Halaman:Apakah Batjaan Tjabul.pdf/38

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

38

tidak memberi batas² atau perumusan jang tertentu dari tulisan atau lukisan tjabul sebagaimana termaktub dalam atjara. Sudah lazimnja, bahwa kita mentjari kedjelasan dan kedjernihan sesuatu pengertian dalam perumusan karena kita tjenderung berpikir dalam istilah² moral dan istilah² hukum, apabila kita berhadapan dengan pertanjaan ,,apa jang baik dan apa jang buruk" atau ,,apa jang boleh dan apa jang tidak". Saja sendiri berpendapat, bahwa kita akan membuang tempo sadja, kalau perumusan itu mendjadi sjarat untuk mentjari penjelesaian; karena saja jakin, bahwa kita tidak akan dapat mentjiptakan suatu perumusan jang dapat diterima semua pihak mengenai soal² relatif seperti etiket dan moral. Alasan lain mengapa saja tidak begitu suka pada perumusan dalam hal ini, saja harap mendjadi djelas djuga nanti dari uraian selandjutnja.

Dalam membitjarakan soal etik jang dipakai Saudara Takdir sebagai titik bertolak dalam dalil 1, 2 dan 3 bagian I, Saudara Takdir tidak menjinggung sama sekali hal jang hakiki jang terkandung dalam pengertian etik. Jang saja maksud ialah, bahwa etik memastikan segala sesuatu dari sudut pandangan masjarakat belaka. Dengan lain perkataan: Setiap orang dalam masjarakat jang bersangkutan hanja dapat dipandang sebagai anggota masjarakat sadja. Hal mana berarti, bahwa pribadinja diabaikan. Hal ini saja anggap sangat penting, karena berhubungan rapat dengan kemerdekaan individu; terutama kemerdekaan seniman, sebagaimana Saudara.Takdir kemukakan djuga dalam dalil 9 bagian II. Disiniiah kita lihat adanja kemungkinan bentrokan antara manusia sebagai anggota masjarakat pada suatu pihak, jang diikat oleh etik, dengan ,,alter ego-nja" pada pihak lain dengan martabatnja sebagai manusia. Dalam hubungan ini saja teringat pada pendapat pudjangga Nietzsche jang mengatakan, bahwa etik sering merupakan rintangan bagi perobahan dan perkembangan masjarakat. Bahkan dia lebih radikal lagi mengatakan, bahwa. tiap etik berdasarkan paksaan dan oleh karena itu tidak sesuai dengan martabat manusia. Mengenai utjapan terachir ini kita tidak berpendirian sedjauh