Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2001

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2001  (2001) 

Karya ini berada pada domain publik di Indonesia, karena tidak dilindungi hak cipta berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Tidak ada Hak Cipta atas:

  1. hasil rapat terbuka lembaga-lembaga Negara;
  2. peraturan perundang-undangan;
  3. pidato kenegaraan atau pidato pejabat Pemerintah;
  4. putusan pengadilan atau penetapan hakim; atau
  5. kitab suci atau simbol keagamaan.

Karena merupakan dokumen resmi pemerintahan, karya ini juga berada pada domain publik di Amerika Serikat.

 








PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 70 TAHUN 2001

TENTANG

KEBANDARUDARAAN


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang:

a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan peran dalam penyelenggaraan kebandar udaraan;

b. bahwa pengaturan mengenai penyelenggaraan kebandar udaraan perlu untuk ditata dan diatur kembali agar sejalan dengan otonomi daerah;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, dipandang perlu mengganti Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1996 tentang Kebandarudaraan.


Mengingat:

1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3481);

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 13, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3587);

4. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);

5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3731) jo Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4101);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4075).


MEMUTUSKAN:


Menetapkan:

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG KEBANDARUDARAAN


BAB I

KETENTUAN UMUM


Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1. Bandar Udara adalah lapangan terbang yang dipergunakan untuk mendarat dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat kargo dan/atau pos, serta dilengkapi dengan fasilitas keselamatan penerbangan dan sebagai tempat perpindahan antar modal transportasi;

2. Kebandar udaraan meliputi segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan bandar udara dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi bandar udara untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan/atau pos, keselamatan penerbangan, tempat perpindahan indra dan/atau antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah;

3. Pangkalan udara adalah kawasan di daratan dan/atau di perairan dalam wilayah Republik Indonesia yang dipergunakan untuk kegiatan penerbangan Tentara Nasional Indonesia;

4. Tatanan Kebandarudaraan Nasional adalah suatu sistem kebandar-udaraan nasional yang memuat tentang hirarki, peran, fungsi, klasifikasi, jenis, penyelenggaraan, kegiatan, keterpaduan intra dan antar moda serta keterpaduan dengan sektor lainnya;

5. Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan adalah wilayah daratan dan/atau perairan dan ruang udara di sekitar bandar udara yang dipergunakan untuk kegiatan operasi penerbangan dalam rangka menjamin keselamatan penerbangan;

6. Daerah Lingkungan Kerja Bandar Udara adalah wilayah daratan dan/atau perairan yang dipergunakan secara langsung untuk kegiatan bandar udara;

7. Bandar Udara Umum adalah bandar udara yang dipergunakan untuk melayani kepentingan umum;

8. Bandar Udara Khusus adalah bandar udara yang penggunaannya hanya untuk menunjang kegiatan tertentu dan tidak dipergunakan untuk umum;

9. Penyelenggara Bandar Udara Umum adalah Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Bandar Udara atau Badan Usaha Kebandarudaraan;

10. Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja Bandar Udara adalah unit organisasi Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota;

11. Badan Usaha Kebandarudaraan adalah Badan Usaha Milik Negara dan/atau Badan Usaha Milik Daerah yang khusus didirikan untuk mengusahakan jasa kebandarudaraan;

12. Badan Hukum Indonesia adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, swasta, dan koperasi;

13. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat;

14. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang penerbangan;

15. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Otonomi Daerah;

16. Bupati adalah Kepala Daerah Kabupaten sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Otonomi Daerah;

17. Walikota adalah Kepala Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai Otonomi Daerah.


BAB II

TATANAN KEBANDARUDARAAN NASIONAL


Pasal 2

(1) Bandar udara sebagai salah satu unsur dalam penyelenggaraan penerbangan, merupakan tempat untuk menyelenggarakan pelayanan jasa kebandarudaraan, pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan kegiatan ekonomi lainnya, ditata secara terpadu guna mewujudkan penyediaan jasa kebandarudaraan sesuai dengan tingkat kebutuhan.

(2) Bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditata dalam satu kesatuan tatanan kebandarudaraan nasional guna mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang andal dan berkemampuan tinggi dalam rangka menunjang pembangunan nasional dan daerah.

