Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 008/PUU-IV/2006

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 008/PUU-IV/2006  (2006) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








PUTUSAN

Nomor 008/PUU-IV/2006

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, telah menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawarakatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:

Nama : Djoko Edhi Soetjipto Abdurahman;

Pekerjaan : Anggota DPR/MPR RI (A-173) - Fraksi Partai Amanat Nasional - Komisi III - Hukum Perundang-undangan, HAM & Keamanan, DPR RI, Gedung Nusantara 1, Lantai 19, Ruang 1924;

Jalan : Jend. Gatot Subroto,Senayan, Jakarta Pusat dan atau Wisma Anggota DPR RI Blok C-2/213, Kalibata, Jakarta Selatan.

Dalam hal ini berdasarkan surat kuasa yang sudah diganti terakhir tanggal 08 Mei 2006 dan tanggal 17 Juli 2006 memberi kuasa kepada:

1.DR. Eggi Sudjana,SH.,Msi; ( � LAW FIRM EGGI SUDJANA & PARTNERS � )

2. Welliam Suharto,SH; ( � LAW FIRM EGGI SUDJANA & PARTNERS � )

3. Weadya Absari,SH; ( � LAW FIRM EGGI SUDJANA & PARTNERS � )

4. Hasraidi,SH; ( � LAW FIRM EGGI SUDJANA & PARTNERS � )

5. AH.Wakil Kamal,SH; ( � TIM PEMBELA DESA MADZLUM � )

6. Baginda Siregar, SH; ( � TIM PEMBELA DESA MADZLUM � )

Para Advokat dan konsultan hukum pada LAW FIRM EGGI SUDJANA & PARTNERS, berkedudukan di Wisma Kuningan Mansion, Jalan Perintis No. 16,

� Mega Kuningan, Jakarta Selatan dan Advokat yang tergabung dalam �TIM PEMBELA DESA MADZLUM�, yang beralamat dijalan Arus No. 21, Dewi Sartika, Cawang, Jakarta Timur 13630, yang dalam hal ini bertindak baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama;

Selanjutnya disebut sebagai.........................................................................Pemohon;

Telah membaca permohonan Pemohon;

Telah mendengarkan keterangan Pemohon;

Telah mendengarkan keterangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

Telah mendengarkan keterangan Pemerintah;

Telah mendengarkan keterangan Saksi dan Ahli Pemohon;

Telah membaca keterangan tertulis Saksi dan Ahli Pemohon;

Telah membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;

Telah membaca keterangan tertulis Pemerintah;

Telah membaca kesimpulan Pemohon;

Telah memeriksa bukti-bukti Pemohon;

DUDUK PERKARA

Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan bertanggal 29 Maret 2006 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 13 April 2006 dengan registrasi perkara Nomor 008/PUU-IV/2006 serta perbaikan permohonan yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 09 Mei 2006 dan tanggal 12 Mei 2006, yang pada pokoknya mengemukakan hal-hal sebagai berikut:

I. TENTANG KEWENANGAN MAHKAMAH KONSTITUSI.

(1) Bahwa dalam Pasal 24C ayat (1) perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi :

�Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar..��.�;

� (2) Bahwa permohonan pengujian Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 12 huruf b Undang- undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003, karena bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) Pasal 28C ayat (2) Pasal 28D ayat (1) dan (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 didasarkan pada Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;


(3) Bahwa Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, berbunyi sbb:

- Pasal 10 ayat (1) huruf a :

(1) �Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk : a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945�



(4) Bahwa Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah diundangkan setelah perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni diundangkan pada tanggal 31 Juli 2003. Maka berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Pasal 24C ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Kontitusi, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa, menguji dan memutus permohonan Pemohon;

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) DAN KEPENTINGAN PEMOHON. (1) Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi:�Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu : a. Perorangan warga Negara Indonesia;




� b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. Badan Hukum publik atau privat; d. Lembaga Negara�.


(2) Bahwa sebagai perorangan warga negara Indonesia yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dalam konteks sistem ketatanegaraan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pemohon mempunyai kepentingan bagi terwujudnya Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia, demikian juga Pemohon berkepentingan Republik Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (3) Bahwa dalam upaya mewujudkan Indonesia sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia sekaligus juga sebagai negara hukum, Pemohon sebagai anggota DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan sebagaimana diamanatkan Pasal 20A ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (4) Bahwa dalam rangka menjalankan fungsi sebagai anggota DPR, kedudukan Pemohon adalah sebagai perorangan Warga Negara Indonesia yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana diamanatkan Pasal 29 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003, memiliki kewajiban:(a) mengamalkan Pancasila, (b) melaksanakan UUD Negara RI Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan, (c) melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, (d) mendahulukan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi, kelompok dan golongan, (e) memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya; (5) Bahwa untuk dapat menjadi anggota DPR, Pemohon telah dipilih melalui suatu proses pemilihan umum yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPR dan dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil untuk masa jabatan lima tahun sebagaimana diamanatkan





� oleh Pasal 22E ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;


(6) Bahwa dalam rangka menjalankan kewajiban menyalurkan aspirasi serta amanat dari rakyat yang diemban Pemohon melalui pemilihan umum anggota DPR, serta untuk dapat melaksanakan tugas, fungsi serta kewajiban seorang anggota DPR dengan baik dan lancar, maka dibutuhkan adanya suasana kepastian hukum dari keanggotaan seseorang selama satu periode pemilihan, dan sekaligus adanya jaminan kontinuitas penerimaan fasilitas yang menjadi hak-haknya; (7) Bahwa oleh karenanya sebagai warga negara Indonesia yang menjadi anggota DPR, Pemohon berkepentingan untuk menjalankan kewajiban melaksanakan amanat dan aspirasi rakyat pemilih serta berkepentingan terhadap terlaksananya dengan baik dan lancar, tugas-tugas, fungsi dan kewajiban seorang anggota DPR sebagaimana diamanatkan Pasal 1 juncto Pasal 20A ayat (1) juncto Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD Negara RI Tahun 1945 juncto Pasal 29 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003; (8) Bahwa dengan demikian, hak konstitusional Pemohon dalam permohonan ini adalah hak untuk menjalankan kewajiban melaksanakan aspirasi dan amanat rakyat (konstituen) dan hak atas terlaksananya dengan baik dan lancar tugas-tugas, fungsi dan kewajiban anggota DPR, yang merupakan pengejawantahan hak konstitusional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28C ayat (2) juncto Pasal 28D ayat (1), (2) dan (3) dengan tujuan terciptanya penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan hukum; (9) Bahwa diberlakukannya Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Republik IndonesiaI Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik berpotensi bagi setiap anggota DPR untuk secara subjektif dan sewenang-wenang diberhentikan dari kedudukannya oleh partainya (recall), bahkan saat ini terhadap diri Pemohon prosesnya sedang Pemohon alami sendiri, yang menyebabkan tidak dapat terlaksananya kewajiban Pemohon







� melaksanakan aspirasi dan amanat konstituen yang memilih Pemohon dengan baik, dan menyebabkan tidak lancarnya tugas-tugas, fungsi dan kewajiban Pemohon selaku anggota DPR. Pemohon merasa dirugikan hak- hak konstitusionalnya dengan diberlakukannya Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Pasal 12 huruf b Undang- undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan mempunyai kewajiban hukum untuk mengajukan permohonan uji materiil kepada Mahkamah Konstitusi;






III. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN. 1. Bahwa anggota DPR sebagai bagian dari lembaga perwakilan rakyat yang hadir dalam sistim ketatanegaraan Republik Indonesia merupakan perwujudan dari pelaksanaan amanat Pembukaan UUD Negara RI Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa susunan Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk dapat diangkat menjadi anggota DPR, seseorang termasuk Pemohon harus dipilih melalui suatu pemilihan umum yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil yang dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun sekali sebagaimana ketentuan Pasal 19 ayat (1) juncto Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD Negara RI Tahun 1945;

2. Bahwa dari bunyi ketentuan-ketentuan tersebut dapatlah ditarik tafsir dan kesimpulan:

a. Bahwa anggota DPR dipilih dalam suatu pemilihan umum dimana seluruh aspirasi dan amanat rakyat (konstituen) memberikan suaranya kepada anggota DPR, yang meskipun sistem pemilihan umum yang digunakan �proporsional daftar calon terbuka� tetap saja suara pemilih diberikan kepada seorang calon anggota DPR yang telah dicalonkan oleh partainya melalui mekanismenya tersendiri. Disisi yang lain suara yang diberikan oleh konstituen membawa konsekuensi bagi anggota DPR untuk dapat melaksanakan kehidupan demokrasi dan amanat konstituen sekaligus kewajiban memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada pemilih dan daerah pemilihannya;



� b. Jabatan sebagai anggota DPR diberikan oleh konstituen dalam kurun waktu 5 (lima) tahun membawa pada sebuah konsekuensi kepastian hukum bahwa masa jabatan seorang anggota DPR adalah lima tahun dengan segala pendapatan dan fasilitas sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dan ini juga berarti membawa konsekuensi bahwa anggota DPR baru dapat diberhentikan setelah masa jabatannya selesai 5 tahun, kecuali terpilih lagi dalam pemilihan umum berikutnya.

3. Bahwa pertanyaannya sekarang, dapatkah anggota DPR berhenti atau diberhentikan dari jabatannya sebelum masa jabatannya 5 (lima) tahun selesai?

a). Pasal 22B UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan:

�Anggota DPR dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang�.

b). Ketentuan ini dijabarkan dalam Pasal 85 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang berbunyi :

(1) Anggota DPR berhenti antar waktu karena:

a. meninggal dunia;

b. mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis,dan

c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.

(2) Anggota DPR diberhentikan antarwaktu karena:

a tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai Anggota DPR;

b. dst.

4. Bahwa dari 8 (delapan) kriteria berhenti atau diberhentikan yang diatur oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 (Pasal 85 ayat (1) a, b dan c serta ayat (2) a, b, c, d, dan e ) hampir keseluruhannya �terukur� dalam pengertian ada mekanisme yang transparan untuk dapat diterapkannya kriteria pemberhentiannya, kecuali Pasal 85 ayat (1) butir c, yaitu:

a). Pasal 85 ayat (1) :

a. meninggal dunia, terukur dengan parameter �surat kematian dari catatan sipil�;



� b. mengundurkan diri, terukur dengan parameter �surat permohonan tertulis ybs�;

b). Pasal 85 ayat (2) :

a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR, dengan suatu proses dan mekanisme Badan Kehormatan DPR (penyelidikan dan verifikasi), terukur dengan parameter �Surat Keputusan Badan Kehormatan DPR�;

b. tidak lagi memenuhi syarat-syarat calon anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang Pemilihan Umum, dengan suatu proses dan mekanisme Badan Kehormatan DPR (penyelidikan dan verifikasi), terukur dengan parameter �Surat Keputusan Badan Kehormatan DPR�;

c. melanggar sumpah/janji, kode etik DPR dan atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota DPR berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Kehormatan DPR, dengan suatu proses dan mekanisme Badan Kehormatan DPR (penyelidikan dan verifikasi), terukur dengan parameter �Surat Keputusan Badan Kehormatan DPR�;

d. melanggar peraturan larangan rangkap jabatan sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, terukur dengan parameter �Surat keputusan pengangkatan jabatan Eksekutif/Yudikatif termasuk jabatan-jabatan komisi independent�;

e. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melanggar tindak pidana dengan ancaman pidana serendah-rendahnya lima tahun penjara, dengan suatu proses dan mekanisme hukum acara pidana, terukur dengan parameter �putusan pengadilan�.

Sedangkan kriteria yang diatur dalam Pasal 85 ayat (1) butir c: �diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan� yang lazim disebut sebagai �recall� merupakan kriteria yang tidak terukur, karena sifatnya yang subjektif dan berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh oligarchi partai, sehingga secara substantif bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi, keadilan, fairness maupun akuntabel;



� 5. Bahwa dalam konteks penjelasan ketentuan Pasal 85 ayat (1) butir c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 yang dihubungkan dengan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dimana Pasal 85 ayat (1) butir c berbunyi: �Usul pemberhentian anggota DPR oleh Partai Politik didasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik�



Maka ketentuan ini merupakan ketentuan yang redundent (berlebihan) dan tidak termasuk dalam ranah kekuasaan Partai Politik, karena butir-butir ketentuan kriteria alasan-alasan pemberhentian �seorang anggota partai politik yang menjadi anggota DPR� sudah diakomodir dan menjadi kewenangan Badan Kehormatan DPR. Sebagai argumen yuridisnya menurut hemat pemohon adalah sebagai berikut : a). Menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik atau diberhentikan dari keanggotaan partai politik adalah sama artinya dengan tidak terdaftar lagi sebagai anggota partai politik yang bersangkutan (Vide: Pasal 12 butir a dan b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik);

Pasal 12 butir a dan b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002, yang berbunyi sebagai berikut :

�a. menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan Partai politik yang bersangkutan atau menyatakan menjadi angota partai lain.

b. diberhentikan dari keanggotaan Partai Politk yang bersangkutan karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.�

b). Sedangkan persyaratan calon anggota DPR diatur dalam Pasal 60 dan Pasal 62 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD, yang Pasal 62 nya menyatakan: �Calon anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota selain harus memenuhi syarat calon sebagaimana dimaksud Pasal 60, juga harus terdaftar sebagai anggota Partai Politik peserta Pemilu yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota�.

Sedangkan Pasal 60 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 menyatakan sebagai berikut :

�Calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota harus memenuhi syarat :



� a. warga negara Republik Indonesia yang berumur 21 tahun atau lebih;

b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c. berdomisili di wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia;

d. cakap berbicara, membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia;

e. berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau sederajad;

f. setia kepada Pancasila sebgai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945;

g. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam G30S/PKI, atau organisasi terlarang lainnya;

h. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

i. tidak sedang menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih;

j. sehat jasmani dan rohani berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan dari dokter yang berkompeten; dan

k. terdaftar sebagai pemilih.

c). Berdasarkan ketentuan Pasal 85 ayat (2) huruf b Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, anggota DPR yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagai calon anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam undang-undang tentang Pemilihan Umum (termasuk Pasal 62) diberhentikan sebelum masa jabatannya selesai (penggantian antar waktu), yang kewenangan memberhentikannya merupakan otoritas Badan Kehormatan DPR sebagaimana ketentuan Pasal 85 ayat (4) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan bukan kewenangan Partai Politik;

d). Demikian juga Pasal 12 butir c Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang menyebutkan dapat diberhentikannya anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat apabila melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan telah diakomodir



� oleh Pasal 85 ayat (2) huruf d dan huruf e Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 yang kewenangan pemberhentiannya merupakan kewenangan Pimpinan DPR sebagaimana ketentuan Pasal 85 ayat (3) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003, dan bukan kewenangan Partai Politik;



6. Bahwa berdasarkan argumen-argumen diatas telah jelas dan tegas bahwa ketentuan yang menyatakan �Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan� pada Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 12 huruf b Undang- undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik adalah merupakan kriteria pemberhentian yang tidak terukur yaitu memberikan hak subjektif kepada partai politik ic pengurus partai yang dapat melahirkan kesewenang-wenangan partai politik terhadap anggotanya yang menjadi anggota DPR tetapi tidak sejalan atau berbeda pendapat dalam menyampaikan atau menyuarakan aspirasi konstituen atau rakyat pemilih, bahkan dapat terjadi karena adanya perasaan suka dan tidak suka dari Pengurus Partai Politik terhadap anggotanya yang menjadi anggota DPR karena berlaku/bersuara vokal dan atau mencoba membeberkan hal-hal yang buruk yang menyentuh pribadi Pengurus Partai Politik yang bersangkutan;

7. Bahwa ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik ini lebih jauh akan berujud menjadi suatu tindakan yang melawan asas demokrasi, membatasi hak-hak anggota DPR dalam memberikan pertanggungjawaban moral dan politik kepada konstituen dan mengebiri hak politiknya dalam menjalankan tugas yang diemban dari konstituennya, serta melawan asas kepastian hukum karenanya ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) dan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD Negara R.I. Tahun 1945;

8. Bahwa mengingat dengan reformasi hak recall sudah tidak diberlakukan lagi, karena dinyatakan sebagai suatu tindakan melawan asas demokrasi dan dianggap sebagai suatu tindakan yang bertentangan dengan hak-hak baik sebagai warga negara maupun sebagai anggota dewan yang memang mengemban amanat dari rakyat secara langsung.

� Maka dengan diberlakukannya kembali hak untuk me-recall oleh partai pada rumusan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 serta ketentuan dalam Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang semata-mata hanya ditujukan untuk mematikan hak- hak dasar warganegara, maka tujuan dan maksud diberlakukannya kembali hak recall adalah jelas merugikan kepentingan bangsa dan hak-hak warga negara. Pemberlakuan kembali tentang hak recall sangat bertentangan dengan logika hukum yang mana telah dengan jelas dan nyata bahwa ada pasal yang salah ternyata dapat diberlakukan kembali terutama terhadap pengakomodiran pasal hak recall oleh partai kedalam undang-undang tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Dengan demikian tidak pernah ada dalam praktek hukum bahwa pasal yang pada masa reformasi dinyatakan salah dan bertentangan dengan asas demokrasi, asas kepastian hukum, hak-hak sebagai warga negara maupun sebagai anggota dewan yang mengemban amanat dari rakyat secara langsung, serta membatasi hak anggota DPR dalam memberikan pertanggungjawaban moral dan politik kapada konstituen bahkan mengebiri hak politik anggota DPR dalam menjalankan tugas yang diemban dari konstituennya, kemudian dipakai kembali/diberlakukan kembali pasca reformasi.

