Halaman:Adat Istiadat Daerah Sulawesi Utara.pdf/79

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi
Dengan sistim pemerintahan yang sedemikian, merobah pula sistim pelapisan sosial yang ada, karena lapisan tuangolipu sudah diakui hak-hak azasinya dan tidak dianggap lagi lapisan rendah.
Pada waktu pemerintah jajahan Belanda menguasai daerah Gorontalo (abad 18 - 19 dan abad ke 20), kerajaan-kerajaan dihapuskan dan sistim pemerintahan dirobah oleh Belanda. Dengan perobahan sistim pemerintahan ini, pemerintah Belanda membagi daerah kerajaan-kerajaan menjadi dua daerah kejoguguan (daerah tingkat II sekarang) yang dikepalai oleh seorang Residen dan mengangkat seorang pejabat pribumi sebagai jogugu (Huhuhu). Daerah kejoguguan dibagi lagi atas daerah-daerah distrik dan disini ditempatkan seorang Mayoor sedangkan pejabat pribumi ialah Marsaoleh. Daerah distrik dibagi-bagi atas daerah onder distrik yang di kepalai Walaapulu. Dan daerah Onderdistrik dibagi-bagi lagi atas desa-desa yang dikepalai tauda'a-tauda'a (beslit Gubernur Jenderal 17 April 1889 staatsblad No.94). Demikianlah jogugu, marosaoleh, walaupulu dan tauda'a-tauda'a merupakan lapisan dalam masyarakat sebagai pejabat-pejabat, terutama jogugu dan marsaoleh adalah lapisan bangsawan baru yang sangat berkuasa pada waktu itu sehingga disegani dan dihormati masyarakat. Hal ini menyebabkan adanya perobahan sistim pelapisan sosial.
Pada zaman kemerdekaan, dengan terbukanya sekolah-sekolah baik sekolah rendah, menengah, dan perguruan tinggi, maka golongan-golongan terpelajar inilah yang merobah sistim pelapisan sosial yang ada, bahkan merekalah sebenarnya yang menghilangkan sama sekali sistim pelapisan sosial yang berdasarkan keturunan (kasta-kasta). Akan tetapi dalam pergaulan sehari-hari masih nampak rasa segan, rasa hormat kepada orang-orang keturunan raja, bangsawan dan pejabat-pejabat tinggi sekarang. Begitupun halnya dengan mereka yang terpelajar,

68