Halaman:ADH 0005 A. Damhoeri - Misteri Rimba Mangkisi.pdf/47

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

- 43 -

bahwa kita bukan berada dalam rumah cadang dan tidur diatas ranjang dengan kelambu sutera. Kita ternyata berada dipuncak bukit yang terjal, atau diatas pokok kayu yang tingginya 40 meter dari tanah. Heran bagaimana kita mampu mendaki setinggi itu bersama dengan orang Bunian itu. Kadang-kadang orang yag dibawa orang Bunian itu sampai berhari-hari, dan setelah dengan bantuan dukun khusus baru đilepaskan si Bunian kembali. Malahan menurut ceritanya ada orang biasa yang sampai berumah tangga di desa orang Bunian itu, beristeri dan beranak. Kalau ia ingin pulang ke kampung ada semacam daun kayu. Daun itu dihapuskan dikelopak mata, maka kelihatanlah jalan kembali ke desa. Sebaliknya jika ia ingin hendak mengunjungi anak isterinya dihapusnya pula matanya dengan daun itu. Maka akan kelihatan terbentang sebuah jalan bagus dalam semak belukar itu. Itulah jalan ke kampung orang Bunian itu/

Kadang-kadang orang perimba sering mendengar ada suara bunyi-bunyian dari sebuah lembah yang sukar dimasuki manusia. Kata orang orang Bunian itu sedang berpesta. Sering juga kerbau penduduk desa hilang karena dicuri mereka. Kerbau itu tak pernah kembali lagi.

Kita sudah melantur. Kisah orang Bunian ini dapat pula menjadikan sebuah cerita yang unik, misteri dari Rimba Mangkisi.

Mandugo berkisar duduk dekat tingkap. Ditingkap itu Tina sering pula duduk sambil menyelisik kutunya. Tetapi kini fungsinya lain. Rokok dan tembakau tadi diletakkannya disampingnya. Tu' Atin dikodenya supaya duduk pula diam-diam disebelah tingkap yang satu lagi. Mandugo sebelah kiri dan Tu' Atin sebelah kanan. Pintu tingkap dibuka. Malam sangat gelap. Musik hutan abadi terus berlagu-lagu tak berhentinya, hampir-hampir tidak berubah-ubah iramanya. Darah Tu Atin semakin berdebar-debar. Di tingkap itu pula Tu' Atin sering duduk pada setiap hari Sabtu sore. Dari sana masih jauh sudah kelihatan orang yang akan datang ketempat itu. Yang ditunggunya Tina. Ia biasa datang sekali seminggu pada hari Sabtu.

Mandugo membuka pintu tingkap itu lebar-lebar lalu ia menjenguk keluar, ke kegelapan malam. Malam dalam hutan. Mandugo membuat corong dengan kedua telapak tangan yang di lengkungkannya dan terdengarlah suara: " Aaaaa...uuuuu,.... aaaa....uuuu,.... aaaa...uuuuuu...."

Heran pula Tu' Atin, manusia sekecil itu mampu mengeluarkan suara yang selengking itu. Kemudian diam dan sepi.