Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1947

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1947 (UU/1947/29)  (1947) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 



Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 29 Tahun 1947

Tentang

CUKAI, CUKAI MINUMAN KERAS. Mengadakan sanctie terhadap pelanggaran atas Peraturan Cukai minuman keras.


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:

a. bahwa perlu diadakan "Aturan-aturan" mengenai pelanggaran-pelanggaran Osamu Seirei No. 32-1944, (tentang cukai minuman keras) yang dengan Undang-undang tahun 1946 No. 1 telah hilang sanctienya sedang cukai tersebut berhubung dengan keadaan Keuangan Negara tidak dapat dihilangkan;

b. bahwa perlu beberapa kata-kata di dalam Osamu Seirei tersebut diganti dengan istilahistilah bahasa Indonesia;

c. bahwa perlu ditambah beberapa pasal agar penyelesaian yang effectief dan cepat dapat diselenggarakan oleh instansi yang berkewajiban;

Mengingat:

Osamu Seirei No. 32-1944; pasal 5 ayat 1 dan pasal 23 ayat 2 dari Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia; pasal IV "Aturan Peralihan" dari Undang-undang Dasar dan Maklumat Wakil Presiden Republik Indonesia tanggal 16-10-1945 No. X;


Dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat;


Memutuskan:


Menetapkan peraturan sebagai berikut:


UNDANG-UNDANG CUKAI MINUMAN KERAS.

Pasal 1.

Jikalau dalam peraturan tentang cukai minuman keras ditulis perkataan "Zaimubutyo" atau perkataan "Gunseikan", maka perkataan-perkataan itu harus dibaca "Menteri Keuangan".

Pasal 2.

ATURAN HUKUMAN.


1. Barang siapa yang membuat minuman keras dengan tidak mendapat izin perusahaan, dihukum dengan hukuman kurungan paling lama satu tahun, atau dengan hukuman denda paling banyak R. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah) sedang minuman keras yang dibuatnya serta mesin-mesin, alat-alat dan bejana-bejana yang dipergunakan, dirampas pula.

2. Cukai tidak dikenakan buat minuman keras yang dibuat dengan tidak mendapat izin perusahaan itu, dipungut dengan segera. Pasal

3.Barang siapa dengan maksud untuk meluputkan diri dari pembayaran cukai, memberikan keterangan yang palsu kepada Pejabatan Bea dan Cukai sehingga dengan jalan yang curang itu ia mendapat salah satu surat izin yang diharuskan dalam Osamu Seirei No. 32 tahun 1944, dihukum dengan hukuman penjara paling lama lima tahun atau hukuman denda paling banyak R. 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah).

Pasal 4.

1. Barang siapa yang termasuk dalam salah satu golongan yang tersebut di bawah ini, dihukum dengan hukuman kurungan paling lama 1 tahun atau dengan hukuman denda paling banyak R. 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) :

a. Orang yang mengubah maksud mempergunakan minuman keras untuk dipakai sebagai bahan yang dimaksud dalam ayat 1 pasal 19 Osamu Seirei No. 32-1944, yaitu dengan tidak mendapat pengesahan yang dimaksud dalam ayat 2 pasal 19 Osamu Seirei No. 32-1944, atau orang yang melakukan sesuatu tindakan tentang minuman keras, atau mengeluarkannya dari tempat membuatnya;

b. Orang yang melakukan suatu tindakan tentang minuman keras atau mengeluarkannya dari tempat membuatnya, berlawanan dengan aturan pasal 23 Osamu Seirei No. 32-1944.

2. Cukai yang dikenakan buat minuman keras yang dimaksud pada ayat (1) dipungut dengan segera.

Pasal 5.

Barang siapa yang termasuk dalam salah satu golongan yang tersebut di bawah ini, dihukum dengan hukuman denda paling banyak R. 5.000,-(lima ribu rupiah):

a. Orang yang mengadakan perusahaan untuk menjual minuman keras dengan tidak mendapat izin-perusahaan, berlawanan dengan aturan pasal 8 Osamu Seirei No. 32-1944;

b. Orang yang melanggar perintah yang dimaksud dalam pasal 25 atau pasal 26 Osamu Seirei No. 32-1944.


Pasal 6.

Barang siapa yang termasuk dalam salah satu golongan yang tersebut dibawah ini, dihukum dengan hukuman denda paling banyak R. 2.000,-(dua ribu rupiah) :

a. Orang yang memindahkan tempat membuat atau tempat menjual minuman keras dengan tidak mendapat izin yang dimaksud dalam pasal 10 Osamu Seirei No. 32-1944;

b. Orang yang tidak memajukan permohonan yang dimaksud dalam pasal 11 Osamu Seirei No. 32-1944;

c. Orang yang tidak mencatat dalam buku perusahannya hal-hal yang dimaksud dalam aturan pasal 27 Osamu Seirei No. 32-1944; atau mencatat hal-hal yang tidak benar, atau menyembunyikan buku perusahaan itu;

d. Orang yang tidak merapotkan, hal-hal yang dimaksud dalam pasal 29 Osamu Seirei No. 32-1944, atau menyampaikan rapotan bohong;

