Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1998 (UU/1998/5)  (1998) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998
TENTANG
PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL,
INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT
(KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN
ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI,
ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:
  1. bahwa negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 adalah negara hukum yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum, sehingga segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia harus dicegah dan dilarang;
  2. bahwa bangsa Indonesia sebagai bagian masyarakat internasional menghormati, menghargai dan menjunjung tinggi prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa serta Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia;
  3. bahwa Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, di dalam sidangnya pada tanggal 10 Desember 1984, telah menyetujui Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dan Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada tanggal 23 Oktober 1985;
  4. bahwa konvensi tersebut pada dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan memajukan pelaksanaan hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara;
  5. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut dalam huruf a, b, c dan d dipandang perlu mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Undang-undang.
Mengingat:
  1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 21 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:


Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL, INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT (KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA).

Pasal 1
  1. Mengesahkan Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20 dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1).
  2. Salinan naskah asli Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment (Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia) dengan Declaration (Pernyataan) terhadap Pasal 20 dan Reservation (Pensyaratan) terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggeris, dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Undang-undang ini.

Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 September 1998

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 September 1998

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,




AKBAR TANJUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1998 NOMOR 164

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 5 TAHUN 1998
TENTANG
PENGESAHAN CONVENTION AGAINST TORTURE AND OTHER CRUEL,
INHUMAN OR DEGRADING TREATMENT OR PUNISHMENT
(KONVENTION MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU
PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM, TIDAK MANUSIAWI, ATAU
MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA)

I. UMUM
Pada tanggal 9 Desember 1975 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menerima Deklarasi tentang Perlindungan Semua Orang dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.

Deklarasi tersebut memuat perlindungan terhadap semua orang dari sasaran penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, dan menyatakan perlunya langkah-langkah yang efektif untuk menjamin pelaksanaan Deklarasi tersebut. Langkah-langkah ini mencakup antara lain perbaikan cara interogasi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik lain yang bertanggungjawab terhadap orang-orang yang dirampas kemerdekaannya. Adapun pengertian penyiksaan dalam Deklarasi ini adalah tindak pidana, menurut ketentuan dalam hukum pidana.

Namun, karena deklarasi itu bersifat tidak mengikat secara hukum, Komisi Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyusun rancangan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang selanjutnya diajukan kepada Sidang Majelis Umum PBB untuk disahkan.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menyetujui secara konsensus rancangan konvensi tersebut pada tanggal 10 Desember 1984 yang menyatakan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 26 Juni 1987. Pemerintah Republik Indonesia menandatangani konvensi itu pada tanggal 23 Oktober 1985.

Deklarasi dan Program Aksi Wina 1993 sepakat antara lain menghimbau negara-negara anggota PBB untuk secepatnya mengesahkan perangkat-perangkat internasional yang sangat penting di bidang hak asasi manusia (HAM), termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan Sesuai dengan isi Deklarasi Wina 1993, Pemerintah Indonesia telah menyusun Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia 1998-2003 yang berisi kegiatan-kegiatan prioritas dalam rangka pemajuan dan perlindungan HAM.

Prioritas kegiatan tahun pertama Rencana Aksi tersebut mencakup pengesahan tiga perangkat internasional di bidang HAM, termasuk Konvensi Menentang Penyiksaan.

Karena didorong oleh rasa tanggungjawab untuk memajukan dan menegakkan hak asasi manusia dan pembangunan hukum di Indonesia, DPR-RI memutuskan menggunakan hak inisiatifnya untuk mengajukan Rancangan Undang-undang tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia yang telah diterima oleh masyarakat internasional sebagai salah satu perangkat internasional di bidang HAM yang sangat penting. Saat ini Konvensi telah disahkan oleh 105 negara.

Sebagai negara berdaulat dan sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku, Indonesia memutuskan untuk menyampaikan suatu pernyataan (Declaration) terhadap Pasal 20 Konvensi. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimuat dalam konvensi, kedaulatan nasional dan keutuhan wilayah Negara Pihak harus tetap dihormati dan dijunjung tinggi. Pernyataan (declaration) ini tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum sehingga pernyataan tersebut sama sekali tidak menghapuskan kewajiban atau tanggung jawab Negara Pihak untuk melaksanakan isi Konvensi.