Terlebih lagi hak recalling oleh partai ini sangat bertentangan dengan undang- undang yang telah dibuat terutama terhadap undang-undang yang menganut sistem proporsional dengan daftar calon terbuka serta Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik adalah bukan mengatur tentang Partai Politik akan tetapi di dalamnya mengatur tentang hak recall Partai Politik ;

Dalam peristiwa pemberlakukan kembali tentang hak recall, korban pertama yang terkena dampaknya adalah Pemohon sendiri, yaitu telah membatasi terhadap hak-hak Pemohon dalam memberikan pertanggungjawaban moral dan politik kepada konstituen dan mengebiri hak politik Pemohon dalam menjalankan tugas yang diemban dari konstituennya.

� Hal ini jelas dan tegas bahwa hak recall telah digunakan atas nama kesewenangan elite/oligarchi partai politik secara tyrani mayoritas, sehingga dengan demikian tidak salah lagi jika dikatakan hak recall telah melampaui batas formilnya.

9. Bahwa oleh karena penggunaan hak recall yang salah dapat mengakibatkan dirugikannya konstituen, maka sangat perlu untuk dilakukan suatu tinjauan kembali terhadap pemberlakuannya, karena jika hal ini jika dibiarkan akan berakibat tidak dilindunginya konstituen yang telah dijamin oleh undang-undang dengan tidak dapat dilaksanakannya sesuai dengan kontrak politik yang dibuat dengan bingkai menurut sistem distrik pemilihan langsung.

Selain itu hak recall juga bertentangan dengan sumpah anggota DPR/MPR sebagaimana menjadi kewajiban setiap anggota dewan dalam menjalankan tugasnya.

Apabila tujuan diterapkannya/pemberlakuan hak recall adalah semata-mata karena mengantisipasi adanya kejahatan hukum dan kejahatan politik oleh anggota dewan yang memang dulunya dipergunakan sebelum terbentuknya instrumen pendukung dalam penindakan, maka dalam masa era pasca reformasi sekarang instrumen tersebut seperti lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lain-lain telah mulai terbentuk, sehingga dengan demikian hak recall ini tidak dibutuhkan lagi/tidak relevan lagi dalam kehidupan demokratis.

Namun apabila hak recall ini tetap dilaksanakan, maka akan menjadi �preseden buruk� yang akan berkelanjutan, dimana tanpa adanya kejahatan hukum dan politik hak recalling dapat diterapkan.

Jika dapat digambarkan bahwa dalam ketentuan hak recall oleh partai adalah semata-mata dipergunakan sebagai senjata dalam melawan setiap adanya perbedaan pendapat internal partai, argumennya adalah jika para legislator yang tidak pernah melakukan kejahatan politik dan kejahatan hukum, tetapi tidak disukai oleh elit partainya dengan alasan yang dicari-cari, maka legislator tersebut telah dirampas haknya dengan di recall, jika demikian patutlah untuk dapat dikatakan bahwa perampasan ini jelas melawan asas keadilan dan kemanusiaan;

Bahwa apabila prinsip hak recall yang tidak saja bisa dilaksanakan tanpa ada pemecatan dari partainya, maka ketentuan ini tidak saja merampas hak politik legislator, namun sekaligus juga merampas hak ekonomi dan hak-hak hidup

� lainnya, Dengan demikian recall bertentangan dengan kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu hak recall merupakan hak paksa yang dilaksanakan oleh tyrani mayoritas dalam kepartaian politik yang harus dikubur dalam-dalam demi kehidupan yang demokratis dan beradab;

10. Bahwa dengan demikian permohonan pengujian terhadap undang-undang ini bukan merupakan tindakan yang dilakukan sekedar mengada-ada dan mencari sensasi, melainkan sesuatu yang sah secara dan menurut hukum, karena berangkat dari pokok pikiran Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (2) Pasal 28D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang pada pokoknya berbunyi sebagai berikut :

Pasal 22E ayat (1)

�Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali�

Pasal 22E ayat (2)

�Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah�

Pasal 28C ayat (2)

�Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya�;

Pasal 28D ayat (1)

�Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum�;

Pasal 28D ayat (2)

�setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�.

11. Bahwa pengujian undang-undang yang dimohonkan Pemohon adalah Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


� 1945 karena bersifat diskriminatif serta meniadakan hak konstitusional Pemohon; 12 Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 melarang diskriminasi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (2). Juga Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai penjabaran ketentuan Pasal 27 dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak membenarkan diskriminasi berdasarkan perbedaan agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. 13. Bahwa Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan, bahwasanya setiap orang berhak atas pengakuan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Ditegaskan pula dalam Pasal 28I ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwasanya setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu; yang sesuai pula dengan Artikel 21 Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan :

(1) Everyone has the right to takepart in the government of his country, directly or through freely chosen representatives;

(2) Everyone has the righ of equal acces to public service in his country;

(3) The will of people shall be the basis of the authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret vote or by equivalent free voting procedures;

(terjemahan bebasnya: (1) Setiap orang berhak untuk berpartisipasi didalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil yang dipilihnya secara bebas. (2) Setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menggunakan fasilitas umum di negaranya. (3) Kehendak rakyat menjadi



� dasar dari kewenangan pemerintah; kehendak tersebut wajib dinyatakan secara berkala dan pemilihan umum yang nyata yang mestinya dengan secara universal dan hak pilih yang sama dan akan diadakan dengan prosedur pemberian suara secara rahasia atau dengan pemilihan bebas sejenisnya.

Selain itu, dalam perkembangan selanjutnya mengenai hak-hak manusia yang berkaitan dengan hak-hak sipil dan politik, Perserikatan Bangsa- Bangsa pada Tahun 1966 telah menghasilkan kovenan tentang hak-hak sipil dan politik, yang dikenal dengan �International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)� berlaku sejak tangal 1 Januari 1991, dimana 92 (sembilanpuluh dua) negara dari 160 (seratus enampuluh) negara anggota perserikatan bangsa- bangsa menjadi negara anggota;

Bahwa article 25 tantang Civil and Political Rights dimaksud mengatur sebagai berikut:

Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions:


a) To take part in the conduct of public affairs, directly, directly or through freely chosen representatives ; b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot, guaranteeing the free expression of the will of the electors ; c) To have acces, on general terms of equality, to public service in his country; (terjemahan bebas: a) Untuk berpartisipasi dalam menjalankan kegiatan umum, secara langsung atau melalui wakil yang dipilihnya secara bebas, b) untuk memilih dan pilih pada pemilihan nyata berkala yang akan secara universal dan hak pilih yang sama yang akan diadakan berdasarkan pemilihan rahasia, untuk menjamin perwujudan kehendak bebas para pemilih, c) untuk menggunakan, dalam pengertian kualitas secara umum, terhadap fasilitas umum dinegaranya.

Bahwa hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (Rights to vote and Rights to by candidate) adalah hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konfensi internasional, maka pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga negara ;




� 14. Disamping itu dalam persoalan Penggantian Antarwaktu Anggota DPR sepatutnya dan lazimnya telah cukup memadai dengan didasarkan atas ketentuan sebagaimana yang diatur Pasal 85 ayat (1) huruf a, b dan ayat (2) huruf a, b, c, d, dan e; Sehingga ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang- undang Nomor 22 Tahun 2003 dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik jelas mengandung nuansa like and dislike dalam politik yang dilakukan kepada orang yang tidak disukai (dislike) oleh Pengurus Partai Politik yang bersangkutan; Padahal seharusnya adil menurut hukum dan berkepastian hukum kalau didalam negara hukum, setiap pelanggaran yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

15. Bahwa salah satu bentuk kerugian yang akan dialami oleh Pemohon (dan potensial juga dapat saja terjadi terhadap rekan-rekan Pemohon, Anggota DPR RI yang berjumlah 550 orang) adalah pengambilan hak konstitusi Pemohon pada saat akan dilakukannya Penggantian Antarwaktu yang didasarkan pada ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang dimaksud;

Maka berdasarkan hal-hal sebagaimana telah Pemohon uraikan diatas, Pemohon dengan ini mohon agar sudilah kiranya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berdasarkan kewenangannya [sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD Negara RI Tahun 1945 juncto Pasal 10 ayat (1) juncto Pasal 45, juncto Pasal 51 ayat (1) dan juncto Pasal 56 ayat (1)] Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi], berkenan memeriksa dan memutuskan permohonan Pemohon yang amarnya berbunyi sebagai berikut :

1. Menerima dan Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya; 2. Menyatakan isi Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Republik IndonesiaI Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (2,) Pasal 28D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 3. Menyatakan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;


� 4. Menyatakan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (2,) Pasal 28D ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 5. Menyatakan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Atau, apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya;

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 25 April 2006 dan tanggal 12 Mei 2006 Pemohon Prinsipal dan Kuasanya telah didengar keterangannya yang pada pokoknya menerangkan tetap pada dalil-dalil permohonannya;

Menimbang bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya Pemohon telah mengajukan bukti-bukti tertulis yang dilampirkan dalam permohonannya yang telah diberi materai cukup dan diberi tanda P � 1 s/d P � 13 sebagai berikut:



P - 1 : Foto copy Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, DPD Dan DPRD-RI;

P - 2 : Foto copy Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan Amandemen;

P - 3 : Foto copy SK Presiden Pengangkatan Anggota DPR;

P - 4 : Foto copy Kartu Tanda Penduduk;

P - 5 : Foto copy Kartu Tanda Anggota PAN;

P - 6 : Foto copy Surat Peringatan ke 3 dari Partai DPD PAN dan Surat Keputusan Recall;

P - 7 : Foto copy Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PAN hasil Kongres ke-2 di Semarang tanggal 09 April 2005;

P - 7a : Foto copy Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang telah dirubah/disahkan oleh Notariat Muhammad Hanafi,SH;

P - 7b : Foto copy Buku Hasil Kongres II Partai Amanat Nasional;

P - 7c : Foto copy Daftar Perubahan AD/ART PAN;

P - 8 : Foto copy Surat yang ditujukan ke Presiden Republik Indonesia perihal Recall yang dilakukan DPP PAN adalah belum bersifat Inkracht;

P - 8a : Foto copy Daftar Lampiran Surat, Hal Recall DPP PAN belum Inkracht & Prosesnya;

� P - 9 : Foto copy Bahan Pleidoi ke Badan Arbitrasse PAN/Ketua Departemen Komisi DPP PAN;

P - 10 : Foto copy Paper: Naskah Akademik undang-undang di Senayan;

P - 11 : Foto copy Dokumen Pers;

P - 12 : Foto copy Catatan Pinggir Hak Recall;

P - 13 : Foto copy Petikan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 20/P Tahun 2006 tentang pemberhentian dengan hormat dari keanggotaan DPR/MPR masa jabatan Tahun 2004-2009 atas nama Sdr. Djoko Edhi Sutjipto Abdurahman.

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Juni 2006 Pemohon Prinsipal menyatakan tetap pada dalil permohonannya dan memberitahukan kepada Majelis Hakim bahwa Kuasa Pemohon TIPEKAL (Tim Pembela Kehormatan Anggota Legislatif) yang semula mewakili Pemohon dalam perkara ini telah menyatakan mengundurkan diri sesuai dengan suratnya bertanggal 30 Mei 2006;

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Juli 2006, Pemerintah memberi keterangan tertulis yang dibacakan dalam persidangan sebagai berikut:

KETERANGAN PEMERINTAH

I. UMUM

Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa susunan Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat yang dalam pelaksanaannya menganut prinsip kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu dibentuk lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu memperjuangkan aspirasi rakyat termasuk kepentingan daerah dalam rangka menegakkan nilai-nilai demokrasi, keadilan dan kesejahteraan rakyat dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sejalan dengan perkembangan kehidupan ketatanegaraan dan politik bangsa, setelah dilakukan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah terjadi perubahan yang mendasar dalam tatanan ketatanegaraan termasuk dalam susunan dan kedudukan lembaga permusyawaratan, lembaga perwakilan rakyat dengan adanya lembaga perwakilan daerah. Selain itu Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

� Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan. MPR-RI Tahun 2001; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA, pada Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2002 juga mengamanatkan untuk mengembangkan sistem politik nasional yang lebih demokratis dan terbuka dengan menyempurnakan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang politik, termasuk Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.

Dalam penyempurnaan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD diperhatikan pula berbagai undang- undang terkait di bidang politik, di antaranya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

Berdasarkan pertimbangan di atas dipandang perlu untuk membentuk undang- undang tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD dalam rangka meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga permusyawaratan dan perwakilan rakyat/daerah untuk mengembangkan kehidupan demokrasi, menjamin keterwakilan rakyat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, serta mengembangkan mekanisme checks and balances antara lembaga legislatif dan eksekutif serta meningkatkan kualitas, produktivitas, dan kinerja anggota lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah demi mewujudkan keadilan dan kesejahteraan rakyat.

Bahwa pembentukan, pemeliharaan, dan pengembangan partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Melalui partai politik, rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat tentang arah kehidupan dan masa depannya dalam bermasyarakat dan bernegara. Partai politik

� merupakan komponen yang sangat penting dalam sistem politik demokrasi. Dengan demikian, penataan kepartaian harus bertumpu pada kaidah-kaidah kedaulatan rakyat, yaitu memberikan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan.

Melalui kebebasan yang bertanggung jawab, segenap warga negara memiliki hak untuk berkumpul dan berserikat guna mewujudkan cita-cita politiknya secara nyata. Kesetaraan merupakan prinsip yang memungkinkan segenap warga negara berpikir dalam kerangka kesederajatan sekalipun kedudukan, fungsi, dan peran masing-masing berbeda. Kebersamaan merupakan wahana untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara sehingga segala bentuk tantangan Iebih mudah dihadapi. Partai politik dapat mengambil peran penting dalam menumbuhkan kebebasan, kesetaraan, dan kebersamaan sebagai upaya untuk membentuk bangsa dan negara yang padu.

Dalam sistem politik yang berlandaskan demokrasi, kebebasan dan kesetaraan tersebut diimplementasikan agar dapat merefleksikan rasa kebersamaan yang menjamin terwujudnya cita-cita kemasyarakatan secara utuh. Disadari bahwa proses menuju kehidupan politik yang memberikan peran kepada partai politik sebagai aset nasional berlangsung berdasarkan prinsip perubahan dan kesinambungan yang makin lama makin menumbuhkan kedewasaan dan tanggung jawab berdemokrasi. Hal ini dapat dicapai melalui. penataan kehidupan kepartaian, di samping adanya sistem dan proses pelaksanaan pemilihan umum secara memadai.

Bahwa keterkaitan antara kehidupan kepartaian yang sehat dan proses penyelenggaraan pemilihan umum akan dapat menciptakan lembaga perwakilan rakyat yang lebih berkualitas. Untuk merancang keterkaitan sistemik antara sistem kepartaian, sistem pemilihan umum dengan sistem konstitusional, seperti tercermin dalam sistem pemerintahan, diperlukan adanya kehidupan kepartaian yang mampu menampung keberagaman. Juga untuk mewujudkan tujuan kemasyarakatan dan kenegaraan yang berwawasan kebangsaan, diperlukan adanya kehidupan dan sistem kepartaian yang sehat dan dewasa, antara lain dibentuknya sistem multipartai.

Sistem multipartai diharapkan akan lebih memudahkan melakukan kerja sama menuju sinergi nasional. Mekanisme ini disamping tidak cenderung menampilkan

� monolitisme, juga akan lebih menumbuhkan suasana demokratis yang memungkinkan partai politik dapat berperan secara optimal. Perwujudan sistem multipartai sederhana dilakukan dengan menetapkan persyaratan kualitatif ataupun kuantitatif, baik dalam pembentukan partai maupun dalam penggabungan partai-partai politik yang ada. Partai politik sebagai peserta pemilihan umum juga mempunyai kesempatan untuk memperjuangkan kepentingan rakyat secara luas, mengisi lembaga-lembaga negara, dan untuk membentuk pemerintahan.

Partai politik melalui pelaksanaan fungsi pendidikan politik, sosialisasi politik, perumusan dan penyaluran kepentingan serta komunikasi politik secara riil akan meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik rnasyarakat, merekatkan berbagai kelompok dan golongan dalam masyarakat, mendukung integrasi dan persatuan nasional, mewujudkan keadilan, menegakkan hukum, menghormati hak asasi manusia, serta menjamin terciptanya stabilitas keamanan.

Karena itu dalam rangka menegakkan aturan dalam undang-undang tersebut diatas, maka diperlukan pengawasan dan sanksi terhadap pelanggaran atas ketentuan undang-undang ini.

II. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON

Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, bahwa Para Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu :

a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara.


Kemudian dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lebih lanjut berdasarkan yurisprudensi Mahkamah Konstitusi RI, pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu

� undang-undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu :

a. adanya hak konstitusional para Pemohon yang diberikan oleh Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional para Pemohon tersebut dianggap oieh Para Pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.


Menurut para Pemohon dalam permohonannya bahwa dengan berlakunya ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, maka hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan, dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E ayat (1), (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), (2), (3) dan ayat (4), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Karena itu, perlu dipertanyakan kepentingan Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang- undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Juga apakah kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.