e. Orang yang mempergunakan mesin-mesin, alat-alat atau bejana-bejana yang tidak diperiksa, berlawanan dengan aturan pasal 29 Osamu Seirei No. 32-1944;

f. Orang yang melakukan hal-hal yang dimaksud dalam pasal 30 Osamu Seirei No. 32-1944 dengan tidak diperiksa atau disahkan oleh kantor Bea dan Cukai Daerah;

g. Orang yang tidak memberi keterangan yang diminta oleh pegawai Pejabatan Bea dan Cukai, memberi keterangan bohong atau tidak menyampaikan contoh minuman keras, atau menolak, merintangi, atau menghindari pegawai itu melakukan kewajiban jabatannya berlawanan dengan aturan pasal 31 Osamu Seirei No. 32-1944;

h. Orang yang mengangkut minuman keras 5 liter atau lebih, demikian juga mengeluarkan dari tempat membuatnya atau memasukannya ke dalam tempat membuatnya itu dengan tidak mendapat izin yang dimaksud dalam pasal 32 Osamu Seirei No. 32-1944.


Pasal 7.

Jika wakil, keluarga, isi rumah, pegawai atau pekerja yang lain dari pembuat atau penjual minuman keras melanggar undang-undang ini, berhubung dengan pekerjaan perusahannya, maka yang dihukum, ialah orang yang melakukan pelanggaran itu atau pembuat atau penjual minuman keras itu.

Pasal 8.

Perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman dalam Undang-undang ini, dipandang sebagai pelanggaran terkecuali perbuatan yang dimaksudkan dalam pasal 3 yang dipandang sebagai kejahatan.

Pasal 9.

Perabot-perabot yang dipakai untuk melakukan pelanggaran atau yang tidak dirapotkan dalam hal rapotan itu diharuskan, harus dirampas.

Pasal 10.

Menteri Keuangan atau pegawai Pejabatan Bea dan Cukai yang ditunjuk olehnya, dapat mengadakan perdamaian untuk mencegah tuntutan dimuka hakim, terkecuali kalau perbuatan yang dituntut merupakan kejahatan.

Pasal 11.

Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan.
Ditetapkan di Yogyakarta
pada tanggal 30 Agustus 1947. <r> PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEKARNO.

Menteri Keuangan,

A.A. MARAMIS.


Diumumkan
pada tanggal 30 Agustus 1947.

Sekretaris Negara,

A.G. PRINGGODIGDO.


PENJELASAN UNDANG-UNDANG No. 29 TAHUN 1947.

1. Dengan pengumuman Undang-undang No. 1 tahun 1946 (Undang-undang tentang Peraturan Hukum Pidana) pada tanggal 26-2-1946, maka peraturan-peraturan yang termaktub dalam Peraturan Cukai Minuman Keras buat sebagian besar kehilangan "sanctienya".

Pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dari 26-2-1946 sampai dimasa ini, hanya dapat dituntut jika pelanggaran itu juga melanggar Undang-undang alcohol sulingan (Stbl. 1898 No. 90, yang telah sering diubah dan terakhir diumumkan mengenai "aturan hukuman dsb." dalam Stbl. 1931 No. 111).

2. Dapat dimengerti bahwa keadaan yang demikian sangat kurang memuaskan. Antara lain semua pembikinan minuman keras gelap yang tidak memakai "gedistilleerd". (misalnya anggur dsb.) tidak dapat dituntut.

3. Berhubung dengan itu dalam Undang-undang ini diadakan aturan-aturan hukuman lagi sebagai "sanctie" tentang macam-macam aturan dalam Peraturan Minuman Keras yang perlu untuk menyelamatkan cukainya.


4. Pada umumnya aturan-aturan hukuman yang dulu (yang dimatikan oleh Undang-undang tahun 1946 No. 1) tidak dihidupkan lagi begitu saja, oleh karena pada umumnya aturan lama itu banyak bertentangan dengan prinsipprinsip umum yang berlaku dalam systeem hukum pidana kita. Misalnya tidak ditetapkan mana yang bersifat "pelanggaran" mana yang bersifat "kejahatan". Juga beratnya dan sifatnya hukuman dalam aturan lama banyak yang tidak seimbang dengan ukuran yang terdapat dalam Undang-undang fiscaal lain atau dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

5. Penjelasan pasal demi pasal kiranya tidak perlu, oleh karena dapat dipandang cukup jelas.


6. Peraturan yang termaktub dalam pasal 10 yang memuat "schikkingsbevoegdheid", terdapat pula pada macam-macam Undang-undang fiscaal lainnya. Maksudnya supaya dalam hal-hal yang dukup berat, Pejabatan Bea dan Cukai dapat menghindarkan tuntutan dengan menetapkan perjanjian-perjanjian dengan yang bersalah antara lain pembayaran wang perdamaian (schikkingsbedrag) kepada Negara. Hanya kalau nyata ada maksud jahat atau dalam hal ulangan (recidive) sebagai tindakan terakhir (ultimatum remedium) yang bersalah diajukan kepada hakim.