Halaman:Album wayang kulit banjar.pdf/8

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

Kulit tersebut dibentuk, ditatah, dan diberi warna sesuai dengan karakter masing-masing wayang. Sebagai pelengkap, agar wayang tersebut dapat berdiri dan bisa dimainkan ia harus diberi penjepít (gapit) yang terbuat dari kayu ulin. Üntuk menyambung tangan dilengkapi tudung agar tangan wayang tersebut dapat bergerak sesuai dengan kehendak dalang.

Secara umum bentuk atau fostur wayang kulit Banjar lebih kecil jika dibandingkan dengan wayang kulit Jawa, demikian pula dengan penatahan (ornamen) dan pengecatannya terlihat sangat sederhana. Hal ini disebabkan dalam pergelaran wayang kulit Banjar yang lebih diutamakan oleh bayangannya yang terlihat dari belakang layar, sedangkan mengenai ornamen, detail, dan warna wayang kurang terlihat oleh penonton karena tertutup oleh layar.

3. Waktu dan Tempat Pertunjukan

Konon nenek moyang bangsa Indonesia menganut kepercayaan politiesme, yaitu suatu kepercayaan yang menyembah beberapa Tuhan. Untuk meghormati suatu benda yang dianggap memiliki kekuatan spiritual mereka sering melakukan upacara pemujaan dengan menggunakan wayang sebagai medianya. Upacara ini biasanya dilakukan pada malam hari, karena mereka beranggapan bahwa roh-roh leluhur itu akan muncul di waktu malam. Bermula dari upacara-upacara ritual itulah akhirnya seni wayang tumbuh dan berkembang di beberapa wilayah Indonesia.

Sejak wayang kulit masuk ke daratan Kalimantan Selatan, pergelaran wayang kulit Banjar selalu dilaksanakan pada malam hari, sesuai dengan tradisi yang telah diwariskan secara turun temurun. Apakah ini ada kaitannya dengan kepercayaan animisme/politiesme ? Untuk menjawab pertanyaan yang tampak sederhana ini tentu diperlukan penelitian dan pengkajian yang lebih luas dan mendalam.

Wayang kulit Banjar biasa dipertunjukan pada berbagai kesempatan seperti khitanan, upacara peresmian, perkawinan, hari-hari besar nasional, atau untuk memenuhi nazar/kaul seseorang. Tempat pertunjukan bisa dimana saja, ditanah yang lapang, di alun-alun, atau pendopo yang diperkirakan dapat menampung jumlah penonton. Demikian juga dengan penonton, ia dapat duduk di kursi yang telah disediakan, berjongkok, berdiri, atau lesehan sesuai dengan keinginan.

Posisi tontonan biasanya lebih tinggi daripada penonton, atau dibuat panggung khusus untuk para awak pentas, lengkap dengan layar dan alat penerangannya (blencong). Di sisi kiri dan kanan dalang dipasang wayang secara berjejer/berbaris, sementara para penabuh gamelan duduk di belakang dalang sambil menghadapi alat musiknya masing-masing.

4. Cerita atau Lakon

Seperti kebanyakan jenis pertunjukan wayang-wayang lainya, cerita Wayang Kulit Banjar pun bersumber kepada dua kitab kuno yang berasal dari khasanah kebudayaan Hindu, yaitu Ramayana dan Mahabarata.

Selain bersumber kepada kedua cerita tersebut, dalang-dalang wayang kulit Banjar sering pula menampilkan cerita karangan sendiri yang mereka sebut lakon "Carang". Pada perkembangan selanjutnya, justru lakon-lakon Carang inilah yang paling banyak ditampilkan para dalang, mereka merasa lebih bangga jika menampilkan lakon-lakon/gubahan sendiri, daripada menampilkan cerita-cerita pakem yang sudah menjadi milik masyarakat.

Selain lakon Carang, di Kalimantan Selatan juga berkembang pertunjukan "Wayang Sampir", yaitu upacara ritual yang dipimpin dalang untuk mengusir roh-roh jahat yang menggangu kehidupan manusia. Pertunjukan ini biasanya diselenggarakan dalam bentuk pergelaran padat dengan durasi lebih kurang dari satu sampai dua jam, kemudian dilanjutkan dengan pagelaran biasa.