� Pemerintah beranggapan bahwa Pemohon prinsipal sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menjalankan fungsi dan tugasnya baik sebagai legislator (fungsi legislasi), melakukan kontrol terhadap penyelenggaraan pemerintahan (fungsi control) maupun dalam melaksanakan fungsi penetapan anggaran belanja negara (fungsi budgetting), juga fungsi-fungsi yang lain misalnya yang berkaitan dengan hak angket, hak interpelasi, hak menyatakan pendapat dan hak lainnya berjalan sebagaimana mestinya tidak terganggu dan tanpa terkurangi sedikitpun atas keberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik sehingga tidak terdapat hubungan spesifik (khusus) maupun hubungan sebab akibat (causal verband) antara Pemohon dengan konstitusionalitas keberlakuan undang-undang a quo.

Selain itu Pemohon prinsipal sebagai salah satu dari 500 (lima ratus) anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terpilih periode Tahun 2004�Tahun 2009, dalam proses pemilihan sampai proses pelantikan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menggunakan/berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan jika terjadi pemberhentian (recalling) oleh partai politik (dalam hal ini Partai Amanat Nasional), maka hal tersebut merupakan persoalan intern Pemohon prinsipal dengan partai politik yang bersangkutan. Sehingga menurut Pemerintah permohonan Pemohon tersebut tidak terkait dan/atau berhubungan dengan hak dan/atau kewenangan konstitusional atas keberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai politik.

Karena itu Pemerintah meminta kepada Pemohon melalui Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk membuktikan secara sah terlebih dahulu apakah benar Pemohon sebagai pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan. Pemerintah beranggapan bahwa tidak terdapat

� dan/atau telah timbul kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon atas keberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-undang Nornor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, karena itu kedudukan hukum (legal standing) Pemohon dalam permohonan pengujian ini tidak rnemenuhi persyaratan sebagaimana tercantum pada Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan uraian tersebut, Pemerintah memohon agar Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon ditolak atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard). Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, berikut ini disampaikan argumentasi/penjelasan Pemerintah tentang materi pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.

III. PENJELASAN PEMERINTAH ATAS PERMOHONAN PENGUJIAN UNDANG- UNDANG NOMOR 22 TAHUN 2003 TENTANG SUSUNAN DAN KEDUDUKAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2002 TENTANG PARTAI POLITIK.

Sehubungan dengan anggapan Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan bahwa ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, yang menyatakan sebagai berikut:

Pasal 85 ayat (1) butir c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003:

Ayat (1) Anggota DPR berhenti antar waktu karena:

a. meninggal dunia;


� b. mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; dan c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.




Penjelasannya menyatakan :

Huruf c: "Usul pemberhentian anggota DPR oleh partai politik didasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik";

Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, menyatakan :

Anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan rakyat apabila

a. menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan atau menyatakan menjadi anggota partai politik lain;

b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; atau c. melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang menyebabkan yang bersangkutan diberhentikan.


Ketentuan tersebut yang dicetak tebal diatas oleh Pemohon dianggap bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), (2), (3) dan ayat (4), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut :

Pasal 22E ayat (1) :"Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, urnurn, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali':

Pasal 22E ayat (2) : "Pemilihan umum diselengarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah".

� Pasal 28C ayat (2) : "Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya':

Pasal 28D :

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.


Pasal 28G :

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Pasal 28J :

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.


Sehubungan dengan anggapan Pemohon tersebut, Pemerintah dapat menyampaikan penjelasan sebagai berikut :

Pemohon dalam permohonannya beranggapan bahwa ketentuan yang terdapat dalam ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, yang beranggapan sebagai berikut:

� a. Menyebabkan tidak dapat terlaksananya kewajiban Pemohan untuk melaksanakan aspirasi dan amanat konstituen yang memilih Pemohon dengan baik, dan menyebabkan tidak Iancarnya tugas-tugas, fungsi dan kewajiban Pemohon selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). b. Kriteria berhenti atau pemberhentian yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 hampir keseluruhannya "terukur" dalam pengertian ada mekanisme yang transparan, sedangkan yang diatur dalam Pasal 85 ayat (1) butir c undang-undang a quo, yang diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan (recall) merupakan kriteria yang tidak terukur yang bersifat subyektif dan berpotensi sewenang-wenang, yang pada gilirannya semata- mata dipergunakan sebagai senjata dalam melawan setiap perbedaan pendapat internal partai. Sehingga recall dianggap sebagai hak paksa yang dilaksanakan oleh tirani mayoritas dalam kepartaian tersebut.


c. Konteks berhenti atau pemberhentian yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 yang dihubungkan dengan Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, merupakan ketentuan yang berlebihan (redundent) dan tidak termasuk dalam ranah kekuasaan partai politik, tetapi merupakan kewenangan Badan Kehormatan DPR dan/atau pimpinan DPR.

Terhadap alasan Pemohon tersebut diatas, dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut:

a. Bahwa partai politik merupakan komponen yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pembentukan, pemeliharaan dan pengembangan partai politik pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negara untuk berkumpul dan berserikat serta menyatakan pendapat sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya.

b. Bahwa keberadaan partai politik di Indonesia harus berlandaskan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, dari mulai syarat- syarat pendirian, hak dan kewajiban sampai keanggotaan dan kedaulatan anggota partai politik. Dengan demikian seorang warga negara yang memilih dan bergabung (apalagi menjadi pengurus) dalam partai politik tertentu maka dengan sendirinya secara sukarela menundukkan diri, terikat dan menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai politik yang


� bersangkutan (vide Pasal 10 dan Pasal 11 Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik). c. Bahwa keberadaan partai politik yang baik dan pelaksanaan pemilihan umum yang terlaksana secara Iangsung, bebas, umum, jujur dan adil dapat menciptakan terbentuknya Iembaga-Iembaga negara yang baik dan berkualitas, tidak terkecuali lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang lahir dan terbentuk melalui mekanisme pemilihan umum tersebut. Karena itu setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus memiliki integritas yang baik pula, dan pada gilirannya harus memberikan pertanggungjawaban (akuntabilitas) sampai sejauh mana komitmen dan kinerjanya dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat pemilihnya melalui partai politik yang dijadikan kendaraan politiknya. d. Bahwa setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat walaupun dipilih secara langsung oleh pemilihnya (konstituen) didaerah pemilihnya, tetapi pencalonannya diusulkan oleh partai politik tertentu dan sudah barang tentu calon legislatif (caleg) tersebut menjadi anggota partai politik, dengan kata lain "tanpa partai poiitik mustahil seseorang dapat menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat", selain itu setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat tergabung dalam "Fraksi" yang merupakan representasi dari eksistensi partai politik di lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. e. Bahwa dalam rangka menegakkan otoritas dan integritas partai politik, maka partai politik dapat mengusulkan kepada pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memberhentikan (recall) anggota partai politik yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), karena dianggap melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) partai politik (Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 juncto Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003). f. Bahwa usul pemberhentian anggota partai politik yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak dilakukan secara sewenang-wenang, karena sebelum usul pemberhentian sebagai anggota DPR oleh partai politik yang bersangkutan maupun proses pemberhentian oleh pimpinan DPR, maka yang bersangkutan diberikan hak untuk melakukan pembelaan diri, hal ini dimaksudkan untuk mencegah tirani dan kesewenang-wenangan partai politik dalam me-recall anggotanya dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).


� g. Bahwa lembaga recall tidak dimaksudkan untuk dominasi partai politik yang tanpa batas (tirani partai politik), tetapi harus diletakkan pada kerangka proporsionalitas dan obyektifitas menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga recall bertujuan untuk melakukan pengawasan (control) terhadap anggota partai politik yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, yang pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kinerja, akuntabilitas dan integritas anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu sendiri. Dari uraian tersebut diatas, Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, tidak merugikan hak dan/atau kewenangan konstitusional para Pemohon, dan tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), (2), (3) dan ayat (4), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.



IV. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan dan argumentasi tersebut diatas, Pemerintah memohon kepada yang terhormat Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa dan memutus permohonan pengujian Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut :

1. Menyatakan bahwa Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing);

2. Menolak permohonan pengujian Pemohon (void) seluruhnya atau setidak- tidaknya menyatakan permohonan pengujian Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijke verklaard); 3. Menerima Keterangan Pemerintah secara keseluruhan; 4. Menyatakan: Pasal 85 ayat (1) huruf c



� Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dan

Pasal 12 huruf b

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), (2), (3) dan ayat (4), Pasal 28G ayat (1), dan Pasal 28J ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.


5. Menyatakan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tetap mempunyai kekuatan hukum dan berlaku mengikat diseluruh Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun demikian apabila Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia berpendapat lain, mohon putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Juli 2006 DPR-RI telah memberikan keterangan lisan sebagai berikut:



Kuasa DPR-RI (Nursyahbani Kantjasungkana) memberi keterangannya sesuai dengan risalah rapat terbentuknya Pasal 12 Undang-undang Parpol dan Pasal 85 Undang-undang Susduk sebagai berikut:

-. Bahwa pada saat pembahasan situasi para anggota DPR diliputi kegelisahan, karena ada kasus seorang anggota Parpol diberhentikan, akan tetapi tidak bisa di recall waktu itu;

-. Bahwa sementara tuntutan masyarakat untuk mempunyai anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD yang akuntabel terhadap rakyat;.

-. Bahwa Anggota Dewan yang dianggap kurang berkomitmen atau melanggar Konstitusi, anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari masing-masing anggota Parpol dan harus melalui proses pemeriksaan dan verifikasi tentang dugaan pelanggaran atau kewajiban yang dibebankan anggota partai tersebut, secara umum partai-partai memiliki Badan Kehormatan. Ini menunjukkan bahwa penghentian sebagai anggota Parpol yang menyebabkan recall sebagaimana

� diatur oleh undang-undang atau pergantian waktu, itu tidak bisa dilakukan sewenang-wenang dan tentunya harus memalui koridor undang-undang;

-. Bahwa berdasarkan Pasal 22E ayat (3) UUD pertama kali Parpol masuk di dalam Konstitusi;

-. Bahwa DPR berpendapat Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-undang Susduk dan Pasal 12 huruf b Undang-undang Parpol tidak bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) dan Pasal 28 UUD Tahun 1945.

Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Juli 2006 telah didengar keterangan ahli dari Pemohon (Prof. Harun Al-Rasyid) yang memberi keterangan dibawah sumpah, yang kemudian diperkuat dengan keterangan tertulis ahli dari Pemohon, sebagai berikut:

1. Dalam literatur hukum, yang ada memberikan definisi tentang hak recall ialah J.J.A. Thamassen (red.), Democratie, Theorie en Praktijk (Alpisen aan den Rijn, Brussel, Samson Uitgeverij, 1981), hal. 156, yang berbunyi sebagai berikut: "Recall recht: het recht van een politieke partij em een via haar kandidatenli. jst gekozen parlementslid terug te reepen". Terjemahannya: "Hak recall ialah hak suatu partai politik untuk menarik kembali anggota parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukannya�.


2. Dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, hak recall disebut "hak mengganti", sebagaimana tercantum dalam Pasal 43, ayat (1), yang bunyinya: "Hak mengganti Utusan Wakil Organisasi peserta Pemilihan Umum dalam Badan Per- musyawaratan/Perwakilan Rakyat ada pada Organisasi peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan, dan dalam pelaksanaan hak tersebut terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang bersangkutan". 3. Dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 (yang menggantikan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1969), hak mengganti yang dimiiliki oleh Organisasi peserta Pemilu sudah tidak diakui lagi; 4. Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 (yang menggantikan Undang- undang Nomor 4 Tahun 1999), penggantian antar waktu dimungkinkan lagi, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1), huruf c (diusulkan oleh partai politik


� yang bersangkutan), berdasarkan alasan yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, Pasal 12. Ada 3 kemungkinan: a. menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan. atau menyatakan menjadi anggota partai politik lain. b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan. karena melanggar AD dan ART. c. melakukan pelanggaran peraturan perundang-undangan yang menyebabkan yang bersangkutan diberhentikan. 5. Perlu dicamkan Pasal 18 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 yang bunyinya: "Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. 6. Bung Hatta pernah mengeritik hak recall dan meminta agar DPR mencabutnya. Beliau juga menyesalkan para ahli hukum yang diam saja pada waktu hak recall diproses di DPR (lihat Harian Kompas, 1 Maret 1973). Menimbang bahwa pada persidangan tanggal 13 Juli 2006 telah didengar pula keterangan ahli dari Pemohon (Prof. Dr. Mahfud,MD.,S.H., M.Si) yang memberi keterangan dibawah sumpah, sebagai berikut:



Ahli dari Pemohon memberi keterangan sesuai keahlian terutama hukum tata Negara, khususnya di dalam bidang politik hukum, memberikan latar belakang pemahaman yaitu:

1. Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu Pasal 22B itu menyebutkan bahwa masalah pemberhentian anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu diatur oleh undang-undang. Sementara itu Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menyebutkan jenis- jenis ukuran tentang apa yang menjadi alasan orang diberhentikan atau tidak, tetapi menyerahkan kepada undang-undang. Karena sifatnya terbuka yaitu menyerahkan kepada undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi hanya bisa memutus bertentangan atau tidak dengan perintah UUD. Masalah yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah konflik antara undang-undang dengan UUD tetapi konflik AD/ART barangkali terhadap undang-undang, dan menurut ahli tidak ada hak-hak konstitusional yang secara langsung .

2. Bahwa latar belakang politik hukumnya, memang dulu recall itu pernah dipersoalkan dan dijadikan alat untuk membungkam orang-orang, tetapi sesudah

� recall ditiadakan, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bisa di recall.

Soal recall dimasukkan lagi, pengaturannya di dalam undang-undang bukan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu kalau kaitannya dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ahli belum melihat adanya pertentangan hak-hak Pemohon telah dilanggar.

3. Bahwa tidak ada hak-hak konstitusional Pemohon secara langsung dirugikan dalam rangka pengujian konstitusi, tetapi kalau di dalam latar belakang bisa, sebab latar belakang bukan hukum itu hanya bahan hukum.

Menimbang, bahwa pada persidangan tanggal 17 Juli 2006 Pemohon didampingi Kuasa Hukum baru yang tergabung dalam �Law Firm� Eggi Sudjana & Partners dengan Surat Kuasa tanggal 8 Mei 2006 dan Advokat yang tergabung dalam �Tim Pembela Desa Mazlum� dengan Surat Kuasa tanggal 17 Juli 2006, disamping itu telah di dengar pula keterangan dibawah sumpah 2 (dua) keterangan ahli dari Pemohon dan 1 (satu) saksi dari Pemohon sebagai berikut:

Keterangan ahli dari Pemohon:

(Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D)

-. Bahwa secara umum definisinya recall adalah mekanisme untuk memberhentikan anggota parlemen sebelum habis masa jabatannya,

-. Di masa reformasi recall partai tidak ada, sekarang recall muncul lagi. Zaman Orde Baru masalah di-recall oleh partai politik, walaupun peraturan pemerintahnya, tidak menjabarkan tentang recall, yang dijabarkan adalah pemberhentian karena meninggal, pemberhentian karena mengundurkan diri, dan seterusnya.

-. Bahwa di manca negara (Australia, Amerika) istilah recall relatif tidak diketemukan. Di Amerika Serikat ada, tetapi perspektifnya berbeda dengan yang ada di Indonesia. Kalau recall election tidak hanya untuk legislatif. tetapi siap saja yang menerima mandat sebagai pejabat negara, melalui pemilu bisa di- recall, karena mekanismenya melalui penarikan mandat pemilu. Bahasa yang digunakan bukan recall tetapi diskualifikasi, Diskualifikasi pejabat negara tidak hanya legislatif, tapi ada dua yaitu misbehavior karena perilaku, dan incapasity karena kapasitas fisik dan mental. Kapasitas fisik dan mental itu diberhentikan

� dengan hormat, tetapi kalau misbehavior ini diskualifikasi karena kejahatan, karena penghinaan terhadap negara dan sejenisnya, ini diberhentikan dengan tidak hormat. Ahli membandingkan 4 (empat) negara yaitu Australia, Amerika Serikat, India dan Fiji.

Di Australia, Pasal 44 UUDnya menegaskan bahwa anggota parlemen didiskualifikasi jika menjadi warga negara asing; tersangkut kasus korupsi atau kejahatan lain dengan ancaman hukuman satu tahun penjara; bangkrut; mempunyai/merangkap jabatan lain (posisi) - khususnya dibidang pemerintahan - yang mendatangkan profit (keuntungan). Mekanisme diskualifikasi dilaksanakan melalui Putusan Mahkamah Agung Australia yang bertindak sebagai The Court of Disputed Return.

Menurut konstitusi Amerika Serikat, anggota Kongres dapat diberhentikan sebelum masa jabatannya karena �disorderly Behavior�. Pemberhentian dilakukan melalui pemungutan suara dua pertiga anggota House atau Senate. Menurut Jack Maskel mekanisme yang tersedia adalah �Removal� bukan �Recall. Jack Maskel lebih jauh mengatakan recall tidak diadopsi dalam Konstitusi Amerika. Pada saat pembuatan recall sempat diperdebatkan, namun pada akhirnya tidak diadopsi dalam rancangan final konstitusi. Karenanya tidak ada satu anngota Kongres pun yang pernah di-Recall. Berbeda dengan recall yang tidak pernah menimpa anggota Konggres, ada 15 orang senator yang telah dipecat mayoritas karena ketidaksetiaan terhadap negara. Sedangkan di House of Representatives ada 5 orang yang dipecat karena penghianatan dan penyuapan.

