Bumiku Yang Subur/Bab 3

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

3. Dalam tanah, dalam air ada rezeki.

Lis belum akan melanjutkan kisah papa dan mak. Teman-teman akan Lis bawa mengembara dulu ke desa. Untuk mengetahui bagaimana alam kehidupan anak-anak di desa. Tentu saja tidak sama dengan kehidupan anak-anak di kota. Barangkali mendengar kisah ini teman-teman di kota akan bangkit 'ngiler'nya dan kempunan pula untuk melakukannya. Jika mau, ayok, silakan datang ke desa Lis. Uda Lis yang bemama Men akan menyambut kedatangan teman-teman dan membawa bertualang menurut apa yang akan Lis ceritakan nanti.

Bila kami anak desa tidak bersekolah ada-ada saja pekerjaan yang menarik yang kami lakukan. Bosan yang satu pindah pada yang lain.

Nah, sekarang Lis akan bercerita tentang 'belut'. Sejenis ikan yang diamnya dalam lumpur dan bentuknya seperti ular. Tetapi binatang ini ada insangnya yang menandakan bahwa mereka termasuk bangsa ikan yang enak dimakan. Badannya amat licin sehingga orang tua-tua membuat pemeo: 'Licin seperti belut'.

Kalau orang mencangkul di sawah sering terpacul belut. Binatang ini menggeleong-geleong tetapi hanya sekejap mata dan jika tidak segera ditangkap akan menghilang kedalam lumpur dengan amat cepatnya. Untuk menangkapnya hendaklah disambar dengan mempergunakan jepitan jari telunjuk dan ibu jari. Tubuhnya harus dijepit kuat-kuat dengan jari jika tidak sang belut akan lepas dan kalau jatuh ke lumpur amat sukar mencarinya kembali.

Penangkap belut mempergunakan sejenis lukah (bubu) untuk menangkapnya. Sore-sore ditahankan dengan memakai umpan cacing yang dicampur abu panas dan besok pagi baru dibangkit.

Tetapi yang menarik ialah mencarinya malam hari dengan mempergunakan lampu stormking. Dinamakan 'menyuluh'. Malam hari biasanya belut itu keluar untuk mencari makan. Binatang itu terbelintang diatas lumpur sawah dan warnanya kekuningan. Nah, bila kelihatan pukul dengan parang, jangan keras sampai putus. Dengan mudah belut itu ditangkap. Kalau banyak dapat tak sadar kita bahwa sudah jauh merencah sawah-sawah dan sampai tengah malam.

Tetapi yang paling menarik ialah mengail belut. Pekerjaan ini hanya dilakukan oleh anak laki-laki. Jadi Lis hanya menceritakan saja yang Lis dengar dari uda dan kawan-kawannya.

Belut yang dikail itu ialah belut tebat. Pada umumnya belut tebat besar-besar lebih besar dari belut sawah. Ada yang panjangnya lebih setengah meter. Untuk mengailnya harus disediakan pancing yang kuat dengan talinya nylon yang kuat pula. Sebab belut tebat ini kuat sekali. Warnanya berbintik-bintik agak jijik kita melihatnya tetapi rasanya enak sekali.

Umpannya anak ikan kecil-kecil.

Setelah siap semua perlengkapannya barulah mulai 'operasi' mencari lubangnya. Belut itu membuat lubang di tepi-tepi tebat. Kita harus tahu mana lubang yang ada penghuninya dan mana yang kosong.

Rumput-rumput yang menutupinya di kuak-kuakkan supaya lubangnya kelihatan. Biasanya lubang itu terdapat di selasar tebat atau dipinggir tebat di tempat yang kering. Jika berjumpa 'pertempuran' sudah boleh dimulai.

Kail yang sudah ada umpannya dimasukkan kedalam liangnya kira-kira setengah jengkal. Kalau perlu dengan bantuan sepotong ranting. Pancing di putar-putar sambil mendeceh-deceh sebagai memanggil kucing. Maksudnya agar si belut keluar dari liangnya. Jika liang itu ada 'tuan rumah'nya dengan pelan-pelan ia akan muncul keluar dan demi melihat ada santapan dimuka lubang umpan itu akan disambarnya dan ditarikkannya kedalam 'istananya'. Maksud akan dimakan ber santai-santai, tetapi celakanya santapan enak itu terlekat pada mata pancing yang sudah melekat di bibirnya.

