Lompat ke isi

20 Tahun Indonesia Merdeka

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Berkas:20 Tahun Indonesia Merdeka.pdf
20 Tahun Indonesia Merdeka


20 TAHUN
INDONESIA MERDEKA

IV


20 TAHUN
INDONESIA MERDEKA




IV



DEPARTEMEN PENERANGAN R.I.

DJILID I.
  1. Kata-pengantar Presiden.
  2. Kata-kata pengantar Panitia Penjusun Naskah Buku 20 Tahun Indonesia Merdeka.
  3. Lembaga-lembaga Negara Tertinggi.
  4. Penduduk.


DJILID II.

  1. Kompartimen Luar Negeri, Hubungan Ekonomi Luar Negeri dan Perdagangan Luar Negeri.
  2. Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri.
  3. Kompartimen Keuangan.

DJILID III.

Kompartimen Pertahanan/Keamanan Kasab


DJILID IV.

  1. Kompartimen Pembangunan.
  2. Kompartimen Perindustrian Rakjat.

DJILID V.

  1. Kompartimen Pertanian dan Agraria.
  2. Kompartimen Pekerdjaan Umum dan Tenaga.


DJILID VI.

Kompartimen Distribusi.


DJILID VII.

  1. Kompartimen Maritim.
  2. Kompartimen Kesedjahteraan.
  3. Kompartimen Urusan Agama.


DJILID VIII.

Kompartimen Pendidikan/Kebudajaan.


DJILID IX.

  1. Kompartimen Perhubungan dengan Rakjat.
  2. Kepartaian.

PENDAHULUAN.

Dalam sedjarah pertumbuhan Republik Proklamasi 17 Agustus-1945 sebagai akibat politik devide et impera kolonial Belanda jang bertjokol ± 350 tahun, pada awal revolusi banjak hal dan rupa-rupa peristiwa silih berganti timbul ditengah-tengah menggelora dan membaranja semangat djuang 80 djuta Rakjat Indonesia mengganjang Kolonialisme Belanda.

Peristiwa besar-ketjil dari tahun ke-tahun merupakan tanaman subur pada awal Revolusi '45-'48 jang telah dipelihara setjara njata dan teratur oleh pihak kolonialis untuk memetjah semangat djuang Bangsa Indonesia. Namun demikian tipu muslihat dan akal bulus mereka tak dapat menghambat arus semangat Revolusioner Bangsa Indonesia jang benar-benar telah haus akan kebebasan dan kemerdekaan.

Bahkan silih-bergantinja peristiwa-peristiwa itu merupakan pupuk dan gemblengan physik/mental untuk bertjantjut-taliwondo menjelesaikan Revolusi dengan semangat patriotik pantang mundur. Sedjarah telah mentjatat, bukan sadja Nasional-tetapi djustru Internasional, chususnja bangsa-bangsa Asia dan Afrika jang setjara titdak langsung mengakui, bahwa Revolusi Indonesia adalah „Pola” Revolusi dan Kemerdekaan bangsa-bangsa terdjadjah, chususnja Negara-negara di Asia dan Afrika.

Begitulah seterusnja perkembangan dan pertumbuhan Re-volusi kian membesar dengan gerak tjepat, sambil mengkonsolidasikan diri dan menjempurnakan segala aparaturnja dari tingkat terbawah sampai teratas jang disesuaikan dengan derap-iramanja serta kebutuhan Revolusi itu sendiri. Puntjak dari pada tuntutan Revolusi itu ialah „penguburan sistim Libralisme di-bumi Indonesia jang merupakan barikade kolot dan penghambat terhadap tudjuan Revolusi Indonesia. Maka dengan Dekrit P.J.M. Presiden kembali ke-Undang-undang 1945 pada tanggal 5 Djuli 1959 dan sekaligus berlakunja sistim Demokrati Terpimpin di-bumi Indonesia merupakan tiang-pantjang badja dan merupakan „Titik Garis Awal” untuk merumuskan taktik baru setjara frontal mengadakan koreksi/penilaian-penilaian.

Salah satu hasil dari pada koreksi/penilaian ini ialah adanja penjusunan organ pembantu Presiden jang lebih ter-arah untuk meningkatkan dan mengisi daya tahan Revolusi dan jang merupakan dasar dari pada „Politik” mentjapai „Sosialisme Pantjasila”, dimana warganegara Indonesia, Sukarno berhasil membentuk kabinet jang dikenal dengan sebutan „Kabinet Karya” dan kemudian memperoleh penjempurnaan kembali jang terkenal dengan istilah Re-grouping Kabinet berdasarkan Keputusan Presiden No. 94 tahun 1962.

Mulai saat inilah peluru-peluru Revolusi lebih ter-arah sasarannja, dimana konsepsi-konsepsi Demokrasi Terpimpin mulai njata dilaksanakan dan dikembangkan, chususnja jang menjangkut perentjanaan pembangunan dimana suatu Dewan Chusus dibentuk pada tanggal 15-Agustus-1956 (Depernas) dan kemudian pada achir tahun 1963 disempurnakan kembali fungsi dan tugasnja mendjadi Badan Perentjanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dengan Kompartimen Pembangun sebagai Koordinatornja.

I. PERKEMBANGAN ORGANISASI.

A. PERIODE REVOLUSI PHYSIK (1945-1950).

Manifestasi tjetusan tekad nasional Bangsa Indonesia adalah hekekat dari pada Revolusi Agustus '45 untuk mendirikan dan menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia jang bebas merdeka, bersatu, berdaulat, adil makmur berdasarkan Pantjasila. Untuk mempertahankan Republik Proklamasi itu seluruh funds and forces terpusatkan kepada perlawanan semesta untuk mempertahankan dan menjelamatkan Republik Proklamasi 17-8-1945.

Dibawah kibaran Sang Saka Merah Putih situasi perdjuangan phisik dari hari kehari semakin menghebat, satu demi satu sisa-sisa kekuasaan Djepang direbut oleh barisan-barisan pemuda, buruh-tani dan rakjat Marhaen jang kesemuanja bergerak satu irama dan nada disertai dengungan pekik nasional „Merdeka”. Dilain pihak Panitia Kemerdekaan sibuk menjusun aparatur pemerintahan dari tingkat Kabinet, Dewan Lembaga sampai Daerah dan Tjabang.

Tiap unsur Lembaga-lembaga Negara, Dewan-dewan dan Badan-badan bekerdja keras, pada saat mana usaha pembangunan materiil sangat terbatas dapat dilaksanakan, walaupun demikian dalam keadaan jarg serba sukar dan sulit setjara chusus dan terpisah-pisah beberapa sektor pembangunan idiil dapat dibina dan dilaksanakan, sebagai misal pembangunan dalam bidang Angkatan Perang dimana di Jogjakarta dan Tangerang didirikan Akademi-akademi Militer, begitu pula dalam lapangan pendidikan dan kebudajaan. Problema pokok pada saat itu ialah kesulitan dalam bidang Infra-struktur (Darat) dan telekomunikasi sebagai akibat politik bumi hangus jang dilakukan fihak kolonial Belanda. Masa-masa suram ini diachiri mendjelang pengakuan kedaulatan ditahun 1949 dimana para ahli-ahli pikir, ahli-ahli teknik, ahli-ahli Riset Ilmiah dan ahli politik Ke-Negaraan dapat meng-istirahatkan popor bedilnja dan memulai perhatiannja dalam bidangnja masing-masing, sekalipun belum menghasilkan sesuai dengan kebutuhan Revolusi.

Sekalipun pembangunan materiil terhambat, statistik dan grafik perdjuangan menandjak tinggi dimana hak hidup apa jang dinamakan Negara-negara Bagian a la R.LS. terkubur dan „Negara Kesatuan Republik Indonesia” berdiri kembali (17-8-1950). B. PERIODE SURVIVAL (1950 — 1955).

Setelah babak Revolusi physik berachir dan Republik Proklamasi memasuki tahap baru, gemblengan semangat Bangsa Indonesia makin menebal, dimana para ahli riset ilmiah, perentjana, teknik dan lain-lain mulai mengadakan konsultasi dan diskusi-diskusi. Masjarakat tjendikiawan mulai melihat djauh kedepan dengan suatu kejakinan bahwa saatnja telah tiba untuk bertjantjut-taliwondo mengedjar ketinggalan dalam bidang ilmu dan pembangunan Negara.

Para penjusun dan perumus konsepsi pembangunan giat mengadakan eksperimen-eksperimen dan riset setjara meluas sehingga mengalami perobahan dan kemadjuan-kemadjuan jang menggembirakan, chususnja dalam pola-pola pembangunan. Suatu hal jang patut dinilai jalah kemadjuan-kemadjuan dalam bidang riset dan ilmu pengetahuan, dimana pada tahun 1961 dibentuk „Madjelis Ilmu Pengetahuan Nasional” ini adalah salah satu djawaban konkrit terhadap Amanat Negara P.J.M. Presiden jang berdjudul „Hidup atau Mati” dalam mana tegas adjakan P.J.M. Presiden untuk menjempurnakan dan melengkapkan aparatur Negara disegala bidang. Memang benar, tanpa sesuatu ilmu pengetahuan jang tjukup tidaklah mungkin membangun Masjarakat dan Negara jang modern.

C. PERIODE CHALLENGE DAN RESPONSE TERHADAP DEMOKRASI TERPIMPIN (1955 — 1959).

Awal tahun 1956 dan berikutnja dapatlah dikatakan merupakan permulaan lembaran sedjarah baru bagi peri-kehidupan Republik Proklamasi, dimana pada tahap ini pertumbuhan aparatur jang bergerak dan bertugas dalam bidang perentjanaan pembangunan mulai menaruh perhatian setjara chusus, sekalipun hasil karya Biro Perantjang Negara, jaitu Rentjana Pembangunan 5 tahun (1955—1960) jang telah disahkan oleh D.P.R. dalam tahun 1958 tertunda pelaksanaannja, disebabkan kewewenangnja tidak diberikan setjukupnja. Hal tersebut tidaklah terlepas dari pada hasil keputusan Musjawarah Pembangunan tahun 1957, dimana diandjurkan perlunja dibentuk Dewan Perantjang Nasional (Depernas).

Sedjalan dengan keluarnja Dekrit Presiden kembali ke-Undang-undang 1945 (Dekrit 5 Djuli 1959) dan menjusul lahirnja Manipol/Usdek, maka pemikiran dan usul-usul pembentukan „Depernas” di-intensipkan, kemudian dengan direalisirnja Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/23 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/24 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/25 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/26 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/27 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/28 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/29 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/30 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/31 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/32 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/33 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/34 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/35 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/36 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/37 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/38 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/39 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/40 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/41 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/42 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/43 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/44 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/45 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/46 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/47 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/48 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/49 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/50 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/51 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/52 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/53 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/54 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/55 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/56 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/57 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/58 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/59 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/60 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/61 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/62 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/63 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/64 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/65 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/66 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/67 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/68 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/69 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/70 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/71 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/72 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/73 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/74 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/75 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/76 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/77 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/78 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/79 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/80 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/81

II. KEADAAN PERBANKAN DAN MODAL SWASTA DEWASA INI.

1. Umum.

a. Pertama-tama sebelum diberikan gambaran dan data-data tentang perbankan dan modal swasta dewasa ini, lebih dulu akan dikemukakan sedikit sedjarah pertumbuhan perbankan swasta.

Sebagaimana kita telah maklum, pada masa pendjadjahan bank-bank nasional swasta dengan keinsjafannja sendiri dan dengan dipelopori oleh tokoh-tokoh perintis kemerdekaan kita telah turut serta merintis perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Meskipun dengan perlengkapan dan fasilitas-fasilitas jang serba kurang lengkap, perintis-perintis dibidang perbankan nasional swasta ini telah berusaha sekuat-kuatnja untuk mengisi bidang perbankan di Indonesia dengan usaha-usaha dan kegiatan-kegiatan jang dilakukan sendiri oleh bangsa Indonesia, karena menjadari sepenuhnja bahwa bidang perbankan merupakan sebagai salah satu kuntji penting dalam penguasaan bidang ekonomi dan perdagangan. Beberapa nama bank-bank perintis jang terkemuka ialah:

BANK NASIONAL di Surabaja jang didirikan pada kurang lebih tahun 1925, dengan tokohnja Dr. Soetomo, dan lain-lain, sedang pada beberapa tahun kemudian disusul dengan didirikannja sebuah BANK NASIONAL di Bukittinggi: kemudian disekitar tahun 1938 di Djakarta berdiri Bank BOEMI I.M.A.

Setelah Prokiamasi, pada masa menghebatnja perlawanan physik terhadap musuh-musuh kemerdekaan kita, perdjoangan tersebut dikobarkan terus oleh para aktivis perbankan nasional swasta dengan memberikan bantuan jang ada, chususnja berupa pembiajaan-pembiajaan kepada para pedjoang kita jang pada saat itu tersebar diseluruh pelosok untuk mempertahankan mati-matian setiap djengkal tanah air kita.

Bank-bank swasta jang muntjul dalam periode Revolusi physik ini, jang ditudjukan terutama untuk mengoper peranan bank-bank asing ialah:

BANK SURAKARTA IM.A., INDONESIAN BANKING CORP., BANK DAGANG NASIONAL INDONESIA.

Kemudian setelah selesainja perdjoangan physik ini, maka sesuai dengan tugasnja sebagai patriot jang tidak pernah terpisahkan dari tiap-tiap fase perdjoangan kita, kegiatan para aktivist perbankan nasional swasta berfunksi membantu rehabilitasi daripada pengusaha-pengusaha nasional jang sebagian besar telah kehilangan segala modalmja selama Revolusi Physik jang baru lampau itu.

Selandjutnja pada periode Survival jang disusul dengan periode Challenge dan response terhadap Demokrasi Terpimpin,perbankan nasional swasta telah bekerdja terus meskipun tidak dapat dihindari tentang adanja refleksi dari masjarakat pada waktu itu dimana timbul gedjala-gedjala, pandangan-pandangan dan praktek-praktek liberalistis dan a-sosial pada sementara kalangan dan oknum-oknum.

Achirnja, dengan didekritkannja Manipol oleh Presiden, dengan dilandasi oleh kesadaran sebagai bagian jang tidak terpisahkan dari masjarakat jang sedang ber-revolusi, maka perbankan nasional swasta mengambil funksi sebagai peserta jang aktip didalam bidang pembangunan Negara dan masjarakat dalam arti kata jang seluas-luasnja, dimana dilakukan peromkakan atas norma-norma jang sudah usang dan sekaligus dilakukan peletakan dasar-dasar demokratis dalam menudju kepada susunan ekonomi Sosialis Indonesia.

Dengan demikian disadari sepenuhnja oleh perbankan nasional swasta bahwa masalah penertikan, pembimbingan dan pembinaan perbankein dan modal swasta adalah „rising demand” jang memang perlu dan penting sekali sesuai dengan madjunja kebutuhan Revolusi.

b. Sebelum kita menindjau keadaan perbankan swasta pada umumnja, maka kiranja perlu didjelaskan terlebih dahulu matjam-matjam perbankan swasta di Indonesia.

Menurut tjatatan-tjatatan pada achir Desember 1964 di Indonesia terdapat:

  1. Bank-bank umum swasta, bank-bank mana pada umumnja bergerak dibidang perkreditan djangka pendek;
  2. Bank-bank tabungan swasta jang pada umumnja bergerak pada penarikan simpanan-simpanan dengan djumlah-djumlah jang ketjil;
  3. Bank pasar/Bank desa/Bank pegawai;
Pendirian daripada bank-bank sematjam ini dilakukan oleh fihak swasta dan usahanja adalah sama atau mirip dengan usaha-usaha perkreditan desa, pasar dan perkreditan jang chusus ditudjukan kepada pari pegawai;
  1. Bank desa (berdasarkan Ordonansi jang dimuat dalam Staatsblad 1929 No. 357 jo Keputusan Gubernur Djenderal jang dimuat dalam Staatsblad 1931 No. 182 jang kemudian dirubah dengan Ordonansi tanggal 19 Pebruari 1934 jang dimuat dalam Staatsblad 1934 No. 82 tentang penghapusan Centrale Kas dan tentang pendirian Algemene Volkscrediet-bank untuk seluruh Hindia Belanda);
  2. Bank-bank Koperasi (Undang-undang No. 19 tahun 1958 tentang Perkumpulan Koperasi) jang chusus bergerak untuk melajani anggauta-anggauta Koperasi.
  3. Bank Pembangunan Swasta jang telah dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1962, bank mana chusus bergerak dibidang investasi;
  4. Bank-bank Pembangunan Daerah jang saham-sahamnja dimiliki oleh Daerah Swatantra dan Swasta sedang pelaksanaannja dikuasai oleh daerah.

Bank Umum Swasta, Bank-bank Tabungan Swasta dan Bank-bank Pasar/Pegawai/Desa berada langsung dibawah pengawasan Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta cg. Bank Indonesia: Bank Pembanguran Swasta dan Bank Pembangunan Daerah berada dibawah nengawasan Menteri Urusan Bank Sentral cg. Bank Indonesia serta Bank Desa dan Bank Koperasi masing-masing dibawah pengawasan Departemen Dalam Negeri dan Departemen Transmigrasi dan Koperasi.

2. Bank Umum Swasta.

a. Djumlah.

Djumlah bank umum swasta pada awal tahun 1963 ada sebanjak 90 bank, dengan perintjian sebagai berikut:

Bank Umum Swasta pada awal tahun 1963.

-— mm ——

Bank Devisa Bukan Bank Devisa Nasional | Asing Nasional Asing Pusat Irjabang Pusat |Tjabang | Pusat Tjabang Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/85 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/86 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/87 kemampuan untuk mentjiptakan uang giral, sehingga dengan demikian dapat menambah volume uang jang beredar.

Berhubung dengan itu, agar perkreditan dari bank-bank tersebut dapat dipimpin dan disalurkan menurut garis-garis pokok jang telah dilandaskan cleh Pemerintah, maka Pemerintah mengangggap perlu untuk mengadakan pengawasan terhadap perkreditan jang dilakukan oleh bank-bank.

Dengan pengawasan tersebut maka perkreditan dari bank-bank, diatur dan disalurkan menurut politik moneter dan ekonomi Pemerintah serta Rentjana Pembangunan Semesta jang telah ditetapkan.

Disamping itu dengan pengawasan perkreditan tersebut Pemerintah bermaksud untuk lebih memberikan djaminan kepada para kreditur bank-bank tentang keamanan dari simpanan-simpanannja.

Disamping pengaturan perkreditan setjara kwentitatif berdasarkan cash-ratio dan giro-wadjib pada Bank Indonesia, maka bagi bank-bank umum swasta pada dasarnja berlaku pula pengaturan perkreditan setjara kwalitatif bagi bank-bank Pemerintah termaksud, jaitu ketentuan-ketentuan mengenai:

  1. volume kredit, bahwa sckurang-kurangnja 50% harus disalurkan kescktor Produksi dan sekurang-kurangnja 20% kesektor Ekspor:
  2. pemberian kredit setjara komersiil dan zakelijk,
  3. larangan untuk memberikan kredit/overdracht facilit antar bank-bank umum swasta:
  4. pemberian kredit/overdracht facilit dari bank kepada non-bank hanja diizinkan untuk sektor-sektor jang tidak dilarang oleh peraturan kredit kwalitatif ini.

Ketentuan mengenai kewadjiban untuk menjalurkan kredit kepada sektor Pemerintah dan mengenai pembatasan pemberian kredit menurut djaminan, tidak berlaku bagi bank-bank umum swasta. Mengenai bantuan likwiditas dari Bank Indonesia, maka dalam keadaan sekarang kemungkinan untuk memperolehnja hanja dalam suatu hal bank swasta dihadapkan kepada keadaan terpaksa (force majeur) jang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan diluar kemampuannja. Dalam hal demikian itu, bantuan likwiditas dapat diberikan berdasarkan herbelening dan lain-lain jang disetudjui oleh Bank Indonesia. Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/89 Lebih landjut dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 5/1960 itu ditetapkan pula bahwa bank umum swasta diwadjibkan untuk menjimpan 1056 dari djumlah kewadjiban-kewadjiban jang segera dapat ditagih pada Bank Indonesia. Djadi dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 5/1960 ini terdapat dua pokok kewadjiban bank-bank umum swasta, jaitu:

  1. memelihara cash-ratio sebesar minimum 30%,
  2. menjimpan 10% dari kewadjiban jang segera Japat ditagih pada Bank Indonesia.

Pada kenjataannja ketentuan tersebut diatas adakalanja dilanggar. Terhadap pelanggaran atas ketentuan-ketentuan tersebut didjatuhkan sanksi-sanksi administratif berupa denda, sebesar prosentase tertentu.

3. Bank Tabungan Swasta.

a. Umum.

Sebagai diketahui bank tabungan adalah suatu lembaga jang lapangan usahanja mengumpulkan tabungan dari masjarakat dan menanam tabungan itu dalam effck-effek, hipotik dan perkreditan kepada badan-badan pemerintah. Tabungan dari masjarakat pada hakekatnja adalah uang dari masjarakat jang untuk sementara waktu tidak hendak dipergunakan oleh jang punja. Uang itu disimpan sebagai tjadangan untuk menghadapi kemungkinan masa sulit, untuk hari tua atau uang itu ditabung dengan maksud untuk dapat membeli sesuatu barang dikemudian hari atau membajar suatu tudjuan apabila djumlah jang dibutuhkan telah dapat terkumpul. Kita mengetahui bagaimana tjara-tjara masjarakat kita menabung didjaman dulu, jaitu uang disimpan dalam bumbung, dibawah tempat tidur dan sebagainja. Tabungan jang dilakukan demikian, selain mengandung unsur-unsur risiko pentjurian, kebakaran dan sebagainja jang sepenuhnja harus ditanggung oleh penabung sendiri, djuga tidak mempunjai fungsi sosial, oleh karena jang dapat menikmati tabungan itu hanja sipenabung sendiri. Tabungan masjarakat jang dilakukan melalui bank tabungan atau lembaga simpan-pindjam lainnja mempunjai fungsi sosial, oleh karena masjarakat luas dapat ikut mengetjap faedah dari adanja tabungan itu dengan kredit-kredit jang diberikan oleh bank tabungan tersebut.

Sifat dari tabungan pada bank adalah setiap waktu dapat diminta kembali oleh sipenabung. Berhubung dengan itu bank harus dapat mengatur penanaman uangnja pada bidang jang likwid, jaitu bentuk-bentuk penanaman jang dapat segera ditjairkan tanpa menimbulkan kerugian. Dalam praktek ada suatu bagian tertentu dari djumlah uang tabungan jang senantiasa tersimpan pada bank, artinja tidak ditarik oleh sipenabung. Berhubung dengan kenjataan tersebut bank tabungan mampu menanam uang tersebut dalam djangka pandjang.

Dari segi sumber keuangan dari suatu bank, dana-dana jang diperoleh dari tabungan masjarakat merupakan salah satu sumber keuangan jang diperoleh oleh bank dengan biaja (cost of money) jang rendah. Dari segi masjarakat, tabungan merupakan salah satu alat pembiajaan jang tidak inflatoir sifatnja dan merupakan suatu bidang jang idiil untuk mempraktekkan azas kegotong-rojongan dalam bidang keuangan. Pengumpulan dana dengan tabungan tidak ketjil artinja dalam membantu Negara dalam membiajai lapangan-lapangan pembangunan.

Oleh karena hal-hal tersebut diatas, jaitu tabungan adalah sumber keuangan dengan “cost of money” jang rendah dan dari segi masjarakat mengandung unsur jang idiil, maka bukan hanja bank tabungan sadja jang melakukan usaha penarikan tabungan dari masjarakat, tetapi djuga bank-bank umum dan lembaga-lembaga lain ikut berketjimpung dalam lapangan ini.

Tabungan lazimnja dilakukan oleh rakjat ketjil, pegawai, anak sekolah dan sebagainja dan bukan dilakukan oleh orang-orang kaja, radja-radja uang atau kapitalis-kapitalis. Dengan uang jang sedikit demi sedikit dikumpulkan, dipandang dari segi masjarakat dapat terkumpul dana jang tjukup besar untuk dapat dipakai sebagai sumbangan jang berharga bagi pembiajaan pembangunan.

Djustru karena tabungan merupakan uang-uang kepunjaan „rakjat ketjil” maka pemerintah mempunjai tanggung djawab moril jang lebih besar untuk melindungi kreditur-kreditur dari bank tabungan dan badan-badan lain jang menjelenggarakan usaha tabungan.

Hak dan kepentingan rakjat ketjil jang menabung itu harus dilindungi, djangan sampai uang-uang jang dipertjajakan kepada bank disalah-gunakan jang dapat merugikan para penabung-

Di Indonesia kita mengenal adanja 3 matjam badan jang menjelenggarakan tabungan jaitu:

  1. Bank tabungan, jang mempunjai sifat usaha penarikan tabungan dari umum;
    1. Badan tabungan jang lazimnja tidak menggunakan istilah „Bank” jaitu perkumpulan simpan pindjam dari anggauta dan untuk anggauta (mutual-savingbank);
    2. Koperasi simpan pindjam, jang usahanja mirip ad. 2 diatas, hanja bentuk hukumnja mendasarkan pada Undang-undang Koperasi.

    b. Perkembangan bank tabungan.

    Di Indonesia sekarang terdapat beberapa bank tabungan. Perkembangan daripadanja dapat dikatakan masih kurang pesat djika dibandingkan dengan bank-bank umum.

    Disamping Bank Tabungan Negara ada terdapat beberapa Bank Tabungan Swasta. Sebagaimana diketahui unsur swasta dalam negara kita tetap diikut sertakan didalam pembangunan negara. Swasta disamping unsur jang lain, tegak bahu-membahu dalam mendajungkan roda Revolusi kita. Karena itu sudah sepatutnjalah Bank Tabungan swasta harus mendapat perhatian dan bimbingan serta pengawasan dari Pemerintah.

    Dan oleh pemerintah, Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta telah ditundjuk untuk bersama-sama lembaga-lembaga negara jang lain guna mendjalankan tugas diatas.

    Bank Tabungan Swasta jang ada sekarang sebagian sudah didirikan sedjak sebelum perang dunia kedua dan sebagian lagi didirikan setelah perang dunia kedua.

    Bank Tabungan Swasta jang didirikan sebelum Perang Dunia Kedua ialah:

    1. Bank Tabungan Bandung
      (djh Spaarbank te Bandung)
    2. Bank Tabungan Makassar
      (d/h Spaarbank van Makassar)
    3. Bank Tabungan Minahasa
      (d/h Spaarbank Minahasa)
    4. Bank Tabungan Semarang
      (d/h De Spaarbank te Semarang)
    5. Bank Tabungan Sumatera Barat
      (djh Padangsche Spaarbank)
    6. Bank Tabungan untuk Umum atau Perserikatan „Maskapai Guna Kepentingan Umum” (djh Nuts Spaarbank Surabaja).
    7. Bank Simpan Pindjam ,,Atmo Setyo Utomo” di Bogor.
      1. Perkumpulan „Himpunan Saudara” di Bandung. Sedang Bank-bank Tabungan lainnja didirikan setelah Perang Dunia Kedua seperti:
      2. Bank Tabungan „Dana Mulia” di Solo
      3. Bank Tabungan „Manfaat” di Wedi — Klaten
      4. Bank Tabungan NISP di Bandung.
      5. Bank Tabungan Perintis di Bandung
      6. Perhimpunan Studiebank di Bandung
      7. Bank Tabungan Utama di Malang

      Bank-bank Tabungan Swasta diatas djuga mempunjai 6 buah kantor tjabang serta 65 kantor perwakilannja diseluruh Indonesia.

      4. Bank Desa.

      a.(1) Badan Kredit Desa (B.K.D.) jang didalam bentuknja dikenal sebagai Lumbung Desa dan Bank Desa, adalah suatu badan perkreditan milik desa.

      Untuk pertama kalinja Lumbung Desa didirikan pada tahun 1897. Semula badan perkreditan ini dimaksudkan oleh para pendirinja untuk dapat berbentuk Koperasi, tetapi ternjata didalam pertumbuhannja telah mendapatkan bentuknja tersendiri, baik dalam hal organisasi, administrasi maupun tata-kerdjanja.

      De Wolf van Westerrode sebagai pentjiptanja B.K.D. dengan penuh kejakinan ingin agar B.K.D. mentjontohi sistim Raiffeisen, suatu sistim dimana badan itu diselenggarakan oleh modal jang terdapat didesa itu sendiri.

      (2) Dasar hukum dari B.K.D. adalah organisasi desa untuk Djawa dan Madura, diluar daerah Kotapradja (I.G.O.). Dalam penjelenggaraannja telah keluar sebuah Ordonansi I.G.C.I. Stb. 1929 No. 357 jang merupakan Undang-undang Pokok bagi B.K.D. Oleh karena banjak ketentuan-ketentuan jang sudah tidak sesuai lagi dengan djiwa dan alam kemerdekaan, maka fihak pemerintah telah melakukan usaha-usaha untuk merubah dan memikirkan masalah B.K.D. ini setjara mendalam. Pemerintah berkejakinan bahwa usaha-usaha tersebut pasti dapat terlaksana dengan hasil jang memuaskan.

      (3) Mengingat adanja manfaat B.K.D. bagi masjarakat pada zaman jang sudah-sudah dan ternjata masih sukarnja membentuk badan-badan baru sebagai penggantinja, jang memenuhi tuntutan masjarakat sedang ber-revolusi menudju bentuknja Sosialisme Indonesia, maka diperlukan penindjauan dari segala segi, ja'ni segi-segi politik, ekonomi, sosial, juridis, dan sebagainja, dengan penelitian jang seksama, sehingga akan diperoleh pemetjahan jang setepat-tepatnja.

      b. Organisasi dan Tata-kerdja B.K.D.

      1. B.K.D. adalah badan perkreditan (perusahaan) milik desa, jang didirikan atas kemauan penduduk desa bersangkutan. Putusan pendiriannja memerlukan pengesahan oleh D.P.R.D. Dati II.
      2. Modal usaha berasal dari:
        1. memindjam Kas Desa,
        2. memindjam B.K.T.N., dengan pengesahan dari Kabupaten menurut ketentuan I.G.O.
        3. simpanan wadjib/sukarela dari setiap anggautanja.
      3. Pelaksanaan bekerdjanja.
        1. Administrasi.
          Pembukuan dikerdjakan oleh pegawai B.K.D.: mereka ini bukan pegawai desa, pegawai B.K.T.N., ataupun pegawai daerah otonoom.
          Kedudukan mereka sebagai pegawai perusahaan desa diatur dalam Stbl. 1929 — 357 dan putusan Gubernur, sedangkan gadji mereka dibajar oleh dana usaha B.K.D. jang dibentuk dari sumbangan masing-masing B.K.D. dalam Kabupaten. Administrasi diselenggarakan menurut tjara dan petundjuk-petundjuk jang diberikan oleh pengurus B.K.D.
        2. Pengurusan.
          Kebidjaksanaan pengurusan dan kredit diselenggarakan oleh pengurus jang disebut Komisi Bank jang terdiri dari sekurang-kurangnja 3 orang: kepala desa mendjabat Ketua ex-officio. Komisi B.K.D. tidak mendapat gadji tetap tetapi honorarium jang ditetapkan berdasarkan atas prosentase dari djumlah angsuran pindjaman dan bunga jang diterima tiap bulan dari para pemindjam.
        3. Pengawasan.
          Tugas pengawasan diserahkan kepada B.K.T.N. atau badan lain jang dibentuk oleh B.K.T.N. dengan diberikan penggantian ongkos jang dikeluarkan untuk pelaksanaan tugas itu.
      1. Susunan organisasi.
        B.K.D. dimasing-masing desa berdiri sendiri, sehingga setjara strukturil tidak mempunjai ikatan vertikal.
        Dalam hubungannja dengan Pemerintah setempat, B.K.D. tunduk kepada peraturan-peraturan Kepala Daerah Tingkat II.

      c. Persoalan-persoalan B.K.D.

      Karena adanja berbagai instansi jang ikut memegang wewenang dalam memberi pengaturan atas B.K.D., maka akibatnja sulit untuk mengikuti struktur dan organisasi B.K.D. Misalnja:

      1. penentuan batas maksimum pindjaman jang dapat diberikan kepada para anggota memerlukan pengesahan dari pengawas B.K.D.;
      2. pengangkatan dan pemberhentian pegawai B.K.D. dilakukan oleh Bupati atas usul pengawas B.K.D.;
      3. Biaja umum pengawasan ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri dan Otonomi daerah;
      4. bimbingan dan pengawasan diselenggarakan oleh B.K.T.N.;
      5. desa sebagai pemilik hampir tidak mempunjai wewenang apa-apa, selain hak mengadjukan usul;
      6. dalam B.K.D. ada unsur koperasi (mempunjai anggota), tetapi anggota tidak berhak atas sebagian dari keuntungan dan tidak bertanggung djawab atas kerugian B.K.D.

      d. Tindjauan Ekonomis.

      Strukturil, dalam masjarakat kita ada sematjam batas antara sektor jang sudah organized dengan sektor jang belum, jaitu sektor "unorganized”. Sektor unorganizel dapat dikatakan merupakan suatu sektor dimana satuan-satuan ekonomi berbentuk ketjil, bagaikan atom-atom, dalam berbagai ukuran dan bentuknja, jang tersebar diseluruh pelosok tanah air.

      Sebagian besar mereka itu belum tergabung ataupun terorganisir, maka oleh karena itu tidak mempunjai kekuatan melawan sektor jang lain, ja'ni sektor organized, jang terdiri dari perusahaan-perusahaan menengah dan besar, warisan djaman pendjadjahan.

      Jang mendjadi „linkage” antara kedua sektor tersebut adalah para pedagang perantara. Pedagang-pedagang ini dapat melakukan peranan tersebut disebabkan karena adanja “incentives”, jaitu adanja kenjataan bahwa sektor rural (unorganized) itu memerlukan “service”, dan masih belum berkembangnja keadaan infrastruktur. Keadaan pengangkutan, perhubungan, alat-alat komunikasi, fasilitas-fasilitas lembaga keuangan jang serba kurang itu merupakan suatu pendorong bagi para perantara untuk mengisi „link” tersebut.

      Sebagai hasil dari ketekunan dan keuletannja, mereka ini memegang kehidupan ekonomi didesa-desa.

      Sebab itu Pemerintah jakin bahwa lahirnja B.K.D. merupakan usaha jang baik sekali sebagai salah satu djalan untuk menghilangkan/mengurangi penguasaan para perantara atas kehidupan desa jang tidak djarang terasa sebagai tekanan-tekanan jang tak dapat dihindarkan oleh masjarakat setempat.

      e. Keadaam kwantitatif.

      1. Pada tahun 1940 di Djawa dan Madura terdapat 6.923 buah bank desa, dan 5.451 bank lumbung desa. Pada waktu tersebut di Indonesia baru terdapat 478 buah koperasi kredit, 53 buah koperasi desa, 19 buah koperasi lumbung, dan 468 buah pegadaian negara. Nampak B.K.D. memegang peranan dalam menjelenggarakan kredit untuk desa.
      2. Pada tahun 1952, B.K.D. mulai mengalami pemulihan dan mnedapatkan bantuan modal dari pemerintah. Pada waktu itu terdapat:
        koperasi kredit : 2.390
        desa : 2.683
        lumbung : 633
      3. Pada tahun 1961, terdapat perubahan-perubahan :
        bank desa : 4.321
        lumbung desa : 3.160

        sedangkan,

        koperasi kredit : 8573
        lumbung : 2.712
        desa : 14.843
        pegadaian negara : 443.
        Djadi ternjata bahwa peranan B.K.D. relatif mendjadi lebih ketjil.

      f. Keadaan kwalitif.

      1. melihat besarnja pemindjaman jang berupa uang dari B.K.D. maka besarnja rata-rata pemindjaman sedjak
          adanja pemulihan hingga sekarang ternjata bahwa kenaikannja sangatlah ketjil.
      1. besarnja maksimum kredit jang dapat diberikan walaupn naik, tetapi masih belum dapat mengikuti naiknja kebutuhan-kebutuhan jang harus ditutup oleh kredit ini, baik untuk modal usaha, maupun untuk konsumsi.
      2. lebih-lebih bila dibandingkan dengan angka-angka index harga-harga untuk 12 bahan makanan didaerah pedusunan, jang sedjak 1960 terdapat kenaikan, maka ternjata bahwa kredit dari B.K.D. masih perlu dikembangkan untuk mengimbangi rising demands dari masjarakat desa.
      3. sehubungan dengan angka (3) diatas diharapkan bahwa Koperasi Desa jang ada pada waktu sekarang bersama-sama B.K.D. dengan bimbingan jang lebih intensif dari pemerintah akan dapat men'ngkatkan usaha-usaha desa sebagai keseluruhan sesuai dengan irama dan gerak dinamikanja Revolusi pada dewasa ini.

      5. Bank Pasar.

      Sebagai hasil survey dari Team Interdepartemental jang telah dibentuk oleh Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta pada bulan Maret 1964 jang lalu, dapat dikumpulkan fakta-fakta sebagai berikut:

      1. Pada umumnja kegiatan usaha bank pasar ialah memberi bantuan keuangan berupa pindjaman untuk keperluan usaha dagang kepada pedagang-pedagang ketjil, biasanja jang berusaha didalam pasar. Melihat dari siapa pengusahanja, bank pasar ada 2 matjam:
        Jang diusahakan oleh Kotapradja dan
        Oleh Swasta.

        Dapat diduga bahwa pada bank pasar swasta motif mentjari „untung” lebih kuat.
        Sedangkan bank pasar Kotapradja biasanja kurang mampu dalam:

        penjelenggaraan
        permodalan
        bank teknis.
        Hal ini disebabkan karena sebagian besar kegiatan bank pasar Kotapradja dilakukan dengan „sambil lalu” oleh pegawai-pegawai jang terdiri dari mantri-mantri pasar.
      Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/98
      1. Usaha perkreditannja.
        Di Bali, pemberian kredit didasarkan atas sjarat-sjarat :
        penduduk jang dikenal oleh Pengurus Bank.
        mempunjai tempat berusaha jang tetap
        mempunjai penghasilan jang tjukup untuk melakukan angsuran
        mempunjai milik jang dapat dipergunakan sebagai djaminan.
        Maksimum pindjaman sebesar Rp. 5.000,—
        Bunga jang dipungut sekitar 250 sebulan.

        Di Surabaja, sjarat-sjarat sama, hanja tidak ada djaminan jang diminta oleh bank. Tapi untuk mengurangi risiko, maka dilakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:

        mewadjibkan debitur menjimpan 1075 dari pindjamannja,
        dan waktu melakukan angsuran debitur-debitur wadjib menjetor simpanan hari raja, jang apabila simpanannja lunas, simpanan wadjib hari raja akan berdjumlah 4”, atau 546 daripada pindjaman.
        penagihan dilakukan tiap hari oleh mantri-mantri pasar.
        Maksimum pindjaman Rp. 50.000,— setiap debitur.

        Di Sala dan Jogja, sjarat-sjarat pemberian kredit ialah:
        Tjalon debitur harus penduduk jang terang identifikasinja.

        mempunjai milik barang jang dapat digunakan sebagai djaminan, berupa perhiasan dan lain-lannja.

        Karenanja pindjaman-pindjaman jang diberikan ternjata bersifat konsumtif pula, dan dibeberapa tempat bersifat gadai, karena adanja kemungkinan pendjualan barang djaminan.

        Pindjaman maksimum sebesar Rp. 25.000,— kadang-kadang dilampaui dengan tjara memberikan beberapa buah pindjaman pada seorang debitur.
      2. Tingkat bunga/privisi jang dipungut oleh beberapa bank pasar.
      Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/100 6. Kesimpulan.

      Keadaan bank-bank umum swasta dan bank-bank tabungan swasta.

      Disamping terdapatnja hal-hal jang menggembirakan dilapangan perkembangan bank-bank umum swasta dan bank-bank tabungan swasta, maka berdasarkan hal-hal jang telah dikemukakan diatas keadaan bank-bank umum swasta serta bank-bank tabungan swasta pada dewasa ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

      Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1955 pengawasan atas bank-bank umum swasta dan bank tabungan swasta dilakukan oleh Bank Indonesia.

      Dalam melaksanakan tugas tersebut pengawasan atas bank-bank tersebut dilakukan setjara pasif jaitu dengan djalan memeriksa dan meneliti laporan-laporan jang masuk dan setjara aktif dengan djalan mengadakan pemeriksaan langsung terhadap bank-bank jang bersangkutan.

      Dari pemeriksaan jang telah dilakukan atas bank-bank tersebut sedjak tahun 1957 dapat dikemukakan:

      1. telah ditjabut izin untuk melakukan usaha bank umum dari sedjum!lah 19 buah bank,
      2. telah menghentikan usahanja atas permintaan sendiri sebanjak 2 bank:
      3. telah ditjabut izin untuk melakukan usaha bank tabungan dari sedjumlah 5 buah bank.


      Disamping itu masih ada diantara bank-bank umum swasta jang belum dapat memenuhi ketentuan-ketentuan jang ditetapkan dibidang moneter, chususnja jang bertalian dengan ketentuan-ketentuan mengenai cash-ratio dan kewadjiban memelihara suatu saldo pada Bank Indonesia.

      Selandjutnja terdapat pula bank-bank jang dari hasil pemeriksaan itu ternjata menundjukkan suatu perkembangan jang kurang sehat baik dilihat dari sudut organisasi administrasi maupun dilihat dari sudut kebidjaksanaan dibidang perkreditan. Dalam pada itu timbul gedjala-gedjala jang kurang sehat pada beberapa buah bank jang dapat menimbulkan berkurangnja kepertjajaan masjarakat terhadap perbankan, jang sebab-sebabnja adalah seperti berikut:
      1. Dibidang organisasi:
        tidak terdjaminnja kontinuitas pimpinan:
        pertikaian antara pengurus:
        penempatan orang-orang sebagai pengurus jang dalam prakteknja ternjata hanja namanja sadja jang disebut, sedangkan dalam kenjataan tugas tersebut dilakukan oleh orang-orang lain, bahkan ada kalanja oleh orang-orang diluar susunan pengurus bank jang bersangkutan,
        pemilikan dan/atau pengurusan dari pada bank diantaranja ada ditangan orang, dilihat dari segi extramural, tidak bertanggung-djawab, sehingga dalam gerak dan usaha bank kadang-kadang terlihat adanja gedjala-gedjala penjelewangan, pengatjauan dan subversif.
      2. Dibidang administrasi:
        tidak dapat menjelenggarakan administrasi jang dapat menggambarkan keadaan jang up to date mengenai usahanja:
        administrasinja hanja memenuhi funksi sebagai alat pentjatat belaka dan tidak dapat dipergunakan sebagai alat kontrole dan management.
      3. Dibidang kebidjaksanaan perkreditan:
        Pemberian kreditnja tidak sehat dalam arti:
        setjara bank teknis kurang dapat dipertanggung-djawabkan:
        diversitasnja kurang baik sehingga tidak terdapat penjebaran risiko jang sempurna,
        tidak memenuhi sjarat-sjarat mengenai tudjuan pemberian kredit sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah cg. Bank Indonesia.

