Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999/Penjelasan

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Galat templat: mohon jangan hapus parameter kosong (lihat petunjuk gaya dan dokumentasi templat).
Penjelasan Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun1999

PENJELASAN ATAS UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG

                      ARBITRASE DAN ALTERNATIF
                       PENYELESAIAN SENGKETA


UMUM

 Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan
 peradilan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun
 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal
 tersebut merupakan induk dan kerangka umum yang meletakkan dasar
 dan asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum,
 peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara
 yang masing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri.
 Di dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun
 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar
 pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
 diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
 eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi
 (executoir) dari pengadilan.
 Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di
 Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara
 Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan
 Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
 Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen
 Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
 Buitengewesten, Staatsblad 1927:227).
 Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan
 dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain :
a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak ;
b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural
   dan administratif ;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya
   mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup
   mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan
   masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan
e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
   dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun
   langsung dapat dilaksanakan.
 Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar,
 sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat
 daripada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase
 terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya
 tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui
 arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi, terutama untuk
 kontrak bisnis bersifat internasional.
 Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan lalu lintas di
 bidang perdagangan baik nasional maupun internasional serta
 perkembangan hukum pada umumnya, maka peraturan yang terdapat dalam
 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) yang
 dipakai sebagai pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga
 perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat
 internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non
 sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata
 (Reglement op de Rechtvordering). Bertolak dari kondisi ini,
 perubahan yang mendasar terhadap Reglemen Acara Perdata (Reglement
 op de Rechtvordering) baik secara filosofis maupun substantif sudah
 saatnya dilaksanakan.
 Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang ini merupakan cara
 penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang didasarkan
 atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak
 semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan
 hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya
 oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka.
 Hal ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai penyelesaian
 sengketa melalui arbitrase menjadi berlarut-larut. Berbeda dengan
 proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak
 masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses
 penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum
 banding kasasi maupun peninjauan kembali.
 Dalam rangka menyusun hukum formil yang utuh, maka Undang -undang
 ini memuat ketentuan tentang pelaksanaan tugas arbitrase nasional
 maupun internasional.
 Bab VI menjelaskan mengenai pengaturan pelaksanaan putusan
 sekaligus dalam satu paket, agar Undang-undang ini dapat
 dioperasionalkan sampai pelaksanaan putusan, baik yang menyangkut
 masalah arbitrase nasional maupun internasional dan hal ini secara
 sistem hukum dibenarkan.
 Bab VII mengatur tentang pembatalan putusan arbitrase. Hal ini
 dimungkinkan karena beberapa hal, antara lain :
a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah
   putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu;
b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan
   yang sengaja disembunyikan pihak lawan; atau
c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah
   satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
 Permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan kepada Ketua
 Pengadilan Negeri dan terhadap putusan Pengadilan Negeri tersebut
 hanya dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang
 memutus dalam tingkat pertama dan terakhir.
 Selanjutnya pada Bab VIII diatur tentang berakhirnya tugas arbiter,
 yang dinyatakan antara lain bahwa tugas arbiter berakhir karena
 jangka waktu tugas arbiter telah lampau atau kedua belah pihak
 sepakat untuk menarik kembali penunjukan arbiter. Meninggalnya
 salah satu pihak tidak mengakibatkan tugas yang telah diberikan
 kepada arbiter berakhir.
 Bab IX dari Undang-undang ini mengatur mengenai biaya arbitrase
 yang ditentukan oleh arbiter.
 Bab X dari Undang-undang ini mengatur mengenai ketentuan peralihan
 terhadap sengketa yang sudah diajukan namun belum diproses,
 sengketa yang sedang dalam proses atau yang sudah diputuskan dan
 mempunyai kekuatan hukum tetap.
 Sedangkan dalam Bab XI disebutkan bahwa dengan berlakunya
 Undang-undang ini maka Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen
 Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52)
 dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
 Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen
 Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
 Buitengewesten, Staatsblad 1927:227) dinyatakan tidak berlaku.
 PASAL DEMI PASAL
                              Pasal 1
 Cukup jelas
                              Pasal 2
 Cukup jelas
                              Pasal 3
 Cukup jelas
                              Pasal 4
 Cukup jelas
 Pasal 5
 Cukup jelas
                              Pasal 6
 Cukup jelas
                              Pasal 7
 Cukup jelas
                              Pasal 8
 Cukup jelas
                              Pasal 9
 Cukup jelas
                              Pasal 10
 huruf a
 Cukup jelas
 huruf b
 Cukup jelas
 huruf c
 Yang dimaksud dengan "novasi" adalah pembaharuan utang.
 huruf d
 Yang dimaksud dengan "insolvensi" adalah keadaan tidak mampu
 membayar.
 huruf e
 Cukup jelas
 huruf f
 Cukup jelas
 huruf g
 Cukup jelas
 huruf h
 Cukup jelas
                              Pasal 11
 Cukup jelas
                              Pasal 12
 Ayat (1)
 Cukup jelas
 Ayat (2)
 Tidak dibolehkannya pejabat yang disebut dalam ayat ini menjadi
 arbiter, dimaksudkan agar terjamin adanya obyektivitas dalam
 pemeriksaan serta pemberian putusan oleh arbiter atau majelis
 arbitrase.
                              Pasal 13
 Ayat (1)
 Dengan adanya ketentuan ini, maka dihindarkan bahwa dalam praktek
 akan terjadi jalan buntu apabila para pihak di dalam syarat
 arbitrase tidak mengatur secara baik dan seksama tentang acara yang
 harus ditempuh dalam pengangkatan arbiter.
 Ayat (2)
 Cukup jelas
                              Pasal 14
 Cukup jelas
                              Pasal 15
 Cukup jelas
                              Pasal 16
 Cukup jelas
                              Pasal 17
 Cukup jelas
                              Pasal 18
 Cukup jelas
                              Pasal 19
 Cukup jelas
                              Pasal 20
 Cukup jelas
                              Pasal 21
 Cukup jelas
                              Pasal 22
 Cukup jelas
                              Pasal 23
 Cukup jelas
                              Pasal 24
 Ayat (1)
 Sebelum mengangkat arbiter, para pihak tentu sudah memperhitungkan
 adanya kemungkinan yang menjadi alasan untuk mempergunakan hak
 ingkar. Namun apabila arbiter tersebut tetap diangkat oleh para
 pihak, maka para pihak dianggap telah sepakat untuk tidak
 menggunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta yang mereka ketahui
 ketika mengangkat arbiter tersebut. Namun ini tidak menutup
 kemungkinan munculnya fakta-fakta baru yang tidak diketahui
 sebelumnya, sehingga memberikan hak kepada para pihak untuk
 mempergunakan hak ingkar berdasarkan fakta-fakta baru tersebut.
 Ayat (2)
 Cukup jelas
 Ayat (3)
 Dalam ayat ini diatur tentang pengajuan tuntutan ingkar dan jangka
 waktunya.
 Jangka waktu ini dipandang perlu agar tidak sewaktu-waktu dapat
 dihambat dengan adanya tuntutan ingkar.
 Ayat (4)
 Cukup jelas
 Ayat (5)
 Cukup jelas
 Ayat (6)
 Cukup jelas
                              Pasal 25
 Ayat (1)
 Putusan Ketua Pengadilan Negeri dalam tuntutan ingkar mengikat
 kedua belah pihak dan putusan tersebut bersifat final dan tidak ada
 upaya perlawanan.
 Ayat (2)
 Cukup jelas
 Ayat (3)
 Cukup jelas
                              Pasal 26
 Ayat (1)
 Cukup jelas
 Ayat (2)
 Cukup jelas
 Ayat (3)
 Cukup jelas
 Ayat (4)
 Cukup jelas
 Ayat (5)
 Jika hanya seorang anggota arbiter saja yang diganti, pemeriksaan
 dapat diteruskan berdasarkan berita acara dan surat yang ada, cukup