Di Fiji secara umum pemberhentiannya sama, karena meninggal karena mengundurkan diri dan seterusnya, tapi ada satu ketentuan karena menyimpang dari garis partai negara Fiji. Pasal 71 UUDnya yang diamandemen Tahun 1997 mengatur anggota House of Representatives didiskualifikasi karena beberapa hal yang umum, dan yang agak menyimpang karena ditarik oleh partai politik yang mengusulkan.

Di India, Pasal 102 konstitusi India mengatur diskualifikasi yang pada prisipnya sama dengan negara lain (rangkap jabatan, sakit jiwa, bangkrut, bukan warga negera India). Di Tahun 1985 ditambahkan ayat (2) kepada Pasal 102 yang dikenal dengan The Tenth Schedule, atau disebut pula dokumen

� Disqualification on the Ground of Defection. Didalamnya diatur bahwa seorang anggota parlemen dapat didiskualifikasi jika tidak disiplin kepada partainya.

Setelah melihat berbagai aspek istilah recall harus diklarifikasi, di AS recall dibedakan dengan removal, di banyak negara tidak dikenal istilah recall tetapi dikenal istilah discualification. Di Indonesia istilah recall sering dicampur adukkan dengan pengantian antarwaktu, pokoknya kalau ada PAW berarti ada recall. Recall diartikan sebagai penarikan mandat anggota parlemen seharusnya oleh rakyat. Mekanisme recall diluar rakyat sewajibnya dihindari karena akan menimbulkan oligarki kepartaian.

-. Bahwa permohonan pasal per pasal bertentangan dengan hak dasar berpolitik, hak dasar berekspresi. Sebagai contoh pindah partai bisa di-recall, dan bisa dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar dan pasal-pasal di dalam Undang-Undang Dasar. Ahli tidak setuju dengan recall, itu recall partai politik dan ini memang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

-. Bahwa berkait dengan sistem Pemilu dengan recall, memang punya problematik dalam undang-undang. Undang-Undang Dasar tidak menyebutkan apa sistem Pemilunya dan ini dijadikan pintu pembuka bagi elit-elit partai untuk bermain- main dengan sistem Pemilu.

-. Bahwa Pasal 85 ayat (1) ini digabung dengan meninggal dunia dan mengundurkan diri, tidak punya kapasitas untuk bertindak, tidak punya kemampuan untuk melakukan kerja, kemudian keluar dari partai, dianggap tidak mempunyai kemampuan bertindak, menurut ahli tidak, Ini adalah hak seorang berpolitik berbeda pendapat dengan partainya, dia tidak mempunyai kontrak politik dengan partai. Kalau dia punya kontrak politik berbeda pendapat, mengundurkan diri misalnya, itu dari etika dia dengan partai, tapi kalau dia tidak punya itu, kemudian dia berbeda pendapat dan, kemudian berpihak kepada rakyat, mengapa itu harus menjadi alasan recall Jadi menurut Ahli ini bukan impossibility of performance tapi ini bentuk sistem yang tidak demokratis dilakukan oleh Undang-undang Susduk kepada partai politik.

-. Bahwa mekanisme Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tidak memberikan recall Parpol, dan tidak memberikan recall pada rakyat tapi diberikan kesempatan untuk pemilu selanjutnya. Menurut Ahli itu lebih baik dari pada ada Parpol, biarkan rakyat me-recall di pemilu selanjutnya.

� Keterangan ahli dari Pemohon

(Drs. Arbi Sanit)

Ahli menyampaikan keterangannya dari sisi politik tentang ketatanegaraan, sebagai berikut:.

-. Bahwa kesimpulan dasar hak recall atas anggota DPR ini menunjukkan kemunduran ke masa lalu, ke masa otoritarian, sebab hak recall di dalam sejarah Indonesia dilakukan oleh rezim Presiden Soekarno, Demokrasi Terpimpin. dan Demokrasi Pancasila.

-. Bahwa di awal reformasi, hak recall dihilangkan di Tahun 1999. Tapi sekarang dihidupkan kembali oleh para partai politik. Jadi partai politik sekarang terjebak kembali oleh masa lalu yang memungkinkan partai amat berkuasa, baik terhadap rakyat maupun terhadap warganya sendiri.

-. Bahwa recall pada dasarnya adalah bagian dari proses demokrasi langsung. Dalam demokrasi perwakilan di zaman modern, ada dua bentuk recall, recall dalam sistem parlementer dan recall dalam sistem presidentil.

-. Bahwa recall dalam sistem parlementer berlaku di negara-negara Eropa Barat, tapi recall dalam sistem presidentil seperti di Amerika Serikat dilakukan oleh rakyat, rakyatnya yang me-recall bukan partainya yang me-recall. Di sini kelihatan bahwa, sekarang elit-elit partai kita tampaknya lebih cenderung menggunakan recall ini di dalam parlemen, sehingga mempunyai kekuatan. Kekuatan organisasi partai, disiplin partai, dan kemudian kekuatan parlemen untuk melakukan lawan politik internal, persaingan politik di dalam partai itu sendiri.

-. Bahwa sistem partai yang multipartai, tidak menghasilkan kekuatan demokrasi, sehingga demokrasinya tidak bisa menghasilkan sesuatu dan tidak berfaedah.

-. Bahwa kalau hak recall dikaitkan dengan partai, tentu partai yang bersifat oligarki dan pasti hak recall akan keluar, tapi kalau partainya bersifat demokrasi, elitenya demokratik, tidak mungkin pakai hak recall karena pilihan rakyat, bukan pilihan partai, tidak akan ada anggota DPR dari partai itu karena rakyat tidak memilih.

Keterangan saksi dari Pemohon

(Dr. Ir Sri Bintang Pamungkas)

-. Bahwa saksi sebagai seorang yang pernah mengalami di-recall dan sebagai pengamat Politik;

� -. Bahwa sejak kampanye pemilu, saksi menyampaikan kritik-kritik kepada pemerintah dan sebagai akibatnya diberi kartu merah, di Sumatera Selatan, di Jawa Barat, dan Jawa Tengah;

-. Bahwa pada tanggal 29 Mei 1992 saksi menyatakan bahwa PPP mempunyai calon presidennya (calon tunggal), dan partai menganggap saksi agak terlampau jauh. Apalagi saksi menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat menolak pertanggungjawabannya kepada Presiden Soeharto pada tahun 1993 dan menolak Presiden yang harus disetujui oleh setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat.

-. Bahwa saksi sudah diperingatkan oleh beberapa partai, dipanggil, diancam untuk di recall. Dan tanggal tanggal 27 saksi membaca di Koran tanpa dipanggil, tanpa diberi hak untuk berbicara atau untuk membela diri, saksi sudah di-recall.

-. Bahwa ketika saksi di-recall, maka muncullah pemikiran-pemikiran reformasi, dan saksi salah satu yang ikut berbicara mengenai konsep-konsep reformasi.

-. Bahwa dulu Presiden masih ditakuti oleh partai. Partai adalah kepanjangan tangan daripada Presiden, tetapi sekarang tidak. Sekarang partai sangat berkuasa, lebih berkuasa daripada rakyat, pemilih.

-. Bahwa saksi tidak menandatangani suatu kontrak dengan partai bahkan sebaliknya menuntut kepada partai pada waktu dicalonkan, apakah partai telah sungguh-sungguh mencalonkannya dengan segala resiko. Tapi ternyata dalam peristiwa Jerman saksi tidak dilindungi dan bahkan di-recall.

Menimbang, bahwa pada hari Senin tanggal 31 Juli 2006 Kepaniteraan Mahkamah telah menerima Kesimpulan Tertulis dari Kuasa Pemohon yang isinya ditunjuk dalam berkas perkara;

Menimbang bahwa pada hari Senin tanggal 4 September 2006 Kepaniteraan Mahkamah telah menerima Keterangan Tertulis Dewan Perwakilan Rakyat yang isinya ditunjuk dalam berkas perkara;

Menimbang bahwa untuk mempersingkat putusan ini, maka segala sesuatu yang terjadi dipersidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini.

PERTIMBANGAN HUKUM

� Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan Pemohon adalah sebagaimana telah diuraikan tersebut di atas;

Menimbang bahwa ada 3 (tiga) hal yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah), yakni:

1. Kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan yang diajukan oleh Pemohon, 2. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo, 3. Pokok permohonan mengenai konstitusionalitas undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon; Menimbang bahwa tentang ketiga hal tersebut di atas, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:



1. Kewenangan Mahkamah

Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Mahkamah antara lain berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Ketentuan tersebut dimuat kembali dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316, selanjutnya disebut UUMK) dan Pasal 12 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358, selanjutnya disebut UUKK);

Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4310, yang selanjutnya disebut UU Susduk), dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara

� Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4251, yang selanjutnya disebut UU Parpol), sehingga permohonan a quo merupakan kewenangan Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian undang-undang a quo terhadap UUD;

2. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) UUMK menentukan bahwa Pemohon dalam pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang, yaitu:

a. perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Menimbang bahwa Pemohon adalah sebagai perorangan warga Negara Indonesia yang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mempunyai kepentingan terkait dengan permohonan pengujian undang-undang a quo, sehingga Pemohon memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a UUMK;

Menimbang bahwa sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, Mahkamah telah menentukan 5 (lima) syarat kerugian konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UUMK, sebagai berikut:


a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;


� d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; Menimbang bahwa Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang pada waktu permohonan diajukan masih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dari Fraksi Partai Amanat Nasional yang dipilih melalui proses pemilihan umum tahun 2004 (Bukti P-3), dan selama proses persidangan Mahkamah untuk melakukan pemeriksaan permohonan a quo berlangsung, Pemohon telah diberhentikan sebagai anggota DPR berdasarkan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk (Bukti P-12);

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pemberhentian tersebut melanggar hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan ayat (2) UUD 1945;

Menimbang bahwa di samping Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, Pemohon juga mengajukan pengujian Pasal 12 huruf b UU Parpol sebagai bertentangan dengan hak-hak konstitusional Pemohon sebagaimana dijamin oleh Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945;

Menimbang bahwa berkenaan dengan legal standing dari Pemohon tersebut Mahkamah berpendapat:


a. Pemohon memenuhi kualifikasi sebagai perorangan warga negara Indonesia, b. Pemohon telah mendalilkan adanya hak-hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 yang dirugikan oleh UU Susduk dan UU Parpol, dan ternyata bahwa Pemohon telah diberhentikan keanggotaannya berdasarkan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol.


Oleh karena itu Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon telah memenuhi ketentuan tentang syarat legal standing untuk mengajukan permohonan a quo.

3. Pokok Permohonan

� Menimbang bahwa Pemohon dalam pokok permohonannya mendalilkan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon yang dijamin oleh UUD 1945. Adapun bunyi kedua pasal tersebut adalah:

1) Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, �Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:

a. �; b. �; c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan.�


2) Pasal 12 huruf b UU Parpol, �Anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan rakyat apabila:

a. � b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; atau c. ��; Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, dan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan hak konstitusional Pemohon yang terdapat dalam UUD 1945 yaitu:



1) Pasal 22E ayat (1) yang berbunyi, �Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia , jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.� 2) Pasal 22E ayat (2) yang berbunyi, �Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.� 3) Pasal 28C ayat (2) yang berbunyi, �Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.� 4) Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi, �Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.� 5) Pasal 28D ayat (2) yang berbunyi, �Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja�;


� Menimbang bahwa di samping ketentuan-ketentuan tersebut di atas, Pemohon juga menjadikan dasar permohonannya pada Pasal 27 ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang masing-masing berbunyi:


1) Pasal 27 ayat (1) berbunyi, �Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya�. 2) Pasal 28I ayat (2) berbunyi, �Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif �; Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pula dalam permohonannya dasar-dasar yang bersifat anti diskriminasi yang terdapat dalam Article 21 Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan:


(1) Everyone has the right to take part in the government of his country, directly or through freely chosen representatives; (2) Everyone has the right of equal acces to public service in his country; (3) The will of people shall be the basis of authority of government; this will shall be expressed in periodic and genuine elections which shall be universal and equal suffrage and shall be held by secret vote by equivalent free voting procedure; Menimbang, pada intinya Pemohon mendalilkan bahwa pemberhentian oleh partai politik atas keanggotaan di DPR yang telah dipilih melalui pemilihan umum, adalah bertentangan dengan hak-hak konstitusional seseorang yang dijamin oleh ketentuan-ketentuan UUD dan bertentangan pula dengan Universal Declaration of Human Rights sebagaimana disebutkan di atas. Hak pemberhentian oleh partai politik atas keanggotaan seseorang di DPR tersebut dikenal secara umum sebagai hak recall. Pemohon berpendapat bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk juncto Pasal 12 huruf b UU Parpol berpotensi bagi setiap anggota DPR untuk secara subjektif dan sewenang-wenang diberhentikan dari kedudukannya oleh partainya (recall), dan hal tersebut telah dialami oleh Pemohon, sehingga Pemohon tidak dapat melaksanakan kewajibannya menyalurkan aspirasi dan amanat konstituen dengan baik dan menyebabkan tidak lancarnya tugas-tugas dan fungsi Pemohon selaku anggota DPR;

Menimbang bahwa untuk mendukung dalil-dalilnya Pemohon mengajukan 4 (empat) orang ahli yaitu:



� 1. Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H., 2. Drs. Arbi Sanit, 3. Prof. Dr. Mahfud M.D., S.H., M.Si., 4. Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D.,


dan seorang saksi yaitu Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas.

1. Pendapat ahli Prof. Dr. Harun Alrasid, S.H. Dalam keterangannya secara lisan dan tertulis, yang selengkapnya telah dimuat di dalam duduk perkara di atas, dinyatakan bahwa terdapat ketentuan dalam Pasal 18 UU Susduk bahwa, masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Di samping itu juga disampaikan pendapat Bung Hatta, sebagaimana dimuat dalam Harian Kompas 1 Maret 1973, yang pernah mengeritik hak recall dan meminta agar DPR mencabut hak recall tersebut, serta menyesalkan para ahli hukum yang diam saja pada waktu recall diproses di DPR;


2. Pendapat ahli Drs. Arbi Sanit Ahli menyampaikan pendapat berdasarkan keahliannya di persidangan dan secara tertulis yang secara lengkap telah diuraikan dalam duduk perkara. Dalam kaitannya dengan hak recall ahli menyatakan bahwa hak recall sangat terkait dengan sistem kekuasaan otoritarianisme atau rejim otoriter. Dalam sistem politik demokrasi konstitusional kekuasaan partai me-recall anggota parlemen dari fraksinya tidak ditemukan. Di samping itu ahli juga menguraikan sejarah hak recall di Indonesia. Pada masa reformasi hak recall telah ditiadakan dan kemudian dihidupkan kembali dengan adanya UU Susduk yaitu melalui Pasal 85 ayat (1) huruf c. Dalam kaitannya dengan hak recall sesudah amandemen UUD ahli perbendapat bahwa perspektif ilmu politik dan pemerintahan menunjukkan irrelevansi hak recall dengan proses demokrasi yang dilangsungkan secara reformatif. Di era sesudah amandemen UUD ini, merupakan keharusan untuk meniadakan penggunaan hak recall oleh partai politik di DPR. Tetapi karena komplikasinya yang luas, maka realisasinya secara komprehensif memerlukan perubahan UUD untuk memastikan berlakunya sistem checks and balances kekuasaan negara secara horisontal;


3. Pendapat ahli Prof. Dr. Mahfud M.D. , S.H. , M.Si.


� Dalam keterangan ahli, yang selengkapnya dimuat dalam duduk perkara, menyatakan bahwa sesuai dengan keahliannya (politik hukum), Pasal 22B UUD 1945 menyatakan bahwa pemberhentian anggota DPR diatur oleh undang- undang. Sementara itu, UUD 1945 tidak menyebutkan jenis-jenis ukuran apa yang menjadi alasan untuk diberhentikan tetapi menyerahkan kepada undang- undang. Karena sifatnya terbuka yaitu menyerahkan kepada undang-undang, maka Mahkamah Konstitusi hanya dapat memutus apakah undang-undang itu bertentangan atau tidak dengan perintah UUD 1945. Masalah yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah konflik antara undang-undang dengan UUD 1945 tetapi konflik Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (selanjutnya disebut AD/ART) barangkali terhadap undang-undang, dan menurut ahli tidak ada hak- hak konstitusional yang secara langsung;


4. Pendapat ahli Denny Indrayana, S.H., LL.M., Ph.D. Ahli menyampaikan pendapatnya dalam persidangan serta pendapat tertulis sebagaimana telah dimuat secara lengkap dalam duduk perkara. Sebelum menyampaikan pendapatnya, ahli menguraikan sejarah dan perkembangan hak recall dalam ketentuan perundang-undangan di Indonesia. Dalam studi perbandingannya dengan negara lain ahli menemukan bahwa terdapat negara yang mengenal recall, namun tidak hanya ditujukan kepada anggota parlemen saja tetapi juga pejabat publik lainnya. Alasan untuk dilakukan recall karena incapacity dan misbehavior. Di samping recall yang dapat dilakukan oleh partai politik atau oleh pemilih terdapat juga pemberhentian dengan proses �removal� yaitu mekanisme pemberhentian yang dilakukan oleh parlemen sendiri. Selain itu juga ditemukan mekanisme pemberhentian karena proses diskualifikasi dengan dasar-dasar alasan tertentu. Ahli berpendapat bahwa di Indonesia recall dicampuradukkan dengan Penggantian Antar Waktu (PAW). PAW lebih luas dari recall mencakup semua mekanisme penggantian anggota parlemen sebelum habis masa jabatannya. Recall hanya salah satu saja dari mekanisme PAW. Mekanisme PAW bisa beraneka ragam, melalui putusan di lembaga parlemen sendiri, melalui putusan di Mahkamah Agung (misalnya Australia), khusus untuk recall mekanisme yang tepat adalah melalui petisi oleh pemilih. Ahli berpendapat bahwa mekanisme recall di luar rakyat sewajibnya dihindari, karena akan menumbuhkan sistem keterwakilan yang tidak jelas. Jika yang melakukan recall adalah partai, maka dibangun loyalitas kepada partai dan bukan kepada rakyat.