(3) Tatanan Kebandarudaraan Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 3

(1) Penyusunan Tatanan Kebandarudaraan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan:

a. rencana tata ruang;

b. pertumbuhan ekonomi;

c. kelestarian lingkungan; dan

d. keamanan dan keselamatan penerbangan.

(2) Tatanan Kebandarudaraan Nasional sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:

a. fungsi, penggunaan, klasifikasi, status, penyelenggaraan, dan kegiatan bandar udara;

b. keterpaduan intra dan antar moda transportasi; dan

c. keterpaduan dengan sektor pembangunan lainnya.


Pasal 4

(1) Bandar udara menurut fungsinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a merupakan:

a. simpul dalam jaringan transportasi udara sesuai dengan hirarki fungsinya;

b. pintu gerbang kegiatan perekonomian nasional dan internasional;

c. tempat kegiatan alih moda transportasi.

(2) Bandar udara menurut penggunaannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dibedakan atas:

a. bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri;

b. bandar udara yang tidak terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri.

(3) Bandar udara menurut klasifikasinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dibedakan dalam beberapa kelas berdasarkan fasilitas dan kegiatan operasional bandar udara dan jenis pengendalian ruang udara di sekitarnya.

(4) Bandar udara menurut statusnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a terdiri atas:

a. bandar udara umum yang digunakan untuk melayani kepentingan umum;

b. bandar udara khusus yang digunakan untuk melayani kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.

(5) Bandar udara menurut penyelenggaraannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a dibedakan atas:

a. bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota atau badan usaha kebandarudaraan;

b. bandar udara khusus yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Badan Hukum Indonesia.

(6) Bandar udara menurut kegiatannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf a terdiri dari bandar udara yang melayani kegiatan:

a. pendaratan dan lepas landas pesawat udara untuk melayani kepentingan angkutan udara;

b. pendaratan dan lepas landas helikopter untuk melayani kepentingan angkutan udara.

(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, penggunaan, klasifikasi, status, penyelenggaraan dan kegiatan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 5

(1) Bandar udara menurut hirarki fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dibedakan atas:

a. bandar udara pusat penyebaran; dan

b. bandar udara bukan pusat penyebaran.

(2) Pembedaan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditentukan berdasarkan penilaian atas kriteria sebagai berikut:

a. Status kota dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang meliputi:

1) Pusat Kegiatan Nasional (PKN);

2) Pusat Kegiatan Wilayah (PKW);

3) Pusat Kegiatan Lokal (PKL).

b. Status Penggunaan Bandar Udara yang meliputi:

1) Internasional;

2) Domestik.

c. Jumlah kepadatan penumpang yang meliputi:

1) Datang dan berangkat;

2) Transit;

3) Frekuensi penerbangan.

d. Rute penerbangan yang meliputi:

1) Rute penerbangan dalam negeri;

2) Rute penerbangan luar negeri;

3) Rute dalam negeri yang menjadi cakupannya.

(3) Penilaian atas kriteria bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.

(4) Bandar udara berdasarkan hirarki fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.


Pasal 6

Jenis pengendalian ruang udara di sekitar bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dibagi atas:

a. Ruang udara yang dikendalikan; dan

b. Ruang udara yang tidak dikendalikan.


Pasal 7

(1) Menteri melakukan pembinaan kebandarudaraan yang meliputi aspek pengaturan, pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan pembangunan, pendayagunaan dan pengembangan bandar udara guna mewujudkan Tatanan Kebandarudaraan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2).

(2) Kegiatan pengaturan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan penetapan kebijaksanaan di bidang kebandarudaraan.

(3) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. pemantauan dan penilaian terhadap pelaksanaan kebijaksanaan di bidang kebandarudaraan ;

b. tindakan korektif terhadap pelaksanaan kebijaksanaan di bidang kebandarudaraan.

(4) Kegiatan pengendalian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:

a. pemberian arahan dan petunjuk dalam pelaksanaan kebijaksanaan di bidang kebandarudaraan;

b. pemberian bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban masyarakat pengguna jasa kebandarudaraan, dalam pelaksanaan kebijaksanaan di bidang kebandarudaraan.

