AMERTA, 1, 1985
6
AMERTAMANTHANA
R. Soekmono
Yang dimaksudkan dengan amertamanthana ialah pengacauan laut untuk mendapatkan amerta. Amerta ialah suatu minuman yang menghindarkan tua dan mati pula yang dapat menghidupkan kembali yang telah mati. Amerta adalah minuman para dewa saja. Mula-mula terdapatnya dengan jalan mengacaukan laut, tiada bedanya dengan orang mengacaukan susu untuk memperoleh mentega. Ada pun tersimpannya di suatu tempat yang tak mungkin didatangi manusia atau siapa pun yang tidak diinginkan, sedangkan ular-ular naga penjaganya tak mengenal ampun dan kasihan . . . . .
Adapun cerita mendapatkan amerta itu, sebagaimana diuraikan dalam kitab Mahabharata adalah seperti di bawah ini:
Zaman dahulu kala sebelum ada manusia, dunia ini hanya didiami oleh dewa-dewa dan daitya-daitya. Para dewa tinggal di atas, di kahyangan. Mereka mewakili kebaikan dan jumlahnya tidak seberapa. Sebaliknya para daitya itu mewakili keburukan dan jumlahnya banyak sekali. Mereka tinggal di bawah.
Dewa dan daitya tidak dapat hidup bersama dengan damai. Mereka selalu bertengkar, sehingga Brahma Pencipta alam semesta khawatir kalau-kalau dunia ini akhirnya dikuasai kejahatan belaka. Maka dari itu semua dewa dipanggilnya untuk berunding di puncak Gunung Mahameru. Dalam rapat itu disuruhlah para dewa mengacau laut supaya dari pusatnya keluarlah amerta.
Para daitya mengetahui pula akan maksud para dewa itu. Oleh karena memang tenaga mereka dibutuhkan, maka diberilah izin mereka itu ikut serta mengacau laut.
Sebagai pengacau dipergunakanlah Gunung Mandara yang cukup kuat dan panjang. Memang gunung itu sangat luar biasa besarnya, puncaknya ada 11.000 yojana dari atas bumi, sedang kakinya sekian pula jauhnya terunjam dalam tanah. Dengan kekuatan bersama diangkutlah gunung itu dengan segala isinya, hutan-hutan, dan binatang-bintang ke tepi laut. Batara Wisnu menjelma jadi kura-kura yang amat besar dan berdiri di dasar laut akan jadi alas Gunung Mandara jika gunung itu diputar nanti. Batara Wasuki menjadi ular besar dan terlalu amat panjang, membelit gunung itu, ekornya dipegang oleh para dewa dan kepalanya oleh para daitya.
Dengan berganti-ganti para dewa dan daitya menarik ekor atau kepala ular itu maka Gunung Mandara terputarlah. Demikian air laut pun berputar juga. Suara mereka yang sedang asyik bekerja gemuruh luar biasa, seakan-akan membelah bumi layaknya. Air berhamburan kian kemari, ombak beralu-aluan merusak pantai. Ikan-ikan laut yang beraneka warna besar kecil serta hutan-hutan Gunung Mandara dan semua binatang yang ada di dalamnya terlempar jauh, terpelanting, dan beterbangan ke udara, untuk kemudian jatuh kembali di laut atau terdampar ke pantai. Gempa bumi tak berhenti-hentinya. Seluruh duni bergetar seakan-akan alam akan runtuh.
Semakin bersemangatlah para dewa dan daitya bekerja. Tak sedikit pun mereka menghiraukan sekaliannya itu. Mereka tetap terus bekerja!
43