Lompat ke isi

Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 3.pdf/37

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

bertulis yang dimaksudkan itu. Yang ada hanya batu tapak; pergilah kami ke batu tapak itu. Kiranya yang disebut batu tapak itu ialah kayu yang telah membatu yang ada sebuah gambar telapak kaki di atasnya. Letaknya di pinggir Dusun Tanjungkarang, di tepi jalan dekat Air Suban. Di sekitar batu itu banyak kuburan-kuburan yang lama dan baru. Kuburan-kuburan itu dibatasi dengan batu-batu tetapi arahnya tidak menentu. Ada yang barat-timur seperti lazimnya pada makam-makam Islam, tetapi ada pula yang tidak menurut peraturan itu, sehingga mungkin makam-makam kuno. Di tengah-tengah kuburan itu terdapat tiga batang pohon kelat. Banyak sekali terdapat potongan-potongan kayu yang telah membatu. Penduduk menamakan tempat itu "Poyang Lubuk Bedara", Nama itu menunjukkan juga bahwa tempat itu sudah dipuja-puja sejak dahulu kala. Untuk dapat menentukan apa sebenarnya tempat itu tentulah harus diadakan penyelidikan yang seksama. Dalam perjalanan pulang kami singgah di Karangindah. Menurut keterangan penduduk disana ada batu bintang. Mula-mula kami mengiratentu itu batu meteor. Tetapi rupanya bukan meteor.

Senin. 8 Maret 1954

Dari pagi kami menunggu bus yang dapat membawa kami berempat ke daerah Ranau. Baru jam 13.00 ada bus yang menuju ke Muaradua. Kira-kira jam 16.00 kami sampai di Muaradua. Disini kami menunggu lagi sampai ada bus yang pergi ke Liwa atau Bandingagung. Untunglah ada juga, sehingga kira-kira jam 17.30 kami berangkat dari Muaradua. Dan jam 20.00 kami tiba di Bandingagung.

Selasa, 9 Maret 1954

Hari ini kami pergi ke Jepara untuk melihat candi yang menurut keterangan ada di tempat tersebut. Hubungan antara Bandingagung dan Jepara hanya dengan bus yang tidak tetap jalannya.

Hari ini rupa-rupanya hampir tidak ada orang yang hendak pergi ke jurusan Jepara, sehingga bus satu-satunya di Banding itu tidak jalan. Kami pergi kepada yang empunya/mempunyai bus itu apakah mau juga mengantarkan kami. Ia mau juga asal kami bayar Rp. 100,- untuk perjalanan pulang-pergi, itu pun ia tak mau sampai Jepara karena jalannya sangat rusak.

Karena kendaraan lain tidak ada, terpaksa juga bus itu kami ambil, yang mengantarkan kami sampai Lengkusa. Dari Lengkusa kami harus berjalan kaki kl. 3 km ke Jepara. Setelah hampir masuk Dusun Jepara, kami melihat ada tempat-tempat yang agak menarik perhatian, yang kami gambarkan di atas peta terlampir.

Mulai dari titik no.1 jalan mulai menurun sampai titik no. 3. Di sini terdapat sebuah mata air yang dipergunakan oleh penduduk sebagai tempat pemandian. Mata air itu bernama Wai Urai (air bersih, air murni), dan memberikan kesan arkhais. Pada titik no. 2 ada sebuah pohon beringin yang besar, antara titik no. 2 dan no. 3 merupakan tempat yang 'mencurigakan" karena di tepi jalan terdapat batu-batu yang rupa-rupanya pernah dipergunakan untuk sesuatu keperluan. Tetapi sayang sekali tempat itu sudah penuh dengan semak-semak, dan waktu tidak ada untuk menjelajah tempat tersebut, sehingga tidak dapat kami mengetahui apa yang mungkin tersembunyi di balik semak-semak itu.

Rumah Pasirah (no.5) terletak beberapa ratus meter dari Wai Urai itu. Untuk mencapai candi yang tersebut di atas kami harus berjalan beberapa puluh meter lagi, kemudian membelok ke kanan, masuk jalan kecil yang akan membawa kami masuk ke dalam "hutan kopi". Candi yang kami maksud diatas hanya tinggal soubasementnya saja, dalam keadaan baik, sehingga kami dapat menentukan profilnya.

Lebarnya kira-kira 11 x 11 m. Di sekeliling soubasement itu banyak terdapat batu-batu lepas. Agaknya tidak akan mengecewakan hasilnya apabila diadakan penggalian di tempat tersebut. Setelah menggambarkan profil candi tersebut dan mencoba juga mengambil foto dari beberapa sudut,meskipun terlalu gelap karena lebatnya pohon-pohonan dan udara mendung, kami kembali. Dari salah seorang penduduk kami mendapat keterangan bahwa ada orang di Simpang-Sender yang mempunyai sebuah "dalung" bersurat. Bermaksudlah kami untuk melihat dalung itu.

Dalam perjalanan pulang itu, tidak jauh di luar Dusun Jepara, kami berjumpa dengan Pasirah, yang rupa-rupanya bekas murid Pak Husin. Kami diminta dengan sangat untuk kembali dengan menumpang busnya. Karena kami mengharapkan bahwa mungkin beliau akan dapat memberikan

32