 oleh para arbiter yang ada.
                              Pasal 27
 Ketentuan bahwa pemeriksaan dilakukan secara tertutup adalah
 menyimpang dari ketentuan acara perdata yang berlaku di Pengadilan
 Negeri yang pada prinsipnya terbuka untuk umum. Hal ini untuk lebih
 menegaskan sifat kerahasiaan penyelesaian arbitrase.
                              Pasal 28
 Cukup jelas
 Pasal 29
 Ayat (1)
 Cukup jelas
 Ayat (2)
 Sesuai dengan ketentuan umum mengenai acara perdata, diberikan
 kesempatan kepada para pihak untuk menunjuk kuasa dengan surat
 kuasa yang bersifat khusus.
                              Pasal 30
 Cukup jelas
                              Pasal 31
 Ayat (1)
 Cukup jelas
 Ayat (2)
 Cukup jelas
 Ayat (3)
 Para pihak dapat menyetujui sendiri tempat dan jangka waktu yang
 dikehendaki mereka. Apabila mereka tidak membuat sesuatu ketentuan
 tentang hal ini, maka arbiter atau majelis arbitrase yang akan
 menentukan.
                              Pasal 32
 Cukup jelas
 Pasal 33
 Huruf a
 Yang dimaksud dengan "hal khusus tertentu" misalnya karena adanya
 gugatan antara atau gugatan insidentil di luar pokok sengketa
 seperti permohonan jaminan sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara
 Perdata.
 Huruf b
 Cukup jelas
 Huruf c
 Cukup jelas
                              Pasal 34
 Ayat (1)
 Cukup jelas
 Ayat (2)
 Ayat ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk memilih
 peraturan dan acara yang akan digunakan dalam penyelesaian sengketa
 antara mereka, tanpa harus mempergunakan peraturan dan acara dari
 lembaga arbitrase yang dipilih.
                              Pasal 35
 Cukup jelas
                              Pasal 36
 Ayat (1)
 Cukup jelas
 Ayat (2)
 Pada prinsipnya acara arbitrase dilakukan secara tertulis. Jika ada
 persetujuan para pihak, pemeriksaan dapat dilakukan secara lisan.
 Juga keterangan saksi ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50,
 dapat berlangsung secara lisan apabila dianggap perlu oleh arbiter
 atau majelis arbitrase.
                              Pasal 37
 Ayat (1)
 Ketentuan mengenai tempat arbitrase ini adalah penting terutama
 apabila terdapat unsur hukum asing dan sengketa menjadi suatu
 sengketa hukum perdata internasional. Seperti lazimnya tempat
 arbitrase dilakukan dapat menentukan pula hukum yang harus
 dipergunakan untuk memeriksa sengketa tersebut jika para pihak
 tidak menentukan sendiri maka arbiter yang dapat menentukan tempat
 arbitrase.
 Ayat (2)
 Dalam ayat (2) pasal ini diberi kemungkinan untuk mendengar saksi
 di tempat lain dari tempat diadakan arbitrase, antara lain
 berhubung dengan tempat tinggal saksi bersangkutan.
 Ayat (3)
 Cukup jelas
 Ayat (4)
 Cukup jelas
                              Pasal 38
 Ayat (1)
 Cukup jelas
 Ayat (2)
 Huruf a
 Cukup jelas
 Huruf b
 Salinan perjanjian arbitrase harus juga diajukan sebagai lampiran.
 Huruf c
 Isi tuntutan harus jelas dan apabila isi tuntutan berupa uang,
 harus disebutkan jumlahnya yang pasti.
                              Pasal 39
 Cukup jelas
                              Pasal 40
 Cukup jelas
                              Pasal 41
 Cukup jelas
                              Pasal 42
 Ayat (1)
 Pasal ini mengatur mengenai tuntutan rekonvensi yang diajukan oleh
 pihak termohon.
 Ayat (2)
 Cukup jelas
                              Pasal 43
 Sesuai dengan hukum acara perdata sengketa menjadi gugur apabila
 pemohon tidak datang menghadap pada hari pemeriksaan pertama.
                              Pasal 44
 Cukup jelas
                              Pasal 45
 Cukup jelas
                              Pasal 46
 Cukup jelas
                              Pasal 47
 Cukup jelas
                              Pasal 48
 Ayat (1)
 Penentuan jangka waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sebagai
 jangka waktu bagi arbiter menyelesaikan sengketa bersangkutan
 melalui arbitrase adalah untuk menjamin kepastian waktu
 penyelesaian pemeriksaan arbitrase.
 Ayat (2)
 Cukup jelas
                              Pasal 49
 Cukup jelas
                              Pasal 50
 Cukup jelas
                              Pasal 51
 Cukup jelas
                              Pasal 52
 Tanpa adanya suatu sengketa pun, lembaga arbitrase dapat menerima
 permintaan yang diajukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian,
 untuk memberikan suatu pendapat yang mengikat (binding opinion)
 mengenai suatu persoalan berkenaan dengan perjanjian tersebut.
 Misalnya mengenai penafsiran ketentuan yang kurang jelas,
 penambahan atau perubahan pada ketentuan yang berhubungan dengan
 timbulnya keadaan baru dan lain-lain. Dengan diberikannya pendapat
 oleh lembaga arbitrase tersebut kedua belah pihak terikat padanya
 dan salah satu pihak yang bertindak bertentangan dengan pendapat
 itu akan dianggap melanggar perjanjian.
                              Pasal 53
 