� Lebih lanjut dinyatakan oleh ahli berdasarkan konsep constitutional importance dan constitutional morality dominasi partai dalam sistem recall semakin wajib ditolak karena akan menghadirkan konfigurasi politik yang cenderung corrupt;



Keterangan saksi Dr. Ir. Sri Bintang Pamungkas

Keterangan kesaksian secara lisan dan tertulis dari saksi telah diuraikan secara lengkap dalam duduk perkara. Sebagai seorang yang pernah mengalami di-recall dari keanggotaan DPR, saksi menjelaskan latar belakang pe-recall-an terhadap dirinya. Di samping menyampaikan hal-hal yang berkenaan dengan kesaksiannya, saksi juga menyampaikan pendapat-pendapat pribadinya tentang hak recall, demokratisasi, reformasi, partai politik, serta perubahan Undang-Undang Dasar;

Keterangan Dewan Perwakilan Rakyat

Menimbang bahwa DPR melalui kuasa hukumnya di samping menyampaikan keterangan dalam persidangan juga menyampaikan keterangan tertulis yang secara lengkap telah diuraikan dalam duduk perkara. Pemberhentian anggota partai politik dari keanggotaan DPR apabila anggota tersebut menyatakan mengundurkan diri atau diberhentikan dari keanggotaan partai politik apabila yang bersangkutan melanggar ketentuan AD/ART dimaksudkan untuk menegakkan otoritas partai politik yang bersangkutan. Tujuan diaturnya recall oleh usulan partai politik tidak didasarkan untuk dominasi partai politik yang berlebihan dan tanpa batas, tetapi harus tetap diletakkan pada kerangka objektifitas dan undang-undang. Hak recall tidak hanya dimiliki oleh partai politik, tetapi oleh pengawasan yang mengakibatkan recall dilakukan lebih komprehensif, secara internal oleh partai politik dan eksternal oleh konstituen, yang pada gilirannya diharapkan dapat lebih meningkatkan kinerja, akuntabilitas, dan integritas wakil-wakil rakyat;

Keterangan Pemerintah

Menimbang bahwa Pemerintah dalam keterangannya, baik secara lisan dan tertulis yang selengkapnya termuat dalam duduk perkara, menyatakan bahwa partai politik merupakan komponen yang sangat penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang pada dasarnya merupakan salah satu pencerminan hak warga negera untuk berkumpul, berserikat, dan menyatakan pendapat. Seorang warga negara yang memilih dan bergabung dalam partai politik tertentu maka dengan sendirinya secara sukarela menundukkan diri, terikat, dan menyetujui AD/ART partai politik yang bersangkutan. Setiap anggota DPR yang mewakili partai

� politik harus memiliki integritas yang baik pula, dan pada gilirannya harus memberikan pertanggungjawaban (akuntabiltas) sampai sejauh mana komitmen dan kinerjanya. Anggota DPR diusulkan oleh partai tertentu, dengan demikian merupakan representasi partai politik di DPR. Dalam rangka menegakkan otoritas dan integritas partai politik, maka partai politik dapat mengusulkan kepada Pimpinan DPR untuk memberhentitikan (recall) anggota partai poltik yang menjadi anggota DPR, karena dianggap melanggar AD/ART. Lembaga recall bertujuan untuk melaksanakan pengawasan (kontrol) terhadap anggota partai politik yang menjadi anggota DPR dan hak recall tidak bertentangan dengan UUD;

Menimbang bahwa setelah memperhatikan hal-hal sebagaimana tersebut di atas, Mahkamah sebelum mempertimbangkan lebih jauh tentang pokok permohonan a quo, perlu terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut;

Menimbang bahwa demokrasi akan dapat berlangsung dengan baik jika kebebasan dan persamaan antara warga negara terjamin. Yang paling mendasar di antara sejumlah kebebasan yang perlu dijamin itu adalah kebebasan mengemukakan pendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat. Kedua kebebasan itu saling tergantung dan tidak dapat dipisahkan. Kebebasan menyatakan pendapat akan lumpuh jika tidak ada jaminan bagi setiap orang untuk berkumpul dan berserikat. Sebaliknya kebebasan berkumpul dan berserikat tidak akan bermakna jika kebebasan menyatakan pendapat tidak dijamin;

Kebebasan menyatakan pendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat telah dijamin baik dalam konstitusi negara-negara demokratis di dunia, maupun dalam berbagai instrumen hukum internasional. Partai politik merupakan salah satu bentuk organisasi sebagai wahana pelaksanaan kebebasan mengeluarkan pendapat serta hak berkumpul dan berserikat. Dalam negara demokrasi partai politik berperan (berfungsi), antara lain, sebagai sarana penghubung timbal balik antara pemerintah dan rakyat, sebagai pelaku utama dalam memadukan (mengagregasikan) berbagai kepentingan, sebagai garda terdepan dalam melakukan perubahan mendasar dalam negara, sebagai tempat merekrut calon-calon pemimpin politik, sebagai sarana pendidikan politik, dan lembaga yang memobilisasi pemilih agar ikut dalam pemilihan umum dan menentukan pilihannya. Oleh karena perannya yang sangat besar dalam sistem

� politik, maka keberadaan partai politik sebagai infrastruktur politik merupakan keniscayaan dalam negara yang demokratis, sehingga harus terus diberdayakan (empowering) agar mampu menjalankan peran dan fungsinya dengan baik;

Menimbang bahwa keinginan untuk memberdayakan partai politik telah tercermin dalam Perubahan UUD 1945 dengan dicantumkannya berbagai ketentuan yang berkaitan dengan partai politik, antara lain, dalam Pasal 6A ayat (2), Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 22E ayat (3). Salah satu upaya dalam rangka memberdayakan partai politik adalah dengan memberikan hak atau kewenangan kepada partai politik untuk menjatuhkan tindakan dalam menegakkan disiplin terhadap para anggotanya, agar anggota bersikap dan bertindak tidak menyimpang, apalagi bertentangan dengan AD/ART, serta kebijaksanaan, dan program kerja yang digariskan oleh partai politik yang bersangkutan. Hal ini adalah konsekuensi logis dari seseorang yang menjadi anggota suatu organisasi, dalam hal ini organisasi partai politik. Penegakan disiplin partai sangat menentukan dalam mewujudkan program kerja partai yang telah ditawarkan oleh partai politik tersebut dalam kampanye pemilihan umum. Selain itu, disiplin partai juga sangat diperlukan dalam membangun dan memantapkan tradisi partai;

Jika partai politik tidak diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi (tindakan) terhadap anggotanya yang menyimpang dari AD/ART dan kebijaksanaan partai, maka anggota partai bebas untuk berbuat semena-mena. Misalnya, setelah anggota tersebut terpilih menjadi anggota legislatif, maka ia akan menjadi �kader loncat pagar� atau �kader kutu loncat� dengan berpindah atau bergabung ke partai lain atau bahkan membentuk partai baru tanpa perlu merasa takut akan risiko adanya sanksi pemberhentian dari keanggotaan partai politik yang diikuti dengan pengusulan oleh partai politik tersebut untuk diadakan penggantian antarwaktu (PAW). Padahal, partai politiklah yang mengantarkannya menjadi anggota badan legislatif. Lazimnya, �kader loncat pagar� seperti itu berkilah bahwa setelah menjadi anggota badan perwakilan rakyat, ia merasa mewakili rakyat secara langsung bukan lagi mewakili partai politik. Dengan demikian, menurutnya, kewajiban untuk memperjuangkan kebijaksanaan dan program partai politik berakhir setelah ia menjadi anggota badan perwakilan rakyat digantikan dengan kewajiban mewakili kepentingan rakyat;

Mahkamah berpendapat, adalah tidak tepat mempertentangkan antara kebijaksanaan dan program kerja partai politik dengan kepentingan rakyat, sebab

� kebijaksanaan dan program kerja partai politik itu sejatinya adalah pemaduan (agregasi) yang dilakukan oleh partai politik dari berbagai kepentingan rakyat yang beragam. Sebagai infrastruktur politik, partai politik berfungsi memperjuangkan kepentingan rakyat yang telah diagregasikan itu. Adapun jika terjadi perbedaan kebijaksanaan di antara partai politik satu sama lain dalam menentukan platform, hal itu disebabkan karena adanya perbedaan yang didasari ideologi yang dianut oleh partai politik masing-masing, atau perbedaan dalam meletakkan titik berat dari kepentingan yang diperjuangkan oleh partai politik masing-masing dan hal yang demikian wajar dalam alam demokrasi. Kebijaksanaan dan program kerja partai politik yang telah ditawarkannya dalam kampanye menjelang Pemilu wajib dilaksanakan oleh partai politik melalui anggota badan perwakilan rakyat yang terpilih melalui pencalonan partai. Jika anggota terpilih kemudian menyimpang dari kebijaksanaan partai politik, adalah wajar dan proporsional jika partai politik itu memberhentikannya dari keanggotaan partai yang diikuti dengan pengusulan PAW, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c dan Penjelasannya UU Susduk juncto Pasal 12 huruf b UU Parpol. Partai politik harus dilindungi dari ulah kader- kadernya yang menyimpang dari platform yang telah disetujui dan tidak disiplin. Disiplin partai harus ditegakkan untuk menciptakan kekompakan (cohesiveness) di dalam partai, sehingga partai dapat menjalankan fungsi dan membangun tradisinya dengan baik. Disiplin partai, termasuk tindakan yang diperlukan, wajib dipahami, dihormati, dan ditegakkan oleh seluruh anggota partai. Sebab, walaupun pada awalnya partai itu dibentuk berdasarkan konsensus antara individu (anggota) sehingga tampak seolah-olah sebagai hubungan hukum privat, tetapi partai politik sebagai infrastruktur politik berfungsi di dalam hubungan hukum publik (ketatanegaraan). Masuknya seseorang menjadi anggota partai politik merupakan suatu pilihan sukarela dari tawaran yang bersifat umum dari partai politik kepada masyarakat. Dengan demikian, ketika seseorang menjadi anggota partai politik, berarti ia secara sukarela (vrijiwillige) telah bersedia mematuhi segala aturan dan kebijaksanaan partai politik tersebut, termasuk kesukarelaan untuk menerima sanksi jika suatu saat tindakannya bertentangan dengan aturan dan kebijaksanaan yang telah digariskan oleh partai politik tersebut sebagaimana telah disebutkan di atas;

Menimbang bahwa, sebagaimana telah diuraikan di atas, partai politik harus dilindungi dari perilaku pragmatis kader partai yang hanya menggunakan partai politik sekadar sebagai kendaraan (vehicle) atau batu loncatan untuk

� menjadi anggota badan legislatif, yang dikemas dalam retorika �memperjuangkan aspirasi rakyat, bukan lagi aspirasi partai politik yang mencalonkannya�. Sebaliknya, anggota yang telah terpilih sebagai anggota badan legislatif harus dilindungi pula dari kesewenang-wenangan (pengurus) partai politik yang dapat menjatuhkan sanksi kepada anggotanya hanya atas dasar suka atau tidak suka (like or dislike) yang dikemas dalam retorika �berbuat menyimpang dari peraturan dan kebijaksanaan, yang telah digariskan partai�. Untuk melindungi anggota partai dari kesewenang-wenangan demikian, sudah seharusnya setiap partai politik menyediakan forum dan merumuskan mekanisme internalnya masing-masing dalam AD/ART-nya untuk menampung kedua kebutuhan di atas secara seimbang, adil, dan tidak sewenang-wenang. Seandainya pun ada anggota yang tidak puas di forum, dan mekanisme, atau putusan partai politik tersebut, tidak tertutup bagi anggota yang bersangkutan untuk menempuh upaya hukum melalui proses pengadilan (vide Pasal 16 UU Parpol). Secara substansial, keseluruhan proses sebagaimana diuraikan di atas, dalam undang-undang a quo, sudah memenuhi prinsip-prinsip due process of law, sebagaimana akan dijelaskan lebih lanjut dalam bagian lain dari pertimbangan Mahkamah ini;

Menimbang bahwa hal yang dimohonkan oleh Pemohon pada intinya menyangkut konstitusionalitas ketentuan yang terdapat dalam UU Susduk dan UU Parpol yang berkaitan dengan mekanisme PAW, yang oleh Pemohon disebut sebagai recall dari partai politik terhadap anggotanya yang duduk di DPR. Hal tersebut dimuat dalam ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol;

Menimbang bahwa dalam memutus perkara a quo Mahkamah mendasarkan kepada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945 sebagai dasar untuk melakukan pengujian undang-undang yang merupakan salah satu kewenangannya. Dalam kedudukannya sebagai lembaga peradilan yang menegakkan konstitusi, Mahkamah dapat melakukan penafsiran terhadap ketentuan yang terdapat dalam konstitusi apabila diperlukan untuk dapat memberikan putusan konkret atas pengujian undang-undang, hal mana sangat diperlukan manakala apa yang tersurat dalam konstitusi ternyata memerlukan penafsiran atau apa yang terdapat dalam konstitusi menimbulkan berbagai penafsiran (multi-interpretasi). Mahkamah tidak dalam posisi untuk memasukkan hal-hal yang nyata-nyata tidak

� dipilih oleh pembuat undang-undang dasar sebagai sistem atau bagian sistem undang-undang dasar yang ditetapkan, karena hal tersebut menjadi kewenangan penuh pembuat undang-undang dasar. Adanya kelemahan-kelemahan sistem yang ditetapkan atau dipilih oleh undang-undang dasar dalam pengaturan ketatanegaraan tidak menjadikan Mahkamah berhak atau berwenang untuk melakukan perubahan melalui putusannya karena hal demikian jelas merupakan kewenangan pembuat undang-undang dasar;

Menimbang bahwa terhadap dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut tidaklah beralasan. Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 berisikan norma tentang asas, periodisasi, serta tujuan pemilihan umum, yaitu untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden. Apabila akan dikaitkan dengan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol yang menjadi titik singgung di antaranya adalah adanya ketentuan bahwa pemilihan umum diselenggarakan setiap lima tahun sekali atau menyangkut periodisasi pelaksanaan pemilihan umum. Mahkamah berpendapat bahwa dengan dinyatakan pemilihan umum dilaksanakan lima tahun sekali tidak berarti bahwa dalam masa lima tahun tersebut tidak dimungkinkan adanya penggantian sama sekali baik terhadap anggota DPR, DPD, DPRD, maupun Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih dalam pemilihan umum. Meskipun Presiden dan Wakil Presiden dipilih untuk masa jabatan lima tahun namun UUD 1945 juga menetapkan syarat-syarat dan tatacara yang membuka kemungkinan bahwa seorang presiden dan/atau wakil presiden dapat berhenti sebelum masa jabatannya berakhir, sebagaimana diatur dalam Pasal 7B, dan Pasal 7C UUD 1945. Dalam Pasal 22B UUD 1945 dinyatakan bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang. Berdasarkan dua ketentuan UUD 1945 tersebut Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut telah jelas sehingga tidaklah perlu untuk dilakukan penafsiran lagi. Adanya praktik di negara lain yang berbeda dengan UUD 1945 di mana tidak dikenal recall, atau diberhentikannya seorang dari keanggotaan lembaga perwakilan atau parlemen sebelum masa jabatannya berakhir, tidak merupakan dasar yang kuat bahwa hal tersebut harus dianut dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Praktik tersebut harus diterima sebagai adanya

� keragaman sistem yang dapat dipilih, dan menunjukkan adanya perbedaan pola (pattern) saja dan bukan menjadi sebuah keharusan konstitusional. Sebagai pilihan sebuah sistem di samping mempunyai kelebihan, juga mempunyai kelemahan dibandingkan dengan sistem lain termasuk dalam menentukan perlu tidaknya dihidupkan adanya hak recall. Kelemahan dan kelebihan sebuah sistem tidak hanya semata-mata disebabkan oleh sistem itu sendiri tetapi juga oleh lingkungan di mana sistem tersebut berlaku;

Menimbang bahwa Pemohon juga mendalilkan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 sebagai dasar untuk menguji Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol. Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa tidak ada titik singgung atau keterkaitan antara Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dengan kedua pasal yang dimohonkan untuk diuji oleh Pemohon. Dengan adanya Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, dan Pasal 12 huruf b UU Parpol tidak menghilangkan hak setiap orang sebagaimana dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 tersebut di atas. Hak untuk memperjuangkan secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negara tidaklah dimaknai sebagai hak bagi setiap orang untuk menjadi anggota DPR atau terus-menerus menjadi anggota DPR. DPR adalah lembaga perwakilan rakyat dalam sistem ketatanegaraan yang dibangun oleh UUD 1945. Apabila Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 ditafsirkan sebagai hak untuk menjadi anggota DPR justru akan mempersempit makna Pasal 28C ayat (2) tersebut, karena hak tersebut menjadi hanya dimiliki oleh sedikit orang, yaitu hanya sejumlah anggota DPR saja. Pasal 28C ayat (2) dimaksudkan memberikan hak kepada setiap orang secara bebas bersama-sama dengan orang lain (kolektif) untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negara. Dengan demikian dalil Pemohon yang menyatakan bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 tidak beralasan karena Pemohon tidak kehilangan haknya untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya yang dijamin oleh Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 tersebut;

