agama Buda dalam keraton Raja Hayam Wuruk dari Majapahit, yang hidup dalam pertengahan abad ke-14. Panei disebutnya sebagai kerajaan yang termasuk dalam tanah jajahan Majapahit di seberang.
Para sarjana berpendapat, bahwa apa yang lazim disebut tanah jajahan itu, adalah sesungguhnya daerah-daerah yang pelabuhan-pelabuhannya tunduk kepada armada Sriwijaya atau Majapahit, sedangkan daerah pedalamannya dapat bergerak bebas. Maka kita tak boleh heran bahwa ketika Sriwijaya yang termashur itu berkuasa, ada disebut beberapa kerajaan lain dalam kedua prasasti Rajendracola I, yang menimbulkan kesan bahwa Panei disebut tersendiri sebagai kerajaan dan tidak sebagai propinsi Kerajaan Sriwijaya. Adanya biaro-biaro tinggi di pedalaman Pulau Sumatra, yang ternyata dibangun beberapa abad lamanya, membuktikan bahwa raja-raja pembina biaro-biaro itu dapat bertindak dengan bebas dalam daerahnya sendiri, sehingga mereka dapat memajukan agamanya dan kesenian, yang ternyata berkembang di situ. Dari adanya dan banyaknya bangunan itu kita dapat menarik kesimpulan yang lain, bahwa para raja dapat mengerahkan para pekerja, yang hanya mungkin dalam suatu masyarakat yang makmur, yang dapat membebaskan sebagian dari penduduknya dari pencaharian nafkah sehari-hari seperti: pertanian, peternakan atau perikanan. Kemungkinan lain ialah bahwa para raja itu menjadi raja-kesatriya yang sangat berkuasa dalam daerah yang luas, sehingga menggunakan tawanan-tawanan perang sebagai pekerja. Maka pembaca boleh membayangkan suatu Kerajaan Sriwijaya-Kadaram dalam tahun 1023, yang berkuasa di Nusantara, karena semua pelabuhan dan Selat Malaka dapat diawasi armadanya yang kuat itu, sehingga pelayaran dan perniagaan internasional ada dalam tangan Raja Sriwijaya. Tetapi di pedalaman berkuasalah kerajaan-kerajaan lain, yang kemakmuran dan kemegahannya bertopang pada kekayaan hasil pertanian dan hutan-hutan dan pada kekayaan buminya seperti tambang mas atau perak. Dalam pertengahan abad ke-14 Majapahitlah yang berkuasa di laut, tetapi di Padang Lawas masih saja biaro-biaro dibina, seakan-akan kehidupan rakyat Panei tak digetarkan oleh peristiwa-peristiwa politik di Nusantara, yang mengenai perebutan kekuasaan di laut itu.
Tidak diketahui bilamana Kerajaan Panei mulai muncul di muka bumi, tidak diketahui pula tahun keruntuhannya; hingga kini hanya dapat dikatakan bahwa dalam tahun 1030 Panei sudah ada dan dalam tahun 1365 masih ada juga. Maka dalam 3½ abad itu Kerajaan Panei berdiri dengan tegak dan rupanya pusat kerajaannya tidak mengalami pemindahan-pemindahan yang besar, karena biaro-biaro itu dapat didirikan dalam waktu yang lama yaitu antara abad ke-11 dan ke-14, pada tempat yang sama.
Sayang sekali bahwa pertulisan-pertulisan yang dapat ditemukan dalam halaman-halaman biaro tak menyebutkan nama raja-raja, karena pertulisan-pertulisan itu hanya mengenai hal agama dan angka tahun.
Masa Didirikannya Biaro-Biaro
Dr. Schnitger, seorang sarjana ilmu purbakala yang dalam tahun 1935 mengunjungi Padang Lawas, berpendapat bahwa biaro-biaro itu dibina bersamaan dengan stupa-stupa di Muara Takus, yang olehnya ditetapkan dalam abad ke-12. Professor Krom sebaliknya menentukan pembinaan stupa-stupa di Muara Takus itu dalam tahun 825, yaitu di zaman Cailendra. Dari pertulisan-
24