Kita merasakan tali pancing disentakkan dengan cepat dan kuat. Jangan lekas-lekas disentak sebab tali pancing bisa putus. Turutkan saja. Kemudian baru ditarik pelan pelan, dan si belut akan membalas menarikkan pula kedalam lubangnya. Kita menarik dan belut menarik pula. Si belut akan bertahan, emoh ditarik keluar. la bertahan dengan membelit-belitkan ekornya barangkali pada sepotong kayu atau apa-apanya dalam liangnya.

Saling bertarik-tarikan itu akan makan tempoh beberapa menit lamanya. Sampai akhirya binatang itu melemah dan tersentak keluar. Akan kelihatanlah moncongnya yang runcing, dua matanya yang kecil dan pelan-pelan tubuhnya yang bulat panjang sampai habis semua badannya keluar. Si belut akan menggeleong-geleong sebagai suatu perotes yang takkan berhasil. Sebab si pengail tentu saja takkan sudi melepaskan tangkapannya.

Nah, kini asil pertempuran: 1 : 0 bagi belut yang sial itu. Sampai diluar kepalanya dipukul sampai belutnya mampus. Kemudian perutnya dirobek panjang isi perutnya dikeluarkan. Kemudian cari lagi yang lain.

Dalam sehari jika nasib lagi mujur bisa dapat sampai lima ekor atau lebih.

Uda Men pernah mengail belut dan mendapat seekor belut yang luar biasa besarnya. Besarnya sebesar pergelangan orang dewasa dan panjangnya hampir satu meter. Agaknya nenek-nenek, atau kakek-kakek belut dalam tebat itu. Tak tahu kita berapa umurnya. Lis mengira itulah belut yang paling besar diatas dunia ini.

Pengalaman yang tak kalah menariknya ialah menangkap ikan 'limbat'. Ikan limbat sejenis ikan kalang (lele) pakai seng. Tetapi warnanya agak kekuningan sedang ikan lele hitam. Rasanya cukup enak, di palai sedaaap, di goreng gurih, di gulai lidah bisa main pencak. Jenisnya yang lebih besar lagi ialah ikan 'baung'. Tetapi hidupnya dalam sungai yang lebih besar, misalnya dalam batang Sinamar. Kesamaan ikan ini ialah semuanya pakai sengat. Kalau kena sengatnya bisa barabe. Jadi hati-hatilah bila menangkap ikan ini.

Jenis ikan ini keluarya hanyalah malam hari, siang hari jarang sekali mereka memperlihatkan dirinya. Jadi memancingnya hanyalah pada malam hari.

Dimuka 'dangau' (rumah) kami ada beberapa buah tebat ikan. Yang sebuah banyak sekali limbatnya. Kalau malam sudah tiba keluarlah mereka dari sarangnya. Ikan itu diam diam saja menunggu mangsanya. Ukurannya macam-macam, ada juga yang besar.

Uda Men dan papa ketika kami mula-mula menetap di dangau mengetahui hal itu.- Sebelumnya yaitu ketika papa lagi bertugas kami tinggal di kota. Sesudah papa pensiun kami menetap di desa.- Pada suatu malam papa menyenter-nyenter kedalam tebat. Lalu kelihatanlah ikan limbat disana sini diam-diam saja. Timbul inspirasi papa. Bukan untuk mengarang melainkan untuk menangkap ikan limbat yang kelihatannya jinak-jinak itu.

Papa mencari pancing dan cacing dan kemudian menyenter kedalam tebat. Ikan-ikan itu diam saja. Lalu pelan-pelan pancing diturunkan kedalam air sehingga umpan berada beberapa senti meter dimuka moncongnya. Tidak boleh kena tubuhnya atau diturunkan dengan ceroboh sebab sang ikan bisa curiga dan..... kabur.

Nah, waktu itu barangkali sang ikan berpikir:

"Heee, kok ada rejeki nomplok?" Dia diam diam sebentar agaknya memperhatikan santapan yang turun dari langit dan nongkrong dimuka mulutnya. Tetapi tak lama ia berpikir sebab sebentar saja "haaaap" umpan disambar. Namun, pada umpan ada mata pancing yang pakai piarit dan melekat di bibirnya. Terasa berat papa menarik pancingnya dan tergantung-gantunglah si ikan limbat sambil menggelepar-gelepar sebagai suatu perotes. Ya, malang bagi si limbat tetapi mujur bagi papa.

Kemudian diulangi lagi, dicari sasaran yang lain. Kalau kelihatan lalu diulangi kembali seperti tadi. Dalam semalam kadang-kadang dapat sampai enam ekor yang besar-besar. Tetapi ada juga limbat itu yang merasa curiga agaknya. Baru saja umpan tiba dimuka mulutnya, "rrrrt" secepat kilat iapun berenang seperti torpedo cepatnya.