(5) Untuk kelancaran pelaksanaan pembinaan kebandarudaraan oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Menteri dapat meminta kepada Gubernur untuk melakukan koordinasi terhadap pengelolaan bandar udara dan beberapa kewenangan yang diserahkan kepada Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (3) dan ayat (5), Pasal 13, Pasal 15 ayat (3), Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (3), Pasal 22 ayat (3), Pasal 38 ayat (2), dan Pasal 39 ayat (2).


BAB III

PENETAPAN LOKASI, PENGUASAAN DAN PENGGUNAAN TANAH, PERAIRAN SERTA RUANG UDARA DI BANDAR UDARA UMUM


Pasal 8

(1) Penetapan lokasi tanah dan/atau perairan, serta ruang udara untuk penyelenggaraan bandar udara umum ditetapkan oleh Menteri.

(2) Penetapan lokasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan memperhatikan:

a. Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Propinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah Kabupaten/Kota;

b. pertumbuhan ekonomi;

c. kelayakan ekonomis dan teknis pembangunan dan pengoperasian bandar udara umum;

d. kelestarian lingkungan;

e. keamanan dan keselamatan penerbangan;

f. keterpaduan intra dan antar moda; dan

g. pertahanan keamanan negara.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan lokasi bandar udara umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 9

(1) Penyelenggara bandar udara umum harus menguasai tanah dan/atau perairan dan ruang udara pada lokasi yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) untuk keperluan pelayanan jasa kebandarudaraan, pelayanan keselamatan operasi penerbangan, dan fasilitas penunjang bandar udara umum.

(2) Penetapan luas tanah dan/atau perairan dan ruang udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didasarkan pada penatagunaan tanah dan/atau perairan dan ruang udara yang menjamin keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan dalam bidang lain di kawasan letak bandar udara umum.

(3) Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan bandar udara umum dan pemberian hak atas tanahnya dilaksanakan sesuai dengan peraturan Perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 10

(1) Untuk penyelenggaraan bandar udara umum, ditetapkan daerah lingkungan kerja dan kawasan keselamatan operasi penerbangan di sekitar bandar udara umum.

(2) Menteri menetapkan daerah lingkungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur dan Bupati/Walikota, untuk:

a. Bandar Udara Pusat Penyebaran;

b. Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.

(3) Bupati/Walikota menetapkan daerah lingkungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya tidak dikendalikan.

(4) Menteri menetapkan kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk:

a. Bandar Udara Pusat Penyebaran;

b. Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.

(5) Bupati/Walikota menetapkan kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya tidak dikendalikan.

(6) Penetapan Daerah Lingkungan Kerja dan Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) didasarkan pada kebijakan, standar, norma, kriteria, prosedur dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 11

(1) Daerah lingkungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) digunakan untuk:

a. fasilitas pokok di bandar udara, yang meliputi:

1) fasilitas sisi udara;

2) fasilitas sisi darat;

3) fasilitas navigasi penerbangan;

4) fasilitas alat bantu pendaratan visual;

5) fasilitas komunikasi penerbangan.

b. fasilitas penunjang bandar udara, yang meliputi:

1) fasilitas penginapan/hotel;

2) fasilitas penyediaan toko dan restoran;

3) fasilitas penempatan kendaraan bermotor;

4) fasilitas perawatan pada umumnya;

5) fasilitas lainnya yang menunjang secara langsung atau tidak langsung kegiatan bandar udara.

(2) Kawasan keselamatan operasi penerbangan di sekitar bandar udara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) meliputi:

a. kawasan pendekatan dan lepas landas;

b. kawasan kemungkinan bahaya kecelakaan;

c. kawasan di bawah permukaan horizontal dalam;

d. kawasan di bawah permukaan horizontal luar;

e. kawasan di bawah permukaan kerucut;

f. kawasan di bawah permukaan transisi; dan

g. kawasan di sekitar penempatan alat bantu navigasi penerbangan.

(3) Kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan batas-batas tertentu yang bebas dari penghalang.


