Salah satu dari jenis yang paling sederhana dari kuburan yang tak bercungkup itu kita dapati pada makam Kraeng Mandura di belakang mausoleum Aru Palaka di Bontobiraeng di dalam lingkungan tembok-tembok Goa dahulu. Di sini bingkai yang aslinya dari kayu telah diganti dengan batu menjadi semacam tembok keliling dengan sembir atas berupa sisi genta. Pada kedua ujung kuburan itu maka di atas bingkai batunya diberi tembok segi tiga, sebagaimana antara lain juga di Madura (bahwa kebetulan sekali di sini dimakamkan seorang raja dari Madura tidaklah memberi ketentuan terhadap persamaannya dengan kuburan-kuburan di Madura, yang di belakangnya mempunyai tembok segi tiga juga. Di Sulawesi Selatan sudah lazim bagian kepala dan kaki diberi hiasan). Di atas makam seluruhnya itu berdirilah dua batu nisan yang menurut perbandingan agak besar dan yang bentuknya mengingatkan kepada puncak-puncak Candi Jawa-Hindu, Di lingkungan pemakaman itu juga kita dapati makam Siti Hawa yang lebih halus dikerjakannya. Tembok-temboknya diberi sembir yang agak tinggi. Di pemakaman raja-raja Tallo dahulu di sebelah Utara Makasar 'kita dapati juga sebuah kuburan terbuka yang lebih bersahaja sedikit, sedangkan di pemakaman raja-raja di Watallamuru kuburan-kuburan yang demikian banyak terdapat.
Untuk seorang raja lagi dari luar daerah ada didirikan kuburan di Tallo yang lebih berbeda lagi akan tetapi masih tetap menurut dasar-dasar yang sama. Makam Karaeng Jawaja itu ditaruh di atas alas yang besar dan berbentuk persegi panjang dan mempunyai tangga tiga tingkat yang juga tidak berukiran. Dengan demikian alas tadi merupakan sebuah batur sedangkan di atas batur itulah terletak makam yang sebenarnya. Makam ini tidak lain daripada perluasan dari jenis yang berbingkai kayu. Sebagaimana makam Karaeng juga maka bingkai tembok itu agak tinggi. Dahulu bingkai tembok itu dihiasi dengan piring-piring dari tembikar. Dari hiasan itu kini tinggallah lubang-lubangnya saja pada dinding-dindingnya yang agak serong ke dalam. Makam seluruhnya ini berdiri di atas alas yang dahulunya juga dihiasi dengan piring-piring, sedangkan di atasnya diberi lapisan penutup yang menyerupai bantalan terate tunggal. Makam yang banyak hiasan ukirannya ini juga mempunyai tembok-tembok lagi pada ujungnya sebagaimana biasa, sedangkan batu nisannya gepeng, hal mana memberi dugaan bahwa yang dikubur di situ adalah orang perempuan.[1]
Di dalam rangkaian makam-makam yang semakin luas susunannya dapatlah sekarang dikemukakan sebuah makam lagi dari Watallamuru, yang mungkin sekali adalah kuburan La Mappaware Petta Matinroe ri laleng benteng. Maka makam tersebut berasal dari permulaan abad ke-19. Bangunan di atas kuburan yang sebenarnya sangat lebih diperluas susunannya daripada makam-makam yang telah disebutkan di atas. Makam seluruhnya menyerupai peti mayat di atas usungan dengan dua batu nisan sebagai penutupnya. Alasnya yang bentuknya persegi panjang dan rata tembok-temboknya ditutup oleh dua bidang yang bersusun dan menyerong ke dalam. Di atasnya terdapatlah parallellepipedum persegi panjang yang bagian tengah dari sisi-sisinya menjorok ke dalam. Di atas usungan ini berdirilah keranda yang sangat menjorok ke luar yang garis tampangnya berupa sebuah birai tengah rata di antara perempat lingkaran dan sisi genta yang melengkung ke dalam. Di atas sekali terdapatlah kuburan yang sebenarnya, bentuknya biasa saja dengan bingkai dan tembok di atas kedua ujungnya. Dua buah batu nisan yang bentuknya bujur sangka merupakan mahkotanya. Dengan demikian maka makam ini menunjukkan suatu kombinasi dari kuburan yang terbuka dan yang berbentuk keranda.
- ↑ Seringkali di Indonesia dipergunakan batu nisan yang persegi atau bulat untuk orang laki-laki dan yang gepeng untuk orang perempuan. Akan tetapi di Sulawesi Selatan perbedaan itu sering dapat dilihat dari keadaan bahwa di atas kuburan orang laki-laki hanya didirikan satu batu nisan sedangkan untuk kuburan orang perempuan ada dua.
51