Sesuai dengan ketentuan Konvensi, Indonesia juga menyatakan Pensyaratan (Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) Konvensi yang mengatur upaya penyelesaian sengketa mengenai penafsiran dan pelaksanaan konvensi melalui Mahkamah Internasional (International Court of Justice). Sikap ini diambil antara lain atas pertimbangan bahwa Indonesia tidak mengakui juridiksi yang mengikat secara otomatis (Compulsory jurisdiction) dari Mahkamah Internasional. Persyaratan tersebut bersifat prosedural sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku.

II. POKOK-POKOK PIKIRAN YANG MENDORONG LAHIRNYA KONVENSI
  1. Penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia masih terus terjadi di barbagai negara dan kawasan dunia, yang diakui secara luas akan dapat merapuhkan sendi-sendi tegaknya masyarakat yang tertib, teratur, dan berbudaya.
    Dalam rangka menegakkan sendi-sendi masyarakat demikian itu, seluruh masyarakat internasional bertekad bulat melarang dan mencegah segala bentuk tindak penyiksaan, baik jasmaniah maupun rohaniah.
    Masyarakat internasional sepakat untuk mengatur pelarangan dan pencegahan tindak penyiksaan ini dalam suatu wadah perangkat internasional yang mengikat semua semua Negara Pihak secara hukum.
  2. Dalam kaitan itu, Majelis Umum PBB telah menerima Deklarasi Universal HAM pada tanggal 10 Desember 1948 Pasal 5 Deklarasi ini menjamin sepenuhnya hak setiap orang untuk bebas dari segala bentuk penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi; atau merendahkan martabat manusia;
  3. Selanjutnya, perangkat internasional di bidang HAM yang bersifat sangat penting lainnya, yakni Konvensi Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (Pasal 7) menetapkan bahwa hak tersebut merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi dengan alasan apapun (non derogable rights);
III. ALASAN INDONESIA MENJADI NEGARA PIHAK DALAM KONVENSI
  1. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dan landasan hukum nasional, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia seperti tercermin dalam Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Asas ini merupakan amanat konstitusi bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk mencegah dan melarang segala bentuk penyiksaan, sesuai dengan isi Konvensi ini.
  2. Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, Indonesia pada dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang langsung mengatur pencegahan dan pelarangan segala bentuk penyiksaan yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Namun perundang-undangan itu karena belum sepenuhnya sesuai dengan Konvensi, masih perlu disempurnakan.
  3. Penyempurnaan perundang-undangan nasional tersebut, akan meningkatkan perlindungan hukum secara lebih efektif, sehingga akan lebih menjamin hak-hak setiap warga negara bebas dari penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia, demi tercapainya suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur dan berbudaya;
  4. Suatu masyarakat Indonesia yang tertib, teratur dan berbudaya akan mampu mewujudkan upaya bersama untuk memelihara perdamaian, ketertiban umum, dan kemakmuran dunia serta melestarikan peradaban umat manusia;
  5. Pengesahan dan pelaksanaan isi Konvensi secara bertanggungjawab menunjukkan kesungguhan Indonesia dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM, khususnya hak bebas dari penyiksaan. Hal ini juga akan lebih meningkatkan citra positif Indonesia di dunia internasional dan memantapkan kepercayaan masyarakat internasional terhadap Indonesia.
IV. POKOK-POKOK ISI KONVENSI
  1. Konvensi menentang penyiksaan terdiri atas pembukuan dengan 6 paragraf dan batang tubuh dengan 3 bab yang terdiri atas 33 pasal:
    1. Pembukaan meletakkan dasar-dasar dan tujuan Konvensi. Dalam konsideran secara tegas dinyatakan bahwa tujuan Konvensi ini adalah lebih mengefektifkan perjuangan di seluruh dunia dalam menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia;
    2. Bab I (Pasal 1-6), memuat ketentuan-ketentuan pokok yang mengatur definisi tentang penyiksaan dan kewajiban Negara Republik Pihak untuk mencegah dan melarang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia;
