Lompat ke isi

Halaman:Amerta - Berkala Arkeologi 2.pdf/25

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

dapat sembilan buah pancuran yang dihiasi dengan lukisan-lukisan. Kebanyakan merupakan lukisan orang laki-laki atau pun perempuan yang duduk di atas lubang pengaliran. Semuanya dikerjakan dengan kasar. Tidak mustahil bahwa semuanya itu melukiskan sebuah cerita Jawa-Kuno.

Pancuran-pancuran dari kolam untuk orang perempuan yang terletak lebih rendah, tidak dihiasi. Dari sini kemudian air mengalir melewati dinding di sebelah selatan yang sudah rusak.

Setelah diperbaiki tempat pemandian itu di pergunakan lagi oleh penduduk.

STUPA SUMBERAWAN

Dapat kita capai jika kita sedikit di sebelah barat candi Singosari membelok ke utara dan mengikuti jalan yang menuju Sumberawan dengan melalui desa Tejosari, Karangwaru dan Ngujung. Dari sini orang berjalan kaki terus sepanjang saluran air yang sebagian dipahatkan pada batu padas sehingga orang tiba di hutan kira-kira 200 m kemudian, di mana terletak stupa itu. Bangunan itu letaknya sangat permai di dalam sebuah lembah dari tanah pegunungan yang terjadi dari kaki salah satu jorokan Gunung Arjuno. Pada tiga sisi stupa itu dibatasi oleh sebuah telaga yang mendapat airnya dari beberapa sumber. Hal itulah yang mungkin memberikan namanya yang sekarang kepada bangunan tersebut. Dikirakan nama itu berasal dari kata "Sumber", dan rawan (telaga). Penduduk menyebutnya juga Candi Rawan.

Ada dugaan bahwa tempat itu dahulu bernama Kasurangganan, sebuah nama yang kita kenal dari Nagarakertagama untuk sebuah tempat yang dipilih oleh Hayam Wuruk untuk tempat beristirahat dalam perjalanannya berkeliling di Jawa Timur. Dalam bagian itu dari kitab tersebut tidak ada disebutkan tentang sebuah bangunan suci. Dari kenyataan itu dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa bangunan itu baru didirikan sesudah tahun 1359, itu pun kalau pengenalan kembali nama-nama itu dapat dipertahankan. Angka-angka yang tertulis pada batu-batu batur dan batu-batu dagob dapat membantu kita dalam menentukan umur bangunan tersebut. Angka-angka itu berasal dari masa antara abad ke-11 dan ke-15. Tetapi ditinjau dari sudut teknik bangunan dan langgamnya, bentuk stupa yang sederhana itu dan tidak adanya perincian dan perhiasan-perhiasan menimbulkan dugaan bahwa bangunan itu didirikan kira-kira pada abad ke-14 — 15.

Dalam kitab-kitab lama orang akan sia-sia mencari pemberitaan tentang stupa itu. Hal ini tidaklah mengherankan, karena tempat itu pada waktu itu adalah hutan lebat, dan bangunan itu tersembunyi sama sekali di dalamnya. Baru pada tahun 1904 bangunan itu disebut-sebut untuk pertama kalinya, kemudian pada tahun 1928. Setelah dikunjungi pada tahun 1935 maka akhirnya diadakan penggalian-penggalian dan kemudian dilakukan perencanaan dan pembangunan kembali pada tahun 1937.

Bangunan itu dapat kita uraikan dengan singkat saja, karena ia termasuk golongan bangunan-bangunan yang bentuknya sederhana dan dengan demikian mudah dibuat ikhtisarnya. Di atas tingkat bawah (batur) yang empat persegi terdapat kaki yang empat persegi juga dengan penampil pada tiap-tiap sisi. Di atas itu berdirilah stupa yang sebenarnya, yang terdiri atas sebuah lapik bujur sangkar, kaki segi delapan dengan bantalan seroja, dan tubuh yang berbentuk genta.

Karena ada beberapa kesukaran dalam perencanaan kembali bagian teratas dari tubuh itu maka terpaksalah bagian itu tidak dipasang kembali, dan ditempatkan pada lapangan percandian sebagai pemasangan sementara. Diduga bahwa puncak dagob itu ialah sebuah ”pucuk”. Karena tidak terdapat sisa-sisa sebuah payung, maka kemungkinan bahwa puncak stupa dihiasi dengan benda tersebut sudah pasti tidak ada.

Bangunan suci itu tidak mempunyai hiasan-hiasan atau ukir-ukiran. Tidak ada tangga naik atau barang sesuatu yang lain yang menunjukkan bahwa bangunan itu dapat dinaiki. Selanjutnya penyelidikan memberi kepastian bahwa genta itu tidak mempunyai ruangan di dalamnya untuk memuat garira (benda suci) macam apa pun juga. Jadi kecuali bentuk luarnya maka bangunan itu justru kehilangan sifatnya sebagai stupa yang harus menentukan tujuannya. Apakah gerangan maksud stupa yang berdiri sendiri dan berbentuk genta itu, yang bukan untuk memuat carira, bukan pula tempat penjenazahan, dan yang jika kita pandang tersendiri merupakan suatu keistimewaan itu? Dalam mengajukan pertanyaan ini hendaknya orang ingat, bahwa sesudah Buddha

20