61
pang-siur, sehingga sukar sekali untuk menentukan suatu nilai jang tetap untuk menjatakan: inilah bahaja untuk sekalian pemuda di Djakarta. Oleh karena mungkin apa jang dianggap berbahaja untuk bagian ini itu tidak berbahaja untuk bagian lainnja. Sukar ditentukan, apakah suatu film adalah berbahaja atau tidak. Mungkin untuk seorang anak Eropa sesuatu film kurang berbahaja daripada untuk anak jang baru datang dari sebuah desa di Priangan.
Djadi menentukannja ini, menurut hemat saja, mesti ditudjukan oleh sesuatu komisi jang terdiri atas orang dari pelbagai golongan.
Saudara Ketua, satu soal jang penting djuga hendak saja singgung, ialah berkenaan dengan utjapan Sdr. Takdir dimana oleh beliau dikatakan, bahwa tentang tjabul atau hal nilai moral pada umumnja adalah relatif, maka kalau demikian utjapan itu, saja kira kita tidak perlu berkumpul disini, sebab perkataan „tjabul” ditentukan oleh perasaan setempat, bukan oleh umat manusia, bukan oleh seseorang, tetapi menurut keadaan sesuatu tempat atau sesuatu waktu. Misalnja kalau sekarang dari anak² S.M.A. adalah 3 atau 4% jang pernah bersetubuh dengan pemudi dan mungkin pada waktu ini oleh Sdr. Takdir hal itu masih dianggap tjabul, tetapi barangkali pada waktu 50 tahun jang akan datang sampai 6 atau 8O% jang berbuat demikian, tidak mendjadi tjabul lagi. Tjabul hanja ditentukan oleh nilai jang relatif, sedangkan kita harus madju. Djadi dalam hal ini, kita tidak konsekwen, sebab kita telah madju tetapi nilai moral kita merosot. Kalau kita namakan madju. lalu madju kearah mana ?
Sdr. Ketua, menurut hemat saja, djika ada beberapa pohon atau daun jang laju, karena ada penjakit didalam batang pohon itu, hal ini harus ditjarikan obatnja, tetapi menurut anggapan Sdr. Takdir malahan menebang semua pohon sampai keakar-akarnja.
Sekian sadja.