Halaman:ADH 0006 A. Damhoeri - Nakoda Tenggang.pdf/38

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

berkayuh. Agaknya mereka terheran-heran melihat kapal besar yang indah itu. Mulutnya menganga keheranan.

Nakoda Tenggang memperhatikan ketiga orang dalam perahu itu. Hai, mereka pun bagai sudah dikenalnya. Darah Tenggang berdebar-debar. Tempat itu memang dikenalnya dengan baik. Itulah daerah perkampungannya. Rupanya Tuhan membelokkan kapalnya ke tempat itu, kembali ke kampung halamannya.

’’Ahoooiii, ....” teriak Nakoda Tenggang sambil membulatkan telapak tangannya di mulutnya berbentuk terompet. ”Kau kah itu Keledek? Kau Akoi? Dan ... kau Sirih?”

Ketiganya semakin tercengang-cengang. Mengapa nakoda kapal besar itu mengenal mereka dan meneriakkan namanya? Lama mereka tertegun. Tetapi akhirnya dengan tak berkata apa-apa ketiganya memutar haluannya kembali memudiki sungai. Mereka berdayung sekuat-kuatnya. Seluruh tubuhnya bersimbah peluh. Ketiganya kembali ke kampung. Seisi kampung merasa heran melihat tingkah Keledek, Akoi dan si Sirih.

Batin Embeh Tembaga muncul dengan senjatanya.

’’Ada apa kalian seperti diburu setan?” Ketiganya belum dapat bicara, melepaskan sesak nafasnya.

Memang kampung itu ialah kampung si Tenggang. Batin Hitam sudah lama meninggal. Ia digantikan oleh anaknya menjadi batin.

Si Sirihlah yang mula-mula bercakap, ’’Batin, ... Batin! Si Tenggang sudah pulang?”

Apa? tanya Batin Embeh Tembaga dengan melototkan matanya. ”Si Tenggang sudah pulang?”

’’Ya ia sudah kembali. Tetapi ia datang dengan sebuah kapal yang amat besaaaar, ... dan amat baguuuuus ...! Dan ia sendiri bukan main gagahnya, agaknya dialah nakoda kapal itu atau ia juga pemiliknya ....”

Dan hebohlah sekampung Sakai itu. Si Bulan turun pula dari rannya sambil menggendong anaknya yang sedang erat menyusu. Semua penduduk kampung menjadi heboh. Mak Demma dan Pak Talang rupanya masih hidup. Ketika didengarnya bahwa anaknya si

36