Menimbang, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, hal yang demikian menyebabkan Pemohon harus di-recall dari keanggotaan DPR oleh partai yang mencalonkan. Mahkamah berpendapat bahwa

� hak yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tidaklah dimaksudkan untuk menjamin agar seseorang yang telah menduduki jabatan apapun tidak dapat diberhentikan hanya dengan alasan untuk menjamin dan melindungi kepastian hukum. Kepastian hukum yang dimaksudkan adalah kepastian hukum yang adil serta adanya perlakuan yang sama di depan hukum. Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk bukan hanya berlaku untuk Pemohon, melainkan untuk setiap anggota DPR. Oleh karena itu, ketentuan tersebut tidak mengandung ketentuan yang bersifat diskriminasi. Adanya kenyataan bahwa selama ini hanya Pemohon yang dikenai aturan tersebut oleh partai yang mencalonkan Pemohon, bukanlah persoalan konstitusional tetapi penerapan dari Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol. Apabila Pemohon menganggap dirinya dirugikan atas penerapan ketentuan tersebut, maka Pemohon dapat menggunakan upaya-upaya hukum dan mekanisme yang tersedia terhadap kerugian yang diderita Pemohon (vide Pasal 16 UU Parpol, sebagaimana telah diuraikan di atas), tidak dengan mengajukan permohonan pengujian undang- undang a quo;

Menimbang, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa titik singgung atau kaitan antara Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 dengan hak Pemohon adalah bahwa Pemohon diberhentikan dari keanggotaan DPR atas dasar Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol, sehingga dapat ditafsirkan sebagai mengganggu hak untuk bekerja menurut Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Sesungguhnya, ketentuan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah ketentuan yang mengatur tentang hak-hak ekonomi. Sedangkan, yang menjadi persoalan utama dalam permohonan a quo adalah menyangkut hak-hak sipil dan politik. Namun, kalaupun dikaitkan dengan hak untuk bekerja sebagaimana didalilkan oleh Pemohon, maka tidaklah harus ditafsirkan bahwa seseorang yang telah bekerja tidak dapat diberhentikan sama sekali dari pekerjaannya. Jika keanggotaan di DPR dianggap sebagai �pekerjaan�, sebagaimana anggapan Pemohon, maka pemberhentian dari �pekerjaan�, dalam hal ini karena diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang berakibat berhentinya Pemohon dari keanggotaannya di DPR, tidaklah bertentangan dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 sepanjang dilakukan berdasarkan alasan dan melalui prosedur yang adil,

� rasional, dan sah. Hal yang dilarang oleh Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 adalah apabila ketentuan undang-undang telah menghilangkan secara mutlak hak seseorang untuk bekerja. Lagi pula kedudukan Pemohon sebagai anggota DPR tidaklah tepat untuk dipadankan dengan pengertian �bekerja� sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945. Karena, Pemohon sebagai anggota DPR melakukan tugas-tugas konstitusional dalam kelembagaan negara dan bukan bekerja dalam pengertian umum. Mahkamah berpendapat bahwa diberhentikannya hak-hak keuangan Pemohon sebagai anggota DPR sebelum adanya Keputusan Presiden tentang penggantian keanggotaannya di DPR tidak berhubungan secara langsung dengan anak kalimat �... serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.� sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, karena status Pemohon tidaklah dalam ikatan hubungan kerja;

Menimbang bahwa dalam persidangan terungkap pula adanya pendapat, baik yang disampaikan oleh Pemohon maupun oleh para ahli bahwa apa yang dikenal dengan hak recall partai yang dasar hukumnya adalah Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan asas demokrasi dan merupakan sistem totaliter, oleh karenanya hak recall oleh partai harus dibatalkan;

Terhadap dalil Pemohon tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Asas demokrasi sebagai dasar pelaksanaan pemerintahan negara mempunyai landasan yang kuat dalam UUD 1945, yaitu dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Pembukaan UUD 1945 alinea keempat berbunyi, �.... yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan ��

Pasal 1 ayat (2) berbunyi, �Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar�.

Ketentuan yang terdapat dalam kedua kutipan di atas menunjukkan bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi karena menganut asas kedaulatan rakyat. Selain itu, Pasal 1 ayat (3) berbunyi, �Negara Indonesia adalah negara hukum�.

Oleh karena itu prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat sebagaimana dimaksud di atas haruslah dilaksanakan berdasar atas hukum menurut UUD 1945. Telah menjadi kenyataan bahwa meskipun banyak negara di dunia yang menganut sistem pemerintahan demokrasi, namun dalam menjalankan mekanisme pemerintahan

� negaranya asas tersebut dituangkan dalam prosedur atau cara yang berbeda-beda. Salah satu ciri adanya pemerintahan demokrasi ialah adanya pemilihan umum yang dilakukan untuk mengisi jabatan-jabatan kenegaraan terutama lembaga perwakilan atau parlemen. Bagi negara-negara yang menganut sistem parlementer pemilihan umum hanya dilakukan untuk mengisi keanggotaan parlemen sedangkan untuk jabatan eksekutif biasanya tidak dilakukan pemilihan umum secara langsung tetapi dipilih oleh lembaga perwakilan. Hal mana berbeda dengan sistem presidensial di mana baik untuk pengisian keanggotaan parlemen maupun eksekutif dilakukan dengan cara pemilihan umum. Namun kedua perbedaan tersebut adalah merupakan perbedaan pola (pattern), karena terdapat sejumlah negara yang tidak sepenuhnya menganut kedua pola tersebut. Sehingga, tidak ada kaitan antara sistem presidensial dengan hak recall. Perbedaan pola tidak dapat dijadikan ukuran untuk menyatakan bahwa satu pola lebih demokratis dibandingkan dengan pola yang lain. Dalam pelaksanaan demokrasi modern peranan partai politik sangatlah penting dan dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun negara demokrasi modern tanpa partai politik. UUD 1945 menetapkan partai politik mempunyai peran besar dalam pelaksanaan demokrasi. Hal itu tercermin dari dikaitkannya tata cara pelaksanaan demokrasi dengan partai politik, dan tidaklah menjadikan nilai demokrasi secara otomatis menjadi berkurang. Adanya mekanisme recall keanggotaan seseorang dari parlemen oleh partai politik yang mencalonkannya, tidaklah secara serta merta dapat disebut sebagai mekanisme yang tidak demokratis. Justru karena seorang anggota parlemen dikonstruksikan sebagai wakil rakyat maka demi akuntabilitas terhadap yang diwakili, mekanisme pemberhentian sebelum masa jabatannya berakhir atau yang dikenal dengan hak recall sangatlah relevan, karena dengan demikian rakyat tetap masih dapat mengontrol wakilnya. Tentang siapa yang melaksanakan recall adalah persoalan teknis yang sangat berkait dengan sistem pemilihan umum, sesuai dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Suatu undang-undang tidak serta merta menjadi tidak demokratis hanya karena di dalamnya terdapat pengaturan tentang recall, yang karenanya menjadikan pula undang-undang tersebut inkonstitusional. Recall tetap merupakan bagian dari mekanisme demokrasi apabila pengaturan tentang recall tersebut adalah konsekuensi logis dari pilihan sistem yang dianut oleh konstitusi. Dalam sistem pemilihan di mana pemilih langsung memilih nama seseorang sebagai wakil, maka adalah logis jika recall dilakukan oleh pemilih, misalnya melalui mekanisme petisi.

� Sedangkan dalam sistem pemilihan dengan memilih partai politik sebagaimana diatur dalam UUD 1945, dalam hal pemilihan anggota DPR dan DPRD, maka logis pula apabila recall dilakukan oleh partai yang mencalonkan;

Dengan demikian, hak recall pada hakikatnya tidaklah bertentangan dengan demokrasi, sebagaimana didalilkan Pemohon, tetapi justru dimaksudkan untuk tetap menjaga adanya hubungan antara yang diwakili dengan yang mewakili. Dalam praktik demokrasi perwakilan dapat terjadi berbagai variasi penggunaan hak recall. Hal tersebut tidaklah berarti menghilangkan makna sistem demokrasi perwakilan. Apabila dalam praktik terjadi penyimpangan penerapan hak recall, maka hal demikian bukanlah kesalahan sistem, sehingga bukan sistem yang harus dikorbankan melainkan praktiknyalah yang perlu diperbaiki;

Menimbang, Pemohon juga mendalilkan bahwa Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa dalil Pemohon tersebut tidak beralasan karena dengan adanya Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol hak Pemohon yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sama sekali tidak dihilangkan. Berhentinya Pemohon dari keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat karena diusulkan oleh partai politik yang diwakilinya akibat diberhentikannya Pemohon dari keanggotaan partai yang mencalonkannya, bukanlah karena dihilangkannya hak konstitusional Pemohon. Sebagaimana telah diuraikan di atas, Pemohon sebagai anggota partai politik telah setuju dengan AD/ART partai politik tersebut. Apabila Pemohon merasa dirugikan hak-haknya, upaya hukum untuk itu tidaklah dilakukan dengan cara mengajukan permohonan pengujian UU Susduk dan UU Parpol kepada Mahkamah Konstitusi. Demikian pula halnya dengan hak Pemohon yang dijamin oleh Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 tidak dilanggar dengan adanya Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, dan Pasal 12 huruf b UU Parpol;

Menimbang bahwa Pemohon mendalilkan pula dalam permohonannya dasar-dasar yang bersifat anti diskriminasi yang terdapat dalam Article 21 Universal Declaration of Human Rights. Terhadap dalil Pemohon tersebut, meskipun Mahkamah tidak secara langsung mendasarkan pendapatnya pada ketentuan- ketentuan dalam Universal Declaration of Human Rights, namun Mahkamah memandang perlu untuk menjelaskan perihal kedudukan dan kekuatan mengikatnya

� secara hukum Universal Declaration of Human Rights. Hendaknya dipahami bahwa Universal Declaration of Human Rights hanya merupakan �statement of ideals� sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum (legal binding) secara langsung. Walaupun demikian, materi yang termuat dalam Article 21 Universal Declaration of Human Rights telah diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum, yaitu antara lain:

� Pasal 1 angka 1 yang berbunyi, �Pemilihan umum yang selanjutnya disebut Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.� � Pasal 1 angka 8 yang berbunyi, �Pemilih adalah penduduk yang berusia sekurang-kurangnya 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.� � Pasal 2 yang berbunyi, �Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.� Menimbang lebih jauh bahwa ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, yang rumusannya sebagaimana telah dikutip di atas, Penjelasannya merujuk kepada Pasal 12 huruf b UU Parpol, yang juga dimintakan pengujian oleh Pemohon, dalam hal ini khusus Pasal 12 huruf b. Dengan mengikuti jalan pikiran Pemohon, serta dengan membandingkan dan mempersandingkan kedua ketentuan undang-undang yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon tersebut, tampak bahwa konstitusionalitas ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk digantungkan pada konstitusionalitas Pasal 12 huruf b UU Parpol. Artinya, apabila terbukti bahwa Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan UUD 1945 maka hal itu akan mengakibatkan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dengan sendirinya bertentangan dengan UUD 1945. Oleh sebab itu, yang pertama harus dinilai konstitusionalitasnya oleh Mahkamah adalah ketentuan Pasal 12 huruf b UU Parpol;

Menimbang bahwa Pasal 12 huruf b UU Parpol yang berbunyi, �Anggota partai politik yang menjadi anggota lembaga perwakilan rakyat dapat diberhentikan keanggotaannya dari lembaga perwakilan rakyat apabila: a. �; b. diberhentikan dari keanggotaan partai politik yang bersangkutan karena melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ��, bukanlah ketentuan yang berdiri sendiri. Ketentuan tersebut terkait dengan ketentuan lain dari UU Parpol itu sendiri yaitu ketentuan yang mengatur tentang hak partai politik, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU



� Parpol yang, antara lain, menyatakan bahwa partai politik berhak mengusulkan penggantian antarwaktu anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 8 huruf f UU Parpol) dan berhak pula memberhentikan anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (vide Pasal 8 huruf g UU Parpol). Telah dijelaskan dalam pertimbangan di atas, bahwa lahirnya hak partai politik demikian adalah sebagai konsekuensi dari adanya persyaratan �menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai� bagi setiap warga negara yang hendak menjadi anggota suatu partai politik [vide Pasal 10 ayat (2) UU Parpol]. Oleh karena itu, tatkala seorang warga negara telah menjadi anggota suatu partai politik � yang berarti bahwa orang yang bersangkutan telah menerima syarat �menyetujui anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai� yang bersangkutan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 10 ayat (2) UU Parpol � maka sebagai konsekuensi selanjutnya undang-undang kemudian membebankan kewajiban kepada orang yang bersangkutan untuk mematuhi anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai [vide Pasal 11 ayat (3) UU Parpol];

Menimbang bahwa dengan demikian yang sesungguhnya menjadi persoalan dalam kasus �berhenti antarwaktunya Pemohon sebagai anggota DPR karena diusulkan oleh partai politik Pemohon sendiri�, yang oleh Pemohon disebut sebagai recall, adalah apakah proses pengusulan berhenti antarwaktu atas diri Pemohon tersebut telah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 huruf f atau Pasal 8 huruf g UU Parpol. Sehingga, persoalannya bukanlah persoalan konstitusionalitas norma undang- undang melainkan persoalan penerapan atau pelaksanaan norma undang-undang, in casu UU Parpol. Oleh karena persoalannya adalah persoalan penerapan atau pelaksanaan norma undang-undang, maka apabila Pemohon dalam kasus a quo menganggap dirinya diperlakukan secara sewenang-wenang oleh partainya, yang memiliki kompetensi untuk mengadilinya bukanlah Mahkamah Konstitusi melainkan Pengadilan Negeri (vide Pasal 16 UU Parpol);

Menimbang bahwa dengan pertimbangan sebagaimana diuraikan di atas, dalam kaitannya dengan permohonan a quo, apabila seseorang diberhentikan dari keanggotaan suatu partai politik karena alasan melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai, yang kemudian berakibat diusulkannya yang



� bersangkutan untuk berhenti antarwaktu sebagai anggota DPR, dianggap bertentangan dengan UUD 1945, berarti Mahkamah harus menguji ketentuan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai yang bersangkutan terhadap UUD 1945. Padahal Mahkamah tidak memiliki kewenangan demikian. Satu-satunya keadaan di mana Mahkamah secara konstitusional dapat memeriksa anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik adalah dalam hal pelaksanaan kewenangan memutus pembubaran partai politik yang permohonannya diajukan oleh Pemerintah, bukan dalam pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar;

Menimbang bahwa dasar konstitusional eksistensi partai politik, beserta hak-haknya sebagaimana kemudian diatur dalam UU Parpol, adalah UUD 1945 yang memang memberikan peran yang signifikan kepada partai politik sebagaimana tercermin dalam Pasal 22E ayat (3), Pasal 6A ayat (2), Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.


� Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menyatakan, �Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik�; � Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, �Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum�; � Pasal 8 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, �Jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa jabatannya secara bersamaan, pelaksana tugas kepresidenan adalah Menteri Luar Negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah itu, Majelis Permusyawaratan Rakyat menyelenggarakan sidang untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang pasangan calon Presiden dan Wakil Presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum sebelumnya, sampai berakhir masa jabatannya�.


Berdasarkan ketiga ketentuan di atas tampak jelas bahwa konstitusi memberikan peran signifikan kepada partai politik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945. Ketentuan-ketentuan di atas kemudian dijabarkan ke dalam berbagai undang-undang yang saling berhubungan, yaitu terutama Undang-undang

� Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum; Undang- undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga, dalam hubungannya dengan permohonan a quo, sulit untuk menemukan pembenaran konstitusional apabila di satu pihak � sesuai dengan ketentuan UUD 1945 � partai politik diakui sebagai peserta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD [Pasal 22E ayat (3) UUD 1945], sementara di lain pihak mengingkari adanya hak partai politik untuk memberhentikan anggotanya yang melanggar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai (Pasal 12 huruf b UU Parpol) dan hak untuk mengusulkan berhenti antarwaktu anggotanya dari keanggotaan DPR [Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk].

Dengan kata lain, alasan berhenti antarawaktunya seseorang dari keanggotaan DPR karena diusulkan oleh partainya, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, adalah konsekuensi dari pengakuan akan hak partai untuk mengusulkan penggantian antarwaktu anggotanya maupun hak untuk memberhentikan anggotanya di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 huruf f dan g juncto Pasal 12 UU Parpol. Sedangkan dimilikinya hak-hak yang demikian oleh partai politik adalah sebagai konsekuensi dari ketentuan UUD 1945 yang memang memberikan peran signifikan kepada partai politik dalam sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, khususnya Pasal 22E ayat (3);

Menimbang bahwa, berdasar atas uraian di atas, telah nyata tidak terdapat alasan untuk menyatakan ketentuan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak atas jaminan kepastian hukum. Justru adanya ketentuan Pasal 12 huruf b inilah yang memberikan kepastian hukum bagi berhenti antarwaktunya seseorang dari keanggotaan DPR karena diusulkan oleh partainya, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk. Juga tidak ada alasan hukum untuk menyatakan Pasal 12 huruf b UU Parpol bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 yang sama sekali tidak mengandung muatan hak konstitusional.

