batannya maupun dari kesukaan saja, sebab ada juga ahli-ahli purbakala "amateur” yang sangat baik. Penyelidikan itu tidak hanya dalam hubungan satu sama lain, tetapi pula dalam pertaliannya dengan sejarah politik dan kebudayaan dari negeri tempat ahli itu bekerja, dengan ilmu bahasa dan kesusasteraannya, dengan sejarah seni dan sejarah agamanya, dan dengan segala apa selanjutnya yang diperlukan guna pengertian yang sebetulnya, sebagaimana pengertian-pengertian umum dari ilmu budaya. Di samping itu ahli purbakala harus ada minat terhadap keanehan-keanehan dari negeri itu, terhadap penghidupan dan perbuatan penduduknya sekarang. Di dalamnya tentu masih banyak tinggal bekas-bekas dari zaman dahulu. Lagi pula dengan pelajarannya ia dapat lebih baik mengenal penduduk itu.
Pendek kata: ia seharusnya selama hidup belajar terus dan demikian juga ia lakukan dan mengetahui boleh dikata segala hal. Dan oleh karena ia ketahui juga bahwa yang belakangan ini tak mungkin baginya, maka diambilnya jalan pembagian kerja, pengkhususan, dan kerjasama secara besar-besaran dan kecil-kecilan. Tidak saja ahli purbakala untuk itu mengkhususkan diri terhadap sesuatu negeri atau daerah kebudayaan, tetapi juga di dalam lingkungan yang sudah kecil itu. Pada arkeologi Indonesia umpamanya pekerjaannya sudah sangat terlalu luas untuk satu orang. Maka untuk Indonesia adalah ahli prehistori, ahli purbakala Indonesia Hindu, ahli bangunan kuno, ahli ikonografi yang khusus menguraikan dan menafsirkan patung-patung, ahli keramologi yang mempelajari barang-barang tembikar. Begitu juga harus ada ahli-ahli khusus untuk kepurbakalaan Islam, Tionghoa, dan Eropa, mata uang kuno, dan sebagainya. Ada kalanya kita mempunyai juga ahli-ahli itu, tetapi mereka hanya seorang diri saja dan tidak mendapatkan gantinya. Juga seharusnya ada ahli-ahli khusus untuk daerah-daerah yang sampai kini kurang mendapatkan perhatian daripada Jawa dan Bali misalnya, seperti bagian timur dari Indonesia.
Dengan demikian maka kelihatannya pengertian arkeologi dan ahli arkeologi terpecah menjadi banyak potongan yang tak berhubungan. Namun hubungan itu ada juga. Barangkali dapat kita katakan, bahwa segala apa yang bersifat ahli arkeologi dan ilmunya ditentukan oleh dua faktor: satu fihak penyelidikan sisa-sisa dari masa silam (kepurbakalaan), di lain fihak penyelidikan masa silam itu sendiri (purbakala). Atau bahwa semuanya itu bergerak di antara faktor-faktor tersebut itu seperti di antara dua kutub yang tarik menarik. Orang mempelajari benda-benda kuno guna mengenal masa silam, orang mempelajari masa silam berdasarkan benda-benda kuno.
Bangsa Indonesia yang telah sudi mempelajari purbakala pun dari negeri sendiri hingga kini hanya beberapa orang saja: Prof. Hoesein Djajadiningrat mempelajari sejarah kerajaan-kerajaan Islam di samping pekerjaannya yang lain dalam berbagai lapangan: Prof. Poerbatjaraka mempelajari kepurbakalaan Jawa Hindu di samping kesusasteraan kuno. Bupati Mojokerto dahulu R.A.A. Kramadjaja Adinegara, berbagai tahun berselang sewaktu tahun-tahun pertama dari Oudheidkundige Dienst (Dinas Purbakala dahulu) menjadi tokoh-tokoh terkenal antara lain: sebagai orang yang mendirikan museum di kabupatennya. Dalam tahun-tahun kemudian tampillah P.A.A. Mangkoenagoro VII sebagai pelindung yang kuat dari penyelidikan purbakala di daerah kerajaannya.
Baiklah sekarang pemuda-pemuda Indonesia merenungkan bahwa anjuran Goethe: ”Apa yang kau waris dari nenekmoyangmu, kejarlah itu agar
9