Tenggang amat terharu dengan kepercayaan yang diletakkan di atas pundaknya. Bukan mainlah meriahnya pesta sekali ini. Elang Segara Muda bukan main anggun dan tampannya berlabuh di tepi dermaga pelabuhan Labuhan Puri, Nakodanya masih muda, anggun dan tampan pula. Padanlah sudah antara keduanya.
Elang Segara Muda mulai pelayarannya pula. Beberapa bulan kemudian sudah kembali pula dengan selamat. Barang-barang niaga yang dibawanya bertumpah ruah. Keuntungan yang dibawanya berlipat ganda dari dahulu. Maklumlah Tenggang masih seorang muda yang tajam tiliknya dan cerdas otaknya. Saudagar Biram dan nakoda Jaya amat gembira. Tak sia-sia mereka mempercayakan Elang Segara ke tangan anak muda yang cakap itu. Kini datang pula satu permintaan dari saudagar Biram. Ia ingin menjodohkan anaknya Puspa Sari dengan Nakoda Tenggang. Pucuk dicinta ulam mendatang. Tetapi tentu saja Tenggang masih malu-malu, walau dalam hatinya ia bersorak kegembiraan. Demikian pula Puspa Sari. Memang sudah lama kedua remaja itu tersangkut kasih.
Sebentar teringat juga olehnya akan asal-usulnya. Dari suku Sakai yang terpencil dan biadab. Kini sudah menjadi seorang nakoda muda. Dan menjadi menantu seorang saudagar yang kaya raya dan cantik pula. Seakan-akan dunia dengan isinya dilonggokkan di depan si Tenggang.
Si Tenggang sendiri pun sudah menjadi kaya. Dari hasil bagian keuntungan yang didapatnya ia sudah membeli tanah dan membuat rumah yang mungil di Labuhan Puri. Bukan seperti ran dahulu lagi yang tak ubahnya seperti sarang monyet tersangkut di atas pohon kayu. Oh, kalau orang kampungnya tahu! Si Bulan! Si Sirih! Apakah kata mereka tentang dirinya sekarang?
Tenggang keturunan suku Sakai yang sudah menjadi seorang nakoda muda yang kaya raya dan mempunyai istri cantik laksana bidadari dari langit ....
27