� Sekaligus, tidak pula ada alasan hukum untuk menguji konstitusionalitas Pasal 12 huruf b UU Parpol dengan Pasal 28D ayat (2) UUD 1945, yang mengatur tentang hak-hak ekonomi (economic rights) sementara yang menjadi masalah (legal issue) dari permohonan a quo adalah masalah (legal issue) yang berada di wilayah hak- hak sipil dan politik (civil and political rights). Sebagaimana telah dikemukakan dalam pertimbangan di atas, bahwa pembuktian inkonstitusionalitas Pasal 12 UU Parpol merupakan syarat bagi inkonstitusionalitas Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, maka dengan tidak terbukti adanya inkonstitusionalitas ketentuan Pasal 12 huruf b UU Parpol secara mutatis mutandis menggugurkan dalil Pemohon tentang inkonstitusionalnya Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk;

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana diuraikan tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil-dalil Pemohon tidak beralasan sehingga seluruh permohonan Pemohon harus ditolak;

Mengingat Pasal 56 ayat (5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316).

MENGADILI

Menyatakan permohonan Pemohon ditolak untuk seluruhnya.


      • *** ***

Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim Konstitusi pada hari Kamis, 21 September 2006, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hari ini Kamis, 28 September 2006, oleh kami Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., selaku Ketua merangkap Anggota, Dr. Harjono, S.H., M.C.L., Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H. M.S., Maruarar Siahaan, S.H., Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H. A. S. Natabaya, S.H., LL.M., H. Achmad Roestandi, S.H., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., serta Soedarsono, S.H., masing-masing sebagai Anggota, dengan dibantu oleh Eddy Purwanto, S.H., sebagai Panitera Pengganti serta dihadiri oleh Pemohon/Kuasanya, Pemerintah/Kuasanya, dan Dewan Perwakilan Rakyat/Kuasanya;

� KETUA,




Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

ANGGOTA-ANGGOTA,




Dr. Harjono, S.H., MCL. Prof. H. A. Mukthie Fadjar, S.H. ,M.S.




Maruarar Siahaan, S.H. Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.




Prof. H. A. S. Natabaya, S.H. , LL.M. H. Achmad Roestandi, S.H.




I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Soedarsono, S.H.


Sementara itu terhadap putusan di atas terdapat 4 (empat) Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda:

1. Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. 2. Maruarar Siahaan, S.H. 3. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. 4. Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.



PENDAPAT BERBEDA (Dissenting Opinion)

Hakim Konstitusi Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.

Pokok permohonan Pemohon adalah persoalan konstitusionalitas Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk dan Pasal 12 huruf b UU Parpol, yang berarti bahwa

� persoalan fundamental yang harus dijawab adalah �apakah usul pemberhentian oleh parpol atas anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan, yaitu MPR, DPR, dan DPRD (lazimnya disebut Hak recall) bertentangan dengan UUD 1945?�

Terhadap persoalan fundamental tersebut saya berpendapat sebagai berikut:

a. Pasal 22B UUD 1945 yang berbunyi �Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang�. Jadi, karena rumusannya �diatur dalam undang-undang�, bukan �dengan undang-undang�, pengaturan mengenai syarat-syarat dan tata cara pemberhentian anggota DPR bukanlah dengan suatu undang-undang yang dibuat khusus untuk itu, melainkan cukup tercantum dalam undang-undang yang terkait dengan keanggotaan lembaga perwakilan rakyat, lazimnya, semenjak Orde Baru hingga sekarang dimuat dalam UU Susduk pada bab, bagian, atau pasal mengenai penggantian antar waktu, yaitu Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1969 juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1975 juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1985 (selanjutnya disebut UU Susduk 1969), Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999 (selanjutnya disebut UU Susduk 1999), dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 (selanjutnya disebut UU Susduk 2004); b. Pengaturan pemberhentian anggota DPR dalam UU Susduk dalam sejarah ketetanegaraan Indonesia sejak Orde Baru hingga sekarang ternyata mengalami pasang surut, sebagai berikut: 1) Pada masa Orde Baru, meskipun dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan bahwa anggota DPR dapat diganti, ternyata anggota DPR dapat diganti yang tercantum dalam Pasal 13 juncto Pasal 4 dan Pasal 5 UU Susduk 1969, bahkan dikenal �hak recall� seperti tercantum dalam Pasal 43 ayat (1)-nya yang berbunyi, �Hak mengganti Utusan/Wakil Organisasi peserta Pemilihan Umum dalam badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat ada pada Organisasi peserta Pemilihan Umum yang bersangkutan, dan dalam pelaksanaan hak tersebut terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat yang bersangkutan�;


Dalam UU tentang Partai Politik dan Golongan Karya (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1975 juncto Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1985) tidak tercantum ketentuan tentang hak Parpol/Golkar untuk mengganti anggotanya yang duduk di DPR. 2) Pada masa awal reformasi, ketika semangat perubahan menuju ke arah demokratisasi dan penghormatan HAM yang lebih besar, ketika UUD 1945 belum memuat ketentuan bahwa anggota DPR dapat diganti, penggantian



� anggota DPR tercantum dalam Pasal 14 juncto Pasal 42 UU Susduk 1999 dan ternyata �hak recall� oleh parpol organisasi peserta Pemilu tidak dikenal. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik juga tidak ada ketentuan yang memberikan hak kepada parpol untuk mengganti anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.


3) Pada masa sesudah Perubahan UUD 1945 yang memuat ketentuan yang tercantum dalam Pasal 22B (Perubahan Kedua, Tahun 2000), penggantian anggota DPR tercantum dalam Bab VII Penggantian Antarwaktu, Pasal 85, 86, dan 87 UU Susduk 2004 yang ternyata dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c beserta Penjelasannya mengenal �hak recall� oleh Parpol yang alasannya merujuk Pasal 12 UU Parpol;



c. Dalam kaitannya dengan sistem pemilu, ternyata Pemilu Orde Baru (1971-1997) yang menganut sistem pemilu proporsional murni, �hak recall� dikenal, dalam Pemilu 1999 yang juga menganut sistem proporsional murni tidak dikenal �hak recall�, sedangkan dalam Pemilu 2004 yang menganut sistem Pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka (bernuansa/semi distrik) �hak recall� ternyata dihidupkan kembali; d. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan, lazimnya hak recall dianut di negara-negara dengan sistem parlementer, sedangkan pada sistem presidensiil lazimnya tidak dianut hak recall; e. Dari uraian tersebut di atas menunjukkan bahwa legal policy mengenai hak recall sangat dipengaruhi oleh kemauan politik (political will) supra struktur politik (pemerintah dan DPR) dan infra struktur politik (partai politik) sendiri yang tidak selalu sesuai dengan hakikat kedaulatan rakyat dan hakikat bahwa anggota DPR sebagai wakil rakyat, bukan perwakilan partai. f. Memang timbul kesan, seolah-olah selama cara rekrutmen anggota DPR masih memberikan peran yang besar kepada parpol (pemilu sistem proporsional, murni atau semi), maka hak recall oleh parpol atas anggotanya yang duduk di DPR masih sangat sulit dihindarkan. Hal tersebut diperkuat dengan argumentasi yang sering dipakai bahwa UUD 1945 nampaknya memberikan peranan yang begitu besar kepada partai politik, baik dalam pemilu anggota DPR dan DPRD [vide Pasal 22E ayat (3) UUD 1945], maupun dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden [vide Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 8 ayat (3) UUD 1945], bahkan nyaris partai politik seperti quasi lembaga negara. Atau dengan kata lain, demokrasi


� Indonesia menurut UUD 1945 sesudah Perubahan merupakan demokrasi oleh partai politik; g. Akan tetapi, meskipun UUD 1945 sesudah Perubahan seolah-olah memberi kesan terlalu mengistimewakan partai politik, tidak berarti bahwa partai politik boleh menegasikan asas kedaulatan rakyat sebagai asas fundamental sistem ketatanegaraan Indonesia. Harus difahami bahwa hal itu lebih disebabkan karena pada masa lalu (masa Orde Baru) peran partai politik telah didegradasikan oleh negara dan kedaulatan rakyat bergeser menjadi kedaulatan negara/kedaulatan penguasa negara. h. Oleh karena itu, seharusnya pergeserannya bukan pergeseran dari kedaulatan negara/pemerintah ke kedaulatan parpol, melainkan harus dikembalikan ke arah kedaulatan rakyat. Sebagai konsekuensinya, pemberhentian anggota DPR yang dimaksud oleh Pasal 22B UUD 1945 pengaturannya dalam undang-undang harus semata-mata karena anggota DPR yang bersangkutan telah melanggar undang-undang atau kode etik dan kode perilaku sebagai wakil rakyat, tak perlu karena recalling oleh partai politik induknya. Recalling oleh partai politik atas anggotanya yang duduk di lembaga perwakilan dengan alasan pelanggaran AD/ART (Pasal 12 huruf b UU Parpol) tidak menjamin prinsip due process of law yang merupakan salah satu prinsip negara hukum, karena bisa bersifat subjektif pimpinan partai politik yang sulit dikontrol oleh publik. Yang masih bersifat objektif dan dapat diterima ialah recalling atas dasar alasan Pasal 12 huruf a UU Parpol (mengundurkan diri dari parpol atau masuk parpol lain) dan alasan Pasal 12 huruf c UU Parpol (melanggar peraturan perundang-undangan). i. Sebagai perbandingan, meskipun Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat [Pasal 6A ayat (1) UUD 1945] diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik [Pasal 6A ayat (2) UUD 1945], tidak berarti partai politik yang mengusulkannya boleh atau berhak melakukan recall terhadap mereka setelah terpilih. Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih dalam pemilihan umum secara langsung adalah Presiden dan Wakil Presiden seluruh Rakyat Indonesia, bukan Presiden dan Wakil Presiden dari partai politik yang mengusulkannya sebagai pasangan calon. Demikian pula, anggota DPR yang telah terpilih dalam Pemilu yang semula diusulkan oleh partai politik, setelah terpilih mereka adalah wakil rakyat Indonesia, bukan wakil partai politik. Dengan


� perkataan lain, Dewan Perwakilan Rakyat tidak boleh bergeser menjadi Dewan Perwakilan Partai. j. Dengan demikian, untuk membangun sistem demokrasi dan sistem kepartaian yang sehat, seharusnya hak recall oleh partai politik terhadap anggotanya yang duduk di lembaga-lembaga perwakilan dengan alasan subjektif seperti yang tercantum dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk juncto Pasal 12 huruf b UU Parpol ditiadakan, yang berarti bahwa permohonan Pemohon cukup beralasan untuk dikabulkan.


Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan, S.H. dan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.

I

Hubungan Hukum Anggota DPR Dengan Partai Politik,

Rakyat Pemilih Dan Lembaga Negara (DPR)

Seorang calon anggota DPR yang direkrut satu partai politik sebagai peserta pemilu untuk menjadi anggota DPR, setelah dipilih oleh rakyat pemilih dan mengucapkan sumpah jabatan sebagai anggota DPR, memiliki hubungan hukum, bukan hanya dengan partai politik yang merekrut dan mencalonkannya dalam pemilihan umum, tetapi pilihan rakyat pemilih yang kemudian dikukuhkan dengan pengangkatan dan pengambilan sumpah sebagai anggota DPR, telah melahirkan hubungan hukum baru di samping yang telah ada antara partai politik yang mencalonkan dan calon terpilih tadi. Hubungan hukum yang baru tersebut, timbul di antara anggota DPR, dengan rakyat pemilih dan anggota DPR dengan (lembaga) negara DPR. Hubungan hukum yang demikian melahirkan hak dan kewajiban yang dilindungi oleh konstitusi dan hukum, dalam rangka memberi jaminan bagi yang bersangkutan untuk menjalankan peran yang dipercayakan padanya, baik oleh partai maupun oleh rakyat pemilih.

Apapun yang merupakan substansi hubungan hukum antara rakyat pemilih dengan anggota DPR yang dipilih, baik sebagai wakil rakyat pemilih atau pemegang mandat rakyat, maka sistem pemilihan dan partai politik yang meletakkan suatu hubungan hukum antara partai politik dengan anggotanya yang didudukkan dalam DPR pada regiem hukum pemilu, tidak dapat lagi secara mutlak mengesampingkan satu hubungan hukum antara anggota DPR dengan rakyat pemilih dan negara melalui lembaga negara DPR yang tunduk pada hukum publik (konstitusi), dalam kedudukannya sebagai pejabat negara, yang mengatur kedudukan dan

� kewenangan konstitusionalnya dalam fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan dengan serangkaian hak untuk melaksanakan fungsi tersebut seperti hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. Hal demikian juga dapat dilihat dengan jelas dari substansi bunyi sumpah seorang anggota DPR, yang berisi untuk:

a. memenuhi kewajiban sebagai anggota DPR sebaik-baiknya dan seadil-adilnya; b. memegang teguh Pancasila dan menegakkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; c. menegakkan kehidupan demokrasi serta berbakti kepada bangsa dan negara; d. memperjuangkan aspirasi rakyat untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Hubungan hukum yang bersifat publik demikian, memang diakui harus juga memperhitungkan hubungan hukum yang ada antara partai politik dengan anggota DPR yang dicalonkan Partai, akan tetapi hubungan hukum anggota dengan partainya, adalah dalam semangat dan diatur dalam hukum yang bersifat keperdataan (privaatrechtelijk).

Pasal 1, Pasal 2, dan Pasal 3 UU Parpol, secara jelas menyatakan bahwa partai politik adalah organisasi politik yang dibentuk sekelompok warganegara Republik Indonesia secara sukarela, sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang, yang berusia sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) tahun, dengan akta notaris. Akta Notaris pendirian partai politik memuat anggaran dasar dan anggaran rumah tangga disertai kepengurusan tingkat nasional, didaftarkan di Departemen Kehakiman, untuk disahkan sebagai badan hukum apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Oleh karenanya, meskipun rekrutmen dan pencalonan seorang anggota menjadi anggota DPR memiliki dimensi hukum, moral dan disiplin organisasi yang tidak dapat dinafikan, maka bidang hukum yang mengatur aspek hubungan tersebut sepanjang menyangkut anggota yang telah disahkan dan diambil sumpahnya sebagai anggota DPR, harus dilihat dalam semangat konstitusi yang menjadi hukum tertinggi sebagai dasar dalam menata hukum sebagai penjabaran konstitusi tersebut, sepanjang menyangkut anggota partai politik yang terpilih menjadi anggota DPR. Tatanan aturan hukum yang mengikat hubungan hukum dimaksud timbul secara khusus, karena kedudukan anggota DPR setelah berada

� dalam susunan organisasi kenegaraan sebagai lembaga negara, dalam hubungannya dengan organ lain, tunduk dan diikat oleh aturan hukum konstitusi.

Pengaturan demikian karenanya harus didasarkan pada prinsip-prinsip dalam Pasal 1 ayat (2) yang menyatakan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, dan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, telah mengedepankan bahwa Indonesia merupakan satu negara yang didasarkan pada constitutional democracy dan demokratisce rechtsstaat, di mana konstitusi diakui sebagai hukum yang tertinggi yang menjadi dasar legitimasi peraturan-perundangan yang ada di bawahnya, dan bahwa proses pembentukan hukum selalu harus melibatkan rakyat. Oleh karenanya dalam melihat hubungan hukum anggota partai politik yang menjadi anggota DPR dengan partai politik yang mencalonkannya, harus secara proporsional dengan menempatkan peran hukum publik pada tempat yang tepat. Aspek hubungan hukum calon anggota DPR dengan partai politik yang mengusungnya yang bersifat privat (privaatrechtelijk), dengan demikian telah bergeser titik beratnya menjadi hubungan hukum yang bersifat hukum publik, dengan terpilih dan disahkan atau disumpahnya yang bersangkutan menjadi anggota DPR.