    3. Bab II (Pasal 7-24), mengatur ketentuan mengenai Komite Menentang Penyiksaan (Committee Againts Torture) dan tugas serta kewenangannya dalam melakukan pemantauan atas pelaksanaan Konvensi;
    4. Bab III (Pasal 25-33), merupakan ketentuan penutup yang memuat hal-hal yang berkaitan dengan mulai berlakunya Konvensi, perubahan, pensyaratan (reservation), ratifikasi dan aksesi, pengunduran diri serta mekanisme penyelesaian perselisihan antara Negara Pihak;
  2. Ketentuan-ketentuan Pokok Konvensi
    Konvensi mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik (public official) dan orang lain yang bertindak dalam jabatannya. Adapun pelarangan penyiksaan yang diatur dalam Konvensi ini tidak mencakup rasa sakit atau penderitaan yang timbul, melekat atau diakibatkan oleh suatu sanksi hukum yang berlaku;
    Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah efektif lainnya guna mencegah tindak penyiksaan di dalam wilayah yurisdiksinya. Tidak terdapat pengecualian apapun, baik dalam keadaan perang, ketidakstabilan politik dalam negeri, maupun keadaan darurat lainnya yang dapat dijadikan sebagai pembenaran atas tindak penyiksaan. Dalam kaitan ini, perintah dari atasan atau penguasa (public authority) juga tidak dapat digunakan sebagai pembenaran atas suatu penyiksaan;
    Negara Pihak diwajibkan mengatur semua tindak penyiksaan sebagai tindak pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Hal yang sama berlaku pula bagi siapa saja yang melakukan percobaan, membantu, atau turut serta melakukan tindak penyiksaan. Negara Pihak juga wajib mengatur bahwa pelaku tindak pidana tersebut dapat dijatuhi hukuman yang setimpal dengan sifat tindak pidananya;
    Konvensi juga mewajibkan Negara Pihak memasukkan tindak penyiksaan sebagai tindak pidana yang dapat diektradisikan. Konvensi selanjutnya melarang Negara Pihak untuk mengusir, mengembalikan, atau mengektradisikan seseorang ke negara lain apabila terdapat alasan yang cukup kuat untuk menduga bahwa orang itu menjadi sasaran penyiksaan. Negara Pihak lebih lanjut harus melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindak penyiksaan apabila tidak mengekstradisikannya.
    Negara Pihak lebih lanjut wajib saling membantu dalam proses peradilan atas tindak pidana penyiksaan dan menjamin bahwa pendidikan dan penyuluhan mengenai larangan terhadap penyiksaan sepenuhnya dimasukkan ke dalam program pelatihan bagi para aparat penegak hukum, sipil atau militer, petugas kesehatan, pejabat publik dan orang-orang lain yang terlibat dalam proses penahanan, permintaan keterangan (interogasi), atau perlakuan terhadap setiap pribadi/individu yang ditangkap, ditahan, atau dipenjarakan;
    Negara Pihak juga wajib mengatur dalam sistem hukumnya bahwa korban suatu tindak penyiksaan memperoleh ganti rugi dan mempunyai hak untuk mendapatkan kompensasi yang adil dan layak, termasuk sarana untuk mendapatkan rehabilitasi.
  3. Implementasi Konvensi
    Implementasi Konvensi dipantau oleh Komite Menentang Penyiksaan (Committee Againsta Torture) yang terdiri dari sepuluh orang pakar yang bermoral tinggi dan diakui kemampuannya di bidang HAM;
    Negara Pihak harus menanggung pembiayaan yang dikeluarkan oleh para anggota Komite yang dalam menjalankan tugasnya dan pembiayaan penyelenggaraan sidang Negara Pihak dan sidang Komite.
    Menurut ketentuan Pasal 19, Negara Pihak harus menyampaikan kepada Komite melalui Sekretaris Jenderal PBB, laporan berkala mengenai langkah-langkah yang telah mereka lakukan dalam melaksanakan kewajibannya menurut Konvensi. Setiap laporan akan dipertimbangkan oleh Komite, yang selanjutnya dapat memberikan tanggapan umum dan memasukkan informasi tersebut dalam laporan tahunannya kepada Negara Pihak dan kepada Sekretaris Jenderal PBB;
    Selain melalui penyampaian laporan berkala oleh Negara Pihak, pemantauan atau pelaksanaan Konvensi juga dapat dilakukan melalui cara-cara berikut:
