melekat pada ilmu purbakala. Bukankah seorang ahli purbakala itu, demikian pikir orang, hanya melihat ke belakang saja? Sedangkan yang kita perlukan ialah justru orang-orang yang teguh berdiri di masa kini dengan pandangan lurus kedepan atau lebih baik lagi yang telah mengayunkan langkahnya di dalam masa mendatang. Soalnya sebetulnya ialah bagaimana orang itu "menoleh ke belakang". Apakah hanya untuk melarikan diri saja ke masa lampau menyingkirkan masa sekarang, ataukah untuk mendapatkan kesadaran jiwa dan ilham guna kepentingan masa yang akan datang juga. Tak akanlah kami menganjurkan seorang pun untuk hanya melihat ke masa lampau belaka saja, dan ahli purbakala yang terbaik. Tetapi sebaliknya orang tak dapat juga berdiri dimasa kini belaka dengan tiada pengalaman lain kecuali hanya dari lingkaran kecil sekitar kita sebetulnya dapat mempergunakan bahan-bahan dari berabad-abad. Sungguh bukan suatu kemewahan yang tak berguna bahwa sebentar-sebentar ada seorang orang, tentu saja tak banyak jumlahnya, yang menunjukan kepada kita bagaimana kita ini menjadi sebagaimana adanya sekarang, yang mengingatkan bahwa kita ini bukan satu-satunya yang bermimpikan perbuatan-perbuatan hebat dan keindahan, yang jatuh dan berusaha bangun kembali, tetapi bahwa di negeri sendiri maupun di luar sudah adalah orang-orang lain yang mengalami semuanya itu dan memecahkannya dengan caranya sendiri-sendiri serta berhasil pula. Siapa yang mengarahkan pandangannya ke dalam sejarah umat manusia, siapa yang meneliti jalan-jalan perkembangan yang berabad-abad panjangnya beserta pertemuan-pertemuannya di waktu yang lalu, dia itu melepaskan diri dari kesempitan masa kini yang mengekang kita dan yang tergopoh-gopoh hendak kita tinggalkan dengan tidak menoleh lagi ke kanan maupun ke kiri. Tiada bedanya dengan jika kita menyingkiri keramaian dan kesempitan kota kemudian pergi ke gunung dengan pemandangan-pemandangannya yang luas serta udaranya yang sejuk. Memang tak selamanya kita dapat tinggal di gunung-gunung saja, tetapi tak dapatlah pula kita hidup di kota terus menerus dengan tetap menjadi manusia dalam arti yang sesungguhnya.
Jika kita sebagai orang kita hendak mendaki gunung, maka tak sedikit kesukaran dan kesulitan, bahkan mungkin kesedihan dan kekesalan yang harus kita atasi. Demikian pula jika kita hendak mencurahkan jiwa kita kepada sejarah dan ilmu purbakala. kita harus bersedia menempuh pelajaran-pelajaran yang sangat berat, bersedia menderita dan tidak terpikat oleh kesempatan-kesempatan lain yang lebih menguntungkan. Yang terutama dibutuhkan ialah minat, hasrat belajar dan keteguhan kehendak. Semua itu lebih penting daripada keistimewaan bakat. Bakat demikian itu tentu saja berarti keuntungan besar bagi ilmu pengetahuan, tetapi bukan itu sajalah yang menjadi syarat utama. Pendidikannya memakan waktu tahunan "kita harus teken kontrak untuk selama hidup", demikianlah kami suka berkelakar terhadap para calon. Pelajarannya meliputi bahasa-bahasa sendiri dan bahasa-bahasa asing, baik bahasa-bahasa kuno maupun baru, kemudian sejarah, cara-caranya penyelidikan purbakala. Buku, buku, dan sekali lagi buku! Sebaliknya kita ini hidup di negeri sendiri di mana sejarah itu telah berlangsung, di mana terdapat bekas-bekasnya dari masa silam itu di tengah masyarakatnya sendiri yang masih hidup dan menjadi satu dengan alam sekitarnya. Jika kita mempelajari relief-relief candi di Jawa umpamanya terutama di Jawa Timur maka kita sebetulnya mempelajari kebudayaan Jawa yang masih hidup, hanya dalam tingkatan yang lebih tua. Jika kita mengunjungi daerah Toraja dengan megalith-megalithnya maka kita lihat batu-batu besar yang berabad-abad umurnya di samping batu-batu besar lainnya yang baru setahun yang lalu didirikan. Tempat-tempat suci agama Islam masih saja menjadi pusat hidup keagamaan. Senantiasa kita dapat menarik garis-garis yang menghubungkan masa lampau dengan masa sekarang sebagai satu hidup, satu jalan pertumbuhan. Memang dalam pertumbuhan itu waktu sekarang berdaya pula banyak faktor-faktor lain kecuali kekuatan-kekuatan dari masa silam saja. Tetapi selamanya begitu juga jalannya, sejak dari dahulu. Selamanya dari persenyawaan diantara yang telah ada dan yang baru, yang kedua-duanya mempunyai tenaga hidup dan berkembang selanjutnya, timbullah suatu yang baru lagi. Dan yang baru ini segera menjadi tua Jadi selalu pertumbuhan itu hasil dari anasir-anasir lama anasir-anasir asli, Jawa Hindu atau apa saja yang ada pada ketika yang tertentu dan anasir-anasir baru bersama-sama. Hasil dari yang baru saja tak akan mempunyai corak keaslian, hasil itu akan tetap berupa pinjaman atau tiruan belaka. Demi-
4