II

RECALLING ANGGOTA DPR OLEH PARTAI

Konsekwensi ketundukkan pengaturan hubungan partai politik dengan anggota DPR yang diusungnya tetapi telah diangkat dan disumpah, kepada hukum publik (konstitusi), maka juga akan mengakibatkan bahwa recalling yang dilakukan partai politik terhadap anggotanya yang duduk di DPR, baik karena alasan-alasan disiplin partai dan alasan pelanggaran anggaran dasar dan rumah tangga, di samping diatur oleh hukum privat AD/ART partai juga harus tunduk pada hukum publik. Oleh karenanya apa yang disebut oleh Pasal 12 huruf b UU Parpol, �diberhentikan dari keanggotaan partai politik karena melanggar anggaran dasar dan rumah tangga�, yang dikukuhkan dalam Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk, yang menyatakan �anggota berhenti antarwaktu karena diusulkan partai politik yang bersangkutan�, sesungguhnya telah membiarkan hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk) mengesampingkan hukum publik dalam masalah konstitusional hubungan antara Wakil Rakyat dengan rakyat pemilih dan dengan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945. Meskipun tidaklah menjadi

� maksud untuk meniadakan peran partai politik dalam hubungannya dengan anggota DPR dalam menjalankan tugas konstitusional baik fungsi legislasi, pengawasan, anggaran dan menyampaikan aspirasi rakyat pemilihnya, akan tetapi dalam menjalankan peran tersebut tidaklah boleh dibiarkan berlangsung tanpa batasan. Batasan yang diindentifikasi dengan menempatkan peran hukum konstitusi sebagai hukum publik yang turut mengaturnya, harus membuka kemungkinan seluas- luasnya bagi wakil rakyat tersebut memenuhi sumpah jabatannya untuk menjalankan kewajibannya seadil-adilnya, dengan memegang teguh Pancasila dan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk menegakkan demokrasi demi tujuan nasional dan kepentingan bangsa serta Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peran partai politik sebagai peserta pemilu anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, memang membenarkan dan sah secara konstitusional jika seorang anggota partai politik tertentu yang menjadi anggota DPR menyatakan mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik tertentu yang mengusungnya, untuk juga diusulkan pemberhentiannya dari DPR. Akan tetapi jika alasan yang diajukan partai politik untuk mengusulkan penarikan anggotanya dari DPR berupa pelanggaran AD/ART Partai Politik, tidak dapat dibenarkan sertamerta tanpa melalui satu due process of law dalam mekanisme hukum yang dapat memeriksa kelayakan alasan tersebut. Mekanisme dalam hukum publik demikian, merupakan jaminan yang harus ditegakkan, untuk menumbuhkan proses demokrasi yang sehat, yang tidak dihambat oleh kekuasaan mutlak partai, yang boleh jadi memiliki kepentingan sesaat yang tidak sama dengan kepentingan publik yang sedang diperjuangkan anggota DPR melalui fungsi-fungsi DPR dalam rangka menjalankan kewenangan konstitusionalnya secara sehat dan bertanggung jawab. Harus dicegah terjadinya pergeseran dari sesuatu yang seharusnya turut diatur dengan hukum publik kearah pengaturan yang semata-mata bersifat privat (privaatrechtelijk) dalam Pasal 12 huruf b UU Parpol yang memberi kewenangan kepada partai politik untuk menarik anggotanya dari keanggotaan di DPR tanpa satu pengujian, ketentuan mana kemudian diadopsi dalam Pasal 85 ayat (1) c UU Susduk. Recalling anggota DPR semata-mata atas dasar pelanggaran AD/ART partai yang bersifat hukum privat, merupakan pengingkaran atas sifat hubungan hukum anggota DPR dengan konstituen dan (lembaga) negara, yang seyogianya tunduk pada hukum publik (konstitusi). Pergeseran ini merupakan proses

� verprivaatrechtelijking van het publieke recht, pada hal justru yang seharusnya terjadi atau yang seharusnya dilakukan adalah verpubliekerechtelijking van het privaat recht, khususnya dalam pengaturan masalah titik singgung partai politik dengan lembaga negara, yang diatur oleh hukum konstitusi, dengan mana dimungkinkan proses pertumbuhan demokrasi dikawal oleh hukum (konstitusi).

Aturan konstitusi dalam Pasal 1 ayat (2) yang menentukan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechtsstaat/rule of law), memang merupakan satu konsepsi yang amat luas, yang memerlukan uraian untuk dapat digunakan sebagai tolok ukur pengujian. Baik rechtsstaat maupun rule of law, dengan beberapa variasi, secara universal pada umumnya mengakui keberadaan unsur-unsur, (i) pengakuan dan perlindungan HAM, (ii) legalitas, dan (iii) adanya peradilan yang independen (independence of the judiciary). Di samping keharusan adanya dasar hukum publik sebagai alasan pemberhentian seorang anggota DPR, yang oleh Partai diberhentikan dari keanggotaan partai atas alasan pelanggaran AD/ART yang bersifat keperdataan, maka prinsip dan nilai yang terkandung dalam konsepsi negara hukum yang akan mengawal proses demokrasi secara layak, menuntut adanya keseimbangan agar hak dan kewajiban anggota DPR dalam menjalankan kewenangan konstitusionalnya yang didasarkan pada hukum publik yang mengatur kedudukan dan kewenangan anggota DPR sebagai pejabat negara, tidak dintervensi atau diintimidasi oleh kewenangan pimpinan partai atas alasan yang tidak sah menurut hukum. Mekanisme due process of law demikian diperlukan untuk menghindari kesewenang-wenangan yang merugikan bagi pelaksanaan dan pertumbuhan demokrasi yang konstitusional dan sehat.

Dengan demikian, meskipun keberadaan partai politik perlu diperkuat dalam pengembangan kehidupan berdemokrasi, terutama berkaitan dengan kedudukannya sebagai peserta dalam pemilu yang menganut sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, yang merekrut calon anggota DPR yang diharapkan akan loyal pada partai dan kebijakannya, akan tetapi kewenangan partai yang demikian memerlukan kontrol secara hukum, sehingga implikasi campur tangan partai yang berada diluar lembaga negara dan pemerintahan terhadap lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945 melalui mekanisme recall, dapat dibatasi secara proporsional. Tanpa jaminan demikian, maka meskipun anggota DPR mengangkat sumpah akan mendedikasikan diri sebagai wakil rakyat dengan sebaik-baiknya untuk memegang teguh Pancasila dan UUD 1945,

� menegakkan kehidupan demokrasi dan berbakti kepada nusa bangsa serta memperjuangkan aspirasi rakyat demi kepentingan bangsa dan NKRI, setiap saat kekhawatiran recall dapat menyebabkan anggota legislatif demikian menjadi wakil rakyat yang ragu-ragu mengungkap kebenaran dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya sehinga menempatkan diri hanya mengabdi pada garis partai yang dikendalikan oleh elite partai. Pada hal dalam setiap pemilu, partai selalu menyatakan komitmennya untuk memperjuangkan dan mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak, yang sesungguhnya dapat dituntut dan diuji oleh konstituen. Aspek hubungan hukum dengan konstituen tersebut juga menuntut pelaksanaan hak recall harus tunduk pada mekanisme due process of law, untuk memastikan jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi yang disebut dalam Pasal 28D ayat (1) dan 28G ayat (1) serta pasal-pasal lain yang menyangkut perlindungan HAM dalam UUD 1945, yang sekaligus menjadi kewajibannya yang asasi. Syarat-syarat dan tatacara pemberhentian (recall) anggota DPR oleh partai politik yang mengusungnya, dengan demikian masih harus diatur secara lebih serasi sebagai bagian dari hukum publik yang merupakan penjabaran aturan konstitusi dalam UUD 1945, dan tidak semata-mata menjadi bagian dari hukum yang bersifat privat (privaatrechtelijk) yang didasarkan pada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai politik, yang dikukuhkan dalam Undang-undang Negara Republik Indonesia tentang Partai Politik dan Susduk, secara inkonstitusional.

III

Akan tetapi dengan dinyatakannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat, apakah ketiadaan ketentuan mengenai recalling itu menyebabkan bahwa seorang anggota DPR tidak lagi dapat diberhentikan karena alasan bahwa yang bersangkutan sudah diberhentikan dari keanggotaan partai politiknya? Berhentinya seseorang dari keanggotaannya sesuatu partai politik dapat saja dijadikan salah satu alasan untuk memberhentikannya dari keanggotaan DPR, asalkan terpenuhi 2 (dua) persyaratan. Pertama, proses pemberhentian yang bersangkutan di intern partai politik haruslah dilakukan berdasarkan �due process of law� sesuai peraturan perundang-undangan. Kedua, DPR sendiri sebagai lembaga negara harus berperan menjatuhkan

� keputusan memberhentikannya dari keanggotaan DPR berdasarkan prinsip �due process of law� pula sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, haruslah ada mekanisme hukum yang jelas di DPR sendiri untuk mengambil keputusan mengenai hal tersebut, sehingga keputusan pemberhentian oleh partai politik tidak bersifat mutlak dan otomatis. Pemberhentian yang tidak sah dan bersifat sewenang-wenang oleh partai politik tidak dapat dijadikan dasar bagi tindakan lebih lanjut oleh DPR untuk memberhentikan seorang wakil rakyat dari keanggotaannya di DPR.

Dengan demikian, seseorang yang sudah diberhentikan dari keanggotaan partai politiknya dapat saja diberhentikan dari keanggotaannya sebagai anggota DPR apabila tersedia prosedur yang memenuhi syarat prinsip due process of law baik di internal partai politik maupun di internal DPR. Selama UU Parpol dan UU Susduk belum memuat ketentuan yang jelas mengenai kedua prosedur dimaksud, maka ketentuan mengenai recalling sebagai alasan pemberhentian anggota DPR tidak dapat dibenarkan secara konstitusional.

Atas dasar pertimbangan demikian, Pasal 12 huruf b Undang-undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang- undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hemat kami bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan seyogyanya Mahkamah menyatakannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Hakim Konstitusi Prof. Dr.HM.Laica Marzuki, S.H.

Pemohon Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman, anggota DPR/MPR RI (A- 173) dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) memohon pengujian terhadap Pasal 85 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU Susduk) karena dipandang bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945).

Pasal 85 ayat (1) UU Susduk berbunyi:

Anggota DPR berhenti antar waktu karena:

� a. meninggal dunia; b. mengundurkan diri sebagai anggota atas permintaan sendiri secara tertulis; c. diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan. Mencermati makna frasa �� diusulkan oleh partai politik yang bersangkutan� pada Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk sebagai salah satu alasan pemberhentian antarwaktu bagi seorang anggota DPR, frasa dimaksud tidak lain bermakna recall. Penggunaan recall di parlemen (recall legislation) merupakan hak partai politik, lazim disebut recall recht.

J.J.A. Thamassen (red), dalam Democratie, Theorie en Praktijk (Alphen aan den Rijn, Brussel, Samson Uitgeverij, 1981) pag. 156, merumuskan recall recht: het recht van een politieke partij om een via haar kandidaten lijst gekozen parlementslid terug te reopen (= hak recall adalah hak suatu partai politik untuk menarik kembali anggota parlemen yang terpilih melalui daftar calon yang diajukannya), sebagaimana dikutip oleh ahli Harun Alrasid dalam keterangannya di depan sidang.

Tatkala suatu recall dipandang sebagai hak partai politik guna menarik kembali anggotanya di parlemen maka pada saat yang sama harus kiranya bermakna pula, bahwa tidak semua partai politik memiliki hak recall itu. Hak recall bukan hak yang inherent � melekat � pada setiap partai politik. Tidak semua negara memberlakukan hak recall partai politik dalam sistem parlemennya. Artikel 71 Grondwet Belanda menjamin parlementaire onschendbaarheid bagi para anggota de Staten Generaal [Dutch constitutional law does not provide for the recall of members of the States General. George Thomas Kurian (ed), 1998:II, 409]. Anggota Bundestag di Jerman juga tidak dapat di-recall [Members of the Bundestag who resign their seats are replaced by the next candidate on the appropriate state party list. Recalls by the electorate are not possible. George Thomas Kurian (ed.), 1998:I, 279].

Pada umumnya, recall (recall legislation) diadakan di negara-negara yang menganut direct democratic device system, seperti di negara-negara bagian Amerika (the state or Oregon and local governments), Amerika dan delapan kanton di Swiss (N. Jayapalan, 2000: 102, 103). Di negara-negara yang menganut direct democracy device system tersebut, para warga turut serta dalam pengambilan putusan penyelenggaraan pemerintahan secara langsung tanpa melalui perwakilan



� (without intermediaries), dengan menggunakan instrumen-instrumen referendum, inisiatif dan me-recall wakil-wakilnya.

Dalam pada itu, UUD 1945 tidak secara tegas memberikan hak recall kepada partai-partai politik guna menarik kembali anggota-anggota partainya yang terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan/atau anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Hak recall (recall recht) sama sekali tidak digagaskan oleh the founding fathers dalam rapat-rapat BPUPKI/PPKI di kala pembahasan konstitusi. Juga tidak digagaskan dalam sidang-sidang MPR di kala diadakan perubahan-perubahan UUD 1945. Hak recall (recall recht) tidak termasuk constitutional given buat partai-partai politik.

Oleh karena hak recall diatur dalam undang-undang (in de wet geregeld) maka hak recall dapat selalu diuji berdasarkan hal kesesuaian atau pertentangannya terhadap UUD.

Recall pernah diberlakukan, sebagaimana halnya pernah tidak diberlakukan sama sekali, di kala berlakunya UUD 1945. Dalam UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, hak recall (recall recht) disebut hak mengganti, sebagaimana tercantum dalam Pasal 43 ayat (1), berbunyi, �Hak mengganti utusan wakil organisasi peserta Pemilihan Umum dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat ada pada organisasi peserta pemilihan Umum yang bersangkutan, dan dalam pelaksanaan hak tersebut terlebih dahulu bermusyawarah dengan Pimpinan Badan Permusyawaratan/ Perwakilan Rakyat yang bersangkutan�.

Dalam UU Nomor 4 Tahun 1999 (yang menggantikan UU Nomor 14 Tahun 1969), hak mengganti yang dimiliki oleh partai politik Peserta Pemilu sudah tidak diberlakukan.

Dalam UU Nomor 22 Tahun 2003 (UU Susduk yang menggantikan UU Nomor 4 Tahun 1999), penggantian antarwaktu, sehubungan dengan recall legislation diberlakukan lagi, menurut Pasal 85 ayat (1), huruf c.

Juridische vraagstuk: Apakah Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Susduk yang menetapkan recall bertentangan dengan UUD 1945? Benarkah recall legislation bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) dan (2), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945?



� Ketentuan Pasal 85 ayat (1) huruf C UU Susduk � yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon � menetapkan seseorang anggota DPR diberhentikan antar waktu oleh partai politik dari anggota dewan dimaksud. Partai Politik menggunakan hak recall (recall recht) guna menarik kembali anggota partainya yang terpilih sebagai anggota DPR, berdasarkan pencalonan partai politik dimaksud di kala pemilihan umum.

Tidak lazim recall legislation diberlakukan di parlemen negara-negara yang menganut pemerintahan presidensiil, yang anggota-anggotanya dipilih menurut sistem distrik atau single member constituency. Penggunaan hak recall (recall recht) oleh partai politik terhadap anggota-anggotanya di parlemen, cenderung menjadikan partai politik yang bersangkutan dominan terhadap anggota-anggota partainya itu, sehingga anggota-anggota dewan lebih mementingkan kepentingan partainya ketimbang membawakan aspirasi rakyat banyak (konstituent). Anggota dewan yang bersangkutan takut pada tindakan recall yang sewaktu-waktu dapat dikenakan terhadap dirinya. Parlemen menjadi tidak solid serta tidak stabil, dikendalikan oleh elit partai-partai politik dari luar.

Dalam pada itu, hak recall (recall recht) tidak tepat pula diberlakukan di parlemen negara-negara presidensiil, yang anggota-anggotanya berasal dari banyak partai (multipartai), seperti halnya Negara Republik Indonesia.

Pada umumnya, walau tidak terdapat partai besar namun tetap saja adanya ketergantungan anggota-anggota dewan terhadap partai politiknya, yang dapat setiap saat me-recall mereka manakala tidak menaati kehendak elit partai.

Recall memberikan kedudukan yang kuat kepada pimpinan partai. Seseorang anggota dewan yang di-recall partainya niscaya tidak dapat mengajukan dirinya guna memperjuangkan haknya secara kolektif dalam menjalankan tugas konstitusionalnya di DPR, sebagaimana dimaksud Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.

Recall menyebabkan seseorang anggota dewan tidak mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum, serta perlakuan yang adil dalam menjalankan tugas konstitusionalnya selaku anggota DPR, sebagaimana dijamin konstitusi, berdasarkan Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945.

Para anggota DPR hasil Pemilihan Umum tahun 2004, seyogianya tidak dapat di-recall oleh partai politik yang mencalonkannya, mengingat para anggota dewan dipilih berdasarkan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang



� Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Menurut Pasal 84 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2003, pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten kota di lakukan dengan mencoblos salah satu tanda gambar Partai Politik Peserta Pemilu dan mencoblos satu calon di bawah tanda gambar Partai Politik Perserta Pemilu dalam surat suara. Manakala seorang calon yang walaupun namanya termaktub di nomor urutan bawah tetapi memperoleh suara banyak secara signifikan maka calon yang bersangkutan ditetapkan terpilih sebagai anggota DPR mewakili partai politik yang mencalonkannya. Berdasarkan mekanisme sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka, Partai Politik Peserta Pemilu dari calon tersebut tidak dapat membatalkan atau mengubah hasil suara yang diperoleh sang calon.

Anggota DPR yang terpilih berdasarkan system proporsional representation, yang dipadu dengan list system (sistem daftar calon terbuka) tidak usah terlalu takut untuk dikenakan recall karena ia lebih terpanggil untuk memperjuangkan konstituennya, utamanya di daerah-daerah serta menjembatani aspirasi rakyat pada umumnya, kata Miriam Budiardjo (1994: 310). Anggota partai politik yang dipilih berdasarkan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka - secara konstitusional- tidak dapat di-recall oleh partainya. Me-recall anggota dewan yang bersangkutan berarti mengingkari atau me-negasi hasil pemilihan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan. Anggota DPR mewakili rakyat banyak, sesuai namanya: Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, pada hakikatnya adalah negarawan. Ia tidak boleh sekedar perpanjangan tangan partainya.

Manuel Luis Quezon (1878-1944), Presiden I Philippina (1935-1944), yang di masa hidupnya pernah menjabat Ketua Senat Phillipina (1916-1935), berkata, �My loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins�

Konstitusi seyogianya melindungi para anggota DPR yang terpilih dari perlakuan recall, berdasarkan sistem pemilihan proporsional dengan calon terbuka. Constitutie moet de kastanje uit het vuur halen voor Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman.

Berdasarkan pertimbangan di atas, beralasan kiranya mengabulkan permohonan pengujian yang dimohonkan Pemohon, guna menyatakan Pasal 85 ayat (1) huruf c UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan� DPRD bertentangan dengan Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (2) UUD 1945, serta menyatakan tidak mengikat secara hukum.


PANITERA PENGGANTI



Eddy Purwanto, S.H.