      Keadaan bank-bank desa, pasar, pegawai.

      Untuk dapat menentukan kebidjaksanaan tentang Bank Pasar/Pegawai/Desa, jang dibentuk berdasarkan pasal 13 huruf e Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1955, maka telah dibentuk suatu team untuk melakukan survey mengenai kedudukan, kegiatan dan kebutuhan masjarakat akan lembaga-lembaga tersebut, team mana pada waktu ini telah selesai dengan tugas surveynja.

      Dalam laporannja antara lain telah dikemukakan data-data, pendapat-pendapat serta saran-saran jang dalam garis besarnja menjatakan bahwa:

      1. Usaha-usaha jang kini dilakukan oleh bank-bank pasar dan bank-bank desa ternjata bermanfaat bagi pedagang-pedagang/pengusaha-pengusaha ketjil serta masjarakat desa.
      2. Mengingat bahwa dalam prakteknja bank-bank pasar memberikan djuga djasa-djasanja kepada para pedagang/pengusaha-pengusaha ketjil jang bergerak diluar pasar bahkan djuga kepada pedagang-pedagang/pengusaha-pengusaha ketjil serta para petani ketjil didesa-desa, maka dianggap tidak perlu untuk mengadakan perbedaan antara bank pasar dan bank desa.
      3. Mengingat bahwa pedagang-pedagang/pengusaha-pengusaha ketjil jang menerima bantuan dari bank-bank tersebut pada umumnja terdiri atas penduduk asli, maka untuk mendjamin dimiliki dan diurusnja bank-bank jang bersangkutan oleh kalangan masjarakat itu sendiri, maka bentuk hukum dari badan-badan tersebut sebaiknja berupa M.A.I.
      4. Untuk mendjamin agar usaha bank-bank tersebut betul-betul ditudjukan untuk membantu para pedagang/pengusaha ketjil-ketjil itu dan bukan jang dapat merugikan lingkungan masjarakat jang bersangkutan, maka diperlukan adanja pengawasan jang teratur dari Bank Indonesia. Walaupun Bank Indonesia hingga kini sudah melakukan pengawasan terhadap beberapa buah bank desa dan bank pasar jang pendiriannja didasarkan kcpada beslit kwalifikasi jang dikeluarkan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 1955, namun peraturan tertentu jang memuat ketentuan-ketentuan umum mengenai pendirian, batas-batas usaha serta pengawasan atas bank-bank tersebut dan lain-lain, hingga kini belum dikeluarkan.
      5. Bank-bank jang dewasa ini telah berusaha dan bergerak dalam lapangan ini diwadjibkan agar segcra menjesuaikan diri dengan ketentuan-ketentuan jang akan ditetapkan oleh Bank Indonesia mengenai badan-badan tersebut.

      Hal-hal jang dikemukakan dalam laporan tersebut pada waktu ini sedang dibahas dan peraturan mengenai hal jang bersangkutan akan disusun dan dikeluarkan pada waktunja. Mengenai bank-bank pegawai, sedang diadakan penindjauan tersendiri mengenai kemungkinan dirubahnja status bank-bank tersebut mendjadi suatu Koperasi.

      Demikian pula mengenai Bank desa berdasarkan Staatsblad 1929 No. 357 dan sebagainja kini telah dibentuk suatu team survey jang terdiri dari wakil-wakil Departemen Dalam Negeri, Bank Koperasi Tani dan Nelajan dan Bank Indonesia jang bertugas untuk dalam waktu jang singkat menjelidiki dan menjarankan kedudukan dari bank-bank tersebut untuk selandjutnja.

      Modal Swasta.

      Pada masa pendjadjahan Belanda segala aktivitas perdagangan dan industri di Indonesia Jikuasai oleh modal swasta Belanda, jang didjalankan oleh perusahaan Belanda jang terkenal dengan nama the big five. Dan mereka ini mendapat backing financiering dari bank-bank Belanda (NHM, NHB, Escompto).

      Karena perusahaan Belanda mempunjai organisasi jang luas setjara vertikal dan horizontal, maka boleh dikatakan segala aktivitas perdagangan dan industri dikuasai oleh modal swasta Belanda.

      Tetapi lama-kelamaan keadaan mulai berobah terutama dalam bidang pengumpulan hasil-pasil kspor, mulai muntjul pedagang-pedagang bangsa Tionghoa, dan djuga sebagai pedagang perantara dalam bidang penjaluran kebutuhan masjarakat.

      Karena orang-orang Tionghoa organisasi kerdjanja terlepas dari perusahaan-perusahaan Belanda, tentu mereka mentjari backing financiering jang lain, dan da'am hal ini mereka meminta bantuan kepada pedagang-pedagang Singapura. Dengan demikian usaha mereka mendjadi makin besar schingga pada saat itu, mereka sudah sanggup mendjual sendiri barang-barang ekspor Indonesia dan mendapatkan barang-barang dari luar negeri melalui Singapura.

      Dengan demikian dalam pasar modal di Indonesia sudah terbentuk disatu fihak organized money market (NHB, NHM, Escompto, Javasche Bank), dan dilain fihak unorganized money market jaitu jang didalangi pedagang-pedagang Tionghoa Singapura.

      Perusahaan-perusahaan Tionghoa di Indonesia makin berkembang pesat sehingga pedagang-pedagang itu sudah dapat meng-akumulasikan modal jang tjukup besar, sehingga unorganized money market makin memegang peranan dalam pasar modal di Indonesia.

      Sedang modal swasta dari orang Indonesia hanja sedikit jang berkembang, ini terbukti dengan masih sedikitnja perusahaan-perusahaan nasional jang besar, seperti Dasaad Musim Concern, Rachman Tamin, Sidi Tando dan sebagainja. Pada zaman kemerdekaan, adanja struktur 2 matjam pasar modal jaitu, organized dan unorganized money market tersebut masih tetap ada dan berlangsung terus. Hanja ada perobahan dalam sektor organized money market dimana bank-bank swasta Belanda jang beroperasi di Indonesia semuanja dinasionalisir mendjadi bank-bank kepunjaan negara (jaitu BUNEG, BDN, BKTN), ditambah dengan BNI, bank jang didirikan oleh R.I. Jogja.

      Dan selandjutnja atas kebidjaksanaan Pemerintah, maka mulailah djuga diperkembangkan adanja bank-bank umum swasta. Dengan demikian dalam organized money market terdapat bank-bank kepunjaan negara dan bank-bank swasta.

      Meskipun organized money market dapat dikuasai oleh negara namun karena kenjataan modal-modal jang tergolong dalam unorganized money market itu besar, maka unorganized money market tetap memegang peranan penting dalam aktivitas perekonomian/perdagangan dinegara kita. Dan karena modal-modal dalam unorganized money market itu hanja mereka arahkan kepada usaha-usaha jang mudah, tjepat, dan besar keuntungannja, maka akibatnja volume dan perkembangan modal dalam unorganized money market itu djauh lebih tjepat dibandingkan dengan organized money market.

      Dengan demikian berarti makin sulitnja bagi negara untuk mengarahkan segala funds jang ada dalam masjarakat kearah usaha-usaha jang produktif sesuai dengan program-program Pemerintah dalam rangka peningkatan produksi dan pembangunan pada umumnja.

      Begitu pula pengusaha-pengusaha bangsa Indonesia jang makin hari makin mengembangkan usahanja dan kegiatan-kegiatannja oleh karena tidak mendapatkan fasilitas-fasilitas financiering jang mentjukupi dari organized money market, maka mau tidak mau mereka lari ke unorganized money market djuga, lebih-lebih bila diingat bahwa pengusaha-pengusaha pada umumnja banjak tertarik kepada usaha-usaha jang “guick yielding”.

      Dalam hubungannja dengan bank-bank swasta, sebagai lembaga jang legal dalam pasar modal dinegara kita, maka tidak dapat diingkari adanja kenjataan bahwa bank-bank ini oleh unorganized mciney market didjadikan alat penjaluran modal-modal tersebut.

      Achirnja sebagai kesimpulan dari uraian tersebut diatas dapat diutarakan disini, bahwa:

      91

      1. di Indonesia sekarang masih terdapat adanja organized dan unorganized money market,
      2. sebagian besar dari modal-modal swasta masih beroperasi dalam bidang usaha-usaha jang lukratif spekulatif sadja, pada saat ini organized money market perlu ditingkatkan kegiatan-kegiatannja untuk dapat menampung segala aktivitas dibidang ekonomi/perdagangan dinegara kita.

      III. PERKEMBANGAN USAHA-USAHA SERTA KEBIDJAKSANAAN-KEBIDJAKSANAAN

      Umum.

      Berdasarkan atas fakta-fakta dan data-data mengenai bank-bank dan modal swasta sebagaimana disadjikan dalam bab II diatas, maka kesemuannja itu merupakan challenge bagi Urusan Penertiban Bank Udan Modal Swasta untuk melakukan penertiban dan mengannbil langkah-langkah serta tindakan-tindakan sehingga potensi masjarakat jang berupa modal dan fasilitas perbankan swasta itu dapat dibimbing, diarahkan serta dimanfaatkan untuk mengabdi kepada tudjuan Revolusi.

      Dalam bab ini akan diuraikan mengenai pokok-pokok dan pelaksanaan-pelaksanaan daripada kebidjaksanaan tentang tugas penertiban dan pembinaan tersebut.

      Untuk melaksanakan tugas penertiban dan pembinaan bank-bank dan modal swasta, langkah-langkah dan aktivitas jang telah diambil dapat digolong-golongkan dalam pokok-pokok tersebut dibawah in!.

      Mengadakan sjarat-sjarat dan ketentuan-ketentuan baru bagi bank umum swasta.

      Untuk dapat lebih mendjamin kenasionalan, mengurangi usaha-usaha/kegiatan-kegiatan jang tidak sehat serta mendorong adanja penjebaran daripada kegiatan bank-bank swasta diseluruh wilajah Indonesia, maka diadakan sjarat-sjarat dan ketentuan-ketentuan jang tertjakup didalam peraturan-peraturan/masalah-masalah sebagai berikut:

      1. Peraturan Pemerintah 19 tahun 1964 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah 1 tahun 1955 mengenai Pengawasan Urusan Kredit.

      Pada pokoknja dalam Peraturan Pemerintah ini ditetapkan bagi perbankan swasta ketentuan-ketentuan baru jang berazaskan kegotong-rongan antara Pemerintah dan Rakjat, bertudjuan merealisir pelaksanaan Ekcmomi Terpimpin, dengan djalan membimbing dan menjalurkan potensi Rakjat tersebut baik untuk segera memanfaatkan semaksimal-maksimalnja perbankan swasta dalam usaha Pemerintah mensuksekskam politik ekonomi djangka pendek dan mengikut sertakannja dalam pembangunan semesta djangka pandjang, maupum untuk meletakkan landasan-landasan jang kuat dan sehat bagi perkembangan perbankan selandjutnja. Perihal ketentuan-ketentuan baru dalam P.P. 19/1964 beserta keterangan-keterangan pelaksanaannja dapat diikuti dalam uraian-uraian berikut tentang tiap-tiap masaalah jang bersangkutan.

      2. Masaalah modal.

      Untuk mendaputkan izin mendirikan bank, harus tersedia modal disetor penuh sekurang-kurangnja sebesar Rp. 25,— djuta.

      Dalam hal ini sudah dipertimbangkan oleh pemerintah bahwa djumlah modal ini setjara riil adalah minimal sekali, lebih-lebih bila diingat bahwa dengan modal tersebut masih harus disediakan untuk membiajai persiapan-persiapan fasilitas bank jang berupa gedung jang tjukup representatif dan memenuhi sjarat funksionil, peralatan kantor, transpor dan lain sebagainja.

      Dalam hubungan ini, untuk mendjaga supaja modal jang dipersjaratkan tersebut djangan sampai seluruhnja atau sebahagian besar dipergunakan untuk pembiajaan-pembiajaan fasilitas-fasilitas tersebut sehingga pada waktu bank mulai bekerdja tidak terdjamin tersedia modal kerdja jang mentjukupi, maka diambil kebidjaksanaan untuk menetapkan ketentuan bahwa sekurang-kurangnja sebanjak 60560 dari djumlah modal jang telah disetor penuh tersebut diatas, harus mutlak tersedia untuk modal kerdja bank.

      Selandjutnja ditentukan bahwa uang jang diperlukan untuk penjetoran tersebut tidak boleh berasal dari uang jang dipindjam dari bank jang bersangkutan sendiri.

      Penambahan modal dengan djalan menilai kembali lebih tinggi harta tetap atau harta bergerak dari bank ataupun dengan tjara-tjara lain tidak diperkenankan, ketjuali dengan tjara seperti terscbut dibawah ini.

      Apabila bank telah memupuk sedjumlah tjadangan bebas jakni tjadangan jang dipupuk dari keuntungan-keuntungan bank sebagaimana diatur dalam anggaran dasarnja, maka djumlah tjadangan bebas itu dapat dianggap sebagai tambahan modal termaksud diatas, dengan ketentuan bahwa djumlah tjadangan bebas jang dianggap sebagai tambahan modal tersebut harus dipindahkan kedalam rekening chusus „Tjadangan Modal”. Selandjutnja ditetapkan bahwa bank-bank diwadjibkan dalam waktu setahun setelah berlakunja Peraturan Pemerintah 19 tahun 1964 (2 Mei 1965) telah memenuhi penambahan modal sebagaimana termaksud diatas.

      Mengenai sjarat-sjarat dan ketentuan-ketentuan lainnja tentang modal dari tjabang-tjabang bank akan diuraikan dalam bab mengenai masaalah „Tjadangan Bank”, untuk lebih memudahkan sistimatiknja.

      3. Masalah kenasicmalan daripada pemilikan dan pengurusan bank.

      Pendirian bank umum swasta hanja dapat dilakukan oleh warga negara Indonesia atau badan-badan hukum jang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan jang saham-sahamnja dimiliki oleh warga negara Indonesia.

      Untuk mendjamin dimilikinja sjarat ini dan untuk memudahkan segi pengawasannja, maka selandjutnja ditentukan bahwa saham-saham jang dikeluarkan oleh bank hanja dapat dikeluarkan „atas nama”,

      Pemenuhan atas ketentuan-ketentuan tersebut diatas diwadjibkan untuk dalam waktu 6 bulan setelah berlakunja Peraturan Pemerintah 19/1964 sudah dilaksanakan.

      Setiap pemindah-tanganan saham-saham dan pengeluaran saham-saham baru hanja dapat dilakukan dengan sepengetahuan dan persetudjuan Pemerintah, c.g. Bank Indonesia.

      Mengenai pengurus dan pegawai ditentukan bahwa dalam djangka waktu 1 (satu) tahun setelah berlakunja Peraturan Pemerintah 19/1964 semua anggauta-anggauta Dewan Komisaris, anggauta-anggauta Direksi serta pegawai-pegawai bank umum swasta harus terdiri atas warga negara Indonesia.

      Pemenuhan atas ketentuan-ketentuan mengenai pemilikan dan pengurusan bank swasta tersebut diatas ketjuali dinilai setjara formil, djuga terutama dinilai setjara materiil, jang mana berarti bahwa baik nama-nama jang dikirimkan kepada Pemerintah maupun orang-orang jang memiliki dan mengurusi bank itu sungguh-sungguh warga negara Indonesia.

      Pengetjualian mengenai penggunaan tenaga asing tersebut diatas hanja diperkenankan apabila telah diperoleh izin tertulis dari Bank Indonesia, jakni dengan tjara mengadjukan permohonan tertulis berikut keterangan-keterangan mengenai alasan mengapa tenaga asing itu masih diperlukan, daftar riwajat hidup, dan bukti kartu Izin Masuk/Surat Keterangan kependudukan sementara.

      Selandjutnja ditentukan bahwa anggauta-anggauta Direksi bank harus terdiri atas orang-orang jang dapat mentjurahkan tenaga sepenuhnja pada bank dan tidak diperkenankan untuk merangkap tugasnja itu dengan tugas-tugas/djabatan-djabatan lain diluar bank.

      Mereka ini diharuskan bertempat tinggal ditempat kedudukan bank. Untuk mendjamin agar bank dapat berkembang setjara wadjar dam setjara efektif dapat melaksanakan fungsinja sebagai alat Revolusi, maka anggota Dewan Komisaris, anggauta Direksi serta pegawai bank tidak boleh terdiri atas orang-orang jang menurut penilaian Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta pernah, sedang dan/atau dianggap melakukan tindakan-tindakan/kegiatan-kegiatan jang tidak sesuai dengan program-program serta kebidjaksanaan-kebidjaksanaan Pemerintah, dan/atau pembinaan maupun pengurusan setjara sehat.

      Bila terdapat hal jang demikian maka atas perintah Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta bank jang bersangkutan diwadjibkan untuk memberhentikan anggauta pimpinan atau pegawainja itu.

      Sedang akibat jang timbul daripada memberhentikan tersebut (antara lain uang pesangon, kewadjiban memberikan pendjelasan-pendjelasan kepada Menteri Perburuhan, dan lain-lain) mendjadi beban bank jang bersangkutan.

      Perlu disebutkan disini, bahwa berhubung dengan adanja ketentuan-ketentuan persjaratan-persjaratan baru atas bank sebagaimana termaktub dalam Peraturan Pemerintah 19/1964 jaitu mengenai masaalah modal dan masaalah kenasionalan daripada pemilikan serta pengurusan bank, maka ditentukan pula dalam Peraturan Pemerintah tersebut izin-izin tetap untuk melakukan usaha bank umum jang telah diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah 1/1955, ditetapkan sebagai izin sementara jang mempunjai djangka waktu satu tahun terhitung mulai tanggal berlakunja Peraturan Pemerintah 19/1964.

      Kepada bank-bank jang dalam djangka waktu satu tahun tersebut telah dapat memenuhi ketentuan-ketentuan termaksud diatas, dapat diberikan izin tetap jang baru.

      Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta dapat memperpandjang djangka waktu izin sementara bank jang dalam waktu 1 tahun tersebut belum dapat memenuhi ketentuan-ketentuan jang dimaksudkan.

      4. Masaalah tjabang/perwakilan bank umum.

      Tjabang-tjabang bank umum jang telah ada maupun jang akan dibuka dipersjaratkan untuk memenuhi tambahan modal dibajarkan dan/atau tjadangan bebas sebesar Rp. 25 djuta untuk kota Djakarta, Rp. 15 djuta untuk kota-kota Semarang, Medan, Palembang dan Makassar, dan Rp. 5 djuta untuk kota-kota lainnja.

      30% dari djumlah tersebut harus ditanam menurut ketentuanketentuan jang ditetapkan. Selandjutnja dipersjaratkan bahwa kantor pusat bank jang bersangkutan harus telah memenuhi setjara teratur ketentuan-ketentuan dibidang moneter dan telah menundjukkan perkembangan jang sehat.

      Selandjutnja ditetapkan bahwa tjabang bank, dilihat dari sudut organisasi, pemilikan maupun pengurusannja, tidak boleh merupakan organisasi jang terpisah dari kantor pusatnja.

      5. Masaalah bank asing

      Dalam rangka penertiban perbankan, ketentuan-ketentuan pokok tentang bank asing dikeluarkan oleh Menko Keuangan dengan Surat Keputusannja tertanggal 18 Mei 1964, dengan ketentuan-ketentuan pelaksanaan oleh Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta/Menteri Urusan Bank Sentral.

      Dasar pemikiran jang diambil ialah bahwa kedudukan bank asing di Indonesia tidak dapat lagi disamakan dengan bank nasional swasta dan dengan demikian, maka terhadap bank asing di Indonesia diadakan pembatasan-pembatasan setjara tegas jang meliputi:

      1. izin untuk melakukan usaha bank umum hanja -diberikan untuk djangka waktu tertentu menurut kebutuhan jang dirasakan oleh Pemerintah dalam rangka kerdja sama ekonomi dan keuangan antara eee Indonesia dan negara jang bersangkutan;
      2. bank asing hanja diperbolehkan fnelaihkan stwuhiany ja di Djakarta;
      3. hanja diperbolehkan untuk melakukan sbiiraitey dengan memakai sumber keuangannja sendiri jang berasal dari transfer kantor pusatnja (minimum U.S. $ 300.000.—) dan tidak diperbolehkan menarik dana-dana dari masjarakat, baik berupa giro maupun deposito;
      1. Harus merupakan tjabang bank jang kantor pusatnja berkedudukan diluar wilajah Indonesia.

      Berdasarkan ketentuan sub. b diatas maka tjabang bank asing jang berkantor diluar kota Djakarta diwadjibkan menghentikan segala usaha dan kegiatannja dalam waktu 6 bulan setelah berlakunja Keputusan Menko Keuangan termaksud.

      Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta/Menteri Urusan Bank Sentral dapat menetapkan ketentuan-ketentuan lebih landjut mengenai bidang usaha jang boleh dilakukan oleh tjabang-tjabang bank asing, Djadi djelaslah bahwa bank asing di Indonesia sangat dibatasi keleluasaannja tentang strukturnja, lokasinja maupun operasinja.

      Selandjutnja perlu ditambahkan disini bahwa bank umum jang telah didirikan berdasarkan hukum Indonesia dikwalifisir sebagai bank asing sepandjang belum dapat memenuhi sjarat-sjarat tentang pemilikan saham dalam djangka waktu 6 bulan setelah berlakunja Peraturan Pemerintah No. 19/1964.

      Ini berarti bahwa bagi bank tersebut berlaku sepenuhnja ketentuan-ketentuan jang ditetapkan bagi bank asing.

      Perlu kiranja diketahui bahwa di Indonesia pada waktu ini satu-satunja bank jang dikwalifisir sebagai bank asing ialah Bank Perdana, suatu bank tjampuran Djepang-Indonesia baik dalam pemilikan maupun pengurusannja.

      Pada dewasa ini penentuan mengenai status daripada bank ini dalam penjesuaiannja dengan ketentuan-ketentuan P.P. 19/1964, Surat Keputusan Menko Keuangan tanggal 18 Mei 1964 beserta ketentuan-ketentuan pelaksanaannja sedang dalam taraf penjelesaian.

      6. Masaalah penebaran bank.

      Masalah penebaran bank merupakan hal jang mendapat perhatian chusus dari Pemerintah, mengingat adanja kenjataan di Indcmesia dewasa ini bahwa disatu fihak bank-bank bercongesti di kota-kota ”money pockets”, sedangkan dilain pihak masih sangat kurang adanja bank-bank dikota-kota/daerah-daerah lainnja jang djustru sangat membutuhkan pelajanan perbankan untuk perkembangan perekonomian daerah serta kemadjuan tingkat hidup penduduknja.

      Inilah terutama jang mendjadi dasar pertimbangan Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta mengapa ”money pockets” itu sementara waktu dinjatakan sebagai kota-kota tertutup untuk pendirian bank-bank baru (jaitu Djakarta, baja, Medan, Palembang, Bandung, Makassar, Semarang) dan tjabang-tjabang baru (kota-kota tersebut ketjuali Bandung). Sebaliknja, adalah mendjadi pemikiran pemerintah tjara untuk menarik perhatian masjarakat agar mendirikan bank-bank dikota-dikota ketjil serta daerah-daerah pedalaman.

      Kebidjaksanaan membajar setjara giral.

      Di Indonesia, sebagian terbesar uang kartal jang beredar berada dalam tangan masjarakat dan hanja sebagian ketjil sadja berada dalam simpanan bank-bank baik berupa rekening-rekening (call deposit) maupun berupa deposito berdjangka (time deposit).

      Keadaan ini mempunjai akibat-akibat serius sebagai berikut:

      1. Transaksi dalam masjarakat berdjalan untuk bagian terbesar dengan menggunakan uang kartal, dan keadaan ini tidak bisa diawasi oleh pemerintah karena tidak adanja rekening-rekening bank jang ikut mentjatat kegiatan masjarakat ini.
      2. Tiadanja pengawasan terhadap transaksi masjarakat dengan uang kartal ini mempunjai akibat jang negatif, jaitu antara lain:
        1. timbulnja berbagai spekulasi dan manipulasi, bahkan penipuan disana-sini,
        2. adanja gedjala bahwa achirnja uang kartal jang beredar dalam masjarakat itu akan terkumpul dalam tangan beberapa orang sadja, jang akan menggunakan untuk lebih menggendutkan kantongnja sendiri dengan kerugian bagi masjarakat, bahkan tidak disangsikan lagi adanja penggunaan uang itu untuk tudjuan subversif.

      Keadaan sematjam itu sudah barang tentu tidak dikehendaki baik oleh Pemerintah maupun oleh masjarakat sebagai keseluruhan.

      Hal ini hanja bisa diatasi dengan djalan mengubah kebiasaan masjarakat dalam membajar transaksi-transaksinja, jaitu dari uang kartal ke-giral. Sudah barang tentu transaksi-transaksi masjarakat dalam djumlah-djumlah jang ketjil seperti halnja dalam pasar-pasar dan tokok-toko, untuk sementara ini kebiasaan tersebut belum bisa diharapkan berlaku.

      Disamping andjuran terhadap masjarakat untuk melakukan pembajaran dengan giral, Pemerintah sendiri kedalam telah melakukan penertiban-penertiban dan mengambil keputusan-keputusan sebagai berikut:

      1. Keputusan Presiden No. 470 tahun 1961, jang menetapkan antara lain sebagai berikut:

        Memberi kuasa kepada Menteri Keuangan untuk berturut-turut mengambil tindakan-tindakan jang bertudjuan melaksanakan perubahan lalu-lintas pembajaran jang dewasa ini untuk bagian jang terbesar menggunakan uang kartal, mendjadi lalu-lintas giral.

      2. Keputusan Menteri Keuangan No. B.U.M. 18-143-9/II tanggal 27 Desember 1961, jang pada pokoknja berisi ketetapan jang mengharuskan agar semua badan/perusahaan-perusahaan Pemerintah dan/atau semi Pemerintah, sipil maupun militer agar mempunjai rekening pada bank-bank Pemerintah dan melakukan pembajaran dengan pemindah-bukuan.
        Didalam bidang tugasnja, Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta telah mengandjurkan kepada bank-bank swasta agar bersedia membantu usaha Pemerintah ini dengan djalan agar sedjauh mungkin pembajaran antara nasabah-nasabah bank-bank jang bersangkutan dilakukan dengan giral.

      Undang-undang tentang larangar penarikan Tjek Kosong.

      Dengan pesatnja kemadjuan perekonomian Indonesia maka dalam masjarakat kita chususnja dikalangan pedagang/pengusaha-pengusaha telah berkembang kebiasaan mempergunakan tjara pembajaran dengan tjek. Betapa pentingnja tjara pembajaran dengan tjek tersebut kita ketahui semua dari hasrat Pemerintah agar di Indonesia didirikan bank-bank sebanjak-banjaknja guna antara lain melajani tjara pembajaran tersebut dengan sebaik-baiknja.

      Dalam pada itu dapat diketahui bahwa bersamaan dengan kemadjuan tersebut, timbul praktek-praktek negatif dalam masjarakat jang pada garis besarnja berkisar pada penggunaan tjek untuk maksud-maksud manipulasi, ialah dengan djalan menarik tjek kosong. Dalam hubungan ini perlu didjelaskan hal-hal sebagai berikut.

      Mengingat bahwa Kitab Undang-undang Hukum Dagang hanja mewadjibkan seseorang jang menarik tjek untuk menjediakan dana jang tjukup pada bank atas nama tjek ditarik pada hari tjek itu diadjukan kepada bank guna pembajarannja, maka orang merasa tidak perlu untuk menjediakan dana jang diperlukan itu sebelum tjek tersebut diadjukan kepada bank jang bersangkutan guna diminta pembajarannja.

      Mengingat adanja selisih waktu jang tjukup antara saat tjek itu ditarik dan saat tjek itu diadjukan pada bank guna diminta pembajarannja, dalam waktu mana tjek itu dapat dipindah dari tangan ketangan sebagai alat pembajaran, maka timbullah nafsu orang-orang jang tidak bertanggung djawab untuk mempergunakan kesempatan itu guna tudjuan-tudjuan manipulasi.

      Dengan demikian, dalam rangka pengamanan usaha-usaha mentjapai tudjuan Revolusi pada umumnja, perlu sekali diadakan perubahan atas ketentuan-ketentuan mengenai masaalah tjek dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang jang notabene sebagai Kitab Undang-undang warisan djaman pendjadjahan semata-mata bagi kita sekarang hanja merupakan kitab hukum jang berfunksi sebagai pedoman sadja.

      Maka setjara konkritnja demi tertjapainja stabilisasi/perbaikan-perbaikan dalam bidang moneter serta untuk mentjegah hilangnja kepertjajaan masjarakat terhadap lalu-lintas pembajaran dengan tjek dan perbankan pada umumnja, sudah selajaknja Pemerintah memandang perlu segera memberikan ketentuan-ketentuan baru mengenai masalah ini, jaitu berupa Undang-undang No. 17 tahun 1964 tentang larangan penarikan tjek kosong (26 September 1964), lazim disingkat Undang-undang Tjek Kosong.

      Adapun pokok-pokok ketentuannja ialah:

      1. Penarik tjek harus menjediakan dana jang tjukup pada bank atas mana tjek itu ditarik semendjak saat penarikan tjek itu.
      2. Pelanggaran atas ketentuan tersebut diatas (penarikan tjek kosong) dipidana dengan pidana mati, seumur hidup atau pendjara sementara maksimum 20 tahun dan denda maksimum empat kali djumlah jang ditulis dalam tjek tersebut.
      3. Disamping orang jang melakukan penarikan tjek kosong, djuga badan hukum, perseroan, perserikatan orang atau Jajasan jang olehnja/atas namanja tiek kosong itu ditarik, harus bertanggung djawab atas tuntutan-pidana dan pidana baik sendiri-sendiri maupun kedua-duanja.
      1. Penarikan tjek kosong dinjatakan sebagai kedjahatan/tindak pidana ekonomi.

      Dalam rangka pelaksanaan Undang-undang Tjek Kosong ini Pemerintah, setjara terkoordinir dengan sebaik-baiknja antara berbagai instansi-instansi jang bersangkutan, telah menetapkan peraturan-peraturan pelaksanaan sedemikian rupa hingga memungkinkan dilaksanakannja ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang tersebut setjara konsekwen, akan tetapi djuga tanpa melupakan segi-segi jang perlu diperhatikan dalam memperkembangkan usaha perbankan dan moneter pada umumnja.

      Dengan berpedoman pada hal-hal tersebut diatas, maka tertjantum ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut:

      1. Untuk kepentingan pembuktian dalam pemeriksaan penarikan tjek kosong, maka setiap tjek kosong iang diadjukan kepada bank, harus ditahan oleh bank untuk diteruskan kepada Bank Indonesia.
      2. Apabila seorang pemegang rekening dikenakan pidana berdasarkan Undang-undang No. 17/1964, maka namanja akan ditsantumkan dalam suatu black-list dan tidak diperkenankan lagi mengadakan hubungan rekening koran dengan bank-bank di Indonesia.
        Ia baru dapat mengadjukan permohcman untuk dapat mendialankan pidana jang bersangkutan dan kewadjiban membajarnja pada pemegang tjek telah dilaksanakannja dengan baik.
      3. Apabila pemegang rekening jang menarik tjek kosong t'dak atau belum dikenakan hukuman pidana berdasarkan Undang-undang No. 17/1964. maka ia masih dapat melandjutkan hubungan rekeningnja dengan baik, apabila ia dalam waktu 4 (empat) hari kerdja setelah tanggal menolakan atas tjeknja itu dapat menjetorkan pada bank djumlah kekurangan saldonja itu.
        Bertalian dengan penarikan tjek kosong itu ia akan menerima surat peringatan dari bank jang bersangkutan. Kesempatan demikian itu hanja dapat diberikan dua kali kepadanja, sehingga apabila setelah 2 X menerima surat peringatan termaksud ia menarik lagi tjek kosong untuk ketiga kalinja, maka tanpa memperhatikan apakah ia dikenakan hukuman pidana atau tidak, bank harus segera mengachiri hubungan rekening koran dengan nasabah jang
      bersangkutan dan memasukkan nama nasabah tersebut kedalam black-list.

      Apabila pemegang rekening jang bersangkutan tetap tidak dikenakan pidana setelah hubungan rekening korannja dengan bank diputuskan, maka ia baru dapat mengadjukan permohonan untuk mendapat rehabilitasi, setelah lewat masa 6 bulan terhitung mulai tanggal hubungan rekeningnja diputuskan oleh bank.

      Dari ketentuan-ketentuan pokok tersebut diatas djelas terlihat adanja usaha-usaha untuk membedakan antara mereka jang memang sudah ternjata bersalah sengadja menarik tjek kosong dan mereka jang belum dinjatakan bersalah. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengertian kepada para langganan bank jang baik bahwa tidak ada alagan untuk merasa chawatir bahwa Undang-undang No. 11/1964 akan membawa kesukaran bagi mereka, selama mereka itu memang bukan spekulan jang melakukan penarikan tjek-tjek kosong dengan sengadja.

      Dengan demikian dapatlah diharapkan bahwa Undang-undang No. 17/1964 akan menambah kepertjajaan masjarakat terhadap lembaga perbankan pada umumnja dan tjek pada chususnja, sehingga usaha-usaha perbankan akan dapat berkembang dengan sebaik-baiknja menudju kepada kestabilan moneter jang kita harapkan.

      Tjukup menggembirakan bahwa sebagai hasil positif daripada usaha penerbitan manipulasi tjek kosong tersebut, ja'ni adanja Undang-undang No. 17/1964 beserta peraturan-peraturan pelaksanaannja, maka djumlah penarikan tjek kosong mulai berkurang. Diharapkan bahwa untus selandjutnja volumenjapun akan menurun pula.

      Sehubungan dengan tindakan-tindakan Pemerintah terhadap tjek kosong, dan dalam rangka memperteguh kepertjajaar masjarakat terhadap lembaga tjek dan usaha perbankan pada umumnja, Pemerintah telah pula menetapkan ketentuan-ketentuan mengenai praktek dalam masjarakat jang berupa penarikan tjek jang Gberi tanggal lebih kemudian daripada tanggal penarikannja (post-dated chegue). Dengan berbentuk keputusan Presidium Kabinet R.I. tertanggal 2 Oktober 1964, ditetapkan bahwa “post-dated chegue” tidak mempunjai arti lain daripada sebuah tjek pada umumnja bagi bank atas mana tjek ditarik, dan dengan demikian tjek tersebut dapat diadjukan kepada bank tersebut setiap saat tanpa memperhatikan bahwa tanggal jang tertjantum didalamnja beium djatuh tempo. Ini berarti bahwa sebuah tjek jang post-dated, apabila diadjukan kepada bank atas mana tjek ditarik dan ditolak karena untuknja tidak tersedia dana jang tjukup, dianggap sebagai tjek kosong.

      Intensifikasi pengawasan dan pembimbingar bank-bank swasta.

      Tidak perlu disebutkan disini betapa pentingnja segi pengawasan dan kontrole terhadap bank-bank terutama bank umum, atas ketaatannja didalam memenuhi ketentuan-ketentuan jang telah ditetapkan Pemerintah dalam rangka penertiban bank.

      Pengawasei dan pembimbingan bank setjara pasif maupun setjara aktif selalu diintensifir sehingga perkembangan perbankan jang lebih sehat dapat terlaksana dengan tjepat.

      Pengawasan pasif berupa ketentuan-ketentuan kepada bank-bank swasta untuk menjampaikan laporan-laporan kepada Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta perihal perkembangan dan djalannja kegiatan bank, baik periodik maupun insidentil.

      Pengawasan aktif jalah pengawasan setjara langsung atas bank jang dilakukan oleh para pemeriksa bank.

      Dalam hubungan ini perlu ditjatat bahwa Bank Indonesia, untuk dapat menampung luasnja pekerdjaan-pekerdjaan dalam rangka perkembangan Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta telah mengadakan penjempurnaan organisasinja termasuk perluasan djumlah serta pen'ngkatan mutu keahlian daripada pemeriksa-pemeriksa bank.

      Adapun tindakan-tindakan untuk intensifikasi pengawasan dan pembimbingan bank-bank jang telah dan sedang dilakukar ialah antara lain:

      1. Pengawasan jang teliti dilakukan atas Kemilikan dan pengurusan bank pada umumnja termasuk hal ini ialah: pentjegahan atas dimilikinja bank oleh beberapa gelintir orang, dan dipenuhinja faktor kenasionalan pemegang saham, pengurus dan pegawai (lihat sub. 3 diatas) dan penjebaran bank-bank.
      2. Telah diinstruksikan kepada setiap bank-bank umum swasta untuk ikut daiam clearing, sehingga dapat lebih terdjamin lantjarnja lalu-lintas giral. Perlu pula ditjatat bahwa dengan
          adanja kewadjiban clearing ini, maka penarikan-penarikan tjek kosong dapat diketahui dengan lebih tjepat.
      1. Disamping keharusan menjampaikan laporan tahunan, triwulan, bulanan, dan laporan-laporan likwiditas tiap 2 (dua: minggu, maka bank-bank diwadjibkan menjampaikan laporan neratja hariannja kepada Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta sekali seminggu.
      2. Didalam rangka melaksanakan Intruksi Presiden No. 01 tahun 1964 tentang mreobah kebiasaan membajar setjara kartal mendjadi kebiasaan membajar setjara giral, maka telah dikeluarkan andjuran kepada bank-bank swasta untuk membatasi dikeluarkannja uang-uarg kertas bank setjara besar-besaran jang dapat berakibat buruk kepada stabilisasi/perbaikan keadaan moneter dan harga-harga pada umumnja.
      3. Untuk memperbaiki bidang administrasi daripada bank dan mentjegah hal-hal jang tidak diinginkan, maka telah dikeluarkan Instruksi: supaja uang jang dengan alasan apapun dititipkan pada bank ditata-usahakan dan adanja titipan itu dinjatakan dalam neratja harian bank, cq. daftar harian bank mengenai perobaham-perobahan jang terdjadi dalam hak-hak dan kewadjiban-kewadjiban ialah aktiva dan passiva bank termasuk djaminan-djaminan dan garansi-garansi dalam bentuk apapun.
      4. Untuk mempertebal rasa kenasiontlan serta untuk membimbing dipakainja kesatuan bahasa dan maknanja, maka kepada bank-bank telah diinstruksikan pula agar menjelenggarakan penata-usahanja beserta korespondensinja dengan nasabah-nasabah didalam negeri dengan mempergunakan tulisan dan banasa Indonesia.

      Perlu ditambahkan keterangan disini bahwa bentuk umum daripada tindakan-tindakan jang dilakukan terhadap bank-bank jang kurang sehat adalah:

      1. Memberikan nasehat-nasehat dan petundjuk-petundjuk mengenai perbaikan-perbaikan daripada kekurangan-kekurangan jang terlihat dalam segi-segi: organisasi, administrasi, likwidasi, perkreditan dan pemenuhan terhadap peraturan-peraturan jang berlaku.
      2. Memberi teguran-teguran apabila nasehat-nasehat dau petundjuk jang telah diberikan ternjata tidak dilaksanakan.
      1. Membantu menjelesaikan suatu pertikaian antara anggauta pengurus bank apabila ternjata bahwa pertikaian itu akan mengakibatkan kerugian-kerugian fihak ketiga dan mengurangi kepertjajaan masjarakat terhadap bank-bank.
      2. Menjarankan kepada bank-bank untuk merobah sifat usahanja sesuai dengan kemampuan dan keadaannja — misalnja kepada bank umum disarankan agar mendjadi „bank pasar”, apabila jang bersangkutan ternjata tidak mampu memenuhi sjarat bagi bank umum atau bank tabungan.
      3. Menempatkan seoremg/sebuah team Pengawas untuk sementara waktu dengan tugas untuk setjara aktif melakukan pengawasan atas sesuatu bank jang menundjukkan gedjala-gedjala kurang sehat, terutama adanja kekusutan serta kemungkinan manipulasi dalam bank tersebut.
      4. Mempertimbangkan penutupar/pentjabutan izin usaha bank jang bersangkutan apabila ternjata bahwa bank tersebut tidak dapat diharapkan lagi untuk memenuhi sjarat-sjarat jang ditetapkan dan/atau berkembang dengan wadjar dan sehat.
      5. Selain tindakan-tindakan jang dapat diambil sebagaimana tersebut diatas, djuga ada kemungkinan tindakan berupa mengumumkan nasehat kepada sesuatu bank didalam Berita-Negara, setelah bank jang bersangkutan diberi kesempatan untuk didengar pendapatnja. Tindakan sematjam ini dapat dilakukan bilamana sesuatu nasehat jang telah diberikan kepada bank tidak dituruti dalam waktu jang telah ditetapkan, ataupun tidak diterima suatu djawaban jang memuaskan.
        Perlu didjelaskan disini, bahwa tindakan sematjam ini sampai sekarang tidak pernak diambil, oleh karena akan menimbulkan keberatan-keberataen dari segi praktis-teleologis, jaitu akan sangat merugikan reputasi bank jang bersangkutan dimata masjarakat, sehingga pada hakekatnja berarti tidak memberi kesempatan lagi kepada bank untuk terus hidup: dan dengan demikian tudjuan pemerintah untuk memberikan didikan/bimbingau kepada bank tidak terpenuhi.

      Musjawarah Bank-bank Nasional Swasta dan O.P.S.-PERBANAS.

      Dalam rangka pelaksanaan tugasnja dibidang penertiban dan pembimbingan bank-bank dan modal swasta dalam arti jang seluas-luasnja, Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta mengambil langkah-langkah untuk terselenggaranja suatu Musjawarah jang meliputi seluruh perbankan swasta untuk efektif mengikut sertakan segala potensi bank-bank nasional swasta, baik modal maupun pengalaman, pikiran dan lain sebagainja dalam usaha realisasi program Pemerintah, dan pelaksanaan pembangunan nasional.

      Musjawarah jang mendapat dukungan setjara bulat oleh seluruh perbankan nasional swasta di Indonesia ini, diadakan pada bulan Maret 1964 dan bertudjuan untuk:

      1. Merumuskan kedudukan bank swasta sesuai dengan Ketetapan M.P.R.S. dan Deklarasi Ekonomi dalam rangka Pembangunan Semesta Berentjana;
      2. Memikirkan dan merumuskan pembinaan perbankan swasta untuk berkembang setjara schat berlandaskan politik Pemerintah tentang perbankan;
      3. Memberikan usul dan saran-saran kepada Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta mengenai persoalan-persoalan jang berhubungan dengan bidang ekonomi dan moneter pada umumnja dan bidang perbankan pada chususnja.

      Dengan penuh perhatian para peserta Musjawarah jang mewakili 82 bank-bank nasional swasta itu telah mendengarkan prasaran-prasaran dari Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, Menko Keuangan Sumarno S.H., Menteri Funds & Forces Notohamiprodjo, Menteri Urusan Bank Sentral Jusuf Muda Dalam, Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta Dr Soeharto, dan wakil PERBANA Goemoeljo Wreksoatmodjo S.H.

