Halaman:ADH 0001 A. Damhoeri - Bumiku Yang Subur.pdf/42

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

- 38 -

"Bismillah," ujar papa dan mulai membabatkan parangnya. Itu upanya sebagai tanda bahwa pekerjaan sudah boleh dimulai. Tebangan pertama itu disusul oleh laki-laki yang ada itu. Kira-kira ada sepuluh orang banyaknya. Semuanya itu tidak di upah. Kepada mereka nanti hanya diberi makan dan minum serta rokok. Begitulah semangat ke gotong royongan yang masih bersemi di desa-desa. Kabarnya pada zaman dahulu semangat gotong royong itu lebih kuat lagi.

Misalnya si A. ingin hendak membangun rumah. Tiang-tiang rumahnya dan pekayuan yang lain sudah berserakan di jalan untuk ditarik ke perumahannya. Lalu setiap orang yang lewat di jalan itu menarik tiang-tiang itu seberapa disanggupinya. Tanpa diperintahkan, tanpa mendapat upah. Semakin terkenal orangnya, semakin baik pergaulannya semakin kuat dorongan ke gotong royongan itu.

Uda Men ikut pula membabat semak itu. Setiap beberapa tetak robohlah sebatang. Menebangnya harus ada pula taktiknya. Tidak ditetak dengan tepat tetapi miring.

Kian lama daerah yang sudah ditebang semakin luas juga. Lis melihat ada juga antara mereka yang punya siasat hebat juga. Ia menetak pohon-pohon yang kecil-kecil tetapi tidak sampai putus atau rebah. Hanya di takuk-takuk saja. Kemudian dipilihnya sepohon yang agak besar. Tetapi condongnya harus ke tumpak belukar yang sudah di takuk-takuknya tadi. Pohon ini ditebangnya sampai roboh dengan bahana yang gemuruh. Dan ketika batang yang besar ini roboh dibawa lalunya tumpak yang sudah di takuk tadi dengan iringan suara yang gemuruh.

Sebelum tengah hari sudah luas daerah yang ditebang pohon-pohonnya. Disana sini sudah bergelimpangan pohon besar kecil, ber tumpang tindih.