Bulan, menunggu kesempatan untuk menelannya. Tetapi oleh karena tak ada badan, maka setiap kali ia berhasil menelan bulan, keluarlah bulan itu dari bawah kerongkongannya. Inilah yang oleh manusia dinamakan gerhana.
Demikianlah cerita pengacauan samudera oleh para dewa dan daitya yang dapat menghasilkan amerta, sumber kekekalan hidup dewa. Seringkali Gunung Mandara itu disamakan saja dengan Gunung Mahameru. Gunung ini sebagai tempat bersemayam para dewa menjadi sangat suci, bahkan dianggap sebagai lambang dunia ini. Maka di Bali sampai kini terdapat di dalam pura bangunan yang lantainya sangat tinggi dan berdiri di atas kura-kura yang berbelit ular naga, sedangkan atap yang berwarna dan semakin kecil ke atasnya lazim dinamakan "meru".
Mengingat akan sangat pentingnya kedudukan Gunung Mahameru di dalam alam pikiran agama Hindu, maka sewaktu bangsa kita memeluk agama tersebut, selama zaman Hindu terasa sekali pula akan harus adanya gunung itu di negeri sendiri. Agama Hindu tak dianggap agama asing, dewa=dewa Hindu bukannya dewa asing melainkan dewa sendiri yang bersemayam di negeri sendiri. Demikianlah maka ada cerita di dalam buku Jawa kuno "Tantu Panggelaran" yang mengisahkan dipindahkannya Gunung Mandara atau Mahameru dari Djambudwipa (India) ke Yawadwipa (Jawa)., cerita yang sangat terkenal di Jawa. Adapun dongeng itu adalah sebagai berikut:
Zaman dahulu kala, sebelum negeri kita didiami manusia, Pulau Jawa sangat goncang karena terapung-apung di lautan. Usaha para dea untuk menetapkannya sia-sia saja. Maka mereka menghadap kepada Bhatara Guru.
"Hai, para dewa" ucap Bhatara Guru, "pergilah kamu sekalian ke Djambudwipa, pindahkanlah Gunung Mahameru ke Jawa agar nusa ini tidak lagi selalu digonceng".
Segera para dewa pergi ke Djambudwipa. Gunung Mahameru itu yang 100.000 yojana tingginya dan menjulang ke atas sampai ke langit, ternyata sangat luar biasa kukuhnya tertanam di dalam bumi. Dengan tenaga bersama berhasillah para dewa mengangkat puncaknya saja. Oleh karena itu sudah cukup beratnya untuk menahan pulau Jawa, maka ditinggalkanlah bagian bawah gunung Mahameru itu. Timbullah sekarang soal bagaimana mengangkutnya: Para dewa tahu akal Bhatara Wisnu menjelma menjadi ular, tak terukur besar serta panjangnya. Gunung Mahameru dibelit oleh ular tadi dan ditaruh di atas punggung kura-kura. Dengan demikian dapatlah sedikit demi sedikit gunung Mahameru bergeser dan pindah tempat.
Cerita selanjutnya mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi selama pengangkutannya ke Jawa, seperti: gunung menjadi panas sekali sehingga menimbulkan angin ribut yang kemudian diiringi hujan dan guntur; uraian bagaimana ramai dan gemuruhnya teriakan para dewa untuk mempersatukan tenaga; para dewa kehabisan tenaga dan tiada dengan pertolongan Bhatara Guru tidak dapat melanjutkan pekerjaannya; keluarlah racun yang mencelakakan para dewa; dan lain-lain sebagainya. Pendek kata peristiwa-peristiwa yang terjadi boleh dikata tidak berbeda dari amertamanthana.
Dengan demikian maka sesungguhnya di Indonesia ada dua cerita, ialah 1) penggunaan Gunung Mandara sebagai alat pengacau laut dengan kura-kura sebagai alat dan ular sebagai pembelit, dan 2) pemindahan Gunung Mahameru (yang disamakan dengan Gunung Mandara) dari India ke Jawa dengan menggunakan kura-kura sebagai alas dan ular sebagai tali.
Pada kedua gambar yang tertera di sini (peninggalan zaman Hindu yang berupa batu berukir dari Sirahkencong, Blitar dan bejana dari Pejeng, Bali) nyata dilukiskannya Gunung Mahameru beralaskan kura-kura dan dibelit ular sedangkan pun dewa-dewa dan isi hutan pada lereng gunung itu tidak ketinggalan. Hanya sukar untuk dipastikan apakah yang terlukis itu Amertamanthana atau pemindahan Mahameru ke Jawa.
R. Soekmono.
47