      Setelah diadakan pemandangan umum, usul-usul, saran-saran serta pertukaran fikiran jang mendalam dari para peserta, jang didjiwai oleh azas gotong-rojong dan hikmah kebidjaksanaan permusjawaratan itu dengan mufakat bulat telah menghasilkan beberapa keputusan-keputusan, pernjataan-pernjataan dan resolusi-resolusi.

      Hasil-hasil Musjawarah jang akan mendjadi landasan bagi sikap dan gerak perbankan nasional swasta di Indonesia tersebut mentjakupi pokok-pokok:

      1. Menjadari sebagai salah satu soko-guru perdjuangan kemerdekaan ekonomi;
      1. Menjadari sebagai alat pelengkap bank-bank Pemerintah, jang sifatnja lengkap-melengkapi satu sama lain,
      2. Menginsjafi sebagai salah satu alat penggerak jang dinamis dari seluruh keriatan swasta;
      3. Menjetudjui adanja sebuah organisasi perusahaan sedjenis jang meliputi seluruh perbankan nasional swasta;
      4. Mendesak Pemerintah supaja menetapkan suatu politik perbankan jang akan mendjadi landasan kerdja bagi perbankan nasional swasta;
      5. Memutuskan tentang hal-hal pokok dalam bidang-bidang perbankan, produksi (industri dan agraris), distribusi (impor dan ekspor, transpor), pengendalian harga dan tarip, penjempurnaan aparatur distribusi, dan lain-lain.
      6. Bertekad-bulat berdiri dibelakang Pemerintah untuk terus berkonfrontasi dengan „Malaysia”;
      7. Dalam melaksanakan pengganjangan Malaysia, bekerdjasama dengan Pemerintah dan Rakjat untuk berusaha keras dan konsekwen membasmi segala gerakan subversif ekonomi/keuangan, baik jang sedang beroperasi dikalangan perbankan nasional swasta erususnja, maupun dikalangan masjarakat pada umumnja;
      8. Mendukung penuh terbentuknja BAMUNAS oleh P.J.M. Presiden/Pemimpin Besar Revolusi, jang merupakan lembaga pelengkap bagi Negara, dimana wakil-wakil pengusaha nasional swasta dapat berhimpun diri untuk mendharma baktikan dana, daja dan tenaganja Ki penjelesaian Revolusi Indonesia.
      9. Menetapkan Pantja Etika bagi semua pengusaha bank nasional swasta sebagai pegangan idiil untuk melaksanakan tugas kewadjiban sehari-hari, baik tugas-tugas perusahaan, maupun tugas-tugas Revolusi. Sebagai pelaksanaan salah satu hasil daripada Musjawarah tersebut jang penting sekali artinja ialah, terbentuknja Organisasi Perusahaan Sedjenis Perbankan Nasional Swasta disingkat OPS-PER-BANAS dengan Keputusan Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta tanggal 2 Mei 1964.
      Sedjalan dengan maksud tudjuannja, maka organisasi ini dalam perkembangannja selama kurang lebih 1 tahun ini telah/sedang mengadakan usaha-usaha antara lain:
      1. Menjelenggarakan kerdjasama dan koordinasi jang baik antara bank-bank nasional swasta dan antara bank-bank nasional swasta dengan bank-bank Pemerintah.
      2. Mengadakan research serta merumuskan dan menjusun konsepsi-konsepsi dalam bidang ekonomi dan keuangan sebagai bahan pertimbangan Pemerintah.
      3. Memberikan naskah-naskah, penerangan, seminar-seminar, tjeramah-tjeramah, madjalah.
      4. Mengadakan pendidikan ahli-ahli perbankan.

      Chusus mengenai hal tersebut terachir ini dapat dikemukakan disini bahwa OPS-Perbanas telah menjelenggarakan Kursus Ketatalaksanaan Perbankan di Djakarta mulai Desember 1964 untuk selama 3 bulan, dan diikuti kurang lebih 50 peserta bertingkat Direksi, Komisaris, dan Staf dari berbagai bank. Pada bulan April 1965 telah dibuka angkatan kedua, kursus upgrading ini. Untuk menjambut dan melaksanakan Gerakan Kebaktian Revolusi (Gekerev), seluruh bank-bank swasta melalui OPS telah dapat menjerahkan sumbangan sebesar Rp. 53,2 djuta jakni 50% dari seluruh djumlah pemberian kredit dalam tahun 1963.

      Dengan adanja Peraturan Presiuen No. 2 tahun 1955 tentang Peraturan Pokok OPS, maka OPS-Perbanas setjara organisatoris dan administratif ada dibawah Menteri/Ketua Umum BAMUNAS, sedang taktis dan operatif tetap dibawah Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta.

      Dengan demikian ketentuan tersebut dimaksudkan untuk lebih mendjamin adanja sinkronisasi kebidjaksanaan-kebidjaksanaan Pemerintah dan koordinasi perusahaan-perusahaan swasta dalam rangka pengerahan funds and forces swasta disegala bidang usaha.

      Bank Tabungan.

      Seperti telah diterangkan diatas, tugas utama daripada Bank Tabungan adalah disatu fihak mengumpulkan funds dari masjarakat dan dilam fihak menjalurkan funds itu kembali kepada projek-projek jang produktif.

      Mengingat pentingnja funksi Bank Tabungan diatas, maka dipandang perlu oleh Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta untuk mengatur kembali Bank-bank Tabungan Swasta jang sebelumnja hanja diatur oleh Peraturan Pemerintah 1/1955. Guna lebih mempergiat aktivitas Bank Tabungan Swasta dan guna lebih disesuaikan dengan kezdaan sekarang oleh Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta telah dikeluarkan peraturan menetapkan persjaratan-persjaratan baru bagi sebuah Bank Tabungan Swasta jang beroperasi dinegara kita, dengan Surat Keputusannja No. 35/64/KEP/MUPBMS.

      Dalam surat keputusan itu telah ditetapkan sjarat-sjarat jaitu:

      Pertama-tama mengenai permodalan. Modal ditetapkan paling sedikit Rp. 10.000.000,—. Hal ini mengingat bahwa suatu Bank Tabungan Swasta untuk dapat beroperasi harus mempurjai modal jang tjukup untuk dapat memenuhi biaja-biaja administrasi, penerangan-penerangan jang kesemuanja ditudjukan untuk menanamkan kepertjajaan para penabung kepada Bank Tabungan jang bersangkutan.

      Disamping itu dalam surat keputusan tersebut djuga ditetapkan bahwa semua pendiri, pemegang saham, anggota Dewan Komisaris, Dewan Direksi dan pegawai-pegawai harus warga negara Indonesia.

      Ini penting artinja bagi maksud untuk memobilisasi semua funds and forces negara kita, dan sesuai dengan gagasan kita untuk berdiri diatas kaki sendiri.

      Djuga ditetapkan bahwa jang dapat mendjadi anggota Direksi dan Dewan Komisaris haruslah urang jang menurut penilaian Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta tidak pernah, sedang dan/atau dianggap melakukan tindakan-tindakan/kegiatan-kegiatan jang tidak sesuai dengan kebidjaksanaan dan program pemerintah dan/atau pembinaan/pengurusan bank setjara sehat.

      Hal ini penting karena dikehendaki agar Bank Tabungan Swasta benar-benar dipimpin dan didjalankan oleh tenaga-tenaga jang benar-benar mempunjai loyalitas jang tjukup tinggi terhadap negara.

      Dengan demikian agar dapat diharapkan perkembangan jang lebih madju, dan betul-betul bermanfaat bagi bangsa dan negare dari Bank Tabungan Swasta.

      Para pendiri dari Bank Tabungan Swasta harus mengadjukan alasan-alasan jang dapat diterima Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta tentang niaksud mereka untuk mendirikan suatu Bank Tabungan Swasta. Dengan demikian akan benar-benar dapat diteliti apakah Bank Tabungan Swasta jang akan didirikan benar-benar dibutuhkan pada tempatnja, djangan sampai hanja mendjadi alat bagi beberapa oknum jang tidak bertanggung djawab guna kepentingan sendiri sadja.

      Dan kepada Bank-bank Tabungan Swasta jang telah ada sebelum adanja Surat Keputusan oleh Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swastapun, diwadjibkan untuk menjesuaikan diri dengan persjaratan-persjaratan baru diatas. Hal ini telah ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta No. 36/64/KEP/MUPBMS.

      Dengan segala kebidjaksanaan diatas, dan kebidjaksanaan lain jang akan menjusul, kiranja dapat diharapkan perkembangan Bank Tabungan Swasta jang lebih madju dan sehat serta berguna bagi masjarakat dan negara.

      Untuk masa selandjutnja dalam waktu singkat perlu diadakan gagasan/pemikiran jang mendalam mengenai:

      1. tingkat bunga jang diberikan kepada para penabung ditetapkan sedemikian rupa hingga menarik dan merangsang penabung, lebih-lebih pada masa inflasi seperti sekarang ini. Salah satu tjara untuk memberikan incentive ialah memberikan prosentase tertentu dari kermtungan bank kepada para penabung setiap tahun;
      2. ditetapkan prosentase tertentu dari penanaman uang tabungan jang telah dapat dihimpun oleh Bank Tabungan Swasta agar funds tersebut bemar-benar dapat disalurkan kebidang jang sesuai dengan program dan kebidjaksanaan moneter/pembangunan dari pemerintah.


      Bank Pasar, Bank Desa, Bank Pegawai, dan lain-lain.

      Pemberian izin usaha bank pasar lazim disebut: beslit kwalifikasi diberikan oleh Menteri Keuangan atas pertimbangan dari Bank Indonesia.

      Kemudian pada achir tahun 1963 berhubung adanja perkembangan-perkembangan dalam masjarakat, dipandang perlu oleh Pemerintah untuk sementara tidak mempertimbangkan permohonan-permohonan pendirian bank-bank pasar baru, sampaiadanja pengaturen-pengaturan lebih landjut.

      Pada dewasa ini Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta dengan bekerdja-sama dengan instemsi-instansi/fihak-fihak jang bersangkutan harus mengadakan penggagasan/ pembitjaraan-pembitjaraan jang mendalam untuk mentjapai terbentuknja satu perundang-undangan pokok tentang lembaga-lembaga moneter, jang langsung melajani kebutuhan rakjat ketjil, termasuk bank pasar, bank desa, bank-bank pegawai dan lain-lain.

      1. Modal Swasta.

      Dalam rangka menertibkan gerak dan mengarahkan modal swasta kepada kepentingan-kepentingan untuk pembangunan umumnja dan peningkatan produksi chususnja, maka Pemerintah pada dasarnja tetap menertibkan bank-bank swasta demikian sehingga dapat tjukup merupakan fasilitas-fasilitas moneter sehat untuk penjaluran modal-modal swasta kepada djurusan pembangunan jang seimbang antara sektor pertanian dan sektor industri, untuk kemudian membawa posisi negara kita dari agrarisch-industrieel kearah industrieel-agrarisch.

      Dalam hubungan ini perbankan swasta turut membina adanja pertumbuhan jang seimbang antara kedua sektor tadi, sehingga peningkatan produksi kedua belah pihak dapat menguntungkan satu sama lain, oleh karena kedua sektor tadi satu sama lain dapat memberi hasil produksinja, dikarenakan pada masing-masing Sektor terdapat daja beli „rieel” jang tjukup.

      Dengan demikian maka diharapkan arus barang akan mulai mengimbangi tekanan inflasi dan akan terselenggara kondisi-kondisi untuk mendapatkan pasaran dalam negeri jang kuat jang dapat mengurangi tekanan-tekanan pengusaha-pengusaha luar negeri dibidanz perekonomian.

      Dalam hubungan ini Menteri Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta antara lain sedang mengarahkan tudjuannja kepada bidang ekspor dalam rangka „export-drive”, serta kepada projek-projek pangan (delta-project dan project penggilingan padi).

      Dengan penjelenggaraan projek-projek tersebut diharapkan terdapatnja kondisi-kondisi untuk membuka lapangan berusaha untuk modal-modal swasta. Dengan tudjuan usaha sebagaimana diuraikan diatas itu, maka dengan hasil peningkatan ekspor diharapkan menaribah devisa untuk permodalan alat-alat kepabrikan, dan dengan projek-projek delta dan penggilingan padi diharapkan disatu fihak areal produksi pangan akan tambah, sedangkan dilain fihak penggilingan padi jang menduduki tempat jang vital antara produsen dan konsumen dapat didjamin kelangsungannja (kontinuitasnja), hal mana akan mempengaruhi adanja perscaiaan beras jang tjukup dipasaran, sehingga setjara tidak langsung dapat mengimbangi harga beras chususnja dan harga-harga pangan lainnja pada umumnja. Dalam hubungan ini untuk pelaksanaannja perlu ada tindakan-tindakan mengenai soal sebagai berikut:

      1. penjusunan rentjana investasi sektor swasta sebagai pelengkap pembantu sektor pemerintah, jang didasarkan atas prioritas jang lebih terarah lagi untuk menjusun Program Ekonomi Perdjoangan.
      2. penjusunan rentjana untuk penjaluran kredit setjara lebih terpimpin lagi dalam rangka menjusun Program Ekonomi Perdjoangan.

      Mengenai hal pertama, misalnja bank-bank swasta dapat lebih banjak lagi memperhatikan projek-projek pertanian dan industri ketjil.

      Mengenai. hal kedua, misalnja bank-bank swasta memgambil inisiatif untuk menarik atau mengumpulkan modal jang tjukup besar, dan kemudian dalam bentuk suatu „consortium”, membiajai bersama-sama dengan Pemerintah, pembelian padi semasa panen jang dihadapinja melalui „accunmulatie centra” dimana terdapat penggilingan-penggilingan padi.

      Untuk melaksanakannja perlu ada pengawasan physik jang aktif (physical control) dan perbankan swasta harus dapat menilai apakah projek jang akan dilaksanakan oleh seorang „Client” itu, betul-betul akan meningkatkan produksi sesuai rentjana investasi pembangunan dan peningkatan produksi.

      „Physical control” jang aktif memang dalam hal ini perlu sekali, oleh karena disamping permintaan kredit untuk sesuatu projek-peningkatan produksi jang sesuai dengan rentjana investasi itu, masih ada kemungkinan bahwa „client” tersebut menggunakan atau meloloskan modal reserve jang ada padanja untuk investasi jang menjeleweng, hal ini tentu harus ditjegah.

      Dengan demikiau diharapkan bahwa investasi projek-projek jang betul-betul bermanfaat untuk pembangunan dan peningkatan produksi dalim rangka Program Ekonomi Perdjoangan, berangsur-angsur dapat dilaksanakan, sehingga achirnja permodalan swasta setjara njata turut membantu merealisasikan dasar-prinsip „berdiri diatas kaki sendiri”.

      IV. PENUTUP.

      Sebagai keseluruhan daripada semua uraian mengenai Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta tersebut dimuka, dapatlah kiranja ditarik suatu kesimpulan umum sebagai berikut:

      1. Adanja dan hak hidup daripada bank-bank dan modal swasta oleh Pemerintah telah diakui dengan djelas dan tegas. Pengakuan sematjam ini adalah mutlak perlu untuk menghilangkan keragu-raguan dan mendjamin kelangsungan hidup bank dan modal swasta dibumi Indonesia.
      2. Pengakuan Pemerintah atas adanja dan hak hidup daripada bank-bank dan modal swasta tidaklah banjak artinja bagi Revolusi Indonesia apabila bank-bank dan modal swasta itu tidak bergerak dan berkembang seirama dengan derap dan langkah Revolusi itu sendiri.
        Oleh karena itu sebagai konsekwensinja, Pemerintah cg. Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta berhak dan berkewadjiban penuh untuk memberikan bimbingan setjara aktif agar bank dan modal swasta benar-benar memberikan sumbangan jang riil dan konstruktif terhadap Revolusi.
        Hak hidup mereka dibumi Indonesia tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan beberapa gelintir manusia sadja. Sebagai salah satu soko-guru Revolusi bank-bank dan modal swasta harus benar-benar dapat mewudjudkan sumbangannja jang dapat dinikmati oleh seluruh rakjat Indonesia.
      3. Dalam pembinaan bank-bank swasta Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta telah menggunakan OPS-PERBANAS sebagai media jang sangat efektif. Kontak jang kontinu dan hubungan jang dinamis dan konstruktif antara Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta dengan OPS-PERBANAS sebagaimana sekarang telah dilakukan, akan terus dikembangkan dalam bentuk kerdja-sama jang lebih erat, hingga diperoleh suasana saling bantu dan saling pengertian antara Pemerintah dan swasta dalam rangka mempertumbuhkan social control dan social participation.
      4. Berkenaan dengan meningkatnja kebutuhan masjarakat didaerah-daerah, Pemerintah cg. Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta telah mengandjurkan kepada bank-bank swasta agar menjebarkan usaha-usaha mereka kedaerah-daerah.
      Andjuran ini mengingat bahwa disamping kota-kota besar dimana bank-bank swasta beroperasi, didaerah-daerahpun kebutuhan akan adanja bank-bank itu sangat terasa, karena:
      1. djumlah dana-dana jang potensiil ada terbenam didaerah-daerah tjukup besar akan tetapi sulit untuk diaktifir kearah usaha-usaha produktif, bila tidak melalui bank;
      2. tersebarnja usaha-usaha pembangunan membutuhkan tersebarnja fasilitas perbankan; sebaliknja tersebarnja fasilitas perbankan akan memperbesar kemungkinan tersebarnja usaha-usaha pembangunan. Djadi djelas bahwa antara penjebaran usaha perbankan dan penjebaran usaha pembangunan terdapat suatu djalinan erat satu sama lain,
      3. last but not least, andjuran penjebaran usaha perbankan ini adalah seirama dengan usaha dan andjuran Pemerintah agar masjarakat mendjadi bank-minded dan giro-minded.
      1. Manipulasi dan spekulasi dalam berbagai bentuk dan manifestasinja jang sering terdjadi dalam kalangan perbankan swasta, adalah suatu hal jang mutlak harus diberantas.
        Pemerintah tidak akan segan-segan untuk mendjatuhkan hukuman terberat terhadap para spekulator dan manipulator ini.
        Pemerintah sangat mengharapkan pengertian dan bantuan jang sebesar-besarnja dari masjarakat atas usaha pengikisan sampai keakar-akarnja terhadap usaha-usaha/oknum-oknum jang sangat merugikan itu.
      2. Disamping bank-bank sebagai wadah daripada orgaznized — money market, maka tak dapat disangkal pula adanja unorganized money market, jang djumlahnja tjukup besar dalam masjarakat. Ini dapat dibuktikan dengan adanja kenjataan, bahwa di Indonesia djumlah uang jang beredar dalam masjarakat djauh lebih besar daripada jang berada dalam simpanan bank-bank.
        Keadaan sematjam ini tidak boleh dibiarkan terus. Sebab unorganized money market inilah salah satu sumber dan alat untuk mendjalankan spekulasi dan manipulasi.
        Untuk merubah unorganized mendjadi organized, jaitu kedalam simpanan bank-bank, maka harus diusahakan agar masjarakat betul-betul mendjadi bank-minded. Bank mindedness masjarakat akan banjak tergantung kepada:
      1. kemampuan
      2. kemauan
      3. kelantjaran
      4. besarnja fasilitas-fasilitas jang diberikan oleh bank terhadap masjarakat.

      Disinilah tantangan jang harus dihadapi dan segera harus didjawab oleh bank-bank swasta. Untuk ini bank-bank swasta harus berani mengadakan koreksi dan introspeksi, baik organisatoris maupun mental, agar pengakuan dan kepertjajaan jang diberikan oleh masjarakat dan Pemerintah kepada mereka tidak akan tersia-sia. Dalam hal ini Pemerintah cg. Urusan Penertiban Bank dan Modal Swasta akan memberikan bimbingan dan bantuannja semaksimum mungkin.

      1. Achirulkalam, kita semua berkejakinan bahwa hari depan bank dan modal swasta adalah hari depan jang terang. Bilamana disana sini masih tampak awan hitam menutupi langit, maka ha! ini djustru merupakan tantangan bagi kita semua, baik Pemerintah maupun masjarakat pada umumnja, serta kalangan perbankan dan modal swasta pada chususnja untuk melaksanakan amanat Presiden/Pemimpin Besar Revolusi guna merealisir politik banting stir, sehingga dalam tempo jang setjepat-tjepatnja dan dengan kebidjaksanaan jang setepat-tepatnja seluruh potensi swasta jang tidak ketjil itu dapat memenuhi funksinja sebagai suatu kekuatan progresif revolusioner jang sepenuhnja berdharma bakti kepada Revolusi menudju tertjapainja Masjarakat Sosialis Indonesia jang adil dan makmur.
      Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/131 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/132 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/133 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/134 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/135 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/136 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/137 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/138 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/139 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/140 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/141





      DEPARTEMEN PERBURUHAN

      I. MASALAH PERBURUHAN DIMASA PENDJADJAHAN.

      Indonesia dengan kekajaan alamnja jang berlimpah-limpah, pada masa pendjadjahan merupakan sumber penghasilan penting bagi Negeri Belanda dan negeri-negeri penanam modal lainnja. Karena keuntungan-keuntungan luar biasa jang diperolehnja dari usaha-usaha pendjadjahan itu Negeri Belanda berhasil membangun industrinja dalam abad ke 19 dan abad ke 20. Pada waktu itu Negeri Belanda berhasil mendjadi salah satu negeri dagang dan pengekspor modal terpenting didunia.

      Bagi Negeri Belanda dan negeri-negeri kolonialis-kapitalis lainnja Indonesia mempunjai peranan sebagai berikut :

      1. Indonesia sebagai tempat penanaman modal
        Kapitalisme jang dalam perkembangannja dari kapitalisme industri telah meningkat mendjadi monopoli ”finanz kapital” menguasai sumber-sumber kekajaan alam, jaitu perkebunan, pertambangan, dan lain-lain untuk dipergunakan sebagai tempat penanaman modal mereka. Dengan bantuan pemerintah kolonial, golongan feodal dan tuan-tuan tanah mengeruk keuntungan sebesar-besarnja dari usaha-usaha mereka di Indonesia. Kekedjaman kerdja-paksa dan „poenale sanctie” misalnja menimbulkan reaksi hebat tidak sadja di Indonesia, tetapi djuga diseluruh dunia.
      2. Indonesia sebagai sumber bahan-bahan mentah.
        Indonesia merupakan sumber penting keperluan bahan-bahan pertambangan. Industri di Negeri Belamda banjak tergantung pada bahan-bahan jang dihasilkan Indonesia seperti rempah-rempah, karet, kopra, tjoklat, teh, gula, kopi kelapa sawit, timah, boksit, dan sebagainja. Untuk mempe2rtahankan agar bahan-bahan mentah tersebut diperolehnja dengan harga jang rendah maka pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan-peraturan jang membantu usaha-usaha itu.

        Dalam perundang-undangan perburuhan kolonial dikenal periodisasi sebagai berikut :
        1816 1880 Slaverijwetgeving (perundang-undangan perbudakan).
        Dalam periode ini termasuk pula masa „cultuurstelsel” dengan kerdja-paksanja.
        1880 1940 Koelieordonnantie (peraturan kuli dan kerdjapaksa).
      131
        Dalam masa-masa tersebut kaum buruh diharuskan kerdja keras dengan upah jang sangat rendah tanpa mendapat perlindungan jang berarti.
      1. Indonesia sebagai pasaran barang negeri-negeri kapitalis.
        Dengan penduduknja jang berdjumlah 60 djuta orang, Indonesia merupakan pasaran penting bagi hasil-hasil industri negeri-negeri kapitalis, terutama Belanda. Tidak kurang dari 3556 dari hasil-hasil produksi industri tekstil Belanda diekspor ke Indonesia, disamping makanan-makanan kaleng, mesin-mesin, dan sebagainja. Untuk melindungi hasil-hasil industri itu, maka industri di Indonesia sendiri dihalang-halangi kemadjuannja agar supaja djangan sampsi menjaingi Negeri Belanda. Dihembuskan kepada orang-orang Indonesia rasa kurang pertjaja pada diri sendiri untuk dapat berusaha membangun industri sendiri dengan daja dan kemampuan sendiri.
      2. Indonesia sebagai pasaran tenaga kolonial.
        Untuk menegakkan dan mempertahankan kekuasaannja di Indonesia, pemerintah dan kekuatan kolonialis-kapitalis memerlukan tenaga-tenaga pimpinan dan tenaga-tenaga ahli jang terlatih. Untuk keperluan itu didatangkan tenaga-tenaga dari Negeri Belanda dan tenaga-tenaga asing lainnja. Anak negeri sendiri kurang mendapat kepertjajaan untuk mendjabat pekerdjaan-pekerdjaan penting. Dengan demikian Indonesia mendjadi pasar tenaga kerdja bagi orang-orang Belanda dan orang-orang asing lainnja. Menurut statistik tahun 1940, 19,9 persen dari pegawai pemerintah terdiri atas orang-orang Belanda. 92,7 persen dari pimpinan diduduki oleh tenaga-tenaga Belanda dan dari mereka itu hanja 0,7 persen jang bekerdja sebagai pegawai rendahan. Keadaan diperusahaan-perusahaan memberi gambaran jang serupa. Pada waktu itu sering terdengar pendapat dikalangan pemerintah kolonial bahwa orang Indonesia „tidak atau belum tjakap memerintah sendiri dan mendjalankan pekerdjaan-pekerdjaan teknis tertentu”. Sebaliknja segala usaha pendidikan baik jang bertudjuan untuk meningkatkan taraf pengetahuan maupun untuk meningkatkan taraf keahlian dan kedjuruan teknis sengadja diperlambat dengan peraturan-peraturan diskriminatif. Misalnja, sesuatu matjam pendidikan dinjatakan hanja untuk orang Belanda atau mereka jang disamakan dengan itu atau untuk orang-orang keturunan feodal, atau untuk orang-orang jang tinggi badannja sama dengan ukuran tinggi orang Belanda, dan sebagainja.
          1. Indonesia sebagai pasaran tenaga kerdja murah.
            Peraturan-peraturan dibidang agraria jang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial memungkinkan tuan-tuan tanah untuk makin berkuasa jang menjebabkan bertambahnja buruh-buruh tani. Mereka ini karena kurang pekerdjaan lalu mendjadi barisan tenaga setengah penganggur dan sumber tenaga kerdja murah bagi perusahaan-perusahaan dan industri kolonialis-kapitalis. Beratus-ratus ribu dari „tenaga kelebihan” dibidang pertanian itu banjak diangkut sebagai „Kuli kontrak” murah kedaerah-daerah lain di Indonesia bahkan djuga keluar negeri (Suriname dan New Caledonia).

          Dimasa pendjadjahan Belanda masalah perburuhan bertjorak sebagai ekses-ekses daripada eksploitasi (sistim kolonialis-kapitalis) atas manusia jang bekerdja di Indonesia.

          Penderitaan tenaga kerdja Indonesia jang telah berlangsung berabad-abad lamanja itu diperbesar dengan masa pendudukan Djepang dimana beratus-ratus ribu orang laki-laki Indonesia dikota-kota dan desa-desa dikerahkan dan diangkut ketempat-tempat didalam dan diluar wilajah Indonesia untuk dikerdja-paksakan pada tempat-tempat pertahanan Djepang.

          Pemerintah pendudukan Djepang tidak menetapkan peraturan-peraturan perlindungan bagi pekerdja-pekerdja jang dikerahkannja .Upah ditetapkan dengan tjara sewenang-wenang. Peraturan djaminan ketjelakaan ditetapkan dengan djaminan-djaminan jang lebih rendah daripada jang telah ditetapkan dalam Peraturan Ketjelakaan 1939 dari Pemerintah Hindia Belanda. Peraturan-peraturan pendudukan militer Djepang jang berlaku pada waktu itu tidak memberi kemungkinan kepada Rakjat Indonesia untuk mengadjukan tuntutan-tuntutan perbaikan. Sampai sekarang belum dapat dilupakan seluruhnja penderitaan romusha-romusha (tengkorak hidup) dengan tjelana karung jang pada waktu itu tampak berkeliaran dimana-mana dan jang merupakan pemandangan sehari-hari jang „biasa”. Beratus-ratus ribu meninggal ditempat-tempat pekerdjaan mereka didalam wilajah Indonesia dan bagian besar lainnja diluar Indonesia, di Birma, sebagai orang-orang jang tidak dikenal. Hanja bagian ketjil dari „romusha” tersebut berhasil kembali kekampung-halamannja ,setelah bertahun-tahun lamanja mengalami penderitaan diluar batas perikemanusiaan. Dalam keadaan demikian itu rakjat hanja mempunjai satu angan-angan, jaitu datangnja keadilan.

          II. PERIODE REVOLUSI PHYSIK (1945 — 1950).

          Setelah Indonesia diproklamasikan sebagai suatu negara jang merdeka dan berdaulat penuh, maka Pemerintah Republik Indonesia jang baru lahir itu dihadapkan pada masalah perburuhan sebagai berikut :

          1. Rakjat pada umumnja dan tenaga kerdja chususnja masih mengalami banjak penderitaan sebagai warisan dari masa pendjadjahan jang berlangsung selama tiga setengah abad dan masa pendudukan militer Djepang selama tiga setengah tahun.
          2. Banjaknja perusahaan nasional dan asing jang rusak dan terbengkalai selama pendudukan Djepang.
          3. Sangat kurangnja tenaga-tenaga ahli perburuhan, tenaga-tenaga pengusaha serta tenaga-tenaga kerdja jang terlatih.
          4. Situasi perdjoangan physik jang makin lama makin memuntjak, terpisahnja bagian-bagian tanah-air satu dengan lain karena pendudukan Belanda serta blokade total jang dilakukan oleh Belanda terhadap daerah-daerah de fakto Republik Indonesia.
          5. Tidak adanja perundang-undangan dan peraturan-peraturan perburuhan jang sesuai dengan djiwa Undang-undang Dasar 1945.
          6. Belum terbentuknja serikat-serikat buruh.

          Setelah Proklamasi Kemerdekaan ditjetuskan, pemuda, buruh dan rakjat seluruhnja berlomba-lomba dibawah pimpinan Pemerintah menegakkan kekuasaan Negara Indonesia jang baru lahir itu. Serentak direbutnja kekuasaan djawaban-djawaban, kantor-kantor dan perusahaan-perusahaan dari tangan Djepang. Arus revolusi pada saat itu mengalir terus bagaikan air bah, menggelora.

          Soal-soal perburuhan diurus oleh Bagian Perburuhan pada Kementerian Sosial jang mula-mula berkedudukan di Djakarta dan kemudian pada tanggal 10 Djanuari 1946 dipindahkan ke Jogjakarta.

          Setelah ternjata bahwa masalah perburuhan makin lama makin luas bidangnja maka urusan perburuhan pada atnggal 1 Djuli 1947 dipusatkan pada satu Djawatan Perburuhan jang berdiri sendiri dan terdiri atas:

          1. Bagian Perburuhan Umum dengan kantor-kantor perwakilan didaerah-daerah keresidenan,
          2. Kantor Pengawasan Perburuhan dengan tjabangnja ditiap propinsi,
          3. Kantor Pengawasan Keselamatan Kerdja dengan tjabangnja di Tjirebon.

          Pada tanggal 3 Djuli 1947 dengan terbentuknja Kabinet Amir Sjarifuddin terbentuklah Kementerian Perburuhan jang pertama dengan Nj. S. K. Trimurty sebagai Menteri Perburuhan jang pertama dan Mr. Wilopo sebagai Menteri Muda Perburuhan.

          Pemerintah pada waktu itu menerangkan bahwa politik sosial ditudjukan kepada :

          1. Penghidupan jang lajak bagi rakjat umumnja dan kaum tani serta buruh tani chususnja.
          2. Penjusunan hukum sosial dan hukum perburuhan jang mengandung peraturan antara lain tentang upah minimum, waktu bekerdja, waktu istirahat (liburan), bantuan dalam ketjelakaan, bantuan buat hari kemudian, perburuhan kanak-kanak, perburuhan wanita, perdjandjian kerdja dan penempatan tenaga.

          Selandjutnja diterangkan pula banwa politik perburuhan itu akan menempatkan kaum buruh pada tempat jang sewadjarnja dan pengakuan bahwa kaum buruh adalah merupakan golongan manusia jang mempunjai kebutuhan jang bersifat djasmani dan rohani. Untuk melaksanakan politik perburuhan itu jang harus disesuaikan dengan dasar-dasar demokrasi diperlukan 3 sjarat pokok, jaitu:

          1. Aparat Pemerintah jang sesuai dengan tugasnja.
          2. Peraturan-peraturan jang progresif.
          3. Organisasi jang sempurna.

          Tugas penting Kementerian Perburuhan dalam masa Revolusi Physik jalah membantu terbentuknja serikat-serikat buruh jang aktif berdjoang mempertahankan Negara Republik Indonesia. Revolusi total mempertahankan negara dilakukan bersama-sama Angkatan Perang dan pemuda diseluruh Indonesia. Suasana perdjoangan itu memberi tjorak tertentu pada tjorak dan perkembangan masalan perburuhan pada waktu itu. Soal-soal perbaikan sjarat-sjarat kerdja, dan perselisihan perburuhan merupakan soal sekunder dan tidak mendjadi pusat perhatian kaum huruh. Pemogokan Delanggu jang terdjadi dalam tahun 1948 lebih banjak discbabkan karena perbedaan faham siasat perdjoangan daripada bersifat perbaikan sjarat-sjarat kerdja.

          Disamping aktivitas jang ditudjukan pada perkembangan gerakan buruh itu, maka Kantor Pengawasan Perburuhan terus berusaha mengadakan inspeksi pada perusahaan-perusahaan untuk mengawasi pelaksanaan norma-norma perburuhan (labour standards) berdasarkan atas peraturan-peraturan jang berlaku. Demikian pula Kantor Pengawasan Kesclamatan Kerdja tetap mengadakan pemcriksaan pada mesin-mesin (ketel-ketel dan sebagainja) diperusahaan-perusahaan jang masih dapat berdjalan, segala sesuatu untuk menghindarkan timbulnja ketjelakaan-ketjelakaan karena alat-alat produksi pada waktu itu telah tua, lagi pula kurang terpelihara. Karena adanja blokade oleh pihak Belanda maka tidak ada alat-alat produksi baru jang dapat masux kedalam daerah de fakto Republik Indonesia.

          Oleh karena soal-soal teknis perburuhan masih merupakan soal baru, baik bagi instansi-instansi Pemerintah maupun bagi kaum buruh, maka tugas penting lainnja dari Kementerian Perburuhan adalah menanam pengertian perburuhan dalam masjarakat Indonesia.

          Pada achir tahun 1947 Kementcrian Perburuhan melaporkan bahwa berhubung dengan:
          1. Suasana perang.
          2. Kementerian Perburuhan baru dibentuk mulai tanggal 8 Djuli 1947.
          3. Kekurangan tenaga ahli dan jang berpengalaman dan ditambah pula dengan
          4. Kekurangan alat-alat dan sebagainja, maka penjelenggaraan tugas kewadjiban kewadjiban kementerian masih dalam tingkat permulaan dan memerlukan banjak sckali perbaikan.

          Walaupun dalam keadaan serba sukar namun periode Revolusi Physik 1945—1950 telah berhasil meletakkan dasar-dasar baru jang progresif bagi pemetjahan masalah perburuhan di Indonesia, jang terbukti dengan ditjiptakannja Undang-undang Ketjelakaan tahun 1947 No. 33, Undang-undang Kerdja tahun 1948 No. 12 dan Undang-undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948 No. 23. Undang-undang ini disusun berdasarkan atas prinsip-prinsip baru jang lebih modern dan lebih sesuai dengan alam kemerdekaan, dan djauh berbeda dengan peraturan-peraturan perburuhan warisan zaman pendjadjahan. Selandjutnja mengenai politik perburuhan dirumuskan:

          1. Buruh adalah tenaga manusia dalam lapangan produksi, peserta produksi dengan kedudukan jang sama dengan kaum pengusaha, karena itu harus diberi hak suara (medezeggingschap) sebagai peserta produksi (bedrijfs-genoten).
          2. Buruh harus mendapat perlindungan dalam arti djasmani dan rochani, agar dapat mengembangkan daja gunanja.
          3. Buruh tidak boleh diperas tenaganja.
          4. Buruh harus mendapat penghidupan jang lajak.
          5. Hak-hak demokrasi kaum buruh didjamin dengan mendjalankan politik membimbing dan menuntun gerakan buruh.
          6. Penggunaan tenaga kerdja jang sebaik-baiknja, dengan distribusi tenaga kerdja jang sebaik-baiknja.

          Dalam bidang organisasi dan administrasi Kementerian Perburuhan mengalami perobahan-perobahan jang disesuaikan dengan djalannja revolusi. Dalam bulan Pebruari 1948 dalam Kabinet Presidentil, Kementerian Perburuhan dan Kementerian Sosial digabungkan mendjadi Kementerian Perburuhan dan Sosial. Setelah Negara Indonesia Serikat terbentuk, maka dalam Kabinet Republik Indonesia jang berpusat di Jogjakarta, Kementerian Perburuhan tetap diadakan.

          Mula-mula Republik Indonesia jang berpusat di Jogja wewenangnja hanja meliputi „Daerah Renville”, akan tetapi arus Revolusi Indonesia mendorong negara-negara bagian Republik Indonesia Serikat untuk menggabungkan diri pada Republik Indonesia, sehingga achirnja tamatlah hak hidup R.I.S. Dengan terbentuknja Negara Kesatuan Republik Indonesia berachirlah periode Revolusi Physik dalam perdjoangan Rakjat Indonesia.

          III. PERIODE SURVIVAL (1950-1955).

          Setelah Revolusi Physik selesai, maka dengan terbentuknja Negara Kesatuan Republik Indonesia jang diakui oleh dunia, negara kita dihadapkan pada masalah-masalah baru disegala bidang, termasuk bidang Perburuhan, antara lain:

          1. Adanja pengangguran dimana-mana karena:
            1. beribu-ribu pegawai negeri dan anggota-anggota badan perdjoangan belum dapat dipekerdjakan kembali.
            2. perusahaan-perusahaan besar ketjil belum dapat segera dibuka kembali.
          2. Mulai dikembalikannja perusahaan-perusahaan asing kepada pemiliknja; buruh Indonesia jang selama Revolusi Physik hanja berhadapan dengan pengusaha Indonesia kini mulai berhadapan dengan pengusaha/kapitalis asing.

          Beberapa faktor mempengaruhi perekonomian kita pada waktu itu, antaranja akibat-akibat Perang Dunia II, Revolusi Physik dengan bumi hangusnja serta sistim ekonomi jang masih liberal. Disamping itu masih banjak perusahaan-perusahaan asing jang bekerdja di Indonesia disektor-sektor perekonomian, pertanian, perindustrian, transpor, pertambangan, distribusi dan sebagainja. Pada hakekatnja tidak ada „commanding position” daripada sektor Pemerintah.

          Dalam periode jang sematjam itu dimana seolah-olah masih berlaku „free fight liberalism”, berhadapanlah kaum buruh Indonesia jang makin lama makin terorganisasi dan militan dengan kekuatan perusahaan-perusahaan modal asing. Oleh karena itu tjiri-tjiri terpenting dari pada periode ini antara lain jalah memuntjaknja persclisihan-persclisihan perburuhan, pemogokan-pemogokan dan pcemetjatan-pemetjatan (massa-onstslagen).

          Dibidang teknis mulailah diletakkan dasar-dasar kearah perkembangan-perkembangan selandjutnja: hubungan perburuhan, pemetjahan masalah tenaga kerdja norma-norma perburuhan, djaminan sosial dan kesedjahteraan buruh, perundang-undangan dan lain-lain sesuai dengan dasar-dasar daripada suatu negara jang merdeka dan berdaulat. Untuk memperkuat kedudukan dan suara Indonesia dibidang internasional, Indonesiapun mendjadi anggota daripada Organisasi Perburuhan Internasional (I.L.O.) dalam tahun 1950.

          1. Tenaga Kerdja di Indonesia.

          Pada waktu dalam tahun 1950 Bangsa Indonesia kembali memegang kemudi Pemerintahan setjara de fakto dan de jure atas wilajah Indonesia setelah berabad-abad lamanja meringkuk dalam pendjadjahan, maka beberapa warisan jang diterimanja antara lain ialah:
          1. Penduduk jang bekerdja disektor pertanian tidak tjukup mendapat pekerdjaan dan penghasilan jang memungkinkan mereka hidup setjara lajak. Artinja dalam sektor pertanian terdapat kelebihan tenaga kerdja atau pengangguran jang kentara dan tidak kentara. Mungkin keadaan itu sengadja dibiarkan berkembang demikian agar supaja industri kapitalis dapat memperoleh tenaga murah.
          2. Keadaan disektor perindustrianpun menundjukkan gambaran jang hampir serupa. Industri besar jang sekalian dapat menampung tenaga kerdja dibatasi pertumbuhannja untuk tidak menjaingi pasaran hasil industri negeri pendjadjah, sedangkan industri rakjat jang djuga dapat merupakan suatu lapangan kerdja tidak mendapat bantuan sebagaimana mestinja. Akibatnja, djuga sektor irdustri tidak tjukup dapat menampung pentjari kerdja.
          3. Lebih dari 90 persen dari penduduk masih buta huruf. Keadaan jang menjedihkan ini tergambar dan terasa dalam sektor tenaga kerdja. Sedikit sekali pekerdja jang mempunjai keahlian jang dapat menduduki tempat-tempat penting dalam pemerintahan dan dalam perindustrian.
            Bagian terbesar tenaga kerdja Indonesia pada waktu itu termasuk golongan rendahan. Sebaliknja orang-orang asinglah selalu jang merupakan tenaga pimpinan dimana-mana.
          4. Warisan lain jang ditinggalkan oleh pendjadjah ialah penjebaran penduduk dan tenaga kerdja jang tidak merata didaerah-daerah. Dipulau Djawa sadja jang luasnja kurang dari 1/10 dari wilajah Indonesia, dalam tahun 1950 mempunjai penduduk 50 djuta atau kurang-lebih 60 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Untuk bagian penduduk jang hidup disektor pertanian menurut perhitungan hanja tersedia 3,3 djuta ha. sawah dan 4,5 djuta ha. tanah kering.
            Keadaan jang demikian itu menimbulkan kekurangan kesempatan kerdja (underemployment). Masalah itu diperbesar dengan bertambahnja penduduk sebanjak kurang lebih 1.200.000 djiwa setahun.
            Sebagian dari mereka itu sebanjak 450.000 setiap tahunnja akan memasuki masjarakat kerdja. Ini berarti bahwa pembangunan ekonomi harus dilaksanakan sedemikian rupa, hingga sedikitnja dapat mentjiptakan setengah djuta kesempatan kerdja baru, djika kita hendak mempertahankan tingkat kemakmuran jang telah dapat ditjapai sekarang dan mengadakan pembangunan jang lebih hebat lagi apabila kita hendaknja meningkatkan taraf kemakmuran rakjat setjara menjeluruh.