 Cukup jelas
                              Pasal 54
 Cukup jelas
                              Pasal 55
 Cukup jelas
                              Pasal 56
 Ayat (1)
 Pada dasarnya para pihak dapat mengadakan perjanjian untuk
 menentukan bahwa arbiter dalam memutus perkara wajib berdasarkan
 ketentuan hukum atau sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan (ex
 aequo et bono).
 Dalam hal arbiter diberi kebebasan untuk memberikan putusan
 berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka peraturan
 perundang-undangan dapat dikesampingkan. Akan tetapi dalam hal
 tertentu, hukum memaksa (dwingende regels) harus diterapkan dan
 tidak dapat disimpangi oleh arbiter.
 Dalam hal arbiter tidak diberi kewenangan untuk memberikan putusan
 berdasarkan keadilan dan kepatutan, maka arbiter hanya dapat
 memberi putusan berdasarkan kaidah hukum materiil sebagaimana
 dilakukan oleh hakim.
 Ayat (2)
 Para pihak yang bersengketa diberi keleluasaan untuk menentukan
 hukum mana yang akan diterapkan dalam proses arbitrase. Apabila
 para pihak tidak menentukan lain, maka hukum yang diterapkan adalah
 hukum tempat arbitrase dilakukan.
                              Pasal 57
 Cukup jelas
                              Pasal 58
 Yang dimaksud dengan "koreksi terhadap kekeliruan administratif"
 adalah koreksi terhadap hal-hal seperti kesalahan pengetikan
 ataupun kekeliruan dalam penulisan nama, alamat para pihak atau
 arbiter dan lain-lain, yang tidak mengubah substansi putusan.
 Yang dimaksud dengan "menambah atau mengurangi tuntutan" adalah
 salah satu pihak dapat mengemukakan keberatan terhadap putusan
 apabila putusan, antara lain:
a. telah mengabulkan sesuatu yang tidak dituntut oleh pihak lawan;
b. tidak memuat satu atau lebih hal yang diminta untuk diputus; atau
c. mengandung ketentuan mengikat yang bertentangan satu sama lainnya.
                              Pasal 59
 Cukup jelas
                              Pasal 60 
 Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak
 dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali.
                              Pasal 61
 Cukup jelas
                              Pasal 62
 Ayat (1)
 Cukup jelas
 Ayat (2)
 Cukup jelas
 Ayat (3)
 Cukup jelas
 Ayat (4)
 Tidak diperiksanya alasan atau pertimbangan putusan arbitrase oleh
 Ketua Pengadilan Negeri agar putusan arbitrase tersebut benar-benar
 mandiri, final, dan mengikat.
                              Pasal 63
 Cukup jelas
                              Pasal 64
 Cukup jelas
                              Pasal 65
 Cukup jelas
                              Pasal 66
 Huruf a
 Cukup jelas
 Huruf b
 Yang dimaksud dengan "ruang lingkup hukum perdagangan" adalah
 kegiatan-kegiatan antara lain di bidang :
 - perniagaan;
 - perbankan;
 - keuangan;
 - penanaman modal;
 - industri;
 - hak kekayaan intelektual.
 Huruf c
 Cukup jelas
 Huruf d
 Suatu Putusan Arbitrase Internasional hanya dapat dilaksanakan
 dengan putusan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam bentuk
 perintah pelaksanaan (eksekuatur).
 Huruf e
 Cukup jelas
                              Pasal 67
 Cukup jelas
                              Pasal 68
 Cukup jelas
                              Pasal 69
 Cukup jelas
                              Pasal 70
 Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan
 arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan
 permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan
 dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa
 alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan
 pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi
 hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.
                              Pasal 71
 Cukup jelas
                              Pasal 72
 Ayat (1)
 Cukup jelas
 Ayat (2)
 Ketua Pengadilan Negeri diberi wewenang untuk memeriksa tuntutan
 pembatalan jika diminta oleh para pihak, dan mengatur akibat dari
 pembatalan seluruhnya atau sebagian dari putusan arbitrase
 bersangkutan.
 Ketua Pengadilan Negeri dapat memutuskan bahwa setelah diucapkan
 pembatalan, arbiter yang sama atau arbiter lain akan memeriksa
 kembali sengketa bersangkutan atau menentukan bahwa suatu sengketa
 tidak mungkin diselesaikan lagi melalui arbitrase.
 Ayat (3)
 Cukup jelas
 Ayat (4)
 Yang dimaksud dengan "banding" adalah hanya terhadap pembatalan
 putusan arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 70.
 Ayat (5)
 Cukup jelas
                              Pasal 73
 Cukup jelas
                              Pasal 74
 Cukup jelas
                              Pasal 75
 Cukup jelas
                              Pasal 76
 Cukup jelas
                              Pasal 77
 Cukup jelas
                              Pasal 78
 Cukup jelas
                              Pasal 79
 Cukup jelas
                              Pasal 80
 Cukup jelas
                              Pasal 81
 Cukup jelas
                              Pasal 82
 Cukup jelas


       TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3872


Lihat pula[sunting]