Rumah-rumah penduduk dibangun di atas sungai dan di tepinya.

Di Muara Takus (lihat Bernet Kempers, 1959,g.198), bangunan-bangunan yang terbuat dari bata pada tempat itu belum tentu berasal dari abad ke 7. Komplek induk mungkin harus dicari di tempat lain, sedangkan penduduknya tinggal dalam rumah-rumah kayu yang beratap ijuk. pada abad ke 7. Soal lain adalah: seandainya Muara Takus sudah menjadi tempat sembahyang dan ziarah, belum tentu ibukota Sriwijaya terletak pada daerah itu juga. Misalnya di Jawa ibukota para raja Sailendra pada abad 8-9 mungkin tidak ada di sekitar Candi Borobudur, melainkan di lembah Prambanan. Di Majapahit, keratonnya terletak di Trowulan, tetapi Raja Hayamwuruk berziarah pada candi-candi di daerah Malang dan Blitar. Kemungkinan yang lain adalah bahwa pusat kerajaan Sriwijaya tidak selalu pada satu tempat saja melainkan berpindah-pindah.34)

C . JAWA TENGAH SEBELAH TIMUR LAUT

Orsoy de Flines pernah menulis sebuah laporan di Oudhcidkundig Verslag 1941 — 1947 mengenai suatu survai yang dilakukannya pada tahun 1940 pada beberapa tempat di Jawa Tengah sebelah Timurlaut. Daerah-daerah yang disurvai itu meliputi kabupaten Blora, Rembang, Pati, Jepara, Kudus dan Grobogan. Ada suatu permintaan khusus dari W.F. Stutterheim, yang pada waktu itu menjabat sebagai Kepala Dinas Purbakala agar dilakukan penelitian tanah sekitar suatu daerah yang menurut dongengan rakyat setempat pernah menjadi wilayah keraton Mendang Kamulan (Medang), di sebelah timur Grobogan. Hasil-hasil survai ini ternyata negatif: karena apa yang ditemukan hanya terdiri dari beberapa pecahan keramik dari abad ke 9 sampai abad ke 10. Yang mengejutkan adalah kenyataannya bahwa banyak sekali pecahan porselen ditemukan di hutan jati di dekatnya yang berasal dari akhir abad ke 8 sampai ke 11.

Pada beberapa desa banyak penemuannya, sedangkan di desa yang lain sedikit sekali. Kadang-kadang ada pecahan keramik Cina, kadang-kadang Sawankhalok. Pecahan-pecahan itu terdiri dari porselen abad ke 9 sampai ke 17. Hal ini dapat membawa kesan bahwa daerah itu menjadi daerah permukiman selama beberapa abad terus-menerus. Soal masa permukiman itu diteliti pada tahun 197535).

12