    1. Menurut Pasal 20, apabila Komite menerima informasi yang dapat dipertanggungjawabkan (realiable), bahwa penyiksaan dilakukan secara sistematis di wilayah suatu Negara Pihak Komite harus mengundang Negara Pihak Tersebut untuk kerjasama membahas informasi tersebut dan Komite menyampaikan hasil pengamatannya. Komite dapat memutuskan, apabila infomasi tersebut benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, segera melaporkannya kepada Komite dan menugaskan anggotanya seorang atau lebih, melakukan suatu penyidikan rahasia dan segera melaporkan hasilnya kepada Komite. Dengan persetujuan Negara Pihak, penyelidikan semacam itu dapat berupa kunjungan ke wilayah Negara Pihak tersebut.
    2. Negara Pihak, sesuai dengan ketentuan Pasal 21, dapat membuat deklarasi yang mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas laporan pengaduan (communication) suatu Negara Pihak yang menyatakan bahwa Negara Pihak lain tidak memenuhi kewajibannya berdasarkan Konvensi; Komite hanya berwenang menerima dan membahas laporan pengaduan oleh Negara Pihak yang telah membuat Deklarasi. Komite tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan tentang suatu Negara Pihak yang tidak membuat suatu Deklarasi;
    3. Negara Pihak, sesuai dengan ketentuan Pasal 22, dapat membuat deklarasi mengakui kewenangan Komite untuk menerima dan membahas laporan pengaduan dari atau atas nama pribadi/individu yang berada dalam yuridiksinya, yang menyatakan diri menjadi korban pelanggaran yang dilakukan Negara Pihak itu terhadap Konvensi; Komite tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan jika menyangkut suatu Negara Pihak yang tidak membuat Deklarasi. Komite juga tidak berhak menerima dan membahas laporan pengaduan dari seseorang kecuali jika Komite menyatakan bahwa:
      1. pengaduan tersebut belum pernah atau tidak sedang dibahas oleh prosedur penyelesaian atau penyelidikan internasional lainnya;
      2. perorangan yang dimaksudkan sudah menggunakan segala upaya penyelesaian hukum di dalam negerinya.
  4. Pensyaratan (Reservation) dan Deklarasi (Declaration) Konvensi ini diperbolehkan Negara Pihak mengajukan persyaratan terhadap 2 pasal, yakni:
    1. menyatakan tidak mengakui kewenangan Komite Menentang Penyiksaan dalam Pasal 20, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (1) Konvensi.
    2. menyatakan tidak terikat pada pengajuan penyelesaian suatu perselisihan di antara Negara Pihak kepada Mahkamah Internasional berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Konvensi;
    Konvensi ini juga memungkinkan Negara Pihak membuat deklarasi mengenai kewenangan Komite Menentang Penyiksaan, sebagaimana diatur oleh Pasal 21 dan Pasal 22 Konvensi.
V. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1)
Diajukannya Deklarasi (Declaration) terhadap Pasal 20 adalah berdasarkan prinsip untuk menghormati kedaulatan negara dan keutuhan Wilayah Negara Pihak dan diajukannya Persyaratan (Reservation) terhadap Pasal 30 ayat (1) adalah berdasarkan prinsip untuk tidak menerima kewajiban dalam pengajuan perselisihan kepada Mahkamah Internasional, kecuali dengan kesepakatan Para Pihak;
Ayat (2)
Apabila terjadi perbedaan penafsiran terhadap terjemahannya dalam bahasa Indonesia, naskah yang berlaku adalah naskah asli Konvensi, Deklarasi terhadap Pasal 20 dan Persyaratan terhadap Pasal 30 ayat (1) dalam bahasa Inggeris;

Pasal 2

Cukup jelas

LAMPIRAN

DEKLARASI TERHADAP PASAL 20
KONVENSI MENENTANG PENYIKSAAN DAN PERLAKUAN ATAU PENGHUKUMAN LAIN YANG KEJAM,
TIDAK MANUSIAWI, DAN MERENDAHKAN MARTABAT MANUSIA
Pernyataan: Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ketentuan Pasal 20 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Konvensi akan dilaksanakan dengan memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah suatu negara.
Pensyaratan: Pemerintah Republik Indonesia menyatakan tidak terikat ketentuan Pasal 30 ayat (1) Konvensi dan berpendirian bahwa apabila terjadi perselisihan akibat perbedaan penafsiran atau penerapan isi Konvensi, yang tidak terselesaikan melalui jalur sebagaimana diatur dalam ayat (1) pasal tersebut, dapat menunjuk Mahkamah Internasional hanya berdasarkan kesepakatan para Pihak yang berselisih.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3783