Pasal 12

Tanah yang terletak di daerah lingkungan kerja bandar udara umum diberikan kepada penyelenggara bandar udara dengan hak pengelolaan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 13

Bupati atau Walikota memberikan izin mendirikan bangunan (IMB) untuk bangunan-bangunan yang bukan fasilitas pokok bandar udara dan berada di atas tanah yang terletak di dalam daerah lingkungan kerja bandar udara dengan mempertimbangkan saran teknis dari penyelenggara bandar udara.


Pasal 14

(1) Tanah dan/atau perairan dan ruang udara di sekitar bandar udara umum yang merupakan kawasan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1), dapat dipergunakan oleh umum dengan memenuhi persyaratan keselamatan operasi penerbangan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keselamatan operasi penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 15

(1) Perencanaan dan penetapan penggunaan tanah yang terletak di sekitar bandar udara umum dilakukan dengan memperhatikan tingkat kebisingan.

(2) Menteri menetapkan tingkat kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk:

a. Bandar Udara Pusat Penyebaran;

b. Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.

(3) Bupati/Walikota menetapkan tingkat kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), untuk Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya tidak dikendalikan.

(4) Penetapan tingkat kebisingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) didasarkan pada kebijakan, standar, norma, kriteria, prosedur dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.


BAB IV

PELAKSANAAN KEGIATAN DI BANDAR UDARA UMUM


Pasal 16

(1) Pelaksana kegiatan di bandar udara umum terdiri dari pelaksana fungsi Pemerintah, penyelenggara bandar udara dan Badan Hukum Indonesia, yang memberikan pelayanan jasa kebandarudaraan berkaitan dengan lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan pos.

(2) Pelaksana fungsi Pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan pemegang fungsi:

a. keamanan dan keselamatan serta kelancaran penerbangan;

b. bea dan cukai;

c. imigrasi;

d. keamanan dan ketertiban di bandar udara;

e. karantina.

(3) Penyelenggara bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan:

a. Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja bandar udara, pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota;

b. Unit Pelaksana dari Badan Usaha Kebandarudaraan, pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandarudaraan.

(4) Badan Hukum Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan Badan Hukum Indonesia yang melakukan kegiatan di Bandar Udara umum.


Pasal 17

(1) Pelaksanaan kegiatan fungsi Pemerintah dan pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota, dikoordinasikan oleh Kepala Bandar Udara.

(2) Pelaksanaan kegiatan fungsi Pemerintah dan pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandarudaraan dikoordinasikan oleh Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.

(3) Pejabat pemegang fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus memenuhi persyaratan jabatan yang diatur dengan Keputusan Menteri.

(4) Pejabat pemegang fungsi koordinasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) mempunyai wewenang sebagai berikut:

a. mengkoordinasikan kegiatan fungsi pemerintahan terkait dan kegiatan pelayanan jasa kebandarudaraan guna menjamin kelancaran kegiatan operasional di bandar udara;

b. menyelesaikan masalah-masalah yang dapat mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udara yang tidak dapat diselesaikan oleh instansi Pemerintah, badan usaha kebandarudaraan dan Badan Hukum Indonesia atau unit kerja terkait lainnya secara sendiri-sendiri.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai koordinasi pelaksanaan kegiatan di bandar udara umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.


BAB V

PENYELENGGARAAN BANDAR UDARA UMUM


Bagian Pertama

Perencanaan, Pembangunan, dan Pengoperasian Bandar Udara Umum


Pasal 18

(1) Dalam penyelenggaraan bandar udara umum, Menteri menetapkan:

a. standar prosedur pembuatan/persyaratan rencana induk bandar udara;

b. standar rancang bangun dan/atau rekayasa fasilitas dan peralatan bandar udara;

c. standar keandalan fasilitas dan peralatan bandar udara;

d. standar operasional bandar udara.

(2) Menteri menetapkan Rencana Induk Bandar Udara untuk:

a. Bandar Udara Pusat Penyebaran;

b. Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.

(3) Bupati/Walikota menetapkan Rencana Induk Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya tidak dikendalikan.

(4) Penetapan Rencana Induk Bandar Udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) didasarkan pada kebijakan, standar, norma, kriteria, prosedur dan pedoman yang ditetapkan oleh Menteri.


