Halaman:ADH 0005 A. Damhoeri - Misteri Rimba Mangkisi.pdf/21

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

- 17 -

mengolahnya sampai menjadi pekayuan. Pada waktu ini daerah pencarian mereka sudah semakin jauh masuk ketengah hutan. Dekat-dekat desa kayunya sudah habis. Mereka tidak peduli apakah penebangannya menjadikan erosi dan membahayakan sumber air. Sebab bagi mereka yang terpenting bukan erosi tetapi perut harus berisi. Karena dari hasil pekerjaan itulah mereka mendapat sumber nafkah untuk anak isterinya.

Pekayuan yang sudah jadi dibawa mereka ke desa dengan cara menjunjung diatas kepalanya saja. Bayangkan: seorang tukang arit yang kuat mampu menjunjung papan yang sudah selesai diarit sampai sepuluh lembar. Papan itu dijualnya kepada toke-toke kayu yang siap menampungnya. Kayu yang lazimnya di arit mereka: banio, meranti, medang, dan lain-lainnya. Setiap jenis kayu ada kegunaannya dan mau dibuat apa: entah papan, balok, panin, kasau, lae atau pekayuan lainnya. Selain mengusahakan pekayuan banyak lagi yang dapat dicari hasil hutan itu: buah-buahan, rebung, akar-akar, gaharu, rotan, manau dan banyak lagi yang lain. Hutan itu benar-benar pemurah.

Ada pula yang membuat ladang dalam hutan itu. Ladang gambir, ladang kopi, tembakau, karet dan sebagainya. Tanah yang dij adikan perladangan itu ialah tanah 'ulayat' mereka sendiri. Sebab walaupun hutan itu bebas sifatnya tetapi setiap tumpak tanahnya ada pemiliknya, pemilik turun temurun. Apalagi yang dekat-dekat desa. Itulah yang dinamakan tanah ulayat.

Dan yang jadi pengawas hutan itu ada pula orangnya. Siapa yang menetapkan, dan dari mana dia mendapat kuasa, atau surat keputusan kurang kita ketahui. Gelaran pengawas hutan itu: ' Tuo Hutan'. Daerahnya dari Rimba Atas sampai ke Rimba Baruh. Artinya ia berkuasa atas hutan sejak dari lereng gunung Sago sampai ke daerah perbukitan di Seberang Air ( Rimba Mangkisi ).

Yang menjadi Tuo Hutan pada masa Tu' Atin lalah seorang manusia yang amat pendek, tingginya tak sampai satu meter, hanya: 95 senti meter. Jadi sebangsa manusia kerdil. Sebaiknya ia menjadi badut dalam sirkus, Tetapi sirkus belum pernah datang ke daerah itu. Nama kecilnya: Mandugo. Nama ini berasal dari nama salah seorang pelaku dalam cerita Anggun nan Tunggal Magek Jabang. Anggun nan Tunggal karena mencari burung nuri kehendak tunangannya Puteri Gondoriah terpaksa mengawini puteri Andomi Sutan di Kuala Koto Tanau karena ialah yang memiliki