          Dalam usaha untuk memetjahkan masalah Tenaga Kerdja itu Pemerintah berpedoman kepada pasal 27 ajat 2 Undang-undang Dasar jang berbunji:

          „Tiap-tiap warga-negara berhak atas pekerdjaan dan penghidupan jang lajak bagi kemanusiaan”. Hal ini berarti bahwa Pemerintah bermaksud untuk menudju kepada „full employment” jaitu kesempatan kerdja penuh bagi setiap orang jang telah mampu untuk bekerdja. Tudjuan itupun sesuai dengan suatu dalil bahwa „Human beings are the source and end of all economic activity”. Manusia adalah sumber dan tudjuan dari semua aktivitas ekonomi.

          Pada hakekatnja tenaga manusia merupakan sumber utama dari tiap-tiap kegiatan ekonomi. Tidak dapat kita memikirkan adanja suatu kegiatan ekonomi tanpa menusia sebagai tenaga kerdja. Sekalipun misalnja otomatis telah dapat melaksanakan segala gerak permesinan, tenaga manusia tetap diperlukan untuk mentjiptakannja dan mengawasinja.

          Kita membangun dan melaksanakan produksi tidak lain daripada untuk keperluan masjarakat. Karena itu achirnja manusialah jang harus mendapat manfaat dan karena itu merupakan tudjuan dari kegiatan ekonomi itu. Maka dari itu objek atau tudjuan kita dalam memetjahkan masalah perburuhan ialah: manusia, baik sebelum bekerdja untuk memasuki lapang pekerdjaan, maupun selama dalam pekerdjaan dan sesudah bekerdja, selama tidak mampu bekerdja, atau pada waktu tidak mampu lagi untuk bekerdja. Pada hakekatnja tudjuan ini merupakan inti daripada tudjuan Sosialisme Indonesia jang berdasarkan Pantjasila itu. Mengingat warisan-warisan kolonial jang ditinggalkan kepada kita tersebut tadi, maka tudjuan „full employment” ini hanja akan dapat ditjapai dengan tjara pembangunan ekonomi sgetjara besar-besaran.

          Kesempatan kerdja penuh itu selainnja merupakan suatu tudjuan, adalah pula merupakan suatu akibat daripada adanja lapangan kerdja jang luas, artinja telah berdirinja tjabang-tjabang industri, distribusi, pertanian, transpor serta kegiatan-kegiatan ekonomi lainnja jang dalam keseluruhan dapat memberi pekerdjaan kepada semua orang jang membutuhkannja dengan penghasilan jang lajak untuk hidup. Djadi „full employment” terdjalin rapat dengan aktivitas-aktivitas jang terdapat disegala sektor pemerintahan maupun swasta.

          Untuk mempermudah djalan kearah pembangunan ekonomi jang luas dan „full employment” sebagai sjarat pertama, perlu didjamin susunan pasar kerdja jang sebaik-baiknja dalam arti dipertemukannja permintaan dan penawaran tenaga kerdja, sebagai bagian jang tidak dapat dipisah-pisahkan dari usaha pembangunan nasional.

          Guna melaksanakan pembangunan sedikitnja diperlukan 3 unsur pokok, jaitu modal-peralatan, sumber kekajaan alam dan manusia untuk memimpin dan mengerdjakannja. Untuk mempermudah masuknja tenaga manusia dalam usaha pembangunan diperlukan pengaturan pasar kerdja dimana dipertemukan penawaran dengan permintaan tenaga kerdja serta sjarat-sjarat kwantitas dan kwalitas jang diperlukannja, Tanpa pasar kerdja jang terorganisasi baik, sekalipun manusia dan materiil tersedia melimpah-limpah, pada satu pihak akan tetap dirasakan kekurangan tenaga kerdja serta adanja pengangguran dilain pihak, karena tidak adanja pertemuan mengenai sjarat-sjarat kwantitas dan kwalitas.

          Untuk menjesuaikan kwantitas dan kwalitas jang tersedia dengan jang dibutuhkannja atau dengan perkataan lain untuk mendjamin susunan pasar kerdja jang sebaik-baiknja, Pemerintah mendjalankan usaha-usaha tertentu, jaitu:

          a. Antar Kerdja.

          Antar kerdja dimaksudkan untuk menolong kaum buruh jang mentjari pekerdjaan untuk mendapatkan pekerdjaan sesuai dengan bakat pendidikan dan ketjakapannja dan menolong pengusaha untuk mendapatkan tenaga jang dibutuhkannja. Berhubung dengan perkembangan masjarakat pendjadjahan jang telah berlangsung berabad-abad lamanja, maka perbedaan antara permintaan dan penawaran mengenai kwantitas dan kwalitas sangatlah menjolok. Tidak adanja keseimbangan itu tergambar pada sukarnja kaum buruh untuk segera menemukan lowongan jang ditjarinja, demikian pula sukarnja pengusaha untuk mendapatkan tenaga dengan keterampilan (skill) jang dibutuhkan. Maka dari itu diusahakan pelajanan agar sipentjari kerdja dengan tjepat dan tepat dapat menemui lowongan, demikian pula agar sipengusaha dengan tjepat dan tepat pula mendapat tenaga dengan sjarat-sjarat jang dibutuhkannja.

          Di Indonesia Antar Kerdja jang tjepat dan tepat harus dapat memberantas dan mengganti peranan mandor-mandor, werkbaas-werkbaas dan makelar buruh, serta Kantor-kantor Antar Kerdja partikelir jang sering merugikan buruh.

          Pekerdjaan Antar Kerdja mempunjai segi-segi teknis jang memerlukan keahlian teknis pula. Tehnik intervieuw misalnja dilakukan sedemikian rupa, hingga diperoleh gambaran jang djelas tentang bakat, pendidikan, pengalaman dan keinginan sipentjari kerdja. Petugas pengantar kerdja harus mempunjai pengetahuan jang luas dan mendalam tentang pelbagai djabatan dan sjarat-sjarat. Sebab tudjuan ialah menempatkan tenaga pada lowongan jang tepat.

          Dari tahun 1950 sampai dengan 1955 angka-angka pendaftaran dan penempatan tenaga kerdja adalah sebagai berikut:

          Tahun Pentjari kerdja
          terdaftar
          Pentjari kerdja
          ditempatkan
          %
          1950 158.818 20.410 12,8
          1951 169.301 26.006 15,3
          1952 182.202 35.483 19,5
          1953 151.029 22.223 14,1
          1954 150.387 19.610 13,2
          1955 164.230 20.154 13

          Mengingat bahwa setiap tahunnja menurut taksiran lebih dari setengah djuta orang tenaga kerdja baru terdjun dalam pasarkerdja, belum terhitung djumlah penganggur jang kentara serta setengah penganggur (Biro Perantjangan Negara menaksir djumlah setengah penganggur antara 9 dan 12 djuta atau 30 - 40% dari djumlah tenaga kerdja jang ditaksir berdjumlah 33 djuta atau 40%, dari penduduk seluruhnja), maka angka-angka antar kerdja hanja meliputi bagian amat ketjil dari djumlah jang sebenarnja. Ini antara lain disebabkan karena lowongan kerdja jang tersedia adalah djauh lebih ketjil dibandingkan dengan djumlah pelamar kerdja jang memerlukannja, hal mana mempengaruhi kepertjajaan masjarakat terhadap instansi dari Pemerintah (Djawatan Penempatan Tenaga) jang mengurusnja.

          Apabila kwalitas pentjari kerdja itu diteliti, terbuktilah bahwa lebih dari seperdua dari mereka itu terdiri dari tenaga-tenaga tidak terlatih. Persentase itu akan berkurang setjara berangsur-angsur seimbang dengan bertambahnja taraf pendidikan umum serta latihan-latihan kerdja/ kedjuruan jang akan menambah tingkat keterampilan pada tenaga kerdja.

          Analisa lebih landjut menundjukkan pula bahwa dalam tahun 1951/1952 sebagian besar dari pendaftaran (94,2%) terdiri dari tenaga jang tidak atau hampir tidak pernah bersekolah (41,9%) dan tenaga tamatan sekolah dasar (52,3%). Selandjutnja 5,5% terdiri dari tamatan sekolah menengah dan 0,3% terdiri dari tamatan SMA, sekolah tehnik/vak serta sekolah-sekolah lainnja jang lebih tinggi.

          Angka-angka tersebut menggambarkan dengan djelas kwalitas tenaga kerdja jang memerlukan pekerdjaan pada waktu itu.

          b. Antar Kerdja Antar Daerah.

          Suatu masalah jang bersifat chas Indonesia, ialah penjebaran penduduk jang tidak merata didaerah-daerah. Didaerah pulau Djawa sangat padat penduduknja sedangkan didaerah-daerah lainnja kekurangan penduduk: akibatnja ialah, bahwa dipulau Djawa terdapat kelebihan tenaga kerdja hingga kekurangan kesempatan kerdja, sedangkan didaerah-daerah jang kekurangan penduduknja menderita kekurangan tenaga kerdja. Masalah ini menjebabkan timbulnja kesulitan-kesulitan untuk mendapatkan tenaga kerdja dalam melaksanakan pembangunan didaerah-daerah diluar Djawa. Ini merupakan salah satu sebab daripada terpusatnja usaha-usaha pembangunan dipulau Djawa dan kurang tersebar merata kedaerah-daerah.

          Penjebaran penduduk dan tenaga kerdja kedaerah-daerah hingga mendjadi lebih merata, merupakan suatu usaha jang tidak mudah dan hanja dapat ditjapai dalam waktu djangka pandjang. Daerah Djawa dengan penduduknja sebesar 50 djuta djiwa pada waktu itu menurut perhitungan tersedianja tanah pertanian sejogianja hanja berpenduduk 30 djuta. Dengan djumlah penduduk 30 djuta orang itu, maka dengan peraturan landreform jang progresif, petani dengan tanahnja masing-masing akan dapat hidup dengan lajak. Kelebihannja sebanjak 20 djuta orang, perlu disebar setjara merata kedaerah-daerah lainnja, jang djuga tidak kurang suburnja djika dibandingkan dengan pulau Djawa.

          Masalah penjebaran penduduk dan tenaga kerdja jang kurang merata itu, dalam garis besarnja dapat dipetjahkan melalui 2 djalan: pertama, dengan djalan transmigrasi setjara besar-besaran, baik transmigrasi setjara berentjana maupun transmigrasi bebas (sukarela) dan kedua, dengan djalan pemindahan tenaga kerdja pada projek-projek pembangunan jang sengadja dilaksanakan didaerah-daerah diluar Djawa.

          Seperti diketahui, setiap daerah diluar Djawa mempunjai sumber kekajaan alam jang berbeda-beda. Pertama-tama, hampir setiap daerah diluar Djawa mempunjai tanah jang luas dan subur hingga dapat memenuhi sjarat pertama sebagai objek pemindahan penduduk dan tenaga kerdju guna meningkatkan produksi pangan. Jang kedua, jalah sumber kekajaan alam chusus seperti hutan dengan produksi kaju dan hasil hutannja, pertambangan, pelikan-pelikan dan lain-lainnja jang merupakan objek-objek untuk pembangunan. Projek-projek penggalian sumber kekajaan alam didaerah-daerah itu tentu memerlukan tenaga kerdja jang dapat didatangkan dari daerah-daerah jang memnunjai kelebihan tenaga kerdja, chususnja daerah Djawa. Projek-projek pembangunan itu merupakan usaha jang perlu dilaksanakan dalam djangka waktu pandjang.

          Sebagai langkah pertama untuk membuka kemungkinan pemindahan tenaga kerdja keluar Djawa adalah memperhatikan permintaan akan tenaga kerdja jang diadjukan oleh perusahaan-perusahaan negara, swasta nasional dan swasta asing pada waktu itu.

          Dizaman pendjadjahan, ada aturan pengerahan dan pemindahan (werving) tenaga kerdja jang ditjiptakan untuk melajani kepentingan modal asing diperkebunan dan perminjakan. Peraturan itu adalah „Wervingsordonnantie” (Stbl. 1936 No. 208 jo. No. 550), jang pada pokoknja menentukan:
          1. memperkenankan pengerahan tenaga kerdja (werving) oleh orang atau badan partikelir, dibawah pengawasan pemerintah.
          2. mengatur, mengawasi penerimaan, penginapan, pengiriman, dan pemeliharaan didjalan, jang harus memenuhi sjarat-sjarat tertentu.
          3. mengawasi pembuatan surat-surat perdjandjian, sjarat-sjarat kerdja dan sjarat-sjarat lain.

          Ketentuan-ketentuan itu terutama dalam sub a sering menimbulkan ekses-ekses jang tidak diinginkan, antara lain mendjadi pengerahan jang tidak lagi bersifat sukarela.

          Dengan dikeluarkannja ketentuan-ketentuan baru oleh Pemerintah R.I., maka sistim pengerahan tenaga oleh badan-badan pengerah swasta/pengerah-pengerah perorangan dihentikan dan diganti dengan sistim antar kerdja antar daerah oleh badan Pemerintah, chususnja pada waktu itu Djawatan Penempatan Tenaga dengan Kantor-kantor Penempatan Tenaga Daerah.

          Antar kerdja antar daerah ini didjalankan bersama-sama dengan instansi Pamong Pradja dengan djalan mengadakan pengumuman-pengumuman dan penerangan-penerangan ataupun lain matjam pemberitahuan kepada rakjat tentang kemungkinan untuk dapat bekerdja didaerah-daerah luar Djawa jang tertentu dengan sjarat-sjarat tertentu jang ditentukan oleh Menteri Perburuhan atau oleh Kepala Djawatan Penempatan Tenaga.

          Langkah pertama jang dilakukan oleh Kementerian Perburuhan jalah mentjabut semua izin pengesjahan organisasi pengerahan dan surat-surat pengesjahan kepada tenaga-tenaga pengerah berdasarkan „wervingsordonnantie” tersebut pasal (1) ajat (2) dan (4). Adapun „wervingsorganisatie” harus dibatja dan difahamkan sebagai suatu organisasi dari pengusaha jang minta kerdja untuk menerima, mengurus penginapan, mengangkut dan lain-lain sebagainja.

          Dengan sistim ini tidak diperkenankan lagi kepada organisasi-orgarisasi pengerah (swasta) untuk mengerahkan tenaga kerdja dengan berhubungan langsung dengan rakjat. Mereka jang bertindak demikian akan dapat dituntut dan dihukum.

          Adapun sjarat-sjarat jang harus dipenuhi oleh pengusaha peminta tenaga kerdja jang merupakan kewadjiban terhadap tenaga kerdja jalah:
          1. Rumah penginapan untuk tenaga kerdja jang dikerahkan harus lajak dan memenuhi sjarat-sjarat jang ditentukan oleh Kementerian Perburuhan.
          2. Selama pengangkutan dari tempat asalnja tenaga kerdja itu dikerahkan ketempat kerdjanja, organisasi pengusaha wadjib memberikan makanann jang lajak kepada tenaga kerdja dan keluarganja.
          3. Kepada tjalon tenaga kerdja harus diberikan uang saku dan uang muka.
          4. Organisasi pengusaha wadjib menjelenggarakan perawatan pada tjalon-tjalon tenaga kerdja jang sakit dirumah penginapan dan djikalau perlu mengirim mereka kerumah sakit.
          5. Pengusaha wadjib mendjaga bahwa selama ditempatkan dirumah penginapan, tenaga kerdja tersebut tidak dibatasi kemerdekaannja untuk bergerak.
          6. Pengusaha wadjib mendjaga, bahwa tjalon-tjalon tenaga kerdja jang diterima, diangkut dengan lajak dari tempat penerimaan jamg pertama ketempat kerdjanja jang ditudju.
          7. Pengusaha wadjib membuat suatu perdjandjian kerdja tertulis dengan tjalon tenaga kerdja sebelum mereka diberangkatkan.
          8. Perdjandjian kerdja tidak boleh dibuat atau ditanda-tangani sebelum tjalon tenaga kerdja diperiksa kesehatannja dan dianggap mampu untuk mendjalankan pekerdjaan.
          9. Pengusaha wadjib mengembalikan tjalon-tjalon tenaga kerdja ketempat asalnja dengan memikul segala biajanja.

          Sebagaimana telah dikemukakan diatas, maka pelaksanaan pengerahan/pemindahan tenaga kerdja ini ditudjukan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerdja diperkebunan-perkebunan/perusahaan-perusahaan jang terletak di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, jaitu S.V.P.M. (Standard Vacuum Petroleum Maatschappij), Z.W.S.S. (Zuid West Sumatera Syndicaat), A.V.R.O.S. (Algemene Vereniging van Rubberplanters Oostkust van Sumatera), V.E.D.A. (Vrje Emigratie Deli Planters Vereniging), P.P.N. (Pusat Perkebunan Negara), dan sebagainja.

          Selama 5 tahun sesudah 1950 angka-angka antar kerdja antar daerah adalah sebagai berikut:

          Tenaga kerdja dan keluarganja jang dipindahkan keluar Djawa
          Tahun 1951 1952 1953 1954 1955
          Tenaga kerdja 18.415 26.206 5.805 4.306 12.208

          Seperti diterangkan diatas, maka penempatan tenaga keluar Djawa itu terbatas pada antar kerdja berdasarkan prinsip sukarela.

          Sebagian besar dari tenaga-tenaga kerdja jang dipindahkan itu berasal dari daerah Surakarta, Kedu, Jogjakarta, Banjumas, Pekalongan, Madiun, Kediri dan Tjirebon.

          c. Antar Kerdja Chusus.

          Disamping antar kerdja sebagaimana diuraikan diatas dalam tahun 1955 telah dimulai dengan suatu antar kerdja jang bersifat chusus, satu diantaranja jalah mengusahakan penempatan bagi mereka jang telah disalurkan dari badan-badan perdjoangan.

          Dalam tahun 1955 angka-angka memberi gambaran sebagai berikut:

          Penjaluran bekas peladjar pedjoang (Mei s/d Desember 1955)
          Pendaftaran 895 orang
          Penempatan
          Sebagai pegawai 99
          Sebagai kursis 50
          Penghapusan 142

          Kesukaran dalam penjaluran bekas peladjar pedjoang kekantor-kantor didaerah disebabkan karena masih belum djelasnja formasi kepegawaian kantor-kantor tersebut. Dalam hal kantor daerah bersedia menerimanja masih harus diatasi birokrasi karena masih harus diperoleh izin dari pusatnja masing-masing. Kesukaran lainnja jalah keseganan dari kantor-kantor tersebut untuk menerima bekas pedjoang sebagai pegawai hingga diadjukanlah sjarat-sjarat jang berat antara lain angka-angka peladjaran rata-rata jang tinggi dan sjarat umur jang rendah. Djuga sering terdapat kekuatiran pada kantor-kantor tersebut, bahwa bekas peladjar pedjoang jang umurnja rata-rata lebih dari 27 tahun itu kurang dapat menjesuaikan diri dengan suasana, peraturan kerdja dan disiplin pekerdjaan dikantor.

          Pada pihak bekas peladjar pedjoang dirasa adanja persaingan penerimaan sebagai pegawai atau pengikut kursus jang datang dari tenaga-tenaga jang baru keluar dari sekolah. Hal ini dapat dimengerti karena pengetahuan sekolah jang dimiliki oleh golongan jang terachir ini masih segar, lagi pula mereka ini masih muda. Untuk mengatasi kesulitan ini oleh Kantor Penempatan Tenaga diusahakan alokasi tempat dengan djumlah tertentu sebagai pengikut-pengikut kursus/pendidikan tertentu, jang antara lain diadakan di Djakarta, Bandung dan Bogor.

          Dari angka-angka tersebut diatas ternjata, bahwa hasil penempatan bagi bekas peladjar pedjoang itu belum memuaskan karena hanja merupakan 254 dari pendaftaran. Kalau dikalangan pemerintahan sudah terdapat prasangka terhadap penerimaan bekas peladjar pedjoang, prasangka itu dikalangan swasta lebih besar lagi. Walaupun demikian, Kementerian Perburuhan pada waktu itu tetap berusaha sedapat-dapatnja untuk mengurangi prasangka tersebut hingga dapat memudahkan penerimaan bekas peladjar pedjoang sebagai tenaga kerdja, baik dikalangan Pemerintah maupun dibidang swasta.

          Suatu matjam antar kerdja chusus lainnja jang rapat hubungannja dengan perkembangan dan tjita-tjita zaman jalah penempatan tenaga penderita tjatjat. Sesudah Perang Dunia II, sebagai akibat daripada penderitaan jang dialami oleh manusia selama itu, seluruh dunia mengemukakan tjita-tjita baru jang lebih madju jaitu pembentukan suatu ”Welfare State” jang mentjita-tjitakan perluasan usaha sosial disegala lapangan, penegasan hak-hak azasi manusia dan bangsa-bangsa dan disamping itu sebagai imbangan, mentjita-tjitakan kenaikan produksi dan penghasilan pada tingkat perorangan, nasional dan internasional. Dalam hubungan perkembangan itu, maka soal penderita tjatjat sebagai warisan daripada Perang Dunia II mendapat perhatian baru jang lebih mendalam daripada dalam masa sebelum perang. Pemeliharaan penderita tiatjat, sekalipun akan merupakan beban tambahan bagi masjarakat adalah suatu langkah jang dapat dipertanggungdjawabkan.

          Indonesia sebagai negara jang baru merdeka dan sebagai anak dari abad ke 20 sesudah Perang Dunia II pun idamkan suatu ”Welfare State” jaitu dengan tudjuan membentuk suatu „masjarakat jang adil dan makmur”, jang akan memungkinkan setiap warganegara menduduki tingkat kesedjahteraan jang lajak.

          Untuk memperoleh pekerdjaan jang lajak sedikitnja diperlukan dua matjam sjarat, jaitu keadaan djasmani dan rohani jang memuaskan.

          Berbeda dengan orang biasa jang tidak menderita suatu tjatjat, maka bagi sipenderita tjatjat jang karena tjatjatnja tidak mampu melakukan pekerdjaan jang membutuhkan ketjakapan djasmani dan rohami tertentu, djalan kearah memperoleh pekerdjaan jang lajak adalah lebih djauh lagi.

          Oleh karena itu, terlebih dulu harus diatasi kesukaran-kesukaran jang bersifat medis dan psychologis dan setelah itu rintangan-rintangan jang terletak dalam lapangan rehabilitas.

          Usuha antar kerdja jang dilakukan oleh Djawatan Penempatan Tenaga memberi gambaran sebagai berikut:

          1954 Pendaftaran Penempatan
          (Djuni/Desember) 76 39 (51%)
          1955 148 29 (20%)

          Angka-angka tersebut menjatakan, bahwa hasil venempatan mereka tidak memuaskan. Hampir semua jang mendaftarkan terdiri atas tenaga rendahan tidak terlatih. Djika tenaga tidak terlatih jang tidak menderita tjatjat umumnja sudah sukar untuk dapat disalurkan kedalam masjarakat kerdja, apabila dengan tenaga penderita tjatjat. Pada umumnja belum dapat diatasi adanja suatu prasangka pada pengusaha, bahwa tenaga penderita tjatjat tidak mampu lagi untuk bekerdja setjara wadjur serta memberikan prestasi jang tjukup memuaskan. Dalam hubungan ini, maka untuk menampung tenaga penderita tjatjat jang dianggap sukar disalurkan kedalam masjarakat kerdja biasa, di Solo telah didirikan ”Jajasan Penampungan Penderita Tjatjat”.

          d. Penjuluhan Pemilihan Djabatan.

          Didalam suatu masjarakat jang telah madju dimana terdapat diferensiasi dan spesialisasi setjara luas dalam lapangan kerdja maka dalam mempertemukan tenaga kerdja dengan pekerdjaan, perlu diperhatikan adanja 2 faktor, jaitu pertama, manusia jang akan bekerdja tetapi jang masih berbeda dalam bakat. tjorak watak serta keinginannja. Faktor kedua jalah adanja pekerdjaan jang bermatjam ragam jang meminta sjarat-sjarat djasmani dan rochani serta sjarat pendidikan jang berbeda-beda pula dari manusia jang menjelenggarakannja.

          Dalam masjarakat primitif jang sumber penghidupannja misalnja hanja terdiri atas berternak, bertani, berburu dan menangkap ikan, tugas Penjuluhan Pemilihan Djabatan tentu hanja sekedar untuk menjalurkan anggota-anggota masjarakat tersebut kedalam 4 matjam lapangan kerdja diatas sadja. Ini adalah berlainan halnja dengan masjarakat Indonesia sekarang ini dimana telah terdapat diferensiasi dan spesialisasi setjara luas disegala lapangan pekerdjaan.

          Dalam hubungan itu, maka tudjuan Penjuluhan Pemilihan Djabatan (“vocational guidance” dan “employment counceling” atau “heroepskeuze voorlichting”) jalah membantu seseorang didalam memilih djabatan jang sepadan dengan kemampuan-kemampuan djasmani dan rochani, serta tjorak-tjorak wataknja agar kemampuan itu dapat berkembang sebaik-baiknja dan daripadanja dapat dipungut hasil jang semaksimal-maksimalnja bagi orang itu sendiri maupun bagi masjarakat umumnja. Djelaslah, bahwa Penjuluhan Pemilihan Djabatan membawa keharusan untuk membentuk gambaran tentang seluruh kepribadian seseorang jang hendak dibantu itu dengan mempergunakan segala tjara dan bahan-bahan dari sumber-sumber jang dapat dipertjaja.

          Penjuluhan pemilihan djabatan itu dilaksanakan dengan mempergunakan pelbagai test-psychology terhadap tenaga kerdja jang berkepentingan. Karena penjuluhan pemilihan djabatan, seperti tiap-tiap pekerdjaan penempatan tenaga, adalah suatu „proses pemaduan” dari orang dengan djabatan, disamping membentuk gambaran tentang kepribadian manusia tadi, petugas Penjuluhan Pemilihan Djabatan harus pula mempunjai pengetahuan jang mendalam tentang djabatan-djabatan dan keadaan djabatan-djabatan itu dilapangan kerdja. Maka sebagai alat pembantu diperlukan analisa dan penggolongan djabatan, serta analisa lapangan kerdja.

          Berhubung dengan itu, maka mengenai penjuluhan pemilihan djabatan dalam Periode Survival ini pelaksanaannja masih dalam taraf persiapan. Dasar-dasar mulai diletakkan untuk memetjahkan masalah penempatan tenaga kerdja dengan tjara-tjara jang lebih madju sesuai dengan perkembangan zaman.

          Dalam hubungan ini, maka atas permintaan instansi-instansi dan perusahaan-perusahaan jang memerlukannja diadakan seleksi tenaga kerdja dan tjalon-tjalon peladjar dengan mempergunakan test-psychology. Dalam tahun 1955 telah diseleksi sedjumlah 1162 orang tjalon tenaga kerdja/peladjar.

          Dibidang penggolongan djabatan, antara 1952-1954 disusunlah Buku Inventarisasi Djabatan dalam rangka International Classification of Occupations for Migration and Placement. Untuk keperluan itu telah didaftar sedjumlah 317 djabatan jang kerap kali didjumpai oleh Kantor-kantor Penempatan Tenaga dalam mendjalankan antar kerdja sehari-hari. Maksudnja ialah bahwa djabatan-djabatan itu dengan pendjelasan singkat tentang isinja akan dipergunakan dalam mendjalankan antar kerdja.

          e. Usaha perluasan kerdja bagi para penganggur.

          Disamping penempatan tenaga pengangguran melalui antarkerdja biasa, Djawatan Penempatan Tenaga mulai pertengahan tahun 1949 s/d 1954 mengadakan usaha-usaha lain untuk perluasan kerdja.

          Usaha itu hanja merupakan usaha tambahan dan tidak boleh diartikan sebagai usaha pemetjahan masalah pengangguran setjara prinsipiil. Menurut riwajatnja biaja-biaja untuk usaha ini semula dikeluarkan sebagai sokongan pengangguran, akan tetapi usaha itu kemudian ditindjau kembali dengan alasan bahwa pemberian sokongan pengangguran sifatnja adalah konsumtif, karena tidak ada unsur menghasilkan produksi. Selain ketjil manfaatnja karena sokongan tersebut memang tidak banjak artinja, hanja bagian ketjil sadja dari ribuan penganggur jang memperolehnja.

          Berhubung dengan itu dipandang lebih bidjaksana dan bermanfaat, apabila biaja-biaja jang dikeluarkan itu dikeluarkan sebagai pindjaman modal dan/atau bantuan modal jang banjak sedikitnja dapat berguna untuk menambah produksi atau djasa bagi masjarakat. Lagi pula uang Pemerintah jang dipergunakan untuk pemindjaman modal itu seluruhnja atau setidak-tidaknja sebagian dapat kembali. Karena itu, usaha pindjaman modal untuk keperluan perluasan kerdja itu haruslah lebih dilihat dari segi sosial. Dilihat dari segi ini usaha-usaha itu dapat dianggap berhasil. Pindjaman modal diberikan kepada perusahaan-perusahaan baru dan perusahaan-perusahaan jang telah ada jang bermaksud memperluas usahanja, dengan perdjandjian bersedia menerima tenaga kerdja baru (penganggur) jang akan diatur oleh Djawatan Penempatan Tenaga.

          Bantuan modal diberikan djuga kepada sekelompok kaum penganggur jang bermaksud mendirikan suatu perusahaan setjara kooperatif. Bantuan modal diberikan untuk membeli barang-barang modal, bahan-bahan serta upah untuk modal pertama (stootkapitaal) selama perusahaan belum dapat menghasilkan. Kalau perusahaan itu kemudian ternjata dapat berdjalan terus maka barang-barang tadi dihadiahkan kepada perusahaan-perusahaan. Dalam hal perusahaan jang ternjata tak dapat meneruskan pekerdjaannja dan terpaksa ditutup, maka barang-barang jang masih ada dilelang dan hasilnja dimasukkan dalam kas negeri.

          Laporan menundjukkan gambaran sebagai berikut:

          Pindjaman/bantuan modal kepada penganggur 1949-1954
          Sifat bantuan Djumlah jang
          diberikan
          Djumlah
          Perusahaan
          Penganggur jg ditempatkan
          Pindjaman modal Rp. 5.292.000 319 5701
          Bantuan Modal 2.940.963 167 2240

          Pada permulaan tahun 1956 dari perusahaan-perusahaan jang mendapatkan pindjaman modal itu, 136 perusahaan telah membajar lunas pindjamannja dan sisa uang jang masih berada ditangan para pemindjam adalah Rp. 2.201.440,—. Djumlah bunga jang dibajar oleh para pemindjam adalah Rp. 440.000,— (tidak termasuk persentase bark).

          Dari perusahaan-perusahaan jang mendapatkan bantuan modal pada permulaan 1956 itu, 115 perusahaan masih dapat berdjalan/dalam pengawasan sedangkan 52 perusahaan ditutup karena tidak dapat diharapkan kelangsungan hidupnja. Sisa kekajaan perusahaan-perusahaan jang telah ditutup itu sebagian telah dapat diselesaikan dalam arti sisa inventaris diserahkan kepada Kantor Lelang dan pendapatannja disetorkan kepada kas negeri. Penutupan itu pada umumnja disebabkan, karena mereka tidak dapat mengatasi kecsulitan-kesulitan jang dihadapinja, antara lain karena kesukaran pasaran bagi hasil produksinja dan sukarnja memperoleh bahan-bahan jang diperlukan.

          f. Pemberian kerdja kepada penganggur/setengah penganggur.

          Diatas telah diterangkan, bahwa usaha-usaha untuk menanggulangi soal-soal pengangguran, antara lain dengan antar kerdja biasa dan chusus, (bekas peladjar pedjoang dan penderita tjatjat) serta pemindjaman dan bantuan modal.

          Bagi seseorang keadaan menganggur dan setengah menganggur biasanja berarti penderitaan djiwa dan tekanan bathin karena selalu ada perasaan, bahwa ia tidak berguna baig bagi keluarganja maupun bagi masjarakat pada umumnja.

          Usaha pemberian kerdja dimaksudkan untuk mengurangi tekanan psychologis dan disamping itu mengikut-sertakan mereka dalam lapangan produksi dan djasa.

          Tjara memberi kerdja kepada penganggur/setengah penganggur dilaksanakan sebagai berikut:

          1. Pemberian kerdja darurat biasa, jaitu dengan djalan memperbantukan tenaga-tenaga tersebut pada kantor-kantor untuk menjelesaikan pekerdjaan jang tertimbun jang tidak merupakan pekerdjaan tetap hingga dapat diselesaikan oleh tenaga-tenaga darurat dalam waktu pendek. Sifat lainnja ialah mendjalankan pekerdjaan-pekerdjaan jang bermanfaat bagi masjarakat, seperti mengadjar dalam kursus-kursus pemberantasan buta huruf, dan sebagainja. Maksud pemberian kerdja darurat kepada tenaga bekas peladjar pedjoang ialah sekedar agar mereka dapat membiasakan diri pada suasana pekerdjaan-pekerdjaan dikantor-kantor Pemerintah dan sekaligus mereka dapat sekedar tertolong dalam penghidupannja.
            Selama tahun 1955 telah dapat dipekerdjakan setjara darurat kepada kantor-kantor Pemerintah sedjumlah 308 orang dengan pengeluaran biaja Rp. 401.300,—. Dari 308 orang tersebut telah diangkat mendjadi pegawai negeri sebanjak 55 orang (8%).
          2. Pemberian kerdja darurat istimewa.
            Semendjak tahun 1952 diadakan usaha-usaha pemberian kerdja jang ditudjukan kepada kaum pengangguran musiman dan setengah pengangguran didaerah-daerah pertanian (pedesaan) jang lazimnja disebut pekerdjaan darurat istimewa.
          Sebagai objek-objek dipilih pekerdjaan-pekerdjaan pengairan (membuat/memperbaiki saluran-saluran air, bendungan-bendungan) membuat/memperbaiki djembatan-djembatan/djalan-djalan dimana diperlukan banjak tenaga kerdja dan jang mana mendjadi tanggung-djawab desa.

          Projek-projek tersebut pada umumnja tidak memerlukan tenaga-tenaga terlatih (skilled) sehingga mudah dilaksanakan dengan bantuan Pamong Pradja setempat.

          Menurut kenjataan, desa-desa kurang mampu untuk membiajai usaha-usaha seperti tersebut diatas. Suatu kechususan daripada pekerdjaan darurat istimewa, ialah usaha tersebut merupakan perkawinan sistim gotong-rojong desa dengan usaha Pemerintah dengan bantuan keuangan (subsidi) dari Pemerintah. Dalam melaksanakan pekerdjaan-pekerdjaan itu instansi-instansi Pamong Pradja jang bersangkutan dan didesa-desa diminta usul-usulnja, persetudjuannja dan bantuannja. Administrasi dari penjelenggaraan pekerdjaan diserahkan kepada daerah tertentu jang bersangkutan.

          Adapun pemberian kerdja darurat kepada penganggur/setengah penganggur memberikan hasil sebagai berikut:

          Hasil pemberian kerdja darurat kepada penganggur/setengah penganggur 1952/1955.
          1. Pembuatan saluran perairan 392.449 m.
          2. Memperbaiki dan memperdalam saluran-saluran air 236.180 m.
          3. Membuat bendungan air 11 buah.
          4. Membuka tanah kering untuk didjadikan persawahan 8.954 ha.
          5. Persawahan jang semula tidak mendapat perairan 53.450 ha.
          6. Membuat djembatan desa 128 buah.
          7. Perbaikan djalan-djalan desa 97.155 m.
          8. Waduk/kolam 101 buah.
          9. Pembuatan/penjelesaian gedung Sekolah Rakjat 9 buah.
          10. Gedung-gedung lain 47 buah.
          11. Balai desa 4 buah.
          12. Kantor Pemerintah/perumahan pegawai 43 buah.
          13. Djumlah subsidi jang dikeluarkan Rp. 12.520.192,65
          14. Djumlah penganggur/setengah penganggur bekerdja 39.899 orang.
          Untuk menggambarkan betapa besar hasil-hasil dan kemanfaatan sistim pekerdjaan darurat istimewa dalam tahun-tahun itu dibawah ini digambarkan suatu tjontoh objek jang telah dilaporkan selesai.

          Pemberian kerdja darurat istimewa didaerah kabupaten Pati, untuk membuat tanggul 6000 × 6 × 0.75 m. dan 2 galuran pengairan masing-masing 2.000 × 5 × 3 m jang kesemuanja itu untuk merobah tanah rawa mendjadi persawahan, uang subsidi jang diberikan adalah Rp. 313.000,— dengan mempekerdjakan 600 orang selama 108-120 hari dengan uang tundjangan Rp. 4,50 seorang sehari.

          Hasil dan manfaatnja pekerdjaan:

          1. dari tanah rawa 800 h2 jang telah didjadikan sawah ada seluas 600 ha. dan telah menghasilkan padi 13.200 kwintal a Rp. 100 sekwintalnja, seluruhnja Rp. 1.320.000,—;
          2. dengan adanja tanggul jang dapat dipergunakan sebagai djalan, maka roda perekonomian rakjat disekitarnja telah mendjadi lantjar djalannja;
          3. sarang-sarang malaria terbasmi, sehingga kesehatan rakjat bertambah baik;
          4. memberi kesempatan kerdja dalam lapangan pertanian selama 190 hari (2 kali tanam) kepada tidak kurang dari 2× 600 × 30 orang, sama dengan 36.000 orang.

          Dari laporan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa pemberian kerdja darurat ini menghasilkan dua matjam kemanfaatan, jaitu pekerdjaan bagi penganggur dan pembangunan serta peningkatan produksi bagi daerah bersangkutan dengan biaja rendah.

          g. Latihan Kerdja.

          Latihan kerdja merupakan suatu usaha jang sangat penting dalam rangka mendjamin susunan pasar kerdja jang sebaik-baiknja, artinja untuk mentjapai imbangan jang baik antara penawaran dan permintaan tenaga, terutama bagi Indonesia jang masih kekurangan tenaga terlatih (skilled labour).

          Latihan kedjuruan dapat berbentuk:

          1. pendidikan kedjuruan, biasanja buat orang muda disekolah-sekolah jang merupakan bagian dari pendidikan umum dan dimaksudkan untuk mendjamin mengalirnja tenaga terlatih tinggi, menengah dan rendah kemasjarakat kerdja, untuk djangka waktu pandjang.
          1. latihan dalam perusahaan menurut sistim “apprenticeship” dengan maksud untuk mendjamin mengalirnja bibit-bibit tenaga terlatih dalam perusahaan.
          2. Latihan kerdja jang praktis dalam pekerdjaan (on the job training).
          3. Latihan kerdja dalam tempat-tempat latihan tertentu, misalnja dalam pusat-pusat latihan kerdja.

          Bentuk latihan 1 dan 2 biasanja dipergunakan untuk orang muda dan berdjangka waktu agak pandjang, sedangkan latihan 3 dan 4 diatas diadakan untuk orang dewasa, bersifat praktis, berdjangka waktu pendek, serta dimaksudkan untuk memberi, menambah atau merobah ketjakapan/kedjuruan seorang tenaga kerdja sesuai dengan kebutuhan pasar kerdja.

          Adapun latihan kerdja jang diselenggarakan oleh Kementerian Perburuhan Djawatan Latihan Kerdja adalah latihan kedjuruan kepada orang dewasa jang dipertjepat (accelerated training) chususnja dimaksudkan semula untuk menghadapi kebutuhan tenaga terlatih guna pembangunan negara.

          Dalam Periode Survival 1950-1955, Kementerian Perburuhan mulai meletakkan dasar-dasar pokok mengenai latihan kerdja jang akan dilaksanakan di Indonesia untuk menghadapi perkembangan peningkatan kedjuruan tenaga kerdja buat masa jang akan datang.

          Sebagai langkah pertama usaha latihan kerdja itu dibatasi pada djenis-djenis djabatan jang dianggap merupakan djabatan pokok (basic trades) jang dibutuhkan oleh pembangunan negara jaitu: bangunan, logam, montir, mobil dan diesel, listrik, radio, perdagangan pertanian dan keradjinan.

          Latihan pertanian dimaksudkan untuk menahan kaum penganggur supaja tetap bekerdja dalam lapangan pertanian untuk kemudian ditransmigrasikan disamping mengefektifkan usaha-usaha pertanian sendiri, sedangkan keradjinan wanita dimaksudkan untuk memberi bekal hidup kepada kaum penganggur wanita. Dalam masa 1950-1956 Kementerian Perburuhan menjelenggarakan latihan dalam pusat-pusat latihan kerdja ditempat-tempat tersebut dibawah ini.

          1. Bandung — Menjelenggarakan latihan instruktur dalam kedjuruan: bangunan, logam, mobil, listrik, radio dan perdagangan.
          Disamping itu Pusat Latihan Kerdja Bandung memberi latihan kepada tenaga-tenaga pengawas dari perusahaan-perusahaan dalam kedjuruan bangunan, mobil, logam dan listrik, djuga diadakan latihan kedjuruan buat penganggur biasa, terutama tenaga veteran, dalam kedjuruan sopir mobil, tukang kaju bangunan, tukang besi bagian kikir dan mobil.
          Jang melatih adalah tenaga-tenaga pelatih jang didatangkan dari luar negeri, antara lain dari Organisasi Perburuhan Internasional.
          1. Djakarta (Pasarrebo) — Pusat Latihan Kerdja Djakarta menjelenggarakan latihan kerdja dalam kedjuruan: bangunan, logam, mobil/diesel, listrik/radio dan perdagangan dan sebagai permulaan diselenggarakan latihan dalam kedjuruan sopir mobil, tukang kaju bangunan, tukang besi bagian kikir dan perdagangan. Pusat Latihan Kerdja Pasarrebo didirikan dengan bantuan luar negeri (Australia) melalui Colomboplan. Bantuan diberikan berupa alat-alat kerdja (mesin-mesin). Kalau kapasitas penuh Pasarrebo dapat melatih k.l. 250 orang.
          2. Malang (Singosari) — Pusat Latihan Kerdja Singosari ada- lah sematjam Pasarrebo, didirikan dengan bantuan luar negeri (Selandia) berupa alat-alat kerdja dan gedung. Pada taraf permulaan diselenggarakan latihan sopir mobil, tukang kaju bangunan, tukang kaju perabot rumah tangga, tukang besi bagian kikir, pembantu montir mobil, tukang listrik, perdagangan dan pertanian.
          3. Semarang — Pusat Latihan Kerdja Semarang menjelenggarakan latihan sopir mobil, tukang kaju bangunan, tukang besi bagian kikir dan montir mobil.
          4. Jogjakarta — Latihan-latihan jang diselenggarakan di Pusat Latihan Kerdja Jogja jalah: tukang kaju bangunan, tukang besi bagian kikir, tukang besi bagian pelat dan sopir mobil. Selain itu Jogjakarta djuga menjelenggarakan: kursus memegang buku, steno tik, dan mengetik.
          5. Surakarta — Pusat Latihan Kerdja Solo menjelenggarakan latihan tukang kaju bangunan, tukang besi bagian kikir dan keradjinan wanita (modevak).
          6. Lembang — Pusat Latihan Kerdja ini menjelenggarakan. latihan-latihan pertanian.
          Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/172 sosialisme. Karena dalam masing-masing taraf itu hubungan perburuhan mempunjai warna atau tjorak tersendiri dan karena taraf-taraf perkembangan masjarakat itu masing-masing berlainan warna atau tjoraknja maka masalah hubungan perburuhannja pun tidak selalu serupa. Sebaliknja sifat hubungan perburuhan jang selalu sama jalah bahwa masalah itu timbul karena sebab jang diuraikan diatas, jaitu karena adanja 2 unsur peserta dalam proses produksi, jaitu buruh dan pengusaha.

