Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 3.pdf/16

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Dengan keterangan ini kami menuju ke Bukit Siguntang sambil meninjau daerah ini lebih luas lagi setelah kunjungan kami kemari yang pertama. Di sana-sini kami menanyakan dimana letak Talang Tuo. Seorang pun tak ada yang tahu, dan penunjuk jalan tidak ada. Maka kami menyusup hutan saja dengan pedoman: baratlaut Bukit Siguntang. Setelah beberapa lama di dalam hutan dan lumpur akhirnya kami karena takut tersesat, kembali lagi ke Bukit Siguntang untuk mencoba menempuh jalan lain.

Kami menuju Desa Dangus, ± 10 km, di sebelah barat kota. Di sana kami menemui kepala kampung, tetapi ia pun belum pernah mendengar nama Talang Tuo. Hari meunjukkan pk. 2, namun kami belum putus asa. Kami kembali ke Bukit Siguntang dan terus menemui Kepala Kampung Bukit Lama di Lorok Pakjo. Sayang Kepala Kampung tidak ada, pun di kantornya tidak, sedangkan orang-orang tak ada pula yang kenal Talang Tuo. Terpaksa kami pulang dengan tiada hasil.

Dalam jalan pulang kami singgah di Candi Angsoka. Yang ada di sini ialah suatu keramat yang menurut cerita adalah makan Amangkurat, hal mana tidak cocok dengan keterangan Westenenk (Jawa I, 1921, hal. 7). Makamnya sendiri, begitu pula cungkupnya, adalah bikinan baru. Hanya kuburan yang ada di halaman rupanya agak tua, menilik nisan yang dibuat dari kayu dan berukiran indah. Berlawanan dengan keramat itu, maka halamannya yang luas sekali dan penuh tertutup alang-alang, ternyata mengandung banyak batu bata lama. Pun kami temukan batu-batu bata yang masih bersusun dan berhubungan seperti

Lagi Sebuah Pemandangan dari ”Gedeh ing Suro”

Menuju ke Kedukan Bukit

bekas-bekas tembok. Hal ini ditambah dengan keterangan Schnitger (The Archaeology of Hindoo Sumatra, hal. 2) bahwa di sini ia dapatkan berbagai batu makara, memperkuat dugaan kami bahwa dahulu di tempat ini ada sesuatu bangunan purbakala. Memang nama ”Candi Angsoka” sendiri sudah sangat janggal untuk sesuatu keramat.

Pk. 3.30, baru kami pulang. Sampai di penginapan, Van Heekeren sudah bangun dan menyatakan keinginannya untuk turut ke Lahat. Untuk tidak mengecewakan, ia kami suruh berhubungan telepon sendiri dengan dokter Lo Djin Soei yang ternyata sama sekali tak dapat menyokong, bahkan kalau ada kuasa akan melarang keras maksud van Heekeren itu. Dengan ini maka kami putuskan bahwa van Heekeren besok hari pulang saja ke Jakarta.

Sabtu, 6 Maret 1954

Hari ini adalah hari terakhir rombongan kami bersatu di Palembang. Siang hari rombongan akan terpecah; sebagian ke Jambi (Soekmono, Ny. Soeleiman, Sri Woerjani, dan Uka), sebagian lagi ke Lahat (Soejono, Verstappen, Basoeki, dan Johannes), sebagian masih tinggal satu hari lagi di Palembang untuk meninjau kuburan-kuburan Tionghos (de Casparis, Damais, dan Buchari), sedangkan van Heekeren pulang ke Jakarta.

Pagi hari, pk. 7.40 kami berkunjung ke rumah Kolonen Bambang Utojo, di mana kami diterima dengan sangat ramah tamah. Beliau sendiri ternyata sangat menaruh minat terhadap sejarah dan kepurbakalaan.

Kira-kira sejam kemudian kami minta diri, lalu ke rumah dokter Lo Djien Soei untuk menyelesaikan soal keuangan perawatan Van Heekeren.

11