Tetapi setelah berkali-kali dilakukan demikian ikan-ikan ini emoh makan umpan. Malahan kalau kelihatan cahaya saja merekapun kabur entah kemana. Memang ikan ini termasuk ikan yang cerdik dan lihay.

Sarangnya dibuatnya dalam lubang. Digalinya tepi tebat dan dibuatnya lubang yang berbelok-belok. Pada ujung lubang itu ada semacam gua yang dilapisi dengan serabut atau sabut kelapa. Dalam gua itulah mereka diam berdempet-dempet, bergumpal-gumpal. Rongga tempat tinggal ikan itu dinamakan "kukuban". Jika dapat kukuban limbat itu, tentu makan besarlah.

Pada suatu kali kami melepas tebat. Tidak seekor ikan limbatpun yang dapat. Mereka tentu sudah kabur bersembunyi dalam kukubannya. Papa mencoba mengorek-ngorek tepi tebat memeriksa kalau-kalau ada limbatnya. Tetapi papa mendengar ada suara-suara aneh dari dalam lubang itu. Bunyi kecepak kecepuk dalam tanah. Nah, barangkali keluarga sang limbat sedang panik menyembunyikan diri.

Tepi tebat setentang kukuban itu digali dengan pacul.

Suara kecepak kecepuk semakin jelas. Papa mulai menelusuri lubang yang berbelok-belok itu. Akhirnya papa dapat juga mencapainya. Papa berteriak kegirangan karena tangannya dapat mencapai kukuban limbat itu. Kata papa terasa ada benda-benda licin berpulun-pulun dalam rongga kukuban itu.

Persiapan membongkar kukuban itu dimulai. Tangguk disiapkan kalau-kalau ada nanti yang lolos dari tangkapan. Nah, seekor ikan limbat sudah dapat ditangkap papa. Menangkapnya agak sukar juga sebab badannya licin, harus dapat tengkuknya dekat sengatnya.

Seekor demi seekor limbat itu dapat dikeluarkan dari tempat persembunyiannya. Mana yang lolos masuk kedalam tangguk. Tidak seekorpun yang lolos dari sergapan papa. Kami berebutan mengumpulkannya. Hasil penyergapan lebih dari 30 (tiga puluh) ekor besar kecil. Barangkali semua-muanya: kakeknya, neneknya, ibunya, bapaknya, anak-anaknya bahkan cucu piutnya. Punahlah limbat satu keluarga besar itu. Tamat riwayatnya. Tetapi kami makan besar.

Kisah tentang ikan limbat belum habis. Ada pengalaman yang cukup unik juga tentang mengail limbat malam hari. Tetapi Lis tak pernah ikut, sebab Lis seorang wanita. Takut deh!

Sebagai sudah di ceritakan di desa kami mengalir sebatang sungai kecil yang bernama batang Mangkisi. Batang air itu mengalir sepanjang lembah Mangkisi sampai ke muaranya di batang Sinamar. Batang Mangkisi ini agak lucu juga. Kadang-kadang alirannya menghilang saja tinggal palungnya yang kering kerontang. Tetapi beberapa jauh di hilirnya ia muncul kembali dan mengalir dalam palungnya sebagai biasa. Rupanya ada terowongan dalam tanah.

Kalau musim hujan batang Mangkisi itu tidak lucu lagi sifatnya. Kini menyeram dan menakutkan. Airnya membanjir dengan amat derasnya, bahananya gemuruh menakutkan. Airnya bewarna kuning keruh. Batu-batu sebesar-besar mobil truk dengan enanya di guling-gulingkannya, diadu-adunya satu dengan yang lain. Seperti orang sedang main bilyar saja. Demikianlah tenaga air. Tidak seorang pun yang berani menyeberanginya bila si Mangkisi sudah murka demikian.

Tetapi dalam keadaan biasa airnya kecil saja. Airnya tak pernah kering. Mengalir melalui palungnya yang penuh dengan batu-batu yang beraneka ragam besarnya. Mulai dari yang sebesar tikus sampai yang sebesar gajah. Jadi di desa kami murah sekali mendapat batu untuk membangun. Angkat saja dari batang Mangkisi berapa saja kita mau. Tidak beli, gratis saja.

Dalam batang air itu banyak juga ikannya. Jenis ikannya garing, tali-tali (sejenis ikan kecil yang sedap rasanya), dan limbat. Ikan limbat itu hidup di sela-sela batu. Tetapi sebagai sifatnya keluarnya tetap pada malam hari.