          Dalam masa pendjadjahan tjorak chas jang ada pada waktu itu jalah: kekuasaan politik dan ekonomi dalam tangan kolonialis dan modal monopoli asing. Masalah hubungan perburuhannja timbul antara golongan jang mengeksploitasi dan kaum buruh jang dieksploitasi: pembatasan hak-hak azasi manusia, larangan berserikat buruh jang bertjorak perdjoangan nasional dan politis, diskriminasi dalam pemberian balas djasa (misalnja dalam hal pengupahan, djaminan sosial dan kesedjahteraan buruh) dan dalam hal kesempatan untuk memperoleh kemadjuan. Dalam keadaan jang demikian masalah jang timbul dalam hubungan antar pengusaha dan buruh selalu bersifat pertentangan (antagonistis).

          Sedjak tahun 1950 kembalilah kekuasaan de fakto dan de jure kedalam tangan Bangsa Indonesia tetapi dalam pada itu mulai berlakulah salah satu ketentuan dari pada K.M.B., jaitu dikembalikannja perusahaan-perusahaan asing kepada pemiliknja jang semula. Seperti diketahui modal asing itu berkuasa dihampir semua sektor perekonomian Indonesia.

          Pada mulanja Pemerintah Indonesia jang mulai bekerdja dengan „kas kosong” tidak banjak mempunjai kekuasaan ekonomi: sektor ekonomi jang dikuasai Pemerintah belum menduduki “commanding position” seperti sekarang ini.

          Dalam keadaan demikian itu masalah hubungan perburuhan timbul sebagai akibat dari pada bergeraknja kekuatan-kekuatan dilapangan kerdja: kaum buruh jang makin lama makin tersusun baik dalam serikat-serikat buruh, golongan madjikan asing sebagai pemilik modal/perusahaan-perusahaan asing beroperasi dihampir semua sektor ekonomi, serta Pemerintah jang belum stabil dan belum seberapa kekuatan dan wewenangnja dalam ekonomi nasional.

          Dalam Periode Survival itu, organisasi buruh mulai mempergunakan kekuatannja dan mengarahkan perhatiannja kearah perbaikan nasib dan sjarat-sjarat kerdja bagi anggotanja serta perdjoangan hak-hak azasinja, antara lain untuk mendirikan serikat-serikat buruh diperusahaan-perusahaan dan untuk memperoleh pengakuan atas serikat-serikat buruh jang telah didirikannja.

          Karena itu dalam periode ini masalah hubungan perburuhan ditandai dengan timbulnja tuntutan-tuntutan jang bertubi-tubi, perselisihan-perselisihan perburuhan dan pemogokan-pemogokan setjara bergelombang dari pihak kaum buruh. Sebaliknja pihak madjikan mendjawab aksi-aksi kaum buruh tersebut dengan penutupan-penutupan perusahaan dan pemetjatan-pemetjatan massal.

          Dilihat dari segi perkembangan revolusi masalah-masalah dalam hubungan perburuhan itu memperlihatkan gerak jang tjukup dinamis dan jang menguntungkan djalannja revolusi kita, mengingat peranan kaum buruh dalam usaha peningkatan ”commanding position” Pemerintah dibidang ekonomi nasional dimasa-masa berikutnja.

          Perselisihan perburuhan.

          Mengenai perselisihan perburuhan jang terdjadi selama Periode Survival 1950-1955 dapatlah dikemukakan laporan angka-angka sebagai berikut:

          Statistik perselisihan perburuhan.
          Tahun banjaknyja perselisihan banjaknja buruh dalam perusahaan jang bersangkutan.
          1951 2.154
          1952 4.003
          1953 1.800 1.268.000
          1954 2.812 2.197.100
          1955 3.697 3.488.700

          Pemerintah, dalam hal ini Panitia Penjelesaian Pertikaian Perburuhan jang kemudian mendjadi Panitia Penjelesaian Perselisihan Perburuhan atau jang terkenal dengan nama P4P dengan P4D (Daerah-daerah)-nja berusaha menjelesaikan perselisihan-perselisihan perburuhan itu sesuai dengan ketentuan-ketentuan jang telah ditetapkan dalam undang-undang. Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/175 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/176 perekonomian dan keadaan perburuhan pada chususnja pada sesuatu waktu.

          Walaupun demikian, Kementerian Perburuhan berhasil djuga menguasai keadaan, sehingga sungguhpun masih banjak timbul perselisihan perburuhan dan pemogokan, membatasi kerugian sampai batas-batas jang tidak merugikan perekonomian negara. Disamping itu lambat laun tersusun jurisprudensi dari putusan-putusan P4P jang mengisi kekosongan akan beberapa peraturan perburuhan dan dengan demikian mempermudah penjelesaian pertikaian perburuhan.

          Perlu kiranja dikemukakan disini, bahwa walaupun angka-angka perselisihan perburuhan menundjukkan ketjenderungan untuk meningkat, namun ada peristiwa jang menekan kenaikan angka-angka tersebut.

          Peristiwa jang dimaksudkan itu ialah diadakannja Konperensi Asia-Afrika I pada achir bulan April 1955 di Bandung. Atas kesadaran buruh dari semua golongan dan lapisan, maka mendjelang diadakannja dan selama konperensi itu sendiri berlangsung, seolah-olah ada „cease fire” buruh dan pengusaha. Ini terbukti tidak adanja satu pemogokanpun jang dilangsungkan selama bulan Maret dan April 1955, suatu kedjadian jang baru kali ini dialami semendjak terbentuknja Negara Kesatuan dalam tahun 1950.

          Hal ini dinjatakan oleh Menteri Perburuhan pada sambutannja mendjelang Hari Kemenangan Buruh 1 Mei 1955 dimana beliau menjatakan terima kasih Pemerintah kepada semua buruh dalam memberikan sumbangannja jang tidak sedikit terhadap berlangsungnja Konperensi Asia-Afrika I itu.

          3. Masalah Djaminan Sosial dan Kesedjahteraan Buruh.

          Djaminan sosial adalah keseluruhan daripada usaha-usaha jang bertudjuan untuk mendjamin agar setiap orang, buruh chususnja, didjamin penghasilannja sewaktu-waktu ia tidak mampu bekerdja dan akan memperoleh perawatan pengobatan, termasuk obat-obatan, jang dibutuhkannja menurut keadaan kesehatannja. Pemeliharaan pengobatan ini meliputi semua anggota keluarga buruh. Dalam arti-kata jang lebih luas lagi djaminan sosial itu diberikan kepada seluruh rakjat.

          Tjorak jang terpenting dari djaminan sosial ialah bahwa djaminan itu harus meliputi segala kemungkinan sosial dengan tiada ketjuali, sehingga merupakan djaminan sosial jang lengkap. Maka djaminan sosial jang lengkap harus meliputi segala akibat daripada keadaan apabila seorang terpaksa tidak bekerdja, karena sebab-sebab diluar kemauannja dan karenanja menderita kekurangan penghasilan atau kekurangan kapasitas untuk menghasilkan. Karena itu djaminan sosial meliputi hal sakit, tidak pandang berapa lama, kelahiran anak, tjatjat, ketjelakaan perusahaan, hari-tua dan pengangguran.

          Djika seorang pentjari nafkah meninggal dunia, peraturan-peraturan djaminan sosial seharusnja memberi kemungkinan kepada keluarga jang ditinggalkan untuk memperoleh tundjangan-tundjangan sedemikian rupa, hingga keluarga jang ditinggalkan tersebut tetap dapat hidup dengan lajak.

          Peraturan-peraturan djaminan sosial memegang peranan penting dalam perkembangan peraturan-peraturan pentjegah baik jang mengenai sosial maupun jang mengenai kesehatan.

          Mengenai ketjelakaan-ketjelakaan kerdja dalam perusahaan, djaminan sosial harus mengandung segala peraturan pentjegah untuk mengurangi ketjelakaan pada djumlah minimum.

          Dalam hal terdjadi ketjelakaan diperusahaan, perlu dibajarkan penggantian kerugian penuh dan ditentukan tjara-tjara pemberian penggartian kerugian, baik jang mengenai pengobatan maupun pekerdjaan, bagi orang jang menderita ketjelakaan.

          Djaminan sosial harus didasarkan atas pengakuan dari hak sosial jang pokok jang didjamin oleh undang-undang bagi tiap orang jang hidup dengan djalan memburuh.

          Kesedjahteraan buruh adalah fasilitas-fasilitas jang diterima buruh disamping upah djaminan sosial dan meliputi antara lain: fasilitas makan (kantin) dan rekreasi (tempat dan alat-alat olah raga, tempat-tempat pertemuan), penitipan baji pada waktu hari dan djam kerdja, perumahan, asrama buruh wanita dan sebagainja.

          Di Indonesia sedjak 1945 djaminan sosial dan kesedjahteraan buruh merupakan salah satu masalah perburuhan jang senantiasa mendapat perhatian, baik oleh kaum buruh, maupun oleh Pemerintah. Sesungguhnja suatu negara jang mempunjai tjita-tjita untuk mentjapai masjarakat jang adil dan makmur, soal djaminan sosial dan kesedjahteraan buruh seharusnja merupakan usaha jang senantiasa harus ditingkatkan tarafnja.

          Masalah djaminan sosial dan kesedjahteraan buruh tidaklah semata-mata bersegi sosial, tetapi djuga segi ekonomi ( produksi)nja tidak ketjil artinja. Jang terang ialah, bahwa buruh jang tidak memperoleh djaminan sakit dan jang tidak memperoleh pemeliharaan pada waktu sakit tidak akan lekas dapat bekerdja, hal mana akan mempengaruhi prestasi kerdjanja. Demikian pula buruh jang meninggalkan keluarganja dirumah dalam keadaan sakit tanpa ada bantuan pengobatan, tentu tidak akan dapat tenang bekerdja dan memberikan prestasi sebagaimana mestinja. Ini semuanja tentu akan mempengaruhi tingkat produksi pada umumnja.

          Perusahaan-perusahaan besar di Indonesia jang mempunjai kedudukan keuangan kuat pada umumnja telah memberikan/ menjediakan fasilitas djaminan sosial dan kesedjahteraan buruh kepada buruh-buruh jang bekerdja pada perusahaannja.

          Sebaliknja, diperusahaan-perusahaan jang kurang kuat kedudukan keuangannja, fasilitas-fasilitas itu sering merupakan tambahan biaja jarg terletak diluar daja kemampuan keuangannja. Tetapi bagi buruh jang bekerdja, dimanapun ia bekerdja, pada suatu waktu ia tentu memerlukan djaminan itu, jaitu pada waktu ia sakit, isterinja melahirkan anak dan waktu ia sudah tua hingga tidak mampu untuk bekerdja lagi.

          Karena itu soal pemupukan dana untuk menanggung pengeluaran biaja djaminan-djaminan sosial itu senantiasa merupakan soal penting dalam pemetjahan masalah perburuhan dan oleh karena pembiajaan itu mengenai daja kemampuan keuangan, hal itu rapat hubungannja dengan tingkat perkembangan perekonomian pada umumnja. Siapakah jang harus membiajai pengeluaran djaminan sosial itu?

          Buruh sendirikah, Madjikankah, Gotong-rojongkah? Atau Pemerintahkah? Bagaimana tjara mengumpulkan dana itu? Dengan sistim pertanggungan atau asuransi (sukrela atau wadjib) atau hanja dari Anggaran Negara sadja?

          Usaha pemupukan dan pengaturan dana djaminan sosial dan kesedjahteraan buruh itu sementjak tahun 1950 mulai didjalankan walaupun setjara insidentil dan ketjil-ketjilan.

          Sampai tahun 1955, Kementerian Perburuhan telah memberikan subsidi sebesar Rp. 392.309,— kepada badan-badan perjelenggara dana-dana sakit, antara lain:

          1. Sentral Fonds Sakit Jogja.
          2. Dana Sakit untuk Buruh Bandung.
          3. Dana Sakit untuk Buruh Palembang.
          Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/180 Rumah-rumah dan gedung-gedung pertemuan tersebut dimaksudkan djuga untuk mendjadi tjontoh pembuatan rumah buruh sehat tetapi murah. Selain perumahan buruh, djuga telah didirikan „balai-balai istirahat buruh” dan Puntjak (1952), Kaliurang (1953), Tawangmanggu 1953) dan Berastagi dengan kepasitas 103 tempat tidur. Djumlah tundjangan jang telah dikeluarkan sampai acihr 1954 adalah sebesar Rp. 34.424,18.

          IV. PERIODE CHALENGE DAN RESPONSE TERHADAP DEMOKRASI TERPIMPIN 1955 — 1959.

          Perkembangan masalah Perburuhan dalam periode ini dipengaruhi oleh dua kedjadian penting: jang pertama adalah tindakan Pemerintah dalam bidang ekonomi, jaitu dikeluarkannja Peraturan Bukti Ekspor (B.E.) dan jang kedua jalah tindakan Pemerintah karena hendak menempuh „djalan lain” dalam usaha Rakjat Indonesia untuk mengembalikan Irian Barat kedalam wilajah kekuasaan Republik Indonesia.

          Peraturan B.E. jang dikeluarkan dalam bulan Djuli 1957 itu dimaksudkan untuk mengadakan keseimbangan dalam penerimaan dan pengeluaran devisa, atau menghubungkan impor setjara otomatis dengan ekspor. Peraturan tersebut ternjata menimbulkan perkembangan baru dalam lapangan industri dalam negeri dan distribusi barang-barang baku serta barang-barang konsumsi, hal mana selandjutnja mempengaruhi pula situasi „lapangan kerdja dan pengupahan”.

          Peraturan B.E. itu pertama-tama terasa akibat-akibatnja pada industri dalam negeri jang bahan-bahan bakunja tergantung pada impor: akibat-akibat itu kemudian mendjalar pada industri-industri ketjil. Memang telah lama industri-industri ketjil itu mengalami bermatjam-matjam kesukaran, antara lain mengenai likwiditas, bahan-bahan untuk keperluan produksi, management, dan sebagainja. Menurut taksiran pada waktu itu dibidang industri ketjil ada sebanjak 15.600 perusahaan jang mempekerdjakan sedikitnja 600.000 buruh. Dalam djumlah ini belum terhitung perusahaan-perusahaan jang mempunjai buruh kurang dari 10 orang setiap perusahaan.

          Naiknja harga barang impor serta sukarnja pembuatan kalkulasi berhubung dengan belum stabilnja harga B.E. menjepbabkan banjak pengusaha bersikap „menunggu” jang menjebabkan tambah seretnja peredaran barang. Akibat langsung jang dirasakan dalam bidang perusahaan jalah bahaja akan ditutupnja atau surutnja perusahaan-perusahaan tertentu.

          Tampak gedjala-gedjala, bahwa kaum buruh tidak dipekerdjakan dengan penuh, hal mana berarti makin berkurangnja lapangan kesempatan kerdja. Akibat lainnja jalah melondjaknja harga barang-barang termasuk barang konsumsi. Gedjala-gedjala tentang terasanja kenaikan-kenaikan harga itu terdengar dalam bentuk-bentuk pernjataan-pernjataan dari pusat-pusat organisasi-organisasi buruh.

          Kemudian setelah dirundingkan dengan Menteri-menteri jang mendjadi anggota Panitia Pejelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (4), maka Pemerintah c.g. Menteri Perburuhan mengeluarkan surat andjuran agar kepada kaum buruh diberi tundjangan jang djumlahnja sampai 20% dari upah nominal berupa uang.

          Perkembangan masalah perburuhan selandjutnja dipengaruhi oleh tindakan kaum buruh untuk mengadakan „Aksi tidak mogok kerdja” pada tanggal 2 Desember 1957 selama 24 djam pada semua perusahaan Belanda diseluruh Indonisia atas andjuran Panitia Aksi Pembebasan Irian Barat, aksi mana pada umumnja dilakukan setjara tertib.

          Aksi mogok kerdja itu kemudian disusul dengan rentetan kedjadian pengawasan, pengoperan dan pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda oleh buruh-buruhnja jang dimulai dengan pengambil-alihan perusahaan perkapalan N.V.K.P.M. di Djakarta pada tanggal 3 Desember 1957. Sesudah itu, maka tindakan pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda itu terdjadi dimana-mana, djuga diluar kota Djakarta.

          Aksi-aksi pengambil-alihan perusahaan-perusahaan Belanda itu ternjata mempunjai arti jang menentukan bagi djalannja revolusi kita, terutama dalam bidang peningkatan „commanding position” sektor ekonomi Pemerintah serta peningkatan militansi gerakan buruh Indonesia.

          Sementara itu tindakan pengambil-alihan itu menghadapkan kita pada persoalan-persoalan sebagai berikut:

          1. Terhentinja lalu-lintas kapal-kapal jang dahulu dilakukan oleh perusahaan perkapalan K.P.M. dan jang merupakan lebih dari seperdua dari kapasitas angkutan laut interinsuler di Indonesia.
          2. Hilangnja setjara mendadak tenaga. tenaga ahli dari sebagian besar perusahaan-perusahaan Belanda jang telah diambil alih atau diawasi oleh instansi-instansi resmi.

          Untuk menampung persoalan itu dibidang perburuhan ditentukan 3 garis kebidjaksanaan :

          1. proses produksi dan pemberian djasa supaja dapat berdjalan terus, bahkan sedapat mungkin supaja lebih lantjar dari pada dalam waktu-waktu jang lampau.
          2. tingkat kesempatan kerdja supaja dipertahankan.
          3. sjarat-sjarat perburuhan supaja djangan sampai berkurang.

          Tiga matjam ketentuan tersebut selandjutnja merupakan pedoman dalam menjelesaikan masalah perburuhan jang timbul dipusat dan didaerah-daerah pada waktu itu.

          A. MASALAH TENAGA KERDJA.

          1. Informasi Terjaga Kerdja.

          Pada tahun 1955 Indonesia mulai menjusun rentjana „pembangunan ekonomi jang pertama (1955 — 1960)”. Dalam penjusunan rentjana itu makin dirasakan pentingnja peranan tenaga kerdja. Sesungguhnja, suatu rentjana pembangunan tidak akan lengkap djika „inputnja” hanja terdiri atas alam, bahan mentah dan uang sadja, tanpa tenaga kerdja. Maka mulailah perhatian ditudjukan pada pengetahuan tentang persoalan tenaga kerdja. Untuk menjusun suatu rentjana pembangunan diperlukan pengetahuan tentang djenis tenaga jang tersedia, bagaimana umur dan kesanggupannja, faktor-faktor jang dapat merobah susunan tenaga kerdja, kejtepatan urbanisasi (arus dari desa pindah kekota).

          Untuk memperoleh keterangan-keterangan jang benar-benar dapat dipertanggung-djawabkan setjara ilmiah guna kepentingan rentjana pembangunan tersebut mulailah diadakan pengumpulan keterangan-keterangan tentang tenaga kerdja, melalui survey-survey sebagai berikut :

          1956 Pertial Manpower survey seluruh Indonesia,
          1956 Pilot Project Employment Market Information Survey di Sukabumi,
          1957 Pilot Project Labour Force Sample Surveys wilajah Sukabumi (kota dan pedusunan),
          1957 Pilot Project Labour Force Sample Survey Bandung kota),
          1957 Pilot Project Labour Force Sample Survey Wurjantoro (pedusunan),
          1957 Pilot Project Labour Sample Survey Kota Solo (kota),
          Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/185 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/186 Tjara latihan kerdja ini adalah latihan jang dipertjepat (accelerated training).

          Disamping latihan kerdja dengan tjara itu dalam periode ini mulai diselenggarakan apa jang dinamakan ”training within industry” (T.W.I.) jang dimaksudkan melatih pengawas-pengawas (supervisors) didalam industri untuk mendjalankan pekerdjaan dengan tjara jang lebih efisien dan metodis. Untuk melaksanakan T.W.I., maka dalam tahun 1958 dilantik suatu Panitia Interdeparmental T.W.I. dengan tugas memberi saran-saran dan nasehat-nasehat kepada Kementerian Perburuhan, chususnnja Djawatann Latihan Kerdja dalam melaksanakan Projek T.W.I. T.W.I. mempuniai 3 djurusan jaitu:

          1. latihan instruksi kerdja:
          2. latihan hubungan kerdja dan
          3. latihan tjara kerdja.

          Selama tahun 1958 sampai dengan 1960 telah dilatih sedjumlah 278 orang Masters Trainers'/Trainers dan 5221 pengawas terlatih (supervisors trained).

          C. HUBUNGAN PERBURUHAN.

          1. Perselisihan Perburuhan.

          Pada umumnja dapat dikatakan bahwa banjak sedikitnja djumlah perselisihan perburuhan mentjerminkan keadaan sosial-ekonomis dari masjarakat jang bersangkutan pada sesuatu saat.

          Dapat dikemukakan bahwa pada bagian pertama periode ini perselisihan perburuhan agak meningkat terutama dalam tahun 1957. Telah dikemukakan tadi bahwa dalam tahun itu dikeluarkan peraturan B.E. jang membawa banjak akibat dalam bidang perburuhan.

          Angka-angka perselisihan perburuhan memberi gambaran sebagai berikut:

          Statistik perselisihan perburuhan 1956-1959.
          Tahun Banjaknja
          perselisihan
          Banjaknja buruh jang bekerdja
          1955 3.896 3.488.700
          1956 3.350 3.111.900
          1957 4.131 5.057.500
          1958 3.697 2.916.900
          1959 2.325 1.956.500
          Banjaknja perselisihan perburuhan itu ternjata tidak banjak mempengaruhi djalannja produksi karena tidak selalu diikuti dengan aksi-aksi pemogokan. Mengenai statistik pemogokan dapat dikemukakan angka-angka sebagai berikut.
          Statistik pemogokan (1956-1959).
          Tahun Banjaknja
          pemogokan
          Banjaknja
          buruh jang mogok
          Djumlah djam kerdja hilang
          1956 505 340.200 8.968.900
          1957 151 62.000 883.300
          1958 55 13.100 98.000
          1959 70 26.600 219.200

          Angka-angka tersebut menundjukkan bahwa djumlah pemogokan menundjukkan ketjenderungan untuk menurun. Hal ini disebabkan oleh antara lain:

          1. Makin lama makin kanjak perusahaan-perusahaan jang dikuasai oleh Pemerintah (Perusahaan-perusahaan Negara) dan banjak perusahaan-perusahaan ini antaranja jang dinjatakan vital.
          2. Makin lama makin lengkap peraturan-peraturan jang berlaku untuk menjelesaikan perselisihan-perselisihan perburuhan.
          3. Lembaga jang diserahi menjelesaikan perselisihan perburuhan (Panitia Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat makin lama makin berpengalaman hingga mampu menunaikan tugasnja dalam waktu lebih singkat.

          Dalam tahun 1959 sebesar 36,550 dari seluruh perselisihan perburuhan adalah mengenai upah dan 23,1196 diantaranja mengenai pemutusan hubungan keridja (pemetjatan). Angka-angka ini menggambarkan situasi sosial-ekonomi kita pada waktu itu.

          Sementara itu P4 Pusat telah berhasil menetapkan norma-norma untuk mengatasi perselisihan perburuhan jang dapat diterima oleh masjarakat, misalnja menjuruh mengerdjakan kembali seorang buruh jang dipetjat dengan tiada alasan oleh pengusana, pemberian uang djasa, pemberian „shakehands” premie, peraturan pengobatan ,tjuti pendek, dan sebagainja. Untuk memudahkan penentuan norma-norma baru itu oleh P4 Pusar (bentuk lama) telah dibentuk suatu panitia ad hoc terdiri dari wakil-wakil anggota ahli hukum untuk merumuskan segala sesuatu agar didjadikan pedoman dalam menjelesaikan perselisihan. Panitia ad hoc ini berhasil membuat perumusan mengenai:

          1. pembajaran upah selama penutupan perusahaan/penolakan buruh untuk bekerdja;
          2. penutupan perusahaan/penolakan buruh untuk bekerdja;
          3. aksi go-slow dan slow-down;
          4. pemberian uang pesangon dan uang djasa kepada buruh-buruh jang diberhentikan;
          5. pemogokan untuk membantu serikat buruh lain menekan madjikan (pemogokan solider);
          6. kewadjiban pengusaha terhadap buruhnja jang ditahan oleh alat kekuasaan negara;
          7. soal borongan;
          8. akibat-akibat dari pemindahan tangan suatu perusahaan atau bagian dari perusahaan bagi hubungan kerdja jang ada;
          9. alasan mendesak jang merupakan ”strafbaar feit”;
          10. putusan P4 Pusat jang bersifat mendesak;
          11. kewadjiban pengusaha untuk membajar upah selama buruh harus melakukan kewadjibannja terhadap Pemerintah;
          12. pesangon;
          13. pembajaran ganti kerugian pada pemutusan hubungan kerdja.

          Dalam amanat P.J.M. Presiden Republik Indonesia jang disampaikan kepada para anggota dan anggota-pengganti Panitia Penjelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat dikemukakan bahwa „menudju kenegara adil dan makmur” harus mendjadi pedoman bagi Panitia Penjelesaian Perselisihan Perburuhan dalam menjelesaikan tugasnja. Amanat itu hingga kini selalu mendjadi pedoman kerdja bagi P4 Pusat.

          2. Kerdjasama Buruh dan Pimpinan Perusahaan.

          Semendjak diambil alihnja perusahaan-perusahaan Belanda oleh Pemerintah Indonesia jang dipelopori oleh aksi-aksi pengoperan oleh kaum buruh mulai deraslah suara dan tuntutan kaum buruh untuk diikutsertakan dalam pengusahaan perusahaan-perusshaan negara tersebut. Mulailah ditjari bentuk-bentuk permusjawaratan antara buruh dan pimpinan perusahaan.

          Bentuk kerdjasama antara pimpinan perusahaan, golongan funksionil dan Pemerintah itu antara lain mulai dilaksanakan Pada umumnja diperusahaan-perusahaan jang besar dan sedang, pelaksanaan pasal waktu kerdja telah didjalankan dengan baik. Hanja untuk pekerdjaan jang menurut sifatnja sukar memenuhi waktu kerdja dan waktu istirahat dan pula merupakan perusahaan vital masih diberikan dispensasi.

          Disamping masih ada kedjadian-kedjadian jang menjimpang dari pasal tersebut jang memang terpaksa harus diadakan, masih ada pekerdjaan-pekerdjaan jang bertimbun-timbun dan lekas harus diselesaikan jang tidak dapat diketahui sebelumnja. Hal itu terdapat diperusahaan pelabuhan, transpor didarat dan diair, pabrik-pabrik dimana ada kerusakan-kerusakan dibagian-bagian jang penting.

          2. Kerdja anak.

          Undang-undang kerdja 1948 menentukan anak-anak (14 tahun kebawah) tidak boleh mendjalankan pekerdjaan. Ketentuan itu menurut pemeriksaan Djawatan Pengawasan Perburuhan masih belum dapat dilaksanakan. Ternjata masih terdapat anak-anak umur 13 tahun bekerdja diperkebunan, diperusahaan sigaret, batik, perak, gelas, untuk memenuhi kebutuhan penghidupan orang tuanja sehari-hari.

          3. Kerdja malam wanita.

          Kerdja malam wanita pada umumnja telah ditaati peraturannja. Dalam pada itu perizinan oleh instansi jang berwenang telah diberikan kepada beberapa perusahaan tekstil. Izin kepada perusahaan-perusahaan ini diberikan dengan pengertian bahwa setjara berangsur-angsur harus dikurangi tanpa mengakibatkan pelepasan, misalnja dipindahkan kebagian siang hari dan diberi pekerdjaan lain sesuai dengan ketjakapan serta bakatnja masing-masing. Perizinan lain diberikan djuga kepada beberapa perusahaan perkebunan (serat).

          4. Istirahat karena haidh, hamil dan melahirkan anak.

          Pelaksanaan peraturan tentang ini pada umumnja masih menghadapi kesulitan-kesulitan, terutama jang mengenai haidh disebabkan karena antara lain adanja penjalahgunaan oleh buruh-buruh wanita jang berkepentingan.

          Adapun jang mengenai istirahat hamil umumnja dapat dilaksanakan dengan memuaskan. Mengenai perhitungan 45 hari sebelum melahirkan anak, sering tidak dapat dipastikan, sekalipun mulainja hari istirahat itu ditentukan oleh bidan/dokter jang bersangkutan. Mengenai pembajaran upah selama buruh istirahat hamil, terutama perusahaan-perusahaan ketjil, pengusaha pada umumnja paling banjak hanja dapat memenuhi 50% dari semestinja.

          5. Istirahat mingguan.

          Istirahat mingguan pada umumnja telah dilaksanakan diperkebunan dan perusahaan-perusahaan. Sebagian perusahaan memberikan istirahat mingguan setjara bergilir dan biasanja adalah hari minggu. Bagi pemeluk agama Islam diberikan kesempatan sepatutnja untuk melakukan ibadatnja pada hari Djum'at, pemeluk agama Kristen pada hari Minggu apabila mereka bekerdja.

          6. Istirahat tahunan.

          Peraturan tjuti tahunan bagi buruh telah dapat dilaksanakan sebagaimana mestinja dalam perusahaan-perusahaan besar.

          Sebaliknja perusahaan-perusahaan ketjil/sedang banjak belum mampu memberikan tjuti tahunan. Keberatan itu dikemukakan oleh perusahaan-perusahaan jang banjak mempergunakan tenaga wanita atau jang kurang kuat kapitalnja.

          4. Perumahan dan kesehatan/pengobatan.

          Diperkebunan banjak dibangun perumahan baru tetapi djumlahnja masih belum mentjukupi kebutuhan. Untuk menampung kekurangan itu diadakan pondok-pondok pandjang jang hanja sedikit kerusakannja untuk dipergunakan sementara waktu.

          Dipertambangan dan dibeberapa perusahaan remilling serta penggergadjian kaju didirikan perumahan baru sebagai ganti rumah-rumah jang sudah tua. Buruh jang belum dapat perumahan diberi tundjangan keuangan.

          Perusahaan-perusahaan, lainnja tidak menjediakan perumahan karena keuangan tidak mengizinkan. Buruh ini tinggal didesa/kota jang berdekatan dengan perusahaan tersebut.

          Perusahaan-perusahaan batik di Jogja dan Solo telah mempunjai Balai Kesehatan Buruh.

          Perkebunan umumnja mempunjai poliklinik sendiri jang dikepalai oleh djuru-rawat dan apabila buruhnja sakit berat dikirim kerumah sakit perkebunan. di P.P.N. Baru, jaitu dengan dibertuknja „Badan Pertimbangan P.P.N.-Baru” Pusat dan daerah-daerah. Dalam badan ini duduk wakil-wakil Kementerian Perburuhan, Kementerian Pertanian, Kementerian Agraria, Buruh, Tani dan Direksi P.P.N. — Baru, dengan wakil Kementerian Perburuhan sebagai ketuanja.

          Djuga didaerah-daerah Swatantra tingkat I dimana terdapat tjabang P.P.N. — Baru, didirikan badan sematjam itu dengan diketuai oleh seorang jang ditundjuk oleh wepala Daerah jang bersangkutan.

          Badan tersebut bertugas memberi pertimbangan-pertimbangan mengenai:

          1. soal-soal kesedjahteraan buruh dan soal-soal jang menjangkut kepentingan tani;
          2. soal-soal jang berdangKubati dengan produktivitas kerdja dalam perusahaan perkebunan kearah kelantjaran serta efisiensi djalannja perusahaan;
          3. tjara-tjara penampungan serta penjelesaian keluhan-keluhan buruh dan tani.

          Bersamaan dengan terbentuknja badan tersebut diandjurkan pula supaja diperkebunan-perkebunan, pada waktu-waktu tertentu, diadakan musjawarah antara pimpinan perkebunan dan pimpinan buruhnja.

          Bentuk kerdjasama jang kedua dengan Folongan-golongan funksionil terdapat dalam „Panitia Perkebunan”, berdasarkan Peraturan Pemerintah no. 61 tahun 1954, dimana selain wakil-wakil Pemerintah, diikut sertakan pwla wakil-wakil dari organisasi buruh, organisasi tani, golongan veteran, dan perusahaan perkebunan besar. Panitia tersebut selain dipusat djuga didirikan didaerah Daswati I Djawa Timur, Djawa Tengah, Djawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Atjeh, dan daerah-daerah Swatantra Tingkat I lainnja jang ditundjuk oleh Menteri Pertanian. Panitia Perkebunan ini mempunjai tugas untuk melaksanakan Undang-undang no. 28 tahun 1956 tentang „Pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah-tanah perkebunan” dan Undang-undang No. 29 tahun 1956 tentang „Peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai tanah perkebunan”.

          Seperti diketahui perkebunan adalah sangat vital bagi perekonomian Indonesia. Aksi-aksi Pembebasan Irian Barat dan perginja tenaga-tenaga ahli asing dari Indonesia setjara serentak menimbulkan banjak soal jang perlu segera dipetjahkan. Dengan terbentuknja Badan/Panitia tersebut, Buruh dan Tani diikut-sertakan dalam usaha untuk melantjarkan djalannja perkebunan-perkebunan tersebut.

          D. NORMA-NORMA PERBURUHAN (LABOUR STANDARDS).

          Norma-norma perburuhan menetapkan ketentuan tentang: djam kerdja, waktu istirahat, kerdja anak-anak dan wanita, tempat kerdja, kesehatan dan keselamatan kerdja, perumahan buruh dan sebagainja sedikitnja mengenai sjarat-sjaratt minimumnja apabila hal itut mengenai sjarat-sjarat jang harus diadakan oleh pihak pengusaha dan sjarat-sjarat maksimumnja djika mengenai beban jang harus didjalankan oleh pihak buruh.

          Oleh karena norma-norma perburuhan itu rapat hubungannja dengan daja kemampuan manusia maka penentuannja tidak lepas dari pengawasan internasional. Pada umumnja harus di djaga agar norma-norma perburuhan itu ditentukan dan dilaksanakan sesuai dengan martabat manusia.

          1. Djam kerdja.

          Dalam tahun 1937/1938 djam kerdja bagi buruh Indonesia ditentukan sebanjak 60 djam seminggu, dalam periode 1937/1949 diubah mendjadi 54 djam seminggu, kemudian setelah berlakunja Undang-undang Kerdja 1948 pada tahun 1951 bagi seluruh Indonesia, djam kerdja ditentukan 40 djam seminggu.

          Tetapi hal itu bukanlah berarti bahwa pekerdjaan lebih dari 40 djam seminggu dilarang. Untuk kepentingan negara dan masjarakat pada umumnja instansi jang berwenang (Djawatan Pengawasan Perburuhan) dapat memberi izin penjimpangan. Pada umumnja izin penjimpangan itu paling banjak diberikan pada perusahaan-perusahaan jang memberi djasa, kemudian kepada industri bahan makanan, industri tekstil (dalam periode 1955 — 1959) dan kepada Perusahaan-perusahaan pertanian.

          Selandjutnja ada ketentuan bahwa setelah mendjalankan pekerdjaan selama 4 djam terus-menerus, harus diadakan waktu istirahat sedikitnja ½ djam dan tiap minggu diadakan 1 hari istirahat. Pada umumnja diperusahaan-perusahaan jang besar dan sedang, pelaksanaan pasal waktu kerdja telah didjalankan dengan baik. Hanja untuk pekerdjaan jang menurut sifatnja sukar memenuhi waktu kerdja dan waktu istirahat dan pula merupakan perusahaan vital masih diberikan dispensasi.

          Disamping masih ada kedjadian-kedjadian jang menjimpang dari pasal tersebut jang memang terpaksa harus diadakan, masih ada pekerdjaan-pekerdjaan jang bertimbun-timbun dan lekas harus diselesaikan jang tidak dapat diketahui sebelumnja. Hal itu terdapat diperusahaan pelabuhan, transpor didarat dan diair, pabrik-pabrik dimana ada kerusakan-kerusakan dibagian-bagian jang penting.

          2. Kerdja anak.

          Undang-undang kerdja 1948 menentukan anak-anak (14 tahun kebawah) tidak boleh mendjalankan pekerdjaan. Ketentuan itu menurut pemeriksaan Djawatan Pengawasan Perburuhan masih belum dapat dilaksanakan. Ternjata masih terdapat anak-anak umur 13 tahun bekerdja diperkebunan, diperusahaan sigaret, batik, perak, gelas, untuk memenuhi kebutuhan penghidupan orang tuanja sehari-hari.

          3. Kerdja malam wanita.

          Kerdja malam wanita pada umumnja telah ditaati peraturannja. Dalam pada itu perizinan oleh instansi jang berwenang telah diberikan kepada beberapa perusahaan tekstil. Izin kepada perusahaan-perusahaan ini diberikan dengan pengertian bahwa setjara berangsur-angsur harus dikurangi tanpa mengakibatkan pelepasan, misalnja dipindahkan kebagian siang hari dan diberi pekerdjaan lain sesuai dengan ketjakapan serta bakatnja masing-masing. Perizinan lain diberikan djuga kepada beberapa perusahaan perkebunan (serat).

          4. Istirahat karena haidh, hamil dan melahirkan anak.

          Pelaksanaan peraturan tentang ini pada umumnja masih menghadapi kesulitan-kesulitan, terutama jang mengenai haidh disebabkan karena antara lain adanja penjalahgunaan oleh buruh-buruh wanita jang berkepentingan.

          Adapun jang mengenai istirahat hamil umumnja dapat dilaksanakan dengan memuaskan. Mengenai perhitungan 45 hari sebelum melahirkan anak, sering tidak dapat dipastikan, sekalipun mulainja hari istirahat itu ditentukan oleh bidan/dokter jang bersangkutan. Mengenai pembajaran upah selama buruh istirahat hamil, terutama perusahaan-perusahaan ketjil, pengusaha pada umumnja paling banjak hanja dapat memenuhi 50% dari semestinja.

          5. Istirahat mingguan.

          Istirahat mingguan pada umumnja telah dilaksanakan diperkebunan dan perusahaan-perusahaan. Sebagian perusahaan memberikan istirahat mingguan setjara bergilir dan biasanja adalah hari minggu. Bagi pemeluk agama Islam diberikan kesempatan sepatutnja untuk melakukan ibadatnja pada hari Djum'at, pemeluk agama Kristen pada hari Minggu apabila mereka bekerdja.

          6. Istirahat tahunan.

          Peraturan tjuti tahunan bagi buruh telah dapat dilaksanakan sebagaimana mestinja dalam perusahaan-perusahaan besar.

          Sebaliknja perusahaan-perusahaan ketjil/sedang banjak belum mampu memberikan tjuti tahunan. Keberatan itu dikemukakan oleh perusahaan-perusahaan jang banjak mempergunakan tenaga wanita atau jang kurang kuat kapitalnja.

          4. Perumahan dan kesehatan/pengobatan.

          Diperkebunan banjak dibangun perumahan baru tetapi djumlahnja masih belum mentjukupi kebutuhan. Untuk menampung kekurangan itu diadakan pondok-pondok pandjang jang hanja sedikit kerusakannja untuk dipergunakan sementara waktu.

          Dipertambangan dan dibeberapa perusahaan remilling serta penggergadjian kaju didirikan perumahan baru sebagai ganti rumah-rumah jang sudah tua. Buruh jang belum dapat perumahan diberi tundjangan keuangan.

          Perusahaan-perusahaan, lainnja tidak menjediakan perumahan karena keuangan tidak mengizinkan. Buruh ini tinggal didesa/kota jang berdekatan dengan perusahaan tersebut.

          Perusahaan-perusahaan batik di Jogja dan Solo telah mempunjai Balai Kesehatan Buruh.

          Perkebunan umumnja mempunjai poliklinik sendiri jang dikepalai oleh djuru-rawat dan apabila buruhnja sakit berat dikirim kerumah sakit perkebunan. 8. Pendidikan dan hiburan untuk buruh dan keluarganja.

          Diperkebunan umumnja disediakan sekolah rendah dan pemberantasan-buta huruf. Dibeberapa perkebunan hal itu diusahakan oleh buruh sendiri.

          Pada waktu-waktu tertentu perkebunan mendatangkan bioskop keliling. Kadang-kadang wajang-orang, ketoprak, ronggeng dan sebagainja, djuga diadakan olah-raga sepak-bola.

          V. PERIODE PANTJAWARSA MANIPOL (1959-1964).

          Pada masa Revolusi Indonesia berada dalam periode Pantjawarsa Manipol tahun 1959-1964 itu banjaklah terdjadi peristiwa-peristiwa nasional jang sangat menentukan arah dan tjontoh perkembangan masalah perburuhan.

          Disamping sanering uang dalam tahun 1959 jang akibatnja mengganggu ketenangan masjarakat perburuhan karena banjak perusahaan jang menderita kekurangan uang tunai untuk membajar gadji/upah buruh ditjetuskanlah: Dekrit Presiden tanggal 5 Djuli 1959 untuk kembali kepada Undang-undang Dasar '45, dan Manifesto Politik jang mengembalikan perdjoangan Bangsa Indonesia kepada rel jang sebenarnja, Trikora pada achir tahun 1961 jang dapat mengembalikan Irian Barat kepangkuan Republik Indonesia, Konperensi Persiapan K.B.A.A. jang meletakkan dasar-dasar kerdjasama bagi buruh Afrika dan Asia, serta Dekon pada tanggal 28 Maret 1963 jang dipergunakan sebagai landasan perdjoangan ekonomi untuk menudju kepada masjarakat Sosialisme Indonesia. Achirnja, suatu peristiwa penting jang hasil-hasilnja dapat memberi gambaran jang njata mengenai tenaga kerdja di Indonesia setjara menjeluruh, jalah diselenggarakannja Sensus Penduduk dalam tahun 1961.

          Dibanding dengan periode-periode sebelumnja dalam periode Pantjawarsa Manipol ini arah dan tudjuan Revolusi Indonesia mendjadi lebih djelas: djuga mendjadi lebih djelas bagi masing-masing dimana tempat mereka dalam perdjoangan untuk memperkuat ketahanan dan mempertjepat proses revolusi itu. Manifesto Polititk menjatakan bahwa buruh adalah sokongan revolusi disamping tani. Dekon kemudian menentukan bahwa diantara 5 tindakan Pemerintah jang akan diambil untuk melaksanakan Dekon itu, satu diantaranja jalah: „Usaha penjempurnaan labour force harus terus-menerus dilakukan dengan menjempurnakan statistical, technical dan managerial skill, serta berbagai matjam job-training” (tindakan ke-empat).