Pasal 19

(1) Pembangunan bandar udara umum dilakukan setelah memenuhi persyaratan:

a. administrasi;

b. memiliki penetapan lokasi untuk penyelenggaraan bandar udara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1);

c. memiliki rencana induk bandar udara;

d. rancangan teknis bandar udara umum meliputi pembuatan rancangan awal dan rancangan teknik terinci yang mengacu pada standar yang berlaku; dan

e. kelestarian lingkungan.

(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi, Menteri menetapkan Keputusan Pelaksanaan Pembangunan untuk:

a. Bandar Udara Pusat Penyebaran;

b. Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.

(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi Bupati/Walikota menetapkan Keputusan Pelaksanaan Pembangunan Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya tidak dikendalikan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 20

Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota dapat membangun bandar udara baru berdasarkan kepada Tatanan Kebandarudaraan Nasional dan memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.


Pasal 21

Penyelenggara bandar udara umum dalam melaksanakan pembangunan bandar udara umum diwajibkan:

a. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang kebandarudaraan, lalu lintas angkutan udara keamanan dan keselamatan penerbangan serta pengelolaan lingkungan;

b. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan bandar udara umum yang bersangkutan;

c. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara umum paling lambat 1 (satu) tahun sejak keputusan pelaksanaan pembangunan ditetapkan;

d. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara umum sesuai jadwal yang ditetapkan; dan

e. melaporkan kegiatan pembangunan bandar udara umum setiap bulan kepada Menteri atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.


Pasal 22

(1) Pengoperasian bandar udara umum dilakukan setelah memenuhi persyaratan;

a. pembangunan bandar udara umum telah selesai dilaksanakan sesuai dengan persyaratan pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20;

b. keamanan dan keselamatan penerbangan;

c. tersedia fasilitas untuk menjamin kelancaran arus penumpang, kargo dan pos;

d. pengelolaan lingkungan; dan

e. tersedia pelaksana kegiatan di bandar udara.

(2) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi dan telah memiliki Sertifikat Operasi Bandar Udara yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Menteri menetapkan Keputusan Pelaksanaan Pengoperasian untuk:

a. Bandar Udara Pusat Penyebaran;

b. Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.

(3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah dipenuhi dan telah memiliki Sertifikat Operasi Bandar Udara yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Bupati/Walikota menetapkan Keputusan Pelaksanaan Pengoperasian Bandar Udara Bukan Pusat Penyebaran yang ruang udara di sekitarnya tidak dikendalikan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian bandar udara umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 23

(1) Penyelenggara bandar udara umum dalam melaksanakan pengoperasian bandar udara umum diwajibkan:

a. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku di bidang penerbangan serta kelestarian lingkungan;

b. bertanggung jawab sepenuhnya atas pengoperasian bandar udara umum yang bersangkutan; dan

c. melaporkan kegiatan operasional setiap bulan kepada Menteri atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf c diatur dengan Keputusan Menteri.


Bagian Kedua

Pelayanan Jasa Kebandarudaraan di Bandar Udara Umum


Pasal 24

(1) Pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum dilakukan untuk kepentingan pelayanan umum, guna menunjang keamanan dan keselamatan penerbangan, kelancaran dan ketertiban lalu lintas pesawat udara, penumpang dan/atau kargo dan pos.

(2) Pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh:

a. Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja bandar udara pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota; atau

b. Unit Pelaksana dari Badan Usaha Kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandarudaraan.


Pasal 25

Jenis pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 meliputi:

a. penyediaan, pengusahaan dan pengembangan fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manuver, parkir dan penyimpanan pesawat udara;

b. penyediaan, pengusahaan dan pengembangan fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo dan pos;

c. penyediaan, pengusahaan dan pengembangan fasilitas elektronika, listrik, air dan instalasi limbah buangan;

d. jasa kegiatan penunjang bandar udara;

e. penyediaan lahan untuk bangunan, lapangan dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara;

f. penyediaan jasa konsultasi, pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan kebandarudaraan; dan

g. penyediaan jasa lainnya yang dapat menunjang pelayanan jasa kebandarudaraan.


Pasal 26

(1) Pelayanan jasa kebandarudaraan di bandar udara umum yang dilakukan oleh unit pelaksana teknis/satuan kerja bandar udara umum dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Kebandarudaraan.

(2) Pelimpahan pelayanan jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah memenuhi kriteria yang meliputi:

a. aspek keuangan;

b. aspek fasilitas bandar udara; dan

c. aspek operasional.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


BAB VI

KEGIATAN PENUNJANG BANDAR UDARA


Pasal 27

(1) Dalam rangka menunjang kelancaran pelayanan jasa untuk kepentingan umum di bandar udara umum, dapat dilakukan kegiatan penunjang bandar udara.

(2) Kegiatan penunjang bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari:

a. pelayanan jasa penunjang kegiatan penerbangan, dapat meliputi:

1) penyediaan hanggar pesawat udara;

2) perbengkelan pesawat udara;

3) pergudangan;

4) jasa boga pesawat udara;

5) jasa pelayanan teknis penanganan pesawat udara di darat;

6) jasa pelayanan penumpang dan bagasi;

7) jasa penanganan kargo;

8) jasa penunjang lainnya yang secara langsung menunjang kegiatan penerbangan.

b. pelayanan jasa penunjang kegiatan bandar udara, dapat meliputi:

1) jasa penyediaan penginapan/hotel dan transit hotel;

2) jasa penyediaan toko dan restoran;

3) jasa penempatan kendaraan bermotor;

4) jasa perawatan pada umumnya;

5) jasa lainnya yang menunjang secara langsung atau tidak langsung kegiatan bandar udara.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan penunjang bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 28

Kegiatan penunjang bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dapat dilaksanakan oleh:

a. Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja bandar udara, pada bandar udara yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota;

b. Unit Pelaksana dari Badan Usaha Kebandarudaraan, pada bandar udara yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandarudaraan; atau

c. Badan Hukum Indonesia atau perorangan.


Pasal 29

(1) Pelaksana kegiatan penunjang bandar udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 diwajibkan:

a. menjaga ketertiban dan kebersihan wilayah bandar udara yang dipergunakan;

b. menghindarkan terjadinya gangguan keamanan dan hal lain yang dapat membahayakan keamanan dan keselamatan penerbangan serta mengganggu kelancaran kegiatan operasional bandar udara; dan

c. menjaga kelestarian lingkungan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.


BAB VII

KERJA SAMA


Pasal 30

(1) Dalam penyelenggaraan bandar udara umum, Badan Usaha Kebandarudaraan dapat mengikutsertakan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Badan Hukum Indonesia lainnya melalui kerja sama.

(2) Kerja sama Badan Usaha Kebandarudaraan dengan Pemerintah Propinsi dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara menyeluruh dan bersifat nasional.

(3) Dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Badan Usaha Kebandarudaraan harus memperhatikan kepentingan umum dan saling menguntungkan.

(4) Mekanisme kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.


Pasal 31

(1) Kerja sama dalam penyelenggaraan bandar udara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dapat dilakukan untuk kegiatan:

a. penyediaan, pengusahaan dan pengembangan fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manuver, parkir dan penyimpanan pesawat udara;

b. penyediaan, pengusahaan dan pengembangan fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo dan pos;

c. penyediaan, pengusahaan dan pengembangan fasilitas elektronika, listrik, air dan instalasi limbah buangan;

d. penyediaan lahan untuk bangunan, lapangan dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara;

e. penyediaan jasa konsultasi, pendidikan dan pelatihan yang berkaitan dengan kebandarudaraan; dan

f. penyediaan jasa lainnya yang dapat menunjang pelayanan jasa kebandarudaraan.

(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilaksanakan untuk satu jenis kegiatan atau lebih sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB VIII

TARIF JASA KEBANDARUDARAAN


Pasal 32

Tarif jasa kebandarudaraan di bandar udara umum ditetapkan berdasarkan pada struktur dan golongan tarif serta dengan memperhatikan:

a. kepentingan pelayanan umum;

b. peningkatan mutu pelayanan jasa;

c. kepentingan pemakai jasa;

d. peningkatan kelancaran pelayanan;

e. pengembalian biaya; dan

f. pengembangan usaha.


Pasal 33

(1) Struktur tarif jasa kebandarudaraan merupakan kerangka tarif yang