Sekali-sekali waktu liburan Uda Men sering pergi memancing ke batang Mangkisi itu. Harus ada teman sebab akan menjelajahi sepanjang batang air itu. Dan tempat itu tidak dalam daerah kampung lagi. Sudah masuk dalam daerah hutan. Jangan-jangan berpapasan dengan 'inyik belang'. Inyik belang ialah harimau. Jadi mengail malam hari itu diperlukan keberanian dan nasib baik.

Pada suatu malam uda Men pergi memancing dengan tiga orang temannya. Perlengkapan mereka: setiap mereka membawa pancing lima buah seorang. Lalu dua buah senter dan tiga buah obor. Kemudian umpan secukupnya.

Menurut cerita Uda Men sendiri:

Kami memulai operasi dengan memudiki batang Mangkisi. Kami melangkah dari batu ke batu. Pancing di tahan di sela-sela batu. Caranya begini:

Sebuah pancing ditahan disini dan satu lagi sebelah sana dan sebuah lagi sebelah sana lagi demikian seterusnya. Sesudah ditahan pancing nomor lima kembali memeriksa pancing yang ditahan mula-mula. Kosong! Nomor dua: horeee..... terberat. Saya sentak pancing dengan hati-hati dan dalam sinar senter kelihatan hasil tangkapan pertama: seekor ikan limbat yang beratnya kira-kira 10 kilo gram,...... oh, maaf salah hanya kira-kira 10 gram atau sepersepuluh ons. Jadi seekor limbat yang keciiiil sekali, barangkali cucunya atau barangkali cicitnya. Namun tak boleh dibuang hasil pertama ini sebab membuat kesialan. Dan kita tak peduli sebab dalam air yang liar semua hantam terus sekalipun yang dapat bayi limbat yang baru berumur tiga hari.

Si Siar sudah sibuk pula. Pada tali pancingnya terbuai-buai seekor limbat yang sejengkal panjangnya. Timbul kecemburuanku melihat Sihar sudah mendapat limbat yang gede. Tetapi pada pancing nomor lima sudah tergayut pula seekor kakek limbat yang amat besar.

Demikianlah kami memudiki batang Mangkisi itu semakin lama semakin jauh ke udiknya. Dan rimba semakin lebat. Bermacam suara sudah terdengar tetapi kami tak peduli. Keasyikan memancing tidak membuat takut. Walau inyik belang sudah ikut membuntuti kami. Kalau memang ada sang inyik, lemparkan saja seekor yang paling besar. Dia akan senang dan tidak akan mengganggu lagi. Tak tahu malampun sudah semakin larut.

Eh, apa itu kelihatan bergerak dan berkilat-kilat? Kami senter. Kelihatan seolah-olah seonggok kain warna warni yang berkilauan. Kami senter,.... aduuuh, tanpa bicara mengatakan apa yang kelihatan cepat kami kemasi ikan-ikan kami dan pancing terus kami keluar dari batang air dan naik kedarat. Tanpa komando pula kami balik gerak menuju desa kembali.

Sesudah jauh dari situ barulah kami saling bertanya apakah yang kelihatan tadi.

"Ulaaar,..." bisik Uni sambil menoleh kebelakang dengan gerak ketakutan. Ya, memang seekor ularlah yang kami lihat tadi. Rupanya binatang itu baru muncul dari dalam air dan bergelung di tepi batang air. Onggokannya sebesar pondok kerbau. Barangkali takkan kurang dari sebesar paha manusia dewasa. Itulah suka dukanya memancing di batang Mangkisi pada malam hari.

Untung saja ikan tidak tertinggal. Dan kalau diadakan penilaian malam itu Uda Men yang mendapat hadiah. Sebab Uda Men mendapat paling banyak: 37 ekor besar kecil dan banyak yang besar dari yang kecil.

Mak dan papa tertawa melihat perolehan memancing anaknya. Kata papa:

"Itulah kalau kita mau berusaha. Paling kurang dapat ikan. Kalau di pasar takkan kurang harganya dari seribu rupiah. Tetapi hasil yang lebih besar akan kita gali dari lembah Mangkisi itu kelak."

Tetapi Uda Men tak peduli lagi. Ia sudah pergi ke periuk. Perutnya sudah amat lapar karena berdingin-dingin memancing sepanjang batang Mangkisi.

Dan kapokkah Uda setelah menemukan gelungan ular besar itu. Takkan pernah kapok. Itu memang resiko.

. // .