          Dalam periode-periode jang lampau perdjoangan untuk mensukseskan Revolusi Indonesia masih banjak dihinggapi salah pengertian, salah urus dan salah pimpinan hingga kekuatan nasional, sebagai akibat dari pada sistim liberal, dalam keadaan terpetjah belah. Situasi itu djuga tergambar dalam Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/198 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/199 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/200 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/201 kekurangan modal, devisa, dan tenaga terlatih, maka usaha meningkatkan produktivitas itu adalah tindakan paling tepat untuk mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut diatas.

          Usaha mempertinggi produktivitas itu diarahkan kepada perluasan intensitas kerdja, jaitu dengan menitik-beratkan pada:

          1. Mempertinggi mutu pengusahaan (management).
          2. meningkatkan produktivitas mesin-mesin/alat-alat produksi dan bahan-bahan jang berarti pula penghematan devisa.
          3. Penggunaan tenaga terlatih setjara efisien.
          4. Mempergiat dan memperluas Pe dan latihan kerdja jang tidak terlatih.

          Dengan usaha-usaha itu maka volume barang dan djasa dalam masjarakat bertambah, sedangkan tenaga, alat, dan bahan tidak perlu bertambah karena kurangnja modal dan devisa, maka harga dapat ditekan kenaikannja.

          Untuk melaksanakan hal itu maka „Lembaga Produktivitas” (kini bernama „Lembaga Pembinaan Buruh dan Pimpinan Perusahaan”) semendjak bulan Nopember 1958 sampai pertengahan 1959 telah mengadakan seminar produktivitas jang kemudian disusul dengan projek-projek demontrasi pada beberapa perusahaan pertjetakan, radio, transformer assembling, pabrik barang-barang pantji, perusahaan elektro impor dan pabrik badju kaos di Djakarta.

          Projek demonstrasi produktivitas itu diselenggarakan dengan bantuan ahli-ahli luar negeri dan ditudjukan pada:

          1. Perbaikan tataruang kerdja (plant layout).
          2. Memperbaiki tjara mengangkat dan memindahkan (material handling).
          3. Memperbaiki mutu (quality control).
          4. Mengurangi pemborosan bahan-bahan.

          Hasil-hasil jang ditjapai dalam projek demonstrasi produktivitas itu menundjukkan kenaikan produksi (output) sebesar 33½ — 90% perusahaan-perusahaan tersebut diatas.

          Untuk dapat melaksanakan projek produktivitas tersebut setjara teratur maka „Lembaga Pembinaan Buruh dan Pimpinan Perusahaan” (dulu Lembaga Produktivitas) mengadakan latihan-latihan bagi buruh dan pimpinan perusahaan dengan hasil-hasil sebagai berikut: Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/203 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/204 melaksanakan Trikora jang dikeluarkan dalam tahun 1961 dan Dwikora jang ditjetuskan dalam tahun 1964. Saling pengertian antara buruh pengusaha itu berarti bahwa mereka benar-benar berusaha agar produksi tetap harus berdjalan lantjar dalam keadaan ekonomi jang bagaimana sukarnjapun demi suksesnja revolusi kita.

          Dikeluarkannja Undang-undang No. 12 tahun 1964 tentang pemutusan Hubungan Kerdja diperusahaan swastapun tidak sedikit pengaruhnja pada ketenangan bekerdja. Sedjak 1950 kaum buruh menuntut supaja perundang-undangan kolonial diganti, hal mana diperkuat lagi dalam lampiran A daripada keputusan M.P.R.S. dimana dari Pemerintah diharap agar ”Regeling Ontslagrecht voor bepaalde niet Europese arbeiders” (Stbl. 1941 No. 396) segera ditjabut dan diganti dengan undang-undang jang progresif. Peraturan ini semendjak dulu mendjadi sumber dari banjak perselisihan perburuhan. Karena untuk mengadakan pemutusan hubungan kerdja sekarang perlu mendapat izin dari Panitia Daerah atau Pusat, maka diharapkan bahwa ketegangan jang terdjadi karena pemutusan hubungan kerdja dapat dikurangi seminim-minimnja hal mana akan mempunjai pengaruh baik pada djalannja produksi.

          2. Kerdjasama Buruh dan Pimpinan dalam Perusahaan.

          Dalam periode 1956 — 1959 telah dilaporkan, bahwa disementara perusahaan-perusahaan negara, jaitu dikalangan P.P.N. Baru telah mulai dilaksanakan ide kerdjasama buruh dan pimpinan perusahaan dengan dibentuknja „Badan Pertimbangan P.P.N. Baru” dipusat dan daerah-daerah dengan tugas memberi pertimbangan-pertimbangan kepada pimpinan perusahaan mengenai soal-soal kesedjahteraan buruh, produktivitas kerdja serta keluhan-keluhan buruh dan tani. Hal ini merupakan langkah pertama dalam merealisasi gagasan kegotongrojongan dalam melaksanakan kegiatan ekonomi diperusahaan-perusahaan jang dikuasai oleh Pemerintah. Melihat perintjian tugas badan itu njatalah bahwa perkembangan kerdjasama buruh dan pimpinan dalam perusahaan masih dalam tingkat:

          1. Mengenai sebagian soal-soal jang mendjadi hak (kesedjahteraan dan keluhan-keluhan) dan kewadjiban (tingkat produktivitas) buruh. Ikut serta dalam penentuan hak dan kewadjiban pimpinan perusahaan belum disinggung-singgung.
          2. Sifatnja adalah tegas-tegas memberi pertimbangan, bukan ikut serta (participation) atau pengawasan (control).
            1. Baru dilaksanakan dalam perusahaan-perusahaan asing jang diambil-alih; diperusahaan-perusahaan negara lainnja belum.

            Dalam tahun 1960, jaitu dalam Djarek Presiden/Pemimpin Besar Revolusi menjerukan supaja disemua perusahaan-perusahaan negara dibentuk dewan-dewan jang berkewadjiban membantu pimpinan perusahaan untuk mempertinggi kwantitas dan kwalitas produksi, serta untuk mengawasi kekajaan negara, seruan mana kemudian oleh Pemerintah dituang dalam bentuk Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang No. 45 tahun 1960 tentang Pembentukan Dewan Perusahaan.

            Falsafah pembentukan dewan perusahaan ialah mengikutsertakan unsur-unsur didalam perusahaan dan unsur-unsur masjarakat disekitarnja kedalam perusahaan hingga perusahaan dengan segala kekajaannja jang mendjadi milik negara dan rakjat dapat aman dan berdjalan Jantjar.

            Masjarakat perlu ikut serta bertanggung djawab dan mengawasi djalannja perusahaan-perusahaan negara. Kata kwalitas berarti pengawasan intern tentang mutu produksi, sedangkan kwantitas berarti „targeting”, jaitu mengusahakan agar rentjana jang telah dibuat itu benar-benar dapat ditjapai.

            Tudjuan dewan perusahaan adalah menjelenggarakan ekonomi gotong-rojong atau ekonomi kolektif antara para peserta produksi dan masjarakat. Untuk dapat melaksanakan ini tentu diperlukan tjara pengusahaan terbuka (open management). Dalam dewan-dewan perusahaan itu pimpinan perusahaan harus dapat bertindak sebagai management Manipolis dan buruh benar-benar sebagai sokoguru revolusi. Untuk melaksanakan ini diperlukan adanja perasaan disiplin sosial atau tanggung djawab sosial dari semua fihak dalam dewan perusahaan itu. Djika dewan-dewan perusahaan sebagaimana dimaksudkan oleh undang-undang dan peraturan-peraturan jang berlaku dapat berdjalan sebagaimana mestinja, maka akan tertjapailah adanja suatu pengusahaan (management) tanpa penindasan, dimana terdapat integrasi antara pimpinan dan para pekerdja sebagaimana dinjatakan dalam Dekon pasal 25.

            Kesukaran-kesukaran jang dialami dalam periode pembentukan dewan-dewan perusahaan antara lain jalah:

            1. mengenai representativitas organisasi-organisasi buruh jang harus mengadjukan wakil-wakilnja;
            2. tentang kwalifikasi tjalon-tjalon jang harus memenuhi sjarat-sjarat teknis dan soal tertentu.
              1. psychologis, politis dan juridis. Sering dirasakas bahwa pimpinan masih kurang ichlas untuk memberi wewenang kepada pekerdjaannja.

              Masih ada pula dipertahankan hubungan feodal seperti antara tuan dan pelajan (warisan kolonial).

              Sampai achir tahun 1964 telah dapat dilaporkan terbentuknja 22 Dewan Perusahaan tingkat pusat serta 635 Dewan Perusahaan tingkat perusahaan negara dari 656 perusahaan negara jang ada sekarang (97%).

              C. PERKEMBANGAN SINGKAT MASALAH PENGUPAHAN.

              Perkembangan pengupahan di Indonesia dapat dibagi dalam 2 periode, jaitu periode sebelum dan periode sesudah Proklamasi Kemerdekaan.

              1. Periode pendjadjahan.

              Dalam masa perdjadjahan pada umumnja berlakulah prinsip liberal kapitalistis, jaitu upah ditentukan dipasar kerdja berdasarkan atas permintaan dan penawaran. Oleh karena dalam pasar „bebas” itu pada hakekatnja golongan kapitalis jang berkuasa sedang pada pihak tenaga kerdja terdapat kelebihan penawaran karena adanja tenaga kerdja jang melimpah-limpah maka tingkat upah pada umumnja adalah rendah. Keadaan jang tidak menguntungkan itu ditambah dengan tidak adanja peraturan-peraturan jang melindungi golongan buruh serta tidak adanja kesempatan bagi kaum buruh untuk menjusun diri dalam gerakan buruh dan membela kepentingan anggota-anggotanja.

              Ada peraturan-peraturan kolonial seperti jang dimuat dalam „Arbeidsregeling Nijverheidsbedrijven Stbl. 1941”, akam tetapi peraturan ini baru dikeluarkan pada waktu pendjadjahan Belanda hampir menghadapi adjalnja hingga pengawasannja tidak didjalankan.

              Selain penerimaan upah jang rendah itu buruh sering masih harus menjerahkan sebagian dari upahnja kepada mandor-mandor jang mempunjai kekuasaan dalam menentukan penerimaan upah.

              Peraturan-peraturan jang dikeluarkan untuk mengatur pengupahan bersifat diskriminatif, karena selalu ada 2 matjam, jaitu peraturan-peraturan umum, jang biasanja hanja berlaku bagi golongan Eropah dan mereka jang disamakan dengan golongan itu serta peraturan-peraturan jang berlaku bagi buruh Indonesia. Untuk jang terachir ini biasanja dibubuhi kata-kata tambahan „toepasselijkheidsverklaring”, „voor bepaalde niet Europese arbeiders“, „werving van Indonesiers”, dan sebagainja.

              Peraturan-peraturan pengupahan aizaman sebelum Perang Dunia II, baik jang berlaku bagi semua golongan ataupun jang berlaku bagi hanja segolongan, biasanja hanja bersifat juridis dan ditudjukan untuk menentukan hak buruh untuk mendapatkan serta kewadjiban pengusaha untuk membajar upah dalam rangka hubungan kerdja dan tidak mengenai djumlah atau besarnja upah itu sendiri.

              Peraturan-peraturan itu meliputi soai-soal:

              1. djangka waktu pengupahan,
              2. tjara-tjara pembajaran upah pada waktu buruh tak dapat mendjalankan pekerdjaan (sakit, hamil, melahirkan anak, dan sebagainja),
              3. tjara-tjara pembajaran sesuai dengan sifat upah (djam-djaman, harian, mingguan, bulanan, borongan, dan sebagainj),
              4. pembajaran denda oleh buruh kepada madjikan,
              5. pemotongan-pemotongam upah oleh madjikan,
              6. penggunaan upah oleh buruh.

              Dari sifat peraturan sebelum Perang Dunia II itu ternjata, bahwa perhatian pada waktu itu dipusatkan pada soal-soal hukum, jaitu mengenai hak dan kawadjiban menerima dan membajar upah.

              Tidak ada peraturan jang ditudjukan untuk meningkatkan nilai-nilai kehidupan (politik, ekonomi dan sosial) atau ditudjukan untuk meningkatkan martabat manusia. Sebaliknja dalam alam pendjadjahan pihak pendjadjah selalu berusaha menghalang-halangi tiap perobahan dan menentang tiap kemadjuan karena hal itu dianggap dapat menggojangkan kedudukkan pendjadjah. Tuntutan kaum buruh diluar, dan chususnja fraksi nasional didalam Dewan Rakjat (Volksraad) untuk peraturan upah minimum selalu gagal.

              2. Periode sesudah Proklamasi Kemerdekaan.

              Revolusi Indonesia mentjiptakan nilai-nilai baru dalam segala bidang kehidupan masjarakat. Djuga bidang pengupahan dipengaruhi oleh perkembangan-perkembangan baru itu.

              Semendjak Proklamasi Kemerdekaan penentuan pengupahan dipengaruhi oleh dua matjam perkembangan:

              1. Perkembangan idiil: peningkattan martabat manusia Indonesia kepada tingkat jang lebih lajak (Undang-undang Dasar pasal 27 ajat 2) hingga sesuai dengan kedudukan warganegara Indonesia jang merdeka dan berdaulat.
              2. Perkembangan physik: perobahan harga jang terus-menerus jang merupakan hambatan besar bagi usaha-usaha peningkatan tersebut dalam sub 1.

              Aspirasi untuk meningkatkam martabat manusia Indonesia itu antara lain tertjermin dengan timbulnja kebiasaan mengadakan pembajaran-pem.bajaran pengupahan sebagai berikut:

              1. Tundjangan-tundjangan keluarga, meliputi semua lapisan dan golongan masjarakat tenaga kerdja: prinsip bahwa hanja kepala keluarga jang bekerdja sadjalah jang berhak menerima sesuatu pembajaran, makin lama makin dilepaskan.
              2. Pembajaran/tundjangan kepada buruh pada waktu sakit, haidh, melahirkan anak, pada waktu-waktu mana mereka berhalangan untuk bekerdja. Dengan demikian prinsip „no work no pay” makin lama makin ditinggalkan. Pemberian tundjangan itut djuga meluas pada hari tua (pensiun).
              3. Keharusan pembajaran upah lembur sedikitnja 1½ á 2 kali upah waktu kerdja biasa bagi mereka jang mengerdjakan kerdja lembur.
              4. Keharusan pembajaran tundjangan/gratifikasi (Lebaran dan Natal) jang pada permulaannja hanja bersifat kerelaan („exgratia”) pihak pengusaha.

              Sementara itu timbul suatu perkembangan dalam sektor ekonomi jang banjak mempengaruhi tjara-tjara penentuan upah, jaitu inflasi jang tertjermin pada perobahan-perobahan tjepat dibidang harga dan biaja penghidupan. Dapatlah dikemukakan bahwa pada umumnja perobahan-perobahan harga itu dialami oleh seluruh dunia sesudah perang Dunia II, disatu negeri lebih tjepat atau lebih lambat dari pada dinegeri lainnja.

              Djika diperhatikan angka-angka statistik jang diumumkan oleh Biro Pusat Statistik mengenai upah dan harga semendjak tahun 1950, baik angka-angka indeks upah maupun angka-angka indeks harga menundjukkan ketjenderungan untuk naik, tetapi kenaikan indeks harga adalah lebih tjepat dari pada kenaikan indeks upah. Perbedaan antara kenaikan indeks harga dan kenaikan indeks upah itu berarti bahwa daja beli upah makin lama makin berkurang. Departemen Perburuhan semendjak tahun 1957 telah mengadakan penjelidikan-penjelidikan perkembangan biaja penghidupan atas dasar 83 bahan keperiuan hidup di Djakarta dan di Surabaja sebagai langkah pertama. Penjelidikan-penjelidikan itu memberi gambaran sebagai berikut.

              Perkembangan kenaikan indeks upah dan indeks 83 bahan keperluan hidup di Djakarta (tahun 1958 — 100).
              Matjam indeks 1958 1959 1960 1981 1982 1963
              Upah buruh rendahan terlatih 100 103 122 145 233 485
              Biaja penghidupan berdasarkan
              83 bahan
              100 143 200 205 670 1.428

              Perbandingan perkembangan 2 matjam indeks itupun menundjukkan bahwa kenaikan biaja penghidupan lebih tjepat djika dibandingkan dengan kenaikan upah hal mana berarti turunnja nilai riil atau daja beli upah.

              Selandjutnja Departemen Perburuhan terus-menerus mengadakan penjelidikan-penjelidikKan mengenai biaja hidup dan pengupahan jang antara lain memberi gambaran sebagai berikut:

              1. 19577/1958. Family Living Survey di Djakarta atas 1000 keluarga buruh untuk mendapatkan dasar-dasar pengeluaran dan seterusnja untuk menjusun indeks harga-harga untuk konsumen. Penjelidikan itu menundjukkan bahwa perbandingan pengeluaran untuk keperluan (a) makanan, (b) perumahan, (c) pakaian dan (d) lain-lain sama dengan 63,41 : 10,77 : 8,51 : 17,31.
              2. 1959. Family Living Survey di Surabaja atas 600 keluarga buruh. Perbandingan pengeluaran-pengeluaran untuk (a) makanan, (b) perumahan, (c) pakaian dan (d) lain-lain adalah sama dengan 62,54 : 12,78 : 7,42 : 16,26.
              3. 1959. House Hold Living Survey di Wurjantoro (daerah Surakarta) atas 123 rumah tangga guna mengetahui kehidupan didaerah pedusunan.

              Dari penjelidikKan itu diketahui fakta-fakta sebagai berikut:

              Rata-rata penghasilan tiap rumah tangga setahun sama dengan Rp. 5.269,— jang diperintji:

              1. penghasilan bersih dari tanah: 714.
              2. penghasilan lain-lain: 2996.
                Rata-rata pengeluaran tiap rumah setahun sama dengan

                Rp. 4.849,— Perbandingan pengeluaran unutk (a) makanan, (b) perumahan, (c) pakaian, dan (d) lain-lain sama dengan

                54,93 : 17,54 : 8,85 : 18,68.
              1. 1960. Family Living Survey dikalangan pegawai-pegawai Departemen Perburuhan meliputi 200 keluarga, dengan kesimpulan:
                Rata-rata penghasilan sebulan sama dengan Rp. 1196,28.
                Rata-trata pengeluaran sebulan sama dengan Rp. 1805,—.
                Perbandingan pengeluaran untuk (a) makanan, (b) pe-

                rumahan, (c) pakaian, (d) lain-lain adalah sama dengan 58,92 : 8,74 : 8,31 : 29,03.

              2. 1963. Family Living Survey dalam bulan Djanuari dan Djuni 1963 dikalangan (a) pegawai negeri, (b) buruh perusahaan, (c) pekerdja bebas, atas 50 keluarga. Kesimpulan penjelidikan itu menundjukkan bahwa:
                1. Pegawai Negeri. Penghasilan pokok dari gadji (tidak termasuk usaha-usaha tambahan sendiri) sama dengan 384 dari pengeluaran.
                2. Buruh perusahaan. Penghasilan pokok dari upah (tidak termasuk usaha-usaha tambahan) sama dengan 114 dari pengeluaran.
                3. Pekerdja bebas. Penghasilan (tidak termasuk usaha-usaha tambahan) merupakan 904 dari pengeluaran.
                Dengan keterangan bahwa mutu makanan dan lain-lain bagi ketiga golongan tersebut berlain-lainan.

              Chusus mengenai penjelidikan-penjelidikan upah telah diadakan pada tahun-tahun:

              1. 1955/1956. Job Evaluation Survey pada Bank-bank untuk menentukan dasar-dasar penilaian djabatan dan dengan demikian sjarat-sjarat untuk menentukan tingkat upah.
              2. 1959/1960 Wage Survey untuk Djakarta dan Sukabumi. Survey di Djakarta diperlukan untuk menjusun indeks daja beli penghasilan (real earnings index).
              3. 1964. All Java Wage Survey, atas 1200 perusahaan di Djawa dan Madura, dihubungkan dengan masalah sandang pangan. Survey itu hingga sekarang belum selesai.

              Penjelidikan-penjelidikan, chususnja jang mengenai kehidupan keluarga, semuanja menundjukkan bahwa penghasilan jang berasal dari upah/gadji, tidak dapat menutupi biaja pengeluaran penghidupan dan hanja meliputi 38-9056 dari djumlah pengeluaran dalam tahun-tahun pada waktu mana diadakan penjelidikan-penjelidikan itu.

              Ditindjau dari sudut perdjoangan, fakta-fakta ini menundjukkan besarnja pengorbanan jang diberikan oleh kaum buruh untuk mempertahankan dan mensukseskan Revolusi Indonesia selama ini.

              3. Usaha-usaha memperbaiki tingkat upah.

              Untuk mengatasi atau mengurangi merosotnja daja beli upah/gadji itu baik buruh, maupun Pemerintah telah mengadakan berbagai usaha dan tindakan.

              Pertama-tama, setjara umum telah lazim dipergunakan sistim tundjangan kemahalan, jang kadang-kadang djumlahnja sampai 2 kali atau lebih, dari upah/gadji pokok. Tundjangan kemahalan, chususnja sesudah Perang Dunia II, merupakan bagian mutlak dari upah/gadji disemua lapargan kerdja, Pemerintah maupun swasta.

              Jang kedua adaiah, sebagian dari upah, diberikan dalam bentuk bahan-bahan keperluan rumah targga, seperti beras, gula,sabun, minjak tanah, dan sebagainja. Bagian natura dari upah ini sangat mengurangi besarnja tekaran inflasi pada upah/gadji.

              Jang ketiga jalah, penjesuaian nilai upah riil dengan kenaikan harga biaja penghidupan setjara periodik terus-menerus (sliding scale sistem). Tidak banjak perusahaan-perusahaan jang mampu membajar upah sematjam itu, jaitu hanja terbatas pada sektor perminjakan asing sadja.

              Dalam hubungan ini maka kenaikan-kenaikan harga lebih landjut akan menimbulkan makin besarnja perbedaan pengupahan disektor-sektor jang kuat dan jang kurang kuat. Oleh karena itu maka masalah perbedaan upah (wage differentials) jang timbul dewasa ini pada hakekatnja adalah salah satu akibat dari pada inflasi jang djuga mentjerminkan perbedaan kekuatan keuangan sektor-sektor atau perusahaan-perusahaan jang bersangkutan.

              Untuk meningkatkan upah setjara langsung, Menteri Perburuhan telah 2 kali memberi andjuran untuk menaikkan upah bagi buruh swasta, jaitu:

              1. Tahun 1957, andjuran untuk menaikkan upah buruh sebesar 20% karena adanja kenaikan-kenaikan harga akibat dikeluarkannja Peraturan B.E. (Bukti Ekspor) pada waktu itu.
                1. Tahun 1963, andjuran Menteri Perburuhan untuk memberi kenaikan upah sebesar 100% mulai 1 Mei 1963.

                Walaupun andjuran-andjuran Menteri Perburuhan itu didjalankan namun tidak lama kemudian tingkat upah ketinggalan lagi oleh kenaikan tingkat harga.

                Selain itu perbaikan upah/gadji chususnja bagi pegawai negeri dan perusahaan negara diadakan dengan djalan mengeluarkan peraturan-peraturan gadji dengan sistim tertentu.

                Pada perusahaan-perusahaan negara jang pada mulanja mempunjai bermatjam-matjam Peraturan Gadji, diadakan keseragaman penggadjian (Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1962) jang sekaligus mengadakan persesuaian dengan sistim penggadjian pegawai negeri. Disamping itu perusahaan-perusahaan negara masih ada kelonggaran untuk menentukan sendiri mengenai besarnja tundjangan beras, tundjangan perumahan, tundjangan pengangkutan, dan sebagainja sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing.

                Untuk meningkatkan gadji pegawai negeri dalam tahun 1961 dikeluarkan, Peraturan Gadji Pegawai Negeri jang baru (P.G.P.N. 1961) dan sesuai dengan itu djuga dikeluarkan Peraturan Gadji Polisi, dan Peraturan Gadji Militer. Peraturan-peraturan Gadji ini mempergunakan pokok gadji minimum sebesar Rp. 200,— dan maksimum Rp. 4.000,—, disamping itu diberikan tundjangan keluarga dan tundjangan kemahalan umum. Mula-mula tundjangan kemahalan umum itu ditetapkan sebesar 30%: untuk mengikuti trend kenaikan biaja hidup tundjangan ini dinaikkan mendjadi 130%: (Penetapan Presiden No. 8 tahun 1963) untuk kemudian dinaikkan lagi mendjadi 300% (Peraturan Presiden No. 46 tahun 1964).

                Disamping itu direntjanakan adanja distribusi beberapa bahan pokok keperluan rumah tangga (Penetapan Presiden No. 10 tahun 1963), tetapi berhubung dengan beberapa hal, baru dapat terlaksana distribusi beras sadja.

                Dalam tahun 1964 ditentukan pemberian tundjangan lauk-pauk sebesar Rp. 1.000,— dan tundjangan pengabdian 150% kepada pegawai negeri (Peraturan-peraturan Presiden No. 32 dan 33 tahun 1964): untuk anggota Angkatan Bersendjata ditentukan peraturan jang sedikit berlainan.

                Pada achir tahun 1964 Pemerintah menugaskan kepada suatu team ahli Pemerintah untuk menjusun suatu konsep kebijaksanaan ekonomi dimana terdapat keseimbangan antara upah/gadji, harga dan penerimaan negara. Team tersebut antara lain mengusulkan dipergunakannja nilai harga beras 31,5 kilogram sebagai dasar upah minimum sebulan bagi seorang pegawai rendah tidak berkeluarga. Bagi jang berkeluarga ditentukan tundjangan sama dengan nilai 10 kilogram beras setiap anggota keluarganja.

                Dengan dikemukakannja konsep upah minimum itu belum berarti masalah upah sudah terpetjahkan. Pelaksanaannja pada perusahaan-perusahaan tertentu masih perlu pemikiran. Mengharuskan pelaksanaannja setjara menjeluruh dapat mengakibatkan tutupnja banjak perusahaan ketjil dan bertambahnja pengangguran. Masalah pokok lainnja jalah mengendalikan inflasi jang merupakan sumber utama bagi timbulnja banjak perbedaan upah (wage differentials) jang tidak rasionil dewasa ini, jang membedakan tingkat upah diperusahaan-perusahaan jang kuat dan jang lemah untuk pekerdjaan jang sama nilai dan beratnja.

                Kemudian masalah jang pokok lainnja jalah bagaimana mentjiptakan sistim upah perangsang (wage incentive sistem) jang dapat meningkatkan taraf produksi perseorangan dan nasional setjara terus-menerus, sedikitnja seimbang dengan ketjepatan proses revolusi kita disektor-sektor kehidupan lainnja.

                Djalan kearah kesempurnaan masih djauh tetapi hal itu kita terima sebagai suatu tantangan nasional bagi suatu rakjat jang sedang berrevolusi.

                D. KESEHATAN DAN KESELAMATAN KERDJA BAGI BURUH.

                Suatu segi chusus dari masalah perburuhan dalam perusahaan jalah kesehatan dan keselamatan kerdja bagi buruh. Seperti diketahui untuk melaksanakan produksi diperusahaan-perusahaan, diperlukan :

                1. Tempat dan ruangan kerdja dengan fasilitas-fasilitasnja, seperti hawa, suhu, penerangan, air, dan sebagainja jang harus memenuhi sjarat-sjarat tertentu pada buruh jang harus mendjalankan pekerdjaan tertentu.
                2. Bahan-bahan mentah jang kadang-kadang mengandung zah kimia atau sinar jang berbahaja bagi manusia.
                1. Mesin-mesin dan alat-alat kerdja, jang tanpa disertai dengan alat-alat pelindung untuk keselamatan kerdja, pada waktu-waktu tertentu akan membahajakan buruh jang mempergunakannja.

                Untuk menghindarkan kemungkinan timbulnja bahaja-bahaja tersebut maka Pemerintah c.g. Departemen Perburuhan dengan instansi-instansi jang bersangkutan dalam lingkungannja mengadakan peraturan-peraturan jang diarahkan kepada atara lain :

                Pentjegah pemakaian bahan bahaja, misalnja pelarangan pemakaian fosfor kuning dalam pabrik korek api.
                Pemakaian alat pelindung pada pekerdjaan tertentu seperti respirator dan pakaian pelindung.
                Perlindungan mesin untuk menghindarkan bahaja terhadap buruh.
                Penjehatan ruangan kerdja.
                Pengobatan buruh kalau sakit, baik jang diusahakan oleh madjikan sendiri atau bersama-sama dengan djalan mendirikan dana-dana sakit.
                Pengaturan djam kerdja dan waktu istirahat.
                Pemeriksaan badan setjara berkala pada pekerdjaan-pekerdjaan tertentu.
                Pelaporan penjakit djabatan oleh dokter-dokter.
                Penjimpanan bahan-bahan berbahaja.

                Dari laporan-laporan jang diterima oleh Departemen Perburuhan ternjata bahwa dalam tahun 1950 — 1955 telah terdjadi sedjumlah 7101 ketjelakaan dengan korban 7449 orang, diantaranja 4% meninggal dunia, 26% luka berat dan 70% menderita luka ringan. Ketjelakaan-ketjelakaan tersebut akibatnja tentu merugikan, baik bagi manusia jang mendjadi korban maupun bagi produksi pada umumnja.

                Untuk menghindarkan itu, maka banjak tindakan ditudjukan pada usaha-usaha jang bersifat preventif.

                Dalam rangka ini kesehatan buruh mezruy»akan salah satu tudjtan vsaha jang terpenting, jang dipengaruhi oleh beberapa faktor, jaitu:

                1. Keadaan ruangan kerdja,
                2. Keadaan makanan,
                3. Perumahan,
                4. Pemeliharaan kesehatan jang harus memenuhi sjarat-sjarat jang telah ditetapkan. Mengenai penjakit jang dapat timbul dalam perusahaan dapat dibagi dalam 2 golongan: penjakit biasa, jang tjara pentjegahannja harus didjelaskan kepada semua buruh jang berkepentingan, serta penjakit djabatan (occupational deseases) jang dapat ditjegah kalau buruh benar-benar mendjalankan instruksi-instruksi jang diberikan oleh pemimpin-pemimpinnja mengenai pekerdjaan-pekerdjaan jang berbahaja. Misalnja, buruh djangan sampai mengabaikan pemakaian alat keselamatan untuk buruh sendiri, umpamanja memakai katjamata waktu mengerdjakan pekerdjaan las dan untuk memakai masker pada waktu mengerdjakan pekerdjaan duco atau memakai masker pada pekerdjaan jang berdebu jang banjak mengandung silice.

                Untuk mengetahui keadaan penjakit-penjakit djabatan itu, Departemen Perburuhan c.g. Lembaga Kesehatan Buruh telah mengadakan beberapa survey, antara lain:

                1. Tahun 1954.: Penjelidikan mengenai tjara pemeliharaan kesehatan pada 20.000 perusahaan. Dari penjelidikan imi ternjata bahwa 7590 dari perusahaan-perusahaan ini memberi pemeliharaan kesehatan kepada buruh-buruhnja.
                2. Tahun 1963.: Survey tentang „minor injuries” pada industri: untuk keperluan itu telah diselidiki sedjumlah 500 ketjelakaan. Hasil penjelidikan itu menundjukkan bahwa 80-85% dari ketjelakaan itu disebabkan karena buruh kurang hati-hati, misalnja tidak mengikuti instruksi, tidak mau memakai alat-alat pelindung dan sebagainja.
                3. Tahun 1963.: Penjelidikan pada 976 buruh tambang di Tjikotok. Hasil penjelidikan menundjukkan bahwa 5 diantaranja menderita „silicosis” dan 23 orang menderita „pulmonary tuberculosis”.
                4. Tahun 1963.: Penjelidikkan pada 111 buruh tekstil. Penjelidikan ini menundjukkan bahwa dalam pabrik tekstil penjakit „byssionosis” bukanlah merupakan masalah penting.
                5. Tahun 1964.: Penjelidikan mengenai poliklinik-poliklinik buruh. Hasil penjelidikan menundjukkan bahwa kebanjakan nurse dalam poliklinik-poliklinik ini tidak tjukup kapabel.

                Untuk mengetahui sedjelas-djelasnja keadaan kesehatan kaum buruh diperusahaan-perusahaan dan kemudian membuat peraturan-peraturan jang benar-benar mengenai sasaran jang ditudjukannja maka penjelidikan-penjelidikan/penelitian-penelitian sematjam itu dalam masa jang akan datang akan diperluas.

                E. PERKEMBANGAN SINGKAT PERUNDANG-UNDANGAN PERBURUHAN.

                Untuk mewudjudkan politik sosial Negara Republik Indonesia mengenai pekerdjaan buruh, jaitu mendjamin pekerdjaan dan penghidupan jang lajak bagi buruh, sesuai dengan pasal 27 ajat (2) Undang-undang Dasar, maka sebagai langkah pertama telah ditetapkan:

                1. Undang-undang Ketjelakaan Tahun 1947 No. 12 jang mengatur pembajaran ganti kerugian kepada buruh jang mendapat ketjelakaan berhubung dengan hubungan kerdja.
                2. Undang-undang Kerdja Tahun 1948 No. 12 jang memuat aturan-aturan dasar tentang pekerdjaan anak, orang muda dan wanita, waktu kerdja, waktu istirahat dan tempat kerdja. Dalam undang-undang ini dimasukkan djuga aturan pangkal mengenai perumahan buruh jang disediakan oleh madjikan.
                3. Undang-undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1946 No. 23.
                  Undang-undang ini dimaksudkan untuk:
                  1. mengawasi berlakunja undang-undang dan peraturan perburuhan dengan djalan memberi penerangan kepada buruh, serekat buruh dan madjikan djika perlu dengan mengusut hal-hal jang dapat dikenakan hukuman oleh undang-undang atau peraturan itu;
                  2. mengetahui dan menjelami keinginan dan kebutuhan masjarakat akan peraturan dalam bidang tertentu.
                4. mengumpulkan bahan-bahan keterangan agar dapat mengadakan undang-undang dan peraturan-peraturan setepattepatnja.

                Sebelum Negara Kesatuan terbentuk kaum buruh dan organisasi buruh serta seluruh potensi rakjat mentjurahkan tenaga dan perhatiannja kepada perdjoangan physik dan politis mengusir pendjadjah dari bumi Indonesia.

                Setelah Negara Kesatuan terbentuk kaum buruh mulai menundjukkan perhatiannja kearah perdjoangan dalam bidang sosial dan ekonomi, terutama menghadapi madjikan-madjikan asing jang sesuai dengan ketentuan K.M.B. — telah kembali ke Indonesia untuk membuka kembali perusahaan-perusahaan miliknja.

                Adanja pengusaha asing jang masih menguasai sebagian besar perusahaan dan jang tidak mengikuti aspirasi buruh dalam Negara Indonesia Merdeka, dengan latar belakang imperialisme dan sistim ekonomi liberal jang didjalankan di Indonesia pada waktu itu, memungkinkan berlangsungnja adu kekuatan antara buruh dan madjikan jang mengakibatkan timbulnja perselisihan-perselisihan perburuhan disertai de-ngan pemogokan-pemogokan jang tidak dapat dihindarkan.

                Karena itu dianggap perlu untuk menetapkan peraturan tentang penjelesaian perselisihan perburuhan, jaitu Undang-undang Darurat No. 16 Tahun 196J jang kemudian diganti dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1957 tentang Penjelesaian Perselisihan Perburuhan.

                Dalam kedua undang-undang ini dianut sebagai pokok, bahwa perselisihan antara buruh dan pengusaha diselesaikan dengan sebaik-baiknja atas dasar musjawarah. Bila dengan djalan ini tidak tertjapai penjelesaian, baru Pemerintah tjampur tangan dengan memberi keputusan jang mengikat.

                Untuk dapat melaksanakan pengawasan perburuhan setjara efektif, pertama-tama harus diketahui, dimana letaknja perusahaan. Berhubung dengan itu undang-undang tentang kewadjiban melaporkan perusahaan, (jaitu Undang-undang No. 23 Tahun 1953) membebankan kewadjiban pada madjikan untuk memberi laporan tentang perusahaannja.

                Mentjegah perselisihan adalah usaha jang lebih baik daripada menjelesaikan perselisihan perburuhan. Salah satu tjara untuk mentjegah perselisihan perburuhwn ialah dialikannja perdjandjian perburuhan antara serikat buruh dan madjikan jang diatur dalam Undang-undang No. 21 Tahun 1954.

                Baik untuk mendjamin bagian jang lajak dari kesemnatan kerdja bagi warga negara Indonesia, maupun untuk memenuhi hasrat Bangsa Indonesia untuk menduduki tempat jang lajak dalam pelbagai lapangan kerdja, jang pada waktu itu masih diduduki oleh orang asing, ditetapkan Undang-undang No. 3 Tahun 1958 tentang Penempatan Tenaga Asing jang mensjaratkan izin terlebih dulu dari Pemerintah untuk memperkerdjakan tiap orang asing. Sebagai perintis djalan kearah pertanggungan sosial jang memberikan hak kepada buruh atas djaminan penghasilan, kesehatan dan kesedjahteraan bagi dirinja beserta keluarganja terhadap peristiwa sakit, hamil, bersalin, kematian, ketjelakaan, umur landjut, tjatjat dan pengangguran, dalam tahun 1957 oleh Menteri Perburuhan ditetapkan Peraturan Menteri Perburuhan No. 15 tentang Pemberian Bantuan/Tundjangan kepada Buruh dan Keluarganjan dalam hal sakit, hamil, bersalin atau meninggal dunia. Peraturan Menteri ini menentukan suatu pertanggungan jang bersifat sukarela untuk memperoleh pengalaman terlebih dulu.

                Dalam sistim Sososialisme Indonesia, ekonomi diselenggarakan dengan gotong-rojong, mengikut-sertakan seuma peserta produksi dan masjarakat dalam perentjanaan, pelaksanaan dan pengawasan produksi dan distribusi, termasuk kaum buruh sebagai sokoguuru revolusi. Hal itu diatur Jalam Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang No. 45 Tahun 1960 jang berkewadjiban membantu pimpinan perusahaan untuk mempertinggi kwalitas dan kwantitas produksi dan mengawasi serta mengamankan kekajaan negara.

                Guna lebih mendjamin ketenteraman serta kepastian bekerdja bagi kaum buruh, maka pada tahun 1964 dikeluarkan Undang-undang No. 12 tentang Pemutusan Hubungan Kerdja diperusahaan Swasta. Undang-undang ini menentukan bahwa untuk tiap-tiap pemutusan hubungan kerdja oleh pengusaha terlebih dulu diperlukan izin dari instansi jang bersangkutan (pengawas preventif).

                VI. PERIODE 1965.

                Keluarnja Indonesia dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan badan-badan internasional jang merupakan badan-badan chusus dari pada P.B.B. segera diikuti dengan politik „Banting Stir” dan „Berdikari” jang berarti bahwa Bangsa Indonesia bertekad untuk memetjahkan dan menjelesaikan masalah-masalah teknis nasional dengan kemampuan sendiri tanpa menggantungkan diri pada bantuan P.B.B. dan badan-badan internasional lainnja.

                Semendjak tahun 1950 Indonesia mendjadi anggota daripada salah satu badan chusus P.B.B., jaitu Organisasi Perburuhan Internasional, jang chusus bergerak dalam bidang-bidang teknis perburuhan; dalam rangka keluar dari P.B.B. itu Indonesia dalam bulan Maret tahun 1965 telah menjatakan keluar dari Organisasi Perburuhan Internasional.

                Politik Banting Stir kearah Berdikari itu mengharuskan Bangsa Indonesia untuk menggunakan sumber kekajaan tenaga kerdja dan sumber kekajaan alam kita dengan semangat dan dengan tjara jang lebih baik daripada dalam waktu-waktu jang lampau, sekalipun kini harus dikerdjakan tanpa bantuan asing.

                Tenaga kerdja jang melimpah-limpah dan terus bertambah merupakan beban berat bagi bangsa dan negara, apabila tidak diimbangi oleh kesempatan kerdja jang seimbang djumlahnja dan terus bertambah. Sebaliknja untuk dapat melaksanakan usaha pembangunan nasional, adanja tenaga kerdja jang melimpahh-limpah djumlahnja merupakan suatu modal (“asset”) potensiil untuk mengembangkan produksi nasional. Dengan tersedianja tenaga kerdja nasional, tidak perlu diimpor tenaga kerdja dari negeri lain.

                Dalam rangka pelaksanaan politik Banting Stir kearah Berdikari dibidang perburuhan, dalam tahun 1965 dan seterusnja untuk djangka waktu pandjang, diadakan pelbagai penelitian (research) setjara sistimatis untuk lebih mengenal keadaan dan perkembangan tenaga kerdja dan gerakan buruh di Indonesia dengan segala aspeknja, hingga dengan mengenal itu tenaga kerdja dan gerakan buruh Indonesia sebagai faktor ekonomi dan sebagai tenaga revolusi lebih dapat dimanfaatkan perdjoangannja bagi Revolusi Indonesia. Untuk pembangunan nasional dan penjelesaian revolusi nasional selandjutnja, maka pada pertengahan tahun 1965 ini dapat ditjatat disini beberapa hal jang dapat dianggap sebagai modal perdjoangan sebagai berikut:

                Pertama: Buruh dan gerakan buruh Indonesia jang telah bersatu, mempunjai kesadaran politik jang tinggi, militan dan revolusioner jang merupakan kekuatan sosial atau politik (social atau political force) dalam penjelesaian revolusi nasional demokratis jang menudju kearah Sosialisme Indonesia.

                Disamping kesadaran politik buruh Indonesia djuga telah menginsjafi peranan dan tugasnja dalam bidang produksi untuk meningkatkan produksi, ikut serta aktif dalam penjelenggaraan produksi serta mengadakan social control chususnja dalam perusahaan negara dalam wadah dewan perusahaan. Dengan demikian kaum buruh Indonesia telah menundjukkan rasa tanggung djawabnja atas djalannja produksi.

                Unsur-unsur korup, penjelewengan dan penghambat produksi seperti jang mereka namakan kaum kapitalis birokrat diekspose dan dituntut penjingkirannja.

                Walaupun upah, djaminan sosial dan lain sebagainja dapat dikatakan kurang memadai, namun tuntutan-tuntutan perbaikan nasib tidak dianggap sebagai hal jang diutamakan dalam perdjoangan buruh pada tahap revolusi sekarang.

                Kedua: Mulai diselenggarakannja penjebaran tenaga kerdja setjara besar-besaran untuk memsuply daerah-daerah dan projek-projek pembangunan dengan tenaga kerdja jang diperlukan dan dengan demikian mengurangi tekanan penduduk pengangguran dan setengah pengangguran didaerah-daerah lain melalui usaha-usaha transmigrasi dan antar kerdja antar daerah.

                Ketiga: Mulai diselenggarakannja dan akan terus diperhebat usaha pengerahan tenaga rakjat, chususnja jang menganggur dan setengah menganggur didaerah-daerah pertanian jang padat penduduknja untuk pelaksanaan berbagai projek pembangunan, chususnja pembangunan/perbaikan saluran irigasi, djalan-djalan dan lain sebagainja jang tidak memerlukan sjarat modal dan keterampilan jang tinggi.

                Keempat: Diintensifkannja usaha latihan kedjuruan dan akan diselenggarakannja setjara nasional suatu sistim latihan kedjuruan, baik jang diselenggarakan ditempat-tempat latihan kedjuruan chusus seperti „dipusat-pusat latihan kerdja” Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/222 Angka-angka tersebut menundjukkan perkiraan-perkiraan djika perbandingan (ratio) jang diperoleh dari Sensus 1961 tetap (constant), demikian pula djika angka-angka perbandingan antara bertambahnja Anrkatan Kerdja dan Kesempatan Kerdja (diperindustrian, pertanian, dan sebagainja) masih tetap.

                Selandjutnja gambaran tentang pertambahan-pertambahan dalam bidang penduduk dan Angkatan Kerdja dapat dikemukakan sebagai berikut.

                Pertambahan penduduk dan Angkatan Kerdja setiap tahun.
                1961-1962 1962-1963 1963-1064 1964-1965
                1. Pertambahan
                penduduk.
                2.231.433 2.282.758 2.335.259 2.388.970
                2. Pertambahan
                Angkatan Kerdja.
                801.125 819.469 838.357 857.641

                Berhubung dengan bertambahnja penduduk sebesar 2.388.970 orang dan karena itu bertambahnja Angkatan Kerdja sebesar 857.641 orang dalam tahun 1965 ini sedikitnja harus ditjiptakan 857.641 kesempatan kerdja baru untuk dapat mempertahankan tingkat penggunaan tenaga kerdja (employment) sekarang. Djika kita hendak mengurangi djumlah pengangguran jang ada serta meningkatkan taraf kesedjahteraan sekarang, haruslah dapat ditjiptakam kesempatan kerdja lebih daripada itu.

                Disamping soal-soal pertambahan tenaga kerdja baru setiap tahunnja, masih terdapat soal setengah pengangguran terutama disektor pedesaan (rural) jang rapat hubungannja dengan tersedianja tanah pertanian sebagai kesempatan kerdja. Perbandingan antara tanah pertanian dengan orang jang mengerdjakannja (land-man ratio) tidak menguntungkan, chususnja dipulau Djawa, walaupun ditindjau dari sudut Indonesia dalam keseluruhan ”Jand-man ratio” ini lebih dari lajak untuk mendjamin kesempatan kerdja penuh dan penghidupan lajak kepada orang-orang jang bekerdja disektor pertanian.

                Untuk menghadapi masalah pengangguran dan setengah pengangguran ini perlu diadakan tindakan-tindakan dibidang tenaga kerdja sebagai berikut:

                1. Memperbesar mobilitas tenaga kerdja dalam arti pemindahan tenaga kerdja kedaerah-daerah lain jang kekurangan tenaga kerdja untuk memenuhi kebutuhan projek-projek pembangunan, teristimewa jang ada diluar Djawa/Magdura.
                  1. Projek „Sumatra Highway”, Asahan, projek-projek transmigrasi dan sebagainja jang akan dilaksanakan didaerahdaerah akan meningkatkan mobilitas dan penjebaran tenaga kerdja dari Djawa/Madura kedaerah-daerah lain. Seperti dalam tahun-tahun jang lampau Departemen Perburuhan (Direktorat Tenaga Kerdja) telah pula mengusahakan pemindahan tenaga kerdja kedaerah-daerah diluar Djawa/Madura, tetapi usaha tersebut masih sangat kurang memadai djika dibandingkan dengan tambahnja tenaga kerdja dipulau Djawa setiap tahunnja dan besarnja djumlah „Kelebihan” jang harus disebarkan kedaerah-daerah lain diluar Djawa/Madura. Dalam hubungan ini transmigrasi gaja baru memberi harapan-harapan jang besar. Projek Pemindahan tenaga kerdja ini tentu sadja merupakan pekerdjaan jang bersifat djangka pandjang dan tidak mungkin diselesaikan dalam waktu satu atau dua tahun sadja dan suksesnja banjak tergantung dari dana-dana jang tersedia serta kemadjuan-kemadjuan dalam bidang prasarana (infrastruktur), chususnja pengangkutan darat dan laut.
                  2. Menjempurnakan susunan pasar kerdja dalam arti mempertemukan pentjari kerdja dengan kesempatan kerdja jang ada. Usaha antar kerdja jang diselenggarakan oleh Direktorat Tenaga Kerdja Departemen Perburuhan dalam awal tahun 1965 ini menundjukkan bahwa dari bulan Djanuari s/d Maret telah mendaftarkan pentjari kerdja sebanjak 18.841 orang. Dari djumlah tersebut sebanjak 5.880 orang atau 31,5 persen dapat ditempatkan. Angka-angka ini belum menggambarkan keadaan jang sebenarnja karena antara lain:
                    1. Sistim pendaftaran pentjari kerdja masih bersifat sukarela.
                    2. Banjak lembaga-lembaga Pemerintah lainnja (Angkatan Bersendjata, Departemen-departemen dan ain sebagai- dan perusahaan-perusahaan swasta mempunjai bagian-bagian penempatan tenaga jang hasil pekerdjaannja tidak diketahui oleh Direkorat Penempatan Tenaga.
                    3. Belum sempurna peralatan Direktorat Tenaga Kerdja jang memungkinkan mereka mendatangi lembaga-lembaga Pemerintah dan perusahaan-perusahaam swasta jang memerlukan tenaga tertentu.
                    Untuk menghadapi masalah ini maka usaha Antar Kerdja perlu ditingkatkan pada taraf nasional dan peralatan
                    Direktorat Tenaga Kerdja perlu disempurnakan. Ketjuali itu sistim antar kerdja sukarela, harus ditingkatkan mendjadi pengaturan (ordening) penjediaan dan permintaan tenaga kerdja.
                  1. Laporan periode Pantjawarsa Manipol (lihat Projek Padat Karya Indramaju) mengemukakan, bahwa menurut ”Labour Force Sample Survey” Djawa dan Madura tahun 1958 dalam tahun itu sebanjak 11.252,9 djuta djam kerdja (manhours) hilang (idle) tidak dipergunakan. Djam kerdja hilang ini ditimbulkan karena sifat pertanian rusiman jang mengakibatkan adanja setengah penganggur kentara (visible underemployment) dan setengah pengangguran jang tidak kentara (disguised underemployment). Adanja setengah pengangguran disektor pertanian itu mengakibatkan:
                    Semakin turunnja tingkat kemakmuran desa karena penghasilan kurang tjepat bertambah djika dibandingkan dengan tambahnja penduduk.
                    Timbulnja masalah-masalah keamanan karena menurunnja tingkat kemakmuran.
                    Timbulnja gerakan perpindahan kekota-kota besar untuk mentjari lapangan pekerdjaan baru (urbanisasi).

                    Dalam tahun 1965 ini Projek Padat Karya untuk mempekerdjakan setengah pengangguran itu seperti jang telah didjalankam di Indramaju dengan sukses akan ditingkatkan pelaksanaannja pada tingkat nasional dengan memusatkan aktivitas-aktivitas pada:

                    1. Projek-projek jang membantu meningkatkan produksi, seperti membuat irigasi, membuat tanggul-tanggul pentjegah bendjir, membuat sumur-sumur bor didaerah-daerah jang kering, memperluas areal sawah untuk ditanami padi atau djagung, reboisasi, membuat empang-empang ikan, dan lain-lain.
                    2. Projek-projek pedesaan jang bersifat kemakmuran sosial, seperti pembuatan lapangan olahraga, balai desa, sekolah-sekolah desa, memperbaiki pasar-pasar, kantor-kentor desa dan lain-lain. Projek-projek ini sifatnja lebih banjak menambah kemakmuran desa dari pada tjiptaan kesempatan kerdja setjara desa.

                  Projek-projek tersebut diatas semuanja terletak dibidang jang tidak banjak memerlukan keterampilan (skill), jaitu sekedan keterampilan penggarapan tanah dengan mempergunakan alat-alat patjul dan pemindahan tanah sederhana. Dengan melaksanakan Projek Padat Karya itu djumlah djam kerdja jang tidak dipergunakan disektor pertanian diharapkan dapat berkurang mendjadi djumlah jang seketjil-ketjilnja.

                  2. Gerakan Buruh dan Hubungam Perburuhan.

                  a. Buruh sebagai kekuatan Politik.

                  Sedjarah Revolusi Indonesia membuktikan adanja kenjataan bahwa buruh di Indonesia ini mempunjai peranan jang chusus dalam proses kearah pelaksanaan sosialisme di Indonesia. Dalam bulan Februari dan Maret 1965 ini kaum buruh pada perusahaan-perusahaan perkebunan Amerika Serikat di Sumatera Utara mengadakan tindakan-tindakan pengambil-alihan terhadap perusahaan-perusahaan perkebunan tersebut untuk kemudian diserahkan kepada Pemerintah. Tindakan sematjam itu dalam bulan Maret dilakukan pula terhadap perusahaan minjak asing dan perusahaan-perusahaan lainnja semuanja milik Amerika Serikat jang kemudian dioper oleh Pemerintah.

                  Berdasarkan atas prinsip bahwa revolusi kearah tertjapainja masjarakat Sosialis Indonesia memerlukan adanja ekonomi jang bebas, dalam arti tidak ada modal asing jang berkuasa di Indonesia dan mempengaruhi perkembangannja, kemudian dikeluarkan suatu Penetapan Presiden jang menentukan, bahwa semua perusahaan-perusahaan asing jang tidak bersifat domestik harus berada dibawah penguasaan Pemerintah (Penpres No. 6 tahun 1965 tertanggal 24 April 1965). Dalam Penetapan Presiden itu perusahaan-perusahaan asing jang bersifat domestik tidak dikenakan tindakan-tindakan penguasaan-penguasaan.

                  Tindakan-tindakan kaum buruh jang memelopori tindakan Pemerintah untuk memerdekakan ekonomi Indonesia dari pengaruh modal asing itu membuktikan bahwa kaum buruh Indonesia benar-benar merupakan suatu kelas revolusioner dan suatu kekuatan politik dengan kesadaran politik jang tinggi.

                  Demi suksesnja revolusi kita kesadaran itu perlu dipupuk dan ditingkatkan. Pada taraf nasional kesadaran politik kaum buruh supaja dapat membina persatuan kaum buruh revolusioner berporoskan Nasakom jang senantiasa berusaha dan bertindak untuk melawan dan meniadakan musuh-musuh revolusi disegala bidang, terutama dibidang ekonomi.

                  Garis kesadaran itu perlu ditingkatkan terus pada tingkat internasional. Pada tingkat ini aktivitas kaum buruh perlu di integrasikan dengan usaha Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno untuk mempersatukan golongan rakjat-rakjat progresif-revolusioner pada tingkat internasional jang berporoskan Nasakom dalam perdjoangan untuk membebaskan rakjat-rakjat Asia, Afrika dan Amerika Latin dari belenggu imperialisme. Disinilah tugas penting kaum buruh Indonesia dalam menjelenggarakan Konperensi Buruh Asia Afrika kelak, jang persiapannja telah diselenggarakan di Indonesia dalam bulan Oktober 1963 jang lalu (batja laporan: Konperensi Pendahuluan Konperensi Buruh Asia Afrika). Kesadaran politik jang tinggi kaum buruh Indonesia jang telah ditundjukkan selama ini harus pula dapat mendorong Konperensi Buruh Asia Afrika kelak untuk memelupori terbentuknja Nasakom internasional guna membentuk dunia baru jang adil dan makmur, bebas dari segala penghisapan dan pendjadjahan.

                  b. Buruh sebagai unsur produksi.

                  Ekonomi gotong-rojcng dilakukan disegala tingkat, baik tingkat nasional maupun tingkat unit-unit produksi (perusahaan). Hubungan antara buruh dan pimpinan perusahaan terutama pada perusahaan-perusahaan negara perlu diusahakan supaja berlangsung sebaik-baiknja. Buruh dan pimpinan perusahaan (management) adalah peserta-peserta produksi, pelaksana ekonomi gotong-rojong, jang mempunjai tugas mendorong Revolusi Indonesia kearah Sosialisme Indonesia.

                  Pengikut-sertaem setjara positif buruh dalam pembinaan perusahaan dilaksanakan melalui dewan-dewan perusahaan jang merupakan wadah untuk melaksanakan prinsip social control dan social participation setjara efektif. Dewan perusahaan adalah merupakan bentuk integrasi antara pekerdja dan pimpinan perusahaan, jang buat kesekian kalinja dikomandokan lagi oleh Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dalam amanat Berdikari baru-baru ini.

                  Dalam tahun 1965 ini tjara bekerdja dewan perusahaan akan lebih disempurnakan antara lain dengan djalan meningkatkan keterampilan (skill) dan daja kemampuan segala unsur anggotanja, agar mereka itu dapat memetjahkan soal-soal jang mereka hadapi dalam perusahaan-perusahaan mereka masing-masing dengan tjara jang lebih efisien.

                  c. Perselisihan Perburuhan.

                  Dalam 4 bulan jang pertama (Djaruari s/d April) 1965 Panitia Penjelesaian Perburuhan Pusat telah mengeluarkan sebanjak 69 keputusan (tahun 1964 seluruhnja: 341 keputusan). 31.88%, diantaranja mengenai perkebunan, 26,09% mengenai pertambangan, 40,58% mengenai industri dan 1,45% mengenai pengangkutan. Djumlah tersebut menurun djika dibandingkan dengan waktu jang sama dalam tahun 1964.

                  Ada sedjumlah 37 soal jang diperselisihkan, antara lain jang terpenting jalah: 53,62% mengenai pemutusan hubungan kerdja perseorangan, 10,14% mengenai pemetjatan 10 orang keatas, 7,25% mengenai upah, 5,8% mengenai djaminan sosial, 4,35% mengenai pensiun, 4,35% mengenai perdjandjian perburuhan dan 5,8% mengenai hadiah lebaran.

                  Dari perselisihan-perselisihan perburuhan jang tertjatat hanja 2 diantaranja jang berakibatkan pemogokan, jaitu 1 kali diperusahaan keramik, dan 1 kali lainnja diperusahaan minjak.

                  Departemen Perburuhan senantiasa mengusahakan agar perselisihan perburuhan dapat diselesaikan setjara tjepat dan tepat.

                  3. Masalah pengupahan.

                  Struktur pengupahan dewasa ini sngat beraneka ragam sifatnja dan tinggi-rendahnja. Penentuannja tidak selalu didasarkan atas sifat atau berat-ringannja pekerdjaan jang harus dikerdjakan (prestasi jang diberikan) tetapi lebih banjak didasarkan atas daja kemampuan keuangan pihak jang menetapkannja. Maka karena itu terdapatlah banjak perbedaan upah antara sektor Pemerintah dan sektor swasta, bahkan antara swasta dan swasta dan dikalangan perusahaan-perusahaan Pemerintah sendiri. Dikalangan perusahaan-perusahaan Pemerintah perbedaan penerimaan upah banjak tergantung daripada tersedianja dana-dana untuk membajar tundjangan-tundjangan tertentu disamping upah/gadji pokok. Dikalangan swasta terutama, kedudukan ekonomi Jan kekuatan keuangan jang menentukan. Ditambah dengan perobahan-perobahan jang tjepat dibidang harga (inflasi) maka pengupahan jang penentuannja terutama didasarkan atas kekuatan keuangan itu mengakibatkan timbulnja perbedaan-perbedaan upah jang sangat menjolok. Selainnja tidak adil bagi buruh-buruh jang harus mendjalankan pekerdjaan jang sama beratnja diperusahaan-perusahaan jang tidak kuat kedudukan keuangannja, perbedaan-perbedaan upah itupun mengakibatkan berkurangnja perangsang („desincentive”) diperusahaan-perusahaan ini dan dengan sendirinja djuga makin berkurangnja produksi. Berhubung dengan keadaan jang tidak menguntungkan itu maka struktur pengupahan jang ada dewasa ini harus dirombak dan disesuaikan dengan arah dari pada pola pembangunan kita serta dengan pertambahan produktivitas ekonomi nasional kita. Perombakan struktur pengupahan antara lain harus memungkinkan:

                  1. setjara berentjana dan teratur upah harus berkembang kearah tingkat perghidupan jang lajak bagi buruh beserta keluarganja,
                  2. harus mendorong kearah penjebaran tenaga kerdja jang lebih merata kedaerah-daerah serta kepada projek-projek pembargunan jang memerlukannja,
                  3. harus dapat menimbulkan perangsang bagi semua jang menerimanja, djuga diperusahaan-perusahaan jang lemah kedudukan keuangannja, tetapi jang produksi dan djasa-djasanja diperlukan oleh masjarakat,
                  4. harus menimbulkan perangsang kearah penambahan keterampilan,
                  5. harus mentjerminkan pembagian penghasilan nasional (redistribution of national income) jang lebih sesuai dengar prinsip-prinsip Sosialisme Indonesia).

                  Untuk melaksanakan tudjuan itu, Pemerintah sedang merentjanakan suatu tjara pengaturan dan pemetiahan masalah pengupahan setjara pusat jang akar diintegrasikan dengan tjara pemetjahan dan pengaturan disektor-sektor ekonomi lainnja.

                  4. Norma-norma Perburuhan.

                  Perundang-undangan dan peraturan-peraturan perburuhan telah menetapkan norma-norma (standards) tertentu dibidang djam kerdja, kerdja lembur, waktu istirahat, kerdja wanita pada waktu malam, kerdja anak-anak, serta kesehatan dan keselamatan buruh diperusahaan-perusahaan jang sesuai dengan kondisi-kondisi di Indonesia.

                  Sebagai langkah pertama tindakan-tindakan akan dipusatkan pada kesehatan dan keselamatan buruh diperusahaan-perusahaan. Selain untuk meningkatkan daja kerdja dan martabat buruh jang bekerdja, kesehatan dan keselamatan kerdja mempengaruhi tingkat produksi perusahaan-perusahaan. Untuk keperluan itu direntjanakan adanja:

                  1. Gerakan Nasional kesehatan dan keselamatan buruh diperusahaan-perusahaan dengan djalan mengikutsertakan kaum buruh, organisasi-organisasi massa, pengusaha dan masjarakat sendiri kedalam gerakan itu. Tudjuan dari pada gerakan ini jalah:
                    „Buruh harus mampu mendjaga diri dalam lapangan kerdja mereka masing-masing”.
                  2. Mengadakan research (penelitian-penelitian) dibidang ini guna lebih landjut dituangkan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan baru, dan untuk dipergunakan sebagai bahan-bahan indoktrinasi.

                  5. Bidang Djaminan Sosial.

                  Sistim djaminan sosial (sakit, hamil, melahirkan anak, hari tua) pada dewasa ini masih bersifat sukarela dan tergantung pada daja kemampuan keuangan dan kesediaan perusahaan-perusahaan jang bersangkutan.

                  Pada waktu ini sedang direntjanakan suatu tjara penjusunan dana djaminan sosial kearah sistim pertanggungan sosial wadjib, segala sesuatu dengan memperkatikan prioritas-prioritas pembangunan dan daja kemampuan parusahaan jang diwadjibkan.

                  6. Perundang-undangan Perburuhan.

                  Departemen Perburuhan telah selesai menjusun 4 (empat) matjam rantjangan Undang-undang, jaitu:

                  1. Undang-undang Pokok Perburuhan, memuat ketentuan-ketentuan tentang hak dan kewadjiban kaum buruh Indonesia.
                  2. Undang-undang tentang Penggunaan Tenaga Kerdja, memuat ketentuan-ketentuan tentang tjara-tjara penggunaan tenaga kerdja.
                  3. Undang-undang Latihan Kedjuruan, mengenai tugas Pemerintah untuk mengusahakan, membina serta mengatur usaha-usaha latihan kerdja hingga memenuhi kebutuhan masjarakat.
                  4. Undang-undang tentang Djaminan Sosial dan Kesedjahteraan bagi buruh beserta keluarganja, jang akan melaksanakan sistim djaminan sosial dari tjara sukarela sekarang mendjadi pertanggungan sosial wadjih selangkah demi selangkah.
                  Rantjangan-rantjangan undang-undang tersebut sekarang telah disampaikan kepada lembaga-lembaga Pemerintah jang berkepentingan dan diharapkan dapat disahkan dan dilaksanakan dalam tahun 1965 ini djuga.

                  1. Research (Penelitian) dibidang Perburuhan.

                  Untuk mendapatkan landasan jang tepat guna penentuan kebidjaksanaan, perentjanaan dan pelaksanaan dalam bidang perburuhan, diperlukan gambaran tentang keadaan jang sebenarnja. Untuk itu diperlukan keterangan-keterangan kwantitatif berupa angka-angka statistik dan keterangan kwalitatif jang diperoleh dengan djalan mengadakan penelitian (research) dibidang-bidang perburuhan jang diperlukan.

                  Objek-objek penelitian perburuhan itu meliputi:

                  1. Segi sosial-politis (buruh sebagai sokoguru revolusi):
                    gerakan buruh, sedjarah, organisasi dan aspirasinja dalam Revolusi Indonesia dan hubungan perburuhan, termasuk pembinaan dewan-dewan perusahaan.
                  2. Segi sosial-ekonomis (buruh sebagai faktor produksi):
                    penduduk, angkatan kerdja (labour force), penggunaan tenaga kerdja (employment), pengangguran (unemployment), labour turnover, absensi, djam dan waktu kerdja, upah, latihan kerdja, dar lain-lain.
                  3. Segi sosial: djamman sosial, kesedjahteraan, kesehatan dan keselamatan buruh.
                  4. Segi hukum, organisasi dan admiristrasi: soal-soal dan sjarat-sjarat untuk memperkembangkan peraturan-peraturan serta mengintensifkan pelaksanaannja dalam masjarakat.

                  Untuk memperoleh hasil penelitian dengan mutu jang setinggi-tingginja, maka Departemen Perburuhan akan mengadakan kerdja-sama dengan Universitas-universitas dan lembaga-lembaga ilmiah lainnja. Sebagai langkah pertama telah dibentuk Lembaga Penelitian Perburuhan, berdasarkan atas Keputusan Bersama Menteri Perburuhan R.I. dan Rektor Universitas Gadjah Mada tertanggal 18 Maret No. Deperbu/865/65-59/Kab/M 1965 (No. U.G.M./Br/K/-14/12). Djuga dengan Lembaga Penjelidikan Ekonomi dan Masjarakat, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia serta dengan Akademi Ilmu Sosial „Aliarcham” oleh Departemen Perburuhan sedang diadakan perundingan untuk mengadakan kerdja-sama penelitian-penelitian. 8. Peningkatan aktivitas untuk mensukseskan Berdikari.

                  Amanat Berdikari Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno antara lain menentukan:

                  1. melaksanakan pembangunan nasional smeesta berentjana dalam masa 3 tahun.
                  2. Pertanian dan perkebunan didjadikan dasar perekonomian negara, dan industri sebagai tulang punggung perekonomian negara akan dikembangkan.
                  3. Prioritas djangka pendek untuk pembangunan meliputi:
                    nation dan character 'building, sandang pangan, keamanan/pertahanan, pertanian, perkebunan, perhutanan, perikanan, pertambangan, industri, tenaga listrik, industri pengolahan bahan-bahan mentah, transmigrasi gaja baru, penelitian dibidang teknologi.
                  4. Rehabilitasi semua alat-alat produksi, stabilisasi harga dan pemberantasan inflasi ditetapkan untuk mentjiptakan iklim ekonomi sesuai dengan kebutuhan perdjoangan.

                  Garis-garis kebidjaksanaan ini telah disahkan oleh M.P.R.S. dalam sidang paripurna III pertengahan bulan April jang lalu di Bandung.

                  Untuk mensukseskan pelaksanaan Berdikari, dibidang perburuhan perlu diadakan tindakan-tindakan peningkatan daja tahan mental, penggunaan tenaga ahli, peningkatan keahlian/keterampilan dan pemberian djasa-djasa oleh unsur-unsur perburuhan jang terutama ditudjukan kepada projek-projek prioritas tersebut diatas:

                  1. Aktivitas kaum buruh sebagai kekuatan massa dan kekuatan politik dalam projek-projek tersebut perlu ditingkatkan dan ditudjukan untuk menghilangkan penghambat-penghambat pelaksanaan, dan pemborosan-pemborosan material dan tenaga. Dewan-dewan perusahaan dalam projek-projek prioritas itu perlu diintensifkan pekerdjaannja, baik dalam arti pengintegrasiannja antara buruh pimpinan perusahaan, maupun kemampuannja untuk memetjahkan soal-soal teknis perusahaan.
                  2. Penggunaan dan penjebaran tenaga ahli jang ada perlu diintensifkan. Karena itu pembentukan pasar kerdja, jaitu usaha mempertemukan pentjari kerdja dengan pentjari tenaga kerdja, perlu disampurnakan.
                  Karena itu peralatan dan dana-dama lembaga-lembaga penempatan tenaga (Direktorat Tenaga) Kerdja) perlu
                    sempurnakan hingga lembaga ini mampu mendjalankan tugasnja lebih giat. Dengan demikian tenaga ahli jang ada dapat semuanja diikut sertakan dalam pembangunan sebagaimamna mestinja (fuller employment) dan penjebarannja keprojek-projek prioritas lebih terdjamin.
                  1. Keahlian dan keterampilan tenaga kerdja dan pimpinan perusahaam perlu ditingkatkan. Dalam hubungan ini latihan-latihan kerdja, baik jang bersifat latihan-latihan dasar (Institutional training) maupun jang bersifat latihan-latihan tambahan dalam perusahaan (in plant/on the job training) perlu disempurnakan. Peningkatan keahlian ini djuga diperlukan bagi tenaga-tenaga pimpinan perusahaan (management development training). Peningkatan keahlian buruh dan pimpinan perusahaan setjara terus-menerus diprojek-projek prioritas itu tentu akan menaikkan produktivitas dan efisiensi kerdjanja serta lebih mendjamin tertjapainja tudjuannja (target). Djuga untuk melaksanakan tindakan-tindakan itu diperlukan peralatan dan dana-dana lebih besar.
                  2. Peningkatan pemberian djasa-djasa. Dalam rangka pelaksanaan Berdikari ini, Departemen Perburuhan dewasa ini sedang menjusun Gerakan Turun Ke Perusahaan (Gertuper) sang dilaksanakan sesuai dengan berkembangnja perekonomian jang sedang tumbuh (expanding economy). Pembinaannja dimulai dengan mengembangkan kapasitaskapasitas produksi jang ada dengan tudjuan meningkatkan daja guna pada chususnja dan menghilangkan rintangan-rintangan jang menghambat kelantjaran perusahaan pada umumnja. Untuk keperluan itu telah dibentuk team-team kerdja dibeberapa ibukota propinsi jang terdiri atas ahli-ahli dalam soal-soal:
                    1. manpower budgeting dan penjederhanaan tjara kerdja.
                    2. latihan kerdja (job-skill training).
                    3. keselamatan kerdja dan kesehatan buruh.
                    4. gerakan buruh dan dewan perusahaan.
                    5. upah dan sjarat-sjarat kerdja.
                    Sifat tugas dari team-team tersebut diatas adalah konsultasi perusahaan (management consultation), untuk bersama-sama dengan B.P.U. dan/atau direksi perusahaan jamg bersangkutan „mengidentifisir” hal-hal jang perlu dan mungkin diperbaiki
                  untuk kelantjaran dan kemadjuan perusahaan pada umumnja. Sebagai langkah pertama Departemen Perburuhan menundjuk sebagai projek pertjobaam (pilot project) enam perusahaan:
                  1. P.N. Bangunan Negara, Djakarta.
                  2. P.N. Kereta Api, Bandung.
                  3. P.N. Karung Delanggu, Djawa Tengah.
                  4. P.P.N. Pabrik Gula Kebon Agung, Malang.
                  5. Remilling, Palembang, dan
                  6. Pemintalan, Medan.

                  Untuk langkah selandjutnja aktivitas akan ditudjukan pada projek-projek prioritas Berdikari lainnja dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman jang akan diperoleh dari enam perusahaan jang pertama tersebut diatas.

                  Dengan melaksanakan tindakan-tindakan peningkatan daja tahan mental, penggunaan tenaga ahli, peningkatan keahlian/keterampilan dan memperbesar pemberian djasa-djasa itu, maka aktivitas unsur-unsur perburuhan diintegrasikan dengan gerakan nasional untuk mensukseskan pelaksanaan Berdikari dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnja.

                  9. Perkembangan Organisasi Departemem Perburuhan.

                  Dalam masa pendjadjahan Belanda dahulu, kaum buruh tidak mendapat perhatian, perkembangan gerakan buruh dirintangi dan ditindas dengan mengadakan pelbagai matjam peraturan jang menjangkut kedudukan Bangsa Indonesia, sedang djaminan sosial bagi kaum buruh tidak atau sedikit sekali diperhatikan oleh si-pendjadjah.

                  Pada waktu Bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannja pada tanggal 17 Agustus 1945, dibentuklah Kementerian Sosial jang berkedudukan di Djakarta jang mengurus pula soal-soal perburuhan.

                  Setelah tentera kolonial Inggris menduduki kota Djakarta dan suasana mendjadi genting, maka pada tanggal 10 Djanuari 1946 Kementerian Sosial dipindahkan ke Jogjakarta. Dari Jogjakarta milah, Kementerian Sosial mulai mendjalankan tugasnja sebagai tertjantum dalam pasal 27 ajat 2, pasal 33 dan pasal 34 Undang-undang Dasar 1945.

                  Adapun soal-soal jang bersangkut-paut dengan perburuhan diselenggarakan oleh:

                  1. Bagian Perburuhan dari Kementerian Sosial.
                  2. Kantor Pusat Pengawasan Perburuhan dengan tjabang-tjabangnja di Djawa Barat, Djawa Tengah dan Djawa Timur.
                  1. Kantor Pusat Keselamatan Kerdja dengan tjabangnja di Tjirebon.

                  Setelah ternjata bahwa masalah perburuhan makin lama makin luas dan kompleks, maka pada tanggal 1 Djuli 1947 Bagian Perburuhan dipisahkan dari Kantor Pusat Kementerian Sosial dan didjadikan Djawatan Perburuhan jang berdiri sendiri dalam lingkungan Kementerian Sosial.

                  Djawatan Perburuhan ini terdiri atas:

                  1. Bagian Perburuhan Umum dengan Kantor Perwakilan didaerah-daerah Keresidenan.
                  2. Kantor Pengawasan Perburuhan ditiap Propinsi.
                  3. Kantor Pengawasan Keselamatan Kerdja dengan tjabangnja di Tjirebon.

                  Pada tanggal 3 Djuli 1947 dengan terbentuknja Kabinet Amir Sjarifudin, terbentuklah pula Kementerian Perburuhan jang pertama, dengan S.K. Trimurty sebagai Menterinja.

                  Penggabungan kembali dari Kementerian Sosial dengan Kementerian Perburuhan mendjadi Kementerian Perburuhan dan Sosial dalam Kabinet Presidentil dalam bulan Pebruari 1948, didasarkan atas alasan-alasan rasionil.

                  Setelah Negara Indonesia Serikat terbentuk, maka dalam Kabinet Republik Indonesia jang berpusat di Jogjakarta, Kementerian Perburuhan diadakan lagi dengan Dr. Maas sebagai Menteri Perburuhan, sedang sebagai Menteri Perburuhan Republik Indonesia Serikat (R.I.S.) diangkat Wilopo S.H. dan dengan lahirnja Negara Kesatuan, maka mulai tanggal 19 September 1950, R.P. Suroso diangkat sebagai Menteri Perburuhan.

                  Kalau kita meneropong usaha-usaha dalam lapangan perburuhan pada waktu „periode Jogja” jang mengalami pelbagai tjorak kesukaran, dapatlah dikatakan, bahwa Kementerian Perburuhan telah berhasi! meletakkan dasar-dasar jang progresif bagi pemetjahan masalah perburuhan di Indonesia dan perkembangan perburuhan pada umumnja jakni:

                  1. tertjiptanja Undang-undang Ketjelakaan dalam tahun 1947, Undang-undang Kerdja dalam tahun 1948, serta Undang-undang Pengawasan Perburuhan dalam tahun 1948 pula.
                  2. menanam pengertian-pengertian dalam masjarakat Indonesia, chususnja dengan menghubung-hubungkan usaha-usahanja dengan tudjuan Rakjat Indonesia pada umumnja jaitu mempertahankan dan menjelamatkan Negara Republik Indonesia.
                  Pengakuan Kedaulatan Negara Republik Indonesia pada achir Desember 1949 dan terbentuknja Negara Kesatuan pada bulan September 1950 mendorong Kementerian Perburuhan untuk dapat lebih njata mentraceer usaha-usahanja dan mempergiat aparat-aparatnja jakni:
                  1. Djawatan Penempatan Tenaga untuk menghadapi soal-soal penempatan tenaga kerdja termasuk penjelenggaraan latihan-latihan kerdja.
                  2. Kantor-kantor Penjuluh Perburuhan Daerah untuk soal-soal jang berkenaan dengan hubungan perburuhan.
                  3. Djawatan Pengawasan Perburuhan untuk mengawasi berlakunja undang-undang dan peraturan-peraturan perburuhan serta mengumpulkan bahan-hahan keterangan tentang soal-soal hubungan kerdja dan keadaan perburuhan dalam arti jang seluas-luasnja.
                  4. Djawatan Pengawasan Keselamatan Kerdja untuk mengawasi peraturan-peraturan perburuhan jang berkenaan dengan keselamatan buruh.
                  5. Kantor Urusan Perselisihan Perburuhan jang mengusahakan penjelesaian perselisihan perburuhan antara buruh dan madjikan.

                  Berhubung dengan keinginan dan hasrat daerah daerah untuk mengatur dan mengurus rumah-tangga sendiri seluas-luasnja, maka dengan Peraturan Pemerintah No. 14 tahun 1958 urusan-urusan kesedjahteraan buruh, kesedjahteraan penganggur dan pemberian kerdja kepada penganggur diserahkan kepada Daerah-daerah Tingkat I.

                  Penjerahan kekuasaan mengenai hal tersebut dilaksanakan daerah demi daerah dan dilakukan setelah daerah jang bersangkutan menjatakan kesediaannja untuk menerima penjerahannja. Hingga sekarang ini baru ada 6 Daerah Tingkat I jang telah menerima penjerahan tersebut, namun demikian, Departemen Perburuhan masih tetap memberikan djasa-djasanja kepada Kantor Dinas Perburuhan Daerah Tingkat I kalau diminta.

                  Pada bulan Mei 1958 Kementerian Perburuhan telah mengirimkan team ke Palembang, Medan dan Padang untuk merehabilitir, menormalisir dan mengkonsolidir Kantor-kantor Perburuhan jang telah dikatjaukan oleh P.R.R.I.

                  Dengan meningkatnja perdjoangan Bangsa Indonesia untuk mempertahankan dan menjelamatkan Negara Republik Indonesia dan perkembangan perburuhan chususnja, serta pengumuman Dekrit Presiden kembali ke Undang-undang Dasar 1945 jang diberkahi pula dengan lahirnja Manifesto Politik R.I. tanggal 17 Agustus 1959, maka Departemen Perburuhan terus berusaha menjempurnakan organisasi dan aparat-aparatnja, (jang terachir dengan Peraturan Menteri Perburuhan No. 8 tertanggal 12 September 1964 jo No. 13 tahun 1964 tertanggal 27 Nopember 1964), sehingga pada tanggal 1 April 1985 Departemen Perburuhan telah mempunjai kantor-kantor sebagai berikut:

                  1. Kantor Pusat Departemen Perburuhan dengan 19 Biro serta Kabinet Menteri.
                  2. Direktotrat:
                    1. Hubungan Perburuhan
                    2. Pengawasan Perburuhan
                    3. Pengawasan Keselamatan Kerdja
                    4. Penempatan Tenaga Kerdja
                    5. Latihan Kerdja beserta kantor-kantornja didaerah-daerah.
                  3. Lembaga:
                    1. Keselamatan dan Kesehatan Buruh
                    2. Pembinaan Buruh dan Pimpinan Perusahaan.
                  4. Jajasan:
                    1. Usaha Karya Samudra-Pura (J.U.K.S.) jang mempunjai tugas membantu melantjarkan pekerdjaan lalu-lintas barang dipelabuhan-dipelabuhan, chususnja dalam usaha pengganjangan negara boneka Malaysia serta mengadakan usaha dalam bidang kesedjahteraan buruh.
                    2. Penampungan Penderita Tjatjat.
                  5. Dana Djaminan Sosial.
                  6. Kantor Perburuhan Irian Barat (Peraturan Menteri Perburuhan No. 3 tahun 1962).

                  Selandjutnja dalam rangka organisasi dan tugas Departemen Perburuhan:

                  1. Dengan Keputusan Menteri Perburuhan No. 25 tahun 1955, di-ketudjuhbelas ibukota Daerah Tingkat I per 1 April 1965 telah dibentuk:
                  221 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/238 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/239 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/240

                  LAMPIRAN A.

                  PERBURUHAN DI IRIAN BARAT.

                  1. Tugas dan organisasi.

                  Masa Pemerintahan Belanda:

                  Persoalan perburuhan di Irian Barat baru mendapat perhatian jang agak mendalam setelah mulai dipekerdjakannja seorang pengawas perburuhan (arbeidinspecteur) pada tahun 1953 jang diserahi tugas-tugas penjelidikan dan persiapan dari pembentukan suatu instansi perburuhan dalam pemerintahan „Nederlands Nieuw Guinea”.

                  Setelah mengalami pelbagai matjam perobahan dan perkembangan, achirnja instansi perburuhan didjadikan suatu bagian jang chusus dari Dinas Urusan Sosial dan Kehakiman dengan tugas kewadjiban jang ditetapkan dalam Gouvernments Blad van NNG. 1959 No. 28, pasal 4 ajat f dan g sebagai berikut:

                  1. memadjukan dan memperkembangkan perundang-undangan perburuhan dengan djalan mengurus segala persoalan perburuhan jang telah ditentukan oleh Organisasi Perburuhan Internasional termasuk urusan-urusan penempatan tenaga, sjarat-sjarat perburuhan, pekerdjaan orang-orang muda dan wanita, kesehatan, keselamatan dan kesedjahteraan buruh, djaminan sosial buruh, hubungan perburuhan, perburuhan dilaut, persoalan perburuhan menjangkut orang-orang jang berada ailuar negaranja senuiri, perpindahan buruh dan statistik perburuhan.
                  2. melaksanakan dan mengawasi didjalankannja peraturan-peraturan perburuhan dan ketjelakaan dan mengawasi penjelesaian perburuhan.

                  Diseluruh Irian Barat terdapat 2 Kantor Tjabang Pengawas Perburuhan ialah di Kota Baru dan di Manokwari.

                  Soal-soal mengenai keselamatan kerdja diurus oleh Kantor Tjabang Tunggal Pengawasan Keselamatan Kerdja di Kotabaru. Disamping kantor-kantor tjabang tersebut terdapat satu Kantor Penempatan Tenaga jang sedang dipersiapkan mendjadi suatu bagian tersendiri (Bagian Penempatan Tenaga) dari Dinas Urusan Sosial dan Kehakiman.

                  Pada Bagian Urusan Perburuhan dipersiapkan untuk dirobah sedemikian rupa sehingga tenaga-tenaga akademi (sardjana) diganti oleh tenaga-tenaga menengah jang terdidik. Untuk keperluan ita sedjak Agustus 19€2 telah diadakan pengangkatan untuk djabatan Pengawas Perburuhan, Penilik Perburuhan dan Penilik Keselamatan Kerdja orang-orang penduduk aseli jang pada umumnja belum memenuhi sjarat.

                  Masa Pemerintahan UNTEA:

                  Pada saat pengambil-alihan hanja tinggal dua orang tenaga akademis teknis Belanda jang berutgas berturut-turut sebagai Sekertaris dan Kepala Dinas Urusan Sosial dan Kehakiman. Bagian Urusan Perburuhan mengalami kesukaran karena pegawai-pezgawai jang masih tinggal terdiri dari tenaga-tenaga penduduk aseli jang belum berpengalaman dan tidak terlatih sama sekali.

                  Untea diminta dua orang tenaga ahli keselamatan kerdja dari Pemerintah R.I. Berhubung persoalan-persoalan perburuhan makin bertambah ruwet, maka dimintakan lagi seorang tenaga ahli perburuhan dari Pemerintah R.I. jang diserahi pimpinan dari Bagian Urusan Perburuhan. Disamping itu, pada Bagian Urusan Perburuhan ditambah dengan seorang tenaga harian ialah sardjana hukum untuk urusan-urusan statistik dan administrasi.

                  Reorganisasi dan usaha-usaha selandjutnja:

                  . Persiapan-persiapan diadakan kearah pembentukan Kantor Perburuhan Irian Barat berdasarkan Peraturan Menteri Perburuhan R.I. No. 3 tahun 1962. Tjabang-tjabang Kantor Perburuhan di Kotabaru dan Manokwari dibentuk dan Bagian Urusan Perburuhan telah dipersiapkan untuk mendjadi Kantor Perburuhan Irian Barat terlepas dari Dinas Urusan Sosial dan Kehakiman.

                  Direntjanakan pembentukan Kantor-kantor Tjabang di Biak, Sorong dan Merauke.

                  Susunan organisasi dari Dinas Perburuhan disesuaikan dengan djawatan-djawatan perburuhan jang ada dalam lingkungan Departemen Perburuhan.

                  Tugas kewadjiban dan wewenang dari Dinas Perburuhan adalah mengurus semua persoalan perburuhan di Propinsi Irian Barat.

                  2. Politik Perburuhan.

                  Politik Perburuhan dizaman pemerintahan Belanda, sedjalan dengan kebidjaksanaan umum pemerintah di Irian Barat ditudjukan kepada usaha-usaha mendjaga serta memelihara keseimbangan sosial ekonomi 2ntara kota-kota dan daerah-daerah pedalaman. Pada pihak satu diusahakan supaja penduduk diturut sertakan dalam alat-alat pemerintahan dan dalam kegiatan-kegiatan perusahaan-perusahaan swasta jang terutama terdapat dipusat-pusat kota atau sekitarnja dan pada pihak jang lain supaja tenaga-tenaga lelaki jang sanggup bekerdja tidak terlalu banjak ditarik dari pedalaman hal mana akan dapat mengganggu keadaan sosial ekonomis dan menghalangi kemadjuan pembangunan didaerah pedalaman.

                  8. Penggunaan Tenaga Kerdja.

                  . Dalam tahun 1960 semasa Pemerintah Belanda, diumlah pegawai/buruh Pemerintah diseluruh Irian Barat, ada kurang lebih 8.700 orang, ialah 52% penduduk aseli dan 48% orang Belanda. Pada tahun itu terdapat 15.910 orang buruh penduduk aseli Irian Barat, 44% atau 7.040 berasal dari daerah daerah pedalaman. Lebih dari setengah dari djumlah buruh seluruhnji di Irian Barat (64% atau 10.221 orang) berpusat dikota-kota seperti Kotabaru, Biak, Manokwari, Sorong dan Merauke sedang selebihnja ialah 36% atau 5.689 orang bekerdja ditempat-tempat lain. Dalam tahun 1960 33% atau 5.256 orang dari seluruh djumlah buruh terdapat dalam sektor „bangunan” dan selebihnja ialah 67% atau 10.654 orang bekerdja disektorsektor lainnja. Dari padanja 999 orang atau 6,3% terdiri dari kaum wanita.

                  Dalam tahun 1962 penduduk Irian Barat ditaksir berdjumlah 700.000 orang diantaranja 400.000 orang jang sudah hidup dalam suasana „kota” dan mendjalankan kegiatan dalam masjarakat kota, sedangkan lainnja belum terlepas dari kehidupan dalam masjarakat primitif jang terpentjil.

                  Dalam pertengahan tahun 1962 setelah ada persetudjuan antara Indonesia dan Belanda, djumlah orang-orang jang bekerdja menurun sebagai akibat dari dihentikannja usaha-usaha dilapangan pembangunan. Menurut tjatatan pada achir Desember 1962 terdapat.3.681. orang jang menganggur. Untuk menampung persoalan ini oleh UNTEA telah disediakan biaja sebesar FI. 580.000 untuk usaha-usaha pemberian kerdja dan pemulangan mereka dengan keluarganja Setempat tempat asalnja.

                  Djumlah periganggur pada achir Desember 1963 ditaksir 5.000 orang, kebanjakan terdiri dari pekerdja-pekerdja bangunan. Antar kerdja:

                  Pada tahun 1960 di Kotabaru dan Manokwari tertjatat 811 orang penganggur jang mendaftarkan diri dan 4075 dari djumlah ini dapat ditempatkan. Hasil-hasil antar kerdja dari Bagian Urusan Perburuhan di Kotabaru dan Manokwari selama tahun 1963 ialah: pendaftaran pentjari kerdja: 1.810 orang, ditempatkan 683 orang, sisa pentjari kerdja 1.127 orang.

                  Pemberian Kerdja:

                  Usaha-usaha pemberian kerdja kepada 25 orang di Manokwari dan 11 orang di Kotabaru dengan djalan memberikan bantuan modal kepada usaha-usaha pertukangan kaju, sebesar Irian Barat Rp. 5.000 selama 1963.

                  Latihan Kerdja:

                  Pada achir 1960 di Irian Barat tertjatat 13 buah/matjam kursus dinas untuk pendidikan dalam djabatan-djabatan pemerintahan, kepolisian, kesehatan, keuangan, kadaster, topografi, P.T.T., pertanian, perikanan, kehewanan, kehutanan dan pelajaran rendah dengan djumlah pengikut kira-kira 1.000 orang. Lamanja pendidikan berkisar pada 3 bulan sampai 5 tahun. Didalam rangka pendidikan ini, Pemerintah Belanda telah mengusahakan pengiriman tjalonnja keluar daerah (negeri), diantaranja tudjuh orang ke Medical School di Port Moresby dan dua orang di Suva. Selandjutnja enam orang telah dikirimkan pula ke Technical Training College di Port Moresby untuk pendidikan tjalon ahli-ahli P.T.T.: di Nederland pada tahun 1960 tertjatat 35 orang penduduk aseli Irian Barat jang sedang mengikuti pendidikan teori dan praktek. Diantaranja Terdapas tiga belas orang wanita.

                  Untuk mentjukupi akan tenaga-tenaga terlatih di Irian Barat, maka selama pertengahan kedua dari tahun 1963 telah disiapkan adanja Pusat Latihan Kerdja di Kotabaru jang akan mendidik tjalon-tjalon djurutik, pegawai administrasi ringan,tukang kaju, tukang besi (bubut, pelat dsb.) dan pembantu montir mobil dsb. Tjalon-tjalon jang terdaftar diseluruh Irian Barat berdjumlah 188 orang. Diharapkan Pusat Latihan Kerdja tersebut akan dapat dimulai permulaan tahun 1964.

                  4. Hubungan Perburuhan.

                  Diseluruh Irian Barat terdapat 2 organisasi buruh ialah: Persekding (Persatuan Sekerdja Kristen Irian Barat) beranggotakan 3.000 orang, dan S.P.K, (Serekat Pekerdja Katolik) beranggotakan 1.100 orang. Selama 1960 di Irian Barat telah hilang 1.433, 5 hari kerdja akibat perselisihan perburuhan. Selama th. 1963 tertjatat 14 perselisihan perburuhan.

                  5. Pengawasan Perburuhan (Perundang-undangan).

                  Mengenai perundang-undangan tidak banjak diketahui, ketjuali beberapa jang berhubungan dengan persoalan pengerahan tenaga kerdja. Pada th. 1960 sedang dipersiapkan rentjana undang-undang kerdja jang baru jang akan diberlakukan pada th. 1961. Dalam th. 1963 setapak demi setapak telah dimulai diberlakukan beberapa perundang-undangan Perburuhan R.I. diseluruh Irian Barat a.l.: (1) Peraturan Menteri Perburuhan No. 90 tahun 1955 (pendaftaran Serikat Buruh), (2) Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 1954 (tjara membuat dan mengatur perdjandjian perburuhan) (3) Undang-undang No. 23 tahun 1953 tentang „Kewadjiban melaporkan perusahaan”, (4) Undang-undang No. 3 tahun 1958 tentang „Penempatan Tenaga Asing” dan (5) sebagian dari Undang-undang Kerdja 1948.

                  Perusahaan jang terdaftar selama tahun 1963 berdjumlah 54 buah diseluruh Irian Barat.

                  Pelaksanaan dari Undang-undang mengenai penempatan tenaga asing, baru didjalankan di Kotabaru, Manokwari, Sorong dan Merauke. Djumlah tenaga asing jang telah diberikan izin bekerdja ada 370 orang.

                  Selama 1963 telah diadakan pemeriksaan kepada 50 buah perusahaan diseluruh Irian Barat, sebagian besar terletak dikota-kota besar seperti Kotabaru, Manokwari. Sorong dan Merauke.

                  6. Pengawasan Keselamatan Kerdja.

                  Dalam tahun 1960 diseluruh Irian Barat terdjadi 84 kali ketjelakaan perusahaan jang mengakibatkan 58 orang buruh luka-luka ringan, 21 orang luka-luka berat dan 5 orang meninggal.

                  Dalam tahun 1963 djumlah perusahaan-perusahaan jang diperiksa ada 23 buah. Djumlah ketjelakaan selama 1963 ada 10 kali untuk seluruh Irian Barat.

                  9. Produktitvitas Kerdja.

                  Oleh Pemerintah Belanda bersama-sama dengan pengusaha-pengusaha dan organisasi buruh serta instansi-instansi keagamaan telah diadakan usaha-usaha kearah mempertinggi dajaguna dan disiplin kerdja dengan djalan mengadakan penerangan, pendidikan dan latihan-latihan djabatan. Pemerintah Republik Indonesia, dibidang produktivitas kerdja, mengadakan usaha-usaha jang lebih bersifat penjelidikan. Produktivitas kerdja buruh penduduk asli pada umumnja masih rendah, disebabkan masih singkat waktunja mengindjak bidang perburuhan, rasa tanggung sala ketekunan dan disiplin belum dikenal.

                  Berhubung dengan itu maka dalam tahun 1964 gerakan dajaguna tidak hanja akan membatasi kegiatan dalam bidang penjelidikan dan konsultasi perusahaan, akan tetapi perlu ditjurahkan perhatian kepada usaha-usaha penjaluran langsung, penerangan dan pengjakinan setjara umum.

                  LAMPIRAN B.

                  KONPERENSI PENDAHULUAN KONPERENSI BURUH ASIA-AFRIKA.

                  1. Persembangan Gagasan K.B.A.A.

                  Semendjak berhasilnja K.A.A: di Bandung pada tahun 1955 maka terasa perlu untuk mengadakan pula konperensi-konperensi A-A bagi lain-lain golongan, agar Japat diketemukan rentjana- rentjana dan tjara-tjara guna mengadakan tindakan jang seragam dan terkombinasi, dengan tudjuan untuk memetjahkan serta menjelesaikan masalah-masalah bersama jang timbul dinegeri-negeri baru di Asia dan Afrika.

                  Tjita-tjita untuk mengembangkan tindakan jang seragam dan terkombinasi telah direalisasikan dengan adanja:

                  Konperensi Mahasiswa A-A di Bandung (th. 1956).
                  Konperensi Wartawan A-A di Tokyo (th. 1956).
                  Konperensi Ahli Hukum A-A di New Delhi (th. 1957).
                  Konperensi Solidaritas Rakjat A-A (th. 1958).
                  Konperensi Ahli Hukum A-A di Conackry (th. 1961).
                  Konperensi Solidaritas Rakjat A-A di Moshi (th. 1963).
                  Konperensi Wartawan A-A di Djakarta (th. 1963).

                  Djuga dikalangan buruh dirasakan pentingnja untuk mengadakan pertemuan antara Serikat-serikat Buruh A-A.

                  Di Indonesia sendiri S.B.-S.B. telah mempunjai gagasan itu sedjak 1954. Tetapi berhubung dengan kesukaran serta keadaan umum didunia, baru pada tahun 1962 gagasan K.B.A.A. mendapat bentuk-bentuk jang lebih njata.

                  2. Latar belakang politik.

                  Dalam waktu kurang lebih 20 tahun setelah Perang Dunia II telah lahir lebih dari 30 negara merdeka, jang terus menerus berusaha untuk membebaskan diri dari sisa-sisa terachir daripada imperialisme dan kolonialisme. Disamping itu rakjat-rakjat dibanjak daerah A-A terus berdjoang untuk mendapatkan kemerdekaannja serta membebaskan diri dari belenggu imperialisme dan kolonialisme. Walaupun imperialisme dan kolonialisme telah mendapat pukulan-pukulan hebat, namun mereka masih berusaha untuk mempertahankan diri dan ingin berkuasa kembali. Mereka menimbulkan ketegangan-ketegangan diantara rakjat-rakjat A-A, dengan segala tjara merintangi tumbuhnja kekuatan bangsa-bangsa A-A jang baru, serta dengan sekuat tenaga menghalang-halangi perkembangan dan menambah beban derita rakjat A-A. Untuk mentjapai tudjuan djahatnja itu dilahirkanlah neokolonialisme jang sebenarnja merupakan dominasi tak langsung dibidang politik, ekonomi, sosial, kebudajaan, militer dan teknik.

                  Oleh karena itu, tanpa membebaskan diri dari pendjadjahan dan kekuasaan imperialis serta kolonialis dan djuga tanpa menghapuskan kekuatan asing sampai keakar-akarnja, tidaklah mungkin bagi rakjat-rakjat jang bersangkutan dan terutama bagi buruh untuk menikmati makna sebenarnja daripada kemerdekaan mereka. Inilah sebabnja, buruh dan rakjat-rakjat A-A mempunjai kewadjiban jang bersamaan untuk melandjutkan perdjoangan mereka melawan imperialisme, kolonialisme serta mengadakan konsolidasi kemerdekaan nasional dan mengembangkan ekonomi nasionalnja menudju kemakmuran jang merata.

                  Berhubung dengan kesedaran politik jang selalu bertambah, maka para buruh dan S.B.-S.B. A-A dapat mengembangkan keinsjafan untuk kerdjasama serta saling bantu-membantu dalam perdjoangan mereka terhadap penindas-penindas mereka, tidak sadja dalam rangka nasional, tetapi djuga dalam rangka solidaritas internasional.

                  Sebagai akibat daripada penguasaan kolonial tingkat penghidupan rakjat dan buruh adalah sangat rendah. Sumber alam jang berlimpah-limpah telah dieksploitir dan diangkut pergi sedangkan buruh serta rakjat di A-A tinggal miskin dan terkebelakang. Perdjoangan untuk memperbaiki keadaan jang mendesak ini tidak dapat dilepaskan daripada nerdjoangan melawan imperialis, kolonialis dan neo-kolonialis. Tetapi pemutusan belenggu-belenggu itu sadja tidak dapat memperbaiki keadaan jang sangat melarat dinegerinja sendiri.

                  Masalah-masalah upah rendah, pendapatan nasional jang tak merata, diskriminasi upah antara buruh laki dan wanita, keadaan kesehatan dan sjarat-sjarat kerdja jang buruk, dan sebagainja, masih harus dihadapi bersama-sama oleh buruh-buruh A-A.

                  Disamping itu sebagai akibat daripada penindasan kolonialis perkembangan tingkat kebudajaan rakjat serta kebudajaan nasional djuga dimatikan, sedangkan kerdjasama dibidang kebudajaan sama sekali dipatahkannja.

                  Hanja setelah banjak negara A-A memperoleh kemerdekaannja dapat diusahakan kebangunan kebudajaan, jang merupakan pula salah satu tugas pokok daripada buruh dan S.B.-S.B.

                  Selandjutnja sumber utama daripada ketegangan-ketegangan jang membahajakan perdamaian dunia jang akan menghambat perkembangan negara dan rakjat jang baru merdeka adalah adanja imperialisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme. Oleh karena itu hal jang pertama-tama harus dilaksanakan untuk mempertahankan perdamaian dunia adalah menghantjurkan kekuatan-kekuatan itu selekas mungkin, jang berarti akan terbukanja kemungkinan untuk membangun dunia baru bagi semua orang, dimana semua bangsa mempunjai hak untuk memilih dengan bebas sistim politik, ekonomi dan kepribadian mereka jang sesuai dengan aspirasi nasional masing-masing.

                  Salah suatu masalah terpenting dalam perdjoangan buruh dan rakjat seluruh dunia adalah untuk menghapuskan produksi, penimbunan, pertjobaan dan pemakaian sendjata-sendjata nuklir.

                  Imperialisme dan kolonialisme selalu mendjalankan diskriminasi terhadap bangsa-bangsa lain dengan tudjuan untuk menindas mereka sehingga tidak membahajakan kedudukan jang diperolehnja setjara tak adil. Diskriminasi ini dapat didasarkan pada pembedaan warna kulit atau agama jang bertentangan dengan segala perasaan keadilan dan hak-hak azasi serta persamaan, seperti jang diakui dalam piagam P.B.B.

                  Dengan demikian adalah kewadjiban rakjat A-A untuk menggabungkan serta mengkoordinasi segala tenaga mereka guna menghantjurkan setiap bentuk diskriminasi, jang merupakan salah suatu aspek penting daripada imperialisme.

                  3. Tudjuan K.B.A.A.

                  Guna mengatasi kesulitan jang dihadapi bersama di Asia dan Afrika, gabungan-gabungan S.B.-S.B. Asia dan Afrika merasa perlu mengadakan tukar-menukar fikiran dan pengalaman, berdasarkan prinsip saling bantu-membantu, kerdjasama jang bersahabat dan solidaritas antara semua gabungan S.B. diantara negara A-A, dengan tudjuan untuk mempertahankan kemerdekaan nasional jang penuh bagi semua negara dan rakjat di Asia-Afrika, untuk mempertahankan hak kebebasan demokrasi bagi buruh dan rakjat dan untuk perkembangan sosial serta perdamaian dunia. Untuk inilah diperlukan K.B.A.A. dengan tudjuan seperti berikut:

                  Memperkuat kerdjasama berdasarkan persahabatan, meluaskan serta memperkokoh persatuan antara buruh A-A tanpa memandang idiologi, kepertjajaan dan afilasi masing-masing organisasi. Kerdjasama antara buruh A-A adalah penting, mengingat, bahwa mereka mempunjai kepentingan jang bersamaan, mengingat pula bahwa kepentingan-kepentingan buruh A-A pertama-tama harus diurus oleh mereka sendiri.

                  Kerdjasama tersebut djuga penting dalam melandjutkan perdjoangan melawan imperialisme, kolonialisme dan neo-kolonialisme serta memperoleh dan mengkonsolidasi kemerdekaan nasional mempertahankan hak-hak demokrasi serta mentjapai perkembangan sosial dan mempertahankan perdamaian dunia.

                  Memperkuat solidaritas internasional antara Buruh A-A ini adalah sesuai dengan prinsip-prinsip Bandung tahun 1955 serta konperensi-konperensi lainnja.

                  4. Persiapan K.B.A.A.

                  Setelah mengadakan penelitian jang seksama mengenai keadaan S.B.-S.B. Asia-Afrika, Sekretariat Bersama Gabungan-gabungan Serikat Buruh Indonesia membentuk sebuah panitia persiapan sementara pada tahun 1962, atas uasar pertibangan bahwa situasinja sudah tjukup masak untuk mengambil langkah-langkah konkrit kearah penjelenggaraan suatu Konperensi Buruh A-A.

                  Pada achir tahun 1962, panitia persiapan sementara dibubarkan karena telah selesai dengan tugas-tugasnja, dan selandjutnja Sekretariat Bersama Gabungan-gabungan Serikat Buruh sendiri dengan seluruh kekuatannja menghadapi masalah persiapan K.B.A.A.

                  Seruan kepada semua Serikat Buruh A.A. jang dikeluarkan dalam triwulan terachir tahun 1962 segera disusul dengan dikeluarkannja sebuah garis umum dan garis-garis pokok bagi suatu K.B.A.A. pada permulaan tahun 1963, dengan menggunakan bahan-bahan K.A.A. ke-I, K.T.T. Beograd 1961 dan bahan-bahan lainnja jang sementara itu diadjukan oleh pelbagai Serikat Buruh A.A.

                  Dari Serikat-serikat Buruh A.A. diterima sambutan-sambutan hangat terhadap garis umum dan garis-garis pokok tersebut. Walaupun demikian untuk lebih membentangkan persoalannja, tiap kesempatan jang ada, oleh Sekretariat Bersama Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/251 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/252



                  DEPARTEMEN
                  URUSAN RESEARCH NASIONAL

                  Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/254

                  PENDAHULUAN.

                  Dalam abad modern ini kehidupan negara dan bangsa banjak djuga dipengaruhi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-hasil riset jang gilang-gemilang ternjata dapat dikendalikan dan diamalkan demi peningkatan kehidupan politik, ekonomi dan sosial negara dan bangsa.

                  Merupakan kenjataan bahwa hasil-hasil riset tidak sadja mengakibatkan revolusi dalam ilmu pengetahuan dengan timbulnja dan berkembangnja teori-teori dan bidang-bidang/tjabang-tjabang ilmu pengetahuan baru, tetapi penetrapannja jang tepat telah memungkinkan kemadjuan-kemadjuan luar biasa dalam usaha-usaha meninggikan tingkat kehidupan rakjat, seperti dibidang industri, pertanian, kesehatan dan sebagainja.

                  Penetrapan hasil-hasil riset dalam bidang pertanian memungkinkan untuk menanam djenis-djenis tanaman jang lebih baik dengan produksi dalam kwantitas jang lebih besar. Dengan bantuan ilmu kimia misalnja, dapat diprodusir djenis-djenis pupuk jang menjuburkan tanah dan djenis-djenis insektisida jang dapat memberantas berbagai penjakit dan hama tanaman. Kemungkinan ini memberikan sumbangan besar bagi bertambahnja produksi dan perbaikan makanan untuk rakjat.

                  Penemuan-penemuan dalam bidang kedokteran memungkinkan untuk mentjegah dan memberantas berbagai penjakit, memelihara kesehatan manusia dan memperpandjang hidupnja.

                  Penemuan-penemuan teknologi baru jang didasarkan atas hasil-hasil riset dan perbaikan teknik-teknik lama jang ditetapkan dalam industri memungkinkan untuk mempergunakan sumber alam dengan lebih efektif dan produktif. Teknologi persendjataan mengalami kemadjuan-kemadjuan pesat dan luar biasa. Kemadjuan-kemadjuan teknologi seperti misalnja „automation” menuntut adanja tenaga-tenaga jang berpendidikan mutu tinggi.

                  Alat transport dan telekomunikasi modern antar tempat, antar daerah dan antar negara dapat antara lain saling mempengaruhi adat istiadat, kebiasaan dan kebudajaan masing-masing.

                  Pula sesudah Perang Dunia ke II usaha-usaha dibidang ilmu pengetahuan mentjapai kemadjuan-kemadjuan raksasa dibidang-bidang jang hingga beberapa tahun jang lalu masih merupakan impian dan spekulasi belaka. Para ahli riset telah berhasil melampaui tjakrawala jang melingkari batas ilmu pengetahuan manusia dan telah mendjeladjahi alam ilmu nuklir dan ilmu ruang angkasa luar. Rahasia „nuclear fission” dan rahasia angkasa luar kian hari kian diketahui, dan kini manusia tidak sadja mengagumi alam semesta, akan tetapi telah beladjar pula menaklukkannja demi kesedjahteraan umatnja.

                  Dengan memberikan sekedar fakta tersebut diatas, djelaslah bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi berdasarkan research ilmiah jang efektif dan produktif memberikan sumbangan jang tidak terhingga bagi perkembangan ekonomi negara dan bagi usaha untuk meningkatkan taraf kehidupan rakjat. Kini hubungan antar negara dan peranan masing-masing negara memperhitungkan djuga dimensi kekuatan ilmu pengetahuan dan teknologi.

                  Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan alat vital dalam pembangunan negara dan dalam peningkatan ketahanan nasional. Salah satu sjarat mutlak guna dapat memperkembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah diselenggarakannja risetnja ilmiah jang produktif dan bermutu tinggi. Untuk meninggikan ketahanan nasional adalah tugas sesuatu negara untuk memperhatikan dan mengadakan segala usaha untuk memperkembangkan dan mengerahkan segala potensi riset dan menggairahkan segala aktivitas riset.

                  Dalam perentjanaan perkembangan nasional, maka problematik jang dihadapi negara tidak sadja menggairahkan ilmu pengetahuan, teknologi dan riset demi pertumbuhan ekonomi jang pesat dan progresif serta demi peningkatan ketahanan nasional, tetapi djuga bagaimana memperhebat kehidupan riset ilmiah sebagai alat pembantu untuk turut mengisi penjebaran dan peresapan idiologi negara.

                  Seirama dengan djalannja Revolusi, maka setelah diproklamirkannja kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, mulailah masjarakat dan dunia ilmu pengetahuan Indonesia memikirkan tentang usaha-usaha memperkembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan mempergunakannja guna kepentingan pembangunan negara.

                  Riset sebagai dasar dari pada segala usaha ilmiah sebenarnja telah mempunjai tradisi hampir 200 tahun lamanja di Indonesia. Tetapi sebagai pentjerminan daripada politik kolonial, maka usaha-usaha riset dalam masa pendjadjahan pada dasarnja ditudjukan guna kepentingan politik tersebut. Riset dalam bidang pertanian misalnja, terutama ditudjukan pada usaha-usaha memperbaiki dan memperbanjak produksi hasil-hasil perkebunan Belanda dan asing untuk ekspor seperti teh, kopi, kina, karet dan sebagainja. Akan tetapi dibidang lainnja, seperti kesehatan, geologi, vulkanologi, dan ilmu purbakala terdapat djuga kemadjuan-kemadjuan riset jang memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pengetahuan tentang sumber alam Indonesia.

                  Sebagai akibat daripada politik pendidikan kolonial, maka hampir seluruh kegiatan" riset diselenggarakan oleh sardjana-sardjana Belanda dan asing. Hal ini terutama disebabkan karena hampir tidak adanja kesernpatan bagi Bangsa Indonesia untuk memasuki Perguruan Tinggi. Sekolah tinggi jang pertama jaitu „Technische Hogeschool” di Bandung baru dibentuk dalam tahun 1920 jang kemudian disusul dengan didirikannja „Rechts Hogeschool” di Djakarta pada tahun 1924 dan „Genecskundige Hogeschool” djuga di Djakarta pada tahun 1927.

                  Dalam daftar jang dimuat dalam „Science and Scientists in the Netherlands Indies” (1945) tertjantum 1320 nama ahli Belanda dan hanja 110 ahli Indonesia jang bekerdja dalam bidang riset sebelum masa pendudukan Djepang.

                  Akibat politik kolonial tersebut sangat mempengaruhi usaha-usaha riset jang diselenggarakan sesudah kemerdekaan. Dalam negara jang masih muda usianja jang menghadapi masalah-masalah sangat besar dan multikompleks dalam pembangunannja, maka riset sebagai suatu usaha nasional terpaksa diselenggarakan dalam keadaan dimana fasilitas-fasilitas riset — seperti tenaga ahli, alat-alat ilmiah dan dana — masih ada dalam serba kekurangan. Pemerintah jang memahami tentang besarnja peranan ilmu pengetahuan dan teknologi berpendapat bahwa untuk dapat mentjapai hasil-hasil riset jang bermutu tinggi, maka fasilitas-fasilitas jang terbatas itu harus dapat dikerahkan dan dikembangkan dengan efektif dan produktif.

                  Perhatian terutama harus diberikan kepada usaha-usaha memenuhi kebutuhan akan tenaga ahli, alat-alat dan dana jang tjukup jang diperlukan untuk menggairahkan kegiatan-kegiatan riset dan wmemperkembangkan bidang-bidang/ tjabang-tjabang ilmu pengetahuan baru jang dihubungkan Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/258 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/259 ilmu pengetahuan jang melihat djauh kedepan berkejakinan bahwa kini sudah tiba masanja bahwa Bangsa Indonesia harus menjusul ketinggalan-ketinggalan da'am bidang ilmu pengetahuan. Mereka berkejakinan bahwa guna kepentingan pembangunan negara diperlukan bantuan dari ilmu pengetahuan dan riset. Riset tentang sumber alam Indonesia, tentang kebudajaan jang sedang mengalami perubahan karena semakin tebalnja semangat Kesatuan Indonesia dan sebagainja jang djelas akan memberikan sumbangan bagi pembangunan negara masih harus dihidupkan dan dilaksanakan dengan lebih intensif.

                  Pada tanggal 14 Djuli 1951, Menteri P.P. & K., Ali Sastroamidjojo S.H. meminta kepada Prof. Sarwono Prawirohardjo untuk menjusun suatu nota jang memberikan pertimbangan tentang usaha-usaha dalam lapangan ilmu pengetahuan jang perlu didjalankan untuk kepentingan negara. Djuga dimintakan saran-saran tentang per'unja mendirikan badan baru dengan tugas untuk memadjukan dan membimbing perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam bulan Agustus 1951, dengan Surat Keputusan Menteri P.P. & K. No. 2008/Kab. dibentuk suatu Panitia jang diberi nama Panitia Persiapan Pembentukan Madjelis Ilmu Pengetahuan Nasional. Sebagai Ketua Panitia ditundjuk Prof. Dr. Soepomo, Prof. Dr. Sardjito, dan M. Hadi S.H. sebagai Sekretaris ditundjuk Kusumadi S.H. dan Palenkahu S.H. Selama tahun 1952-1954 terdapat beberapa perubahan dan tambahan dalam keanggotaan Panitia tersebut. Selama masa bekerdja dan setelah mengadakan hubungan dengan masa masjarakat ilmu pengetahuan, maka oleh semua pihak diakui kebutuhan untuk mendirikan suatu badan nasional dengan tugas:

                  1. Keluar: membela dan memadjukan kepentingan ilmu pengetahuan berdasarkan kenjataan bahwa pembangunan masjarakat modern sangat tergantung dari hasil-hasil penjelidikan dalam lingkungan ilmu pengetahuan;
                  2. Kedalam: membimbing perkembangan ilmu pengetahuan dan mengusahakan kerdja-sama dan koordinasi mengenai usaha-usaha dalam lapangan tersebut.
                  Setelah dipertimbangkan dengan masak, maka pada tanggal 9 Oktober 1954 Panitia menjerahkan suatu Rentjana Undang-undang Pembentukan Madjelis Ilmu Pengetahuan Nasional kepada Pemerintah. Diantara keputusan-keputusan jang Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/261
                  1. memadjukan dan membimbing dalam artikata seluas-luasnja usaha dan kehidupan pada lapangan ilmu pengetahuan, dengan berpedoman kepada kepentingan nasional pada chususnja dan kepentingan perdamaian dan umat manusia pada umumnja;
                  2. memberi pertimbangan-pertimbangan mengenai soal-soal rentjana-rentjana dan usaha-usaha jang bertalian dengan ilmu pengetahuan kepada Pemerintah, baik atas permintaan maupun atas kehendak sendiri.

                  Pembentukan M.I.P.I. ini merupakan penegasan daripada kehendak Pemerintah dan masjarakat ilmiah jang ingin memberikan wadjah jang wadjar bagi peranan ilmu pengetahuan dalam menjelesaikan Revolusi Indonesia.

                  Dalam melaksanakan tugasnja, memadjukan dan membimbing kehidupan ilmiah jang meliputi bidang-bidang ilmu pengetahuan semesta alam dan ilmu pengetahuan sosial dan kebudajaan, maka kepada M.I.P.I. diwadjibkan untuk:

                  1. memelihara sebaik-baiknja kepentingan ilmu pengetahuan pada umumnja dan penjelidikan ilmiah chususnja;
                  2. menjelenggarakan kerdjasama dan koordinasi antara lembaga-lembaga ilmu pengetahuan, baik jang dimiliki oleh Pemerintah maupun jang dimiliki oleh pihak partikelir;
                  3. menjelenggarakan dan memberi bantuan kepada:
                    1. usaha penjelidikan ilmiah;
                    2. usaha penerbitan dalam lapangan ilmu pengetahuan;
                    3. usaha penjebaran ilmu pengetahuan dalam masjarakat;
                  4. menjelenggarakan pendaftaran kepustakaan dan benda-benda lain jang berharga untuk ilmu pengetahuan jang terdapat di Indonesia;
                  5. mengurus lembaga-lembaga ilmu pengetahuan dan dana-dana untuk memadjukan ilmu pengetahuan jang dipertjajakan kepadanja;
                  6. menjelenggarakan perhubungan dengan badan-badan internasional dan badan-badan nasional dari negara-negara lain jang bekerdja pada lapangan ilmu pengetahuan;
                  7. memberi laporan tentang soal-soal, rentjana-rentjana dan usaha-usaha jang dimintakan pertimbangannja oleh Pemerintah dan mengadjukan usul-usul kepada Kementerian-kementerian tentang kepentingan ilmu pengetahuan atau kepentingan negara jang bertalian dengan ilmu pengetahuan;
                  Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/263 Halaman:20 tahun Indonesia merdeka.djvu/264 1960 telah dilantik 21 orang anggota Dewan Pertimbangan oleh

                  Menteri P.P. & K. Prof. Dr. Prijono. Badan ini memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada Pengurus MIPI dalam menentukan prioritas daripada projek-projek riset jang perlu diselenggarakan untuk kepentingan pembangunan dan ekonomi negara, dan pula memberikan penilaian-penilaian tentang projek-projek riset jang dibantu oleh MIPI.

                  Achir tahun 1960 merupakan fase jang memberikan dasar haluan jang lebih menentukan bagi MIPI. Dikeluarkannja Rantjangan Dasar Undang-undang Pembangunan Nasional Semesta Berentjana 8 tahun jang disusun oleh DEPERNAS dan disetudjui oleh M.P.R.S. dengan Ketetapan 11/1960 memberikan dasar bagi rentjana usaha-usaha memperkembangkan ilmu pengetahuan dan research dalam Pembangunan Nasional Semesta. Pemer.ntah dan masjarakat jang lambat-laun lebih memahami tentang besarnja peranan ilmu pengetahuan dan riset bagi kehidupan negara dan bangsa, memasukkan riset sebagai bagian penting dalam Pola Pembangunan Nasional Semesta Berentjana. „Penelitian adalah penting sekali untuk Pembangunan Semesta Berentjana di Indonesia, karena penelitian jang luas dan intensif dipergunakan untuk menggali dan mengusahakan sumber-sumber kekajaan alam serta mengolah bahan-bahan jang diperoleh dari penggalian itu setjara sempurna. Penelitian-penelitian dibidang ekonomi, kemasjarakatan, kebudajaan, pengadjaran, pendidikan dan pemerintahan harus diselenggarakan setjukupnja sesuai dengan sifat Semesta dan Pembangunan. Untuk Pembangunan Semesta Berentjana diperlukan ketiga djenis penelitian, ialah (a) penelitian dasar (basic research), (b) penelitian terpakai (applied research), (c) penelitian perkembangan (developmental research).

                  Rantjangan Dasar Pembangunan Nasional Semesta djuga menentukan agar MIPI, disamping tugasnja sebagai badan koordinasi, bertindak pula sebagai Pusat Penelitian Nasional. Kepada MIPI ditugaskan untuk membentuk dan menjelenggarakan riset dalam 7 Lembaga Penelitian Nasional, jaitu:

                  1. Lembaga Kimia Nasional.
                  2. Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasional.
                  3. Lembaga Metalurgi Nasional.
                  4. Lembaga Fisika Nasional.
                  5. Lembaga Hlektroteknika Nasional.
                  6. Lembaga Biologi Nasional.
                  7. Lembaga Ekonomi dan Kemasjarakatan Nasional.
                  Untuk dapat menjelenggarakan tugas koordinasi dengan lebih efektif disarankan pula agar MIPI dibawahkan pada badan eksekutif tertinggi organisasi pemerintahan, pada waktu itu adalah Perdana Menteri.

                  Tahun 1961 adalah tahun jang penting bagi perkembangan MIPI. Bukan sadja karena dalam tahun tersebut MIPI berusia 5 tahun, tetapi djuga karena dalam tahun 1961 terlihat adanja perluasan baik dalam djumlah maupun dalam intensitas dari pada usaha-usaha sedjenis jang diselenggarakan dalam tahun 1960.

                  Tahun 1961 adalah pula tahun pertama pada mana MIPI telah menjusun rentjana-rentjana konkrit dan mengambil langkah-langkah pertama kearah pembentukan Lembaga-lembaga Penelitian Nasional seperti ditugaskan dalam Rentjana Pembangunan Nasional Semesta Berentjana.

                  Dalam tahun ini pula terdjadi perobahan besar dalam kedudukan MIPI. Sedjak saat berdirinja badan tersebut ditempatkan dalam lingkungan Kementerian P.P. & K. Dengan dibaginja Kementerian tersebut mendjadi dua, jakni: Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudajaan dan Departemen Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan, timbul persoalan dalam Departemen mana MIPI akan dimasukkan. Keputusan adalah bahwa MIPI ditempatkan dibawah Menteri Pertama, karena dengan demikian fungsi koordinasi riset dapat diselenggarakan dengan lebih baik.

                  Tahun 1962 membuka lembaran baru bagi sedjarah perkembangan organisasi ilmu pengetahuan di Indonesia. Pemerintah dan masjarakat lebih banjak mengharapkan bantuan dan sumbangan dari ilmu pengetahuan dan riset bagi perbangunan dan bagi perkembangan ekonomi negara. Dirasakan bahwa bimbingan dan kehidupan ilmu pengetahuan dan riset perlu ditingkatkan pada taraf nasional dan merupakan unsur inhaerent dalam politik pembangunan negara. Berdasarkan pendapat ini dirasa bahwa untuk menjelenggarakan koordinasi dan perentjanaan riset dengan lebih efektif, perlu dibentuk suatu badan pusat ilmu pengetahuan pada tingkat Departemen.

                  Dengan Keputusan P.J.M. Presiden dalam bulan Maret 1962 dibentuk Departemen Urusan Research Nasional dalam Kabimost Kerdja dan digolongkan dalam Bidang Produksi, dan kemudian dalam Kompartemen Pembangunan.

                  Dengan dibentuknja Departemen dan ditundjuknja seorang Menteri Research Nasional jang pertama Dr. Sudjono D.

            BEBERAPA PEMANDANGAN DALAM INDUSTRI RAKJAT.

            1. 20 tahun Indonesia merdeka (page 977 crop).jpg

            Pabrik Pemintalan P.T. Pardede.
            Kundjungan J.M. Menteri Perindustrian Rakjat,
            Maj. Djen. dr. Aziz Saleh.

            1. 20 tahun Indonesia merdeka (page 977 crop).jpg

            Perusahaan Tenun P.T. E. Simandjuntak.

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 978 crop).jpg Benang dan kepompong Ulat Sutera.


            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 978 crop).jpg Perusahaan Genteng.


            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 978 crop).jpg Pabrik Penjamakan Kulit. 1.20 tahun Indonesia merdeka (page 979 crop).jpgPabrik Tjat Patna

            Pabrik barang2 email.

            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 979 crop).jpg

            Pabrik Paku P.T. Gerak Tjepat 1.20 tahun Indonesia merdeka (page 980 crop).jpg

            Pabrik Sepatu.2.20 tahun Indonesia merdeka (page 980 crop).jpg


            Pabrik Plastik jang menghasilkan sikat gigi.3.20 tahun Indonesia merdeka (page 980 crop).jpg

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 981 crop).jpg

            Pabrik Korek Api.

            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 981 crop).jpg

            Keradjinan Tangan Anjaman.

            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 981 crop).jpg

            Perusahaan Assembing Speda C.V. GANEGA

            BEBERAPA HASIL PRODUKSI INDUSTRI RAKJAT KITA.

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 982 crop).jpg

            Kundjungan P.J.M. Presiden Dr. Ir. H. Sukarno kepameran Batik

            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 982 crop).jpg

            Alat-alat Musik aseli.

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 983 crop).jpgBarang² dari Keramik,


            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 983 crop).jpgPajung.


            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 983 crop).jpgAlat-alat Sport,

            1. 20 tahun Indonesia merdeka (page 984 crop).jpg

            Mesin bubut buatan P.T. Tjahaja Surabaja


            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 984 crop).jpg

            Mesin gergadji listrik.

            J.M. Menteri Deperindra mengadakan penindjauan ke Pabrik Pemintalan. 1.20 tahun Indonesia merdeka (page 985 crop).jpg


            J.M. Menteri Deperindra mengadakan penindjauan ke Pabrik Pemintalan. 2.20 tahun Indonesia merdeka (page 985 crop).jpg


            J.M. Menteri Deperindra mengadakan penindjauan ke Pabrik Pemintalan. 3.20 tahun Indonesia merdeka (page 985 crop).jpg

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 986 crop).jpgJ.M. Menteri Deperindra mengadakan penindjauan ke Perusahaan Tenun.


            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 986 crop).jpgJ.M. Menteri Deperindra mengadakan penindjauan ke Perusahaan P.T. E. Simandjuntak,


            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 986 crop).jpgSuasana didalam Pabrik Tenun.

            20 tahun Indonesia merdeka (page 987 crop).jpg

            Suasana di dalam Pabrik Tenun „Sjukur” Madjalaja

            J.M. Menteri Deperindra mengadakan

            penindjauan ke Perusahaan Pembatikan. 1.20 tahun Indonesia merdeka (page 988 crop).jpg


            Pabrik Paku P.T. Gerak Tjepat.2.20 tahun Indonesia merdeka (page 988 crop).jpg


            Tjat jang telah siap untuk dipakai.3.20 tahun Indonesia merdeka (page 988 crop).jpg 1.20 tahun Indonesia merdeka (page 989 crop).jpgJ.M. Menteri Deperindra mengadakan penindjauan ke Perusahaan² Keramik.


            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 989 crop).jpgJ.M. Menteri Deperindra mengadakan penindjauan ke Perusahaan² Keramik.


            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 989 crop).jpgJ.M. Menteri Deperindra mengadakan

            penindjauan ke Perusahaan-² Keramik.

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 990 crop).jpg

            Pabrik Penjamakan Kulit.


            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 990 crop).jpg

            J.M. Menteri Deperindra sedang mengadakan peninjauan ke Pabrik Penjamakan Kulit.

            J.M. Menteri Deperindra sedang mengadakan penindjauan ke Pabrik Penjamakan Kulit. 1.20 tahun Indonesia merdeka (page 991 crop).jpg


            J.M. Menteri Deperindra sedang mengadakan penindjauan ke Pabrik Penjamakan Kulit. 2.20 tahun Indonesia merdeka (page 991 crop).jpg


            Kulit sedang diolah di Pabrik Penjamakan Kulit. 3.20 tahun Indonesia merdeka (page 991 crop).jpg

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 992 crop).jpg

            J.M. Menteri Deperindra mengadakan penindjauan ke Pabrik Sepatu.


            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 992 crop).jpg

            Alat-alat olah-raga jang dibikin dari kulit.

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 993 crop).jpgPerusahaan Assembling Sepeda N.V. Lho Nga Coy.


            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 993 crop).jpgPerusahaan Assembling Sepeda N.V. Lho Nga Coy.


            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 993 crop).jpgPerusahaan Assembling Sepeda N.V. Lho Nga Coy.

            Perusahaan Assembling Sepeda N.V. Lho Nga Coy. 1.20 tahun Indonesia merdeka (page 994 crop).jpg


            Perusahaan Assembling Sepeda N.V. Lho Nga Coy. 2.20 tahun Indonesia merdeka (page 994 crop).jpg


            Perusahaan Assembling Sepeda Ganesha. 3.20 tahun Indonesia merdeka (page 994 crop).jpg

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 995 crop).jpgPabrik barang barang email P.T. In-

            donesia Enamil Factory Ltd.


            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 995 crop).jpgHasil barang-barang kaleng dari Pabrik Kaleng.


            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 995 crop).jpgPabrik Penjulingan Alkohol. 1.20 tahun Indonesia merdeka (page 996 crop).jpgJ.M. Menteri Deperindra sedang mengadakan penindjauan ke Pabrik Korek Api.

            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 996 crop).jpg

            Pabrik Plastik jang menghasilkan sikat gigi. 1.20 tahun Indonesia merdeka (page 997 crop).jpg


            Pipa² dari Plastik 2.20 tahun Indonesia merdeka (page 997 crop).jpg

            J.M. Menteri Deperindra sedang menindjau ke Pabrik Plastik P.T. Prakarsa Plastik. 3.20 tahun Indonesia merdeka (page 997 crop).jpg

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 998 crop).jpg

            J.M. Menteri Deperindra mengadakan penindjauan ke Perusahaan Keradjinan Tangan „Pajung”.

            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 998 crop).jpg

            Para Ibu² sedang mengerdjakan pekerdjaan tangan. .

            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 998 crop).jpg

            Pohon pandan jang daunnja dipakai untuk keradjinan tangan.

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 999 crop).jpgAlat pemotong besi


            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 999 crop).jpgBank schoef


            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 999 crop).jpgHasil Produksi dalam negeri „Tjahaja Surabaja”

            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 1000 crop).jpg

            Hasil produksi dalam negeri „TJAHAJA SURABAJA”.

            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 1000 crop).jpg

            Ploegkraan.

            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 1000 crop).jpg

            Pompa Centrifugal..

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 1001 crop).jpg

            Mesin Tablet.

            2.20 tahun Indonesia merdeka (page 1001 crop).jpg

            Mesin Tablet.

            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 1001 crop).jpg

            Pompa Centrifugal.

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 1002 crop).jpg

            Mesin Pres Logam hasil produksi dalam negeri „TJAHAJA SURABAJA”.

            1.20 tahun Indonesia merdeka (page 1002 crop).jpg

            Mesin Sekrup hasil produksi dalam negeri „TJAHAJA SURABAJA”.

            3.20 tahun Indonesia merdeka (page 1002 crop).jpg

            Mesin Bor Listrik hasil produksi dalam negeri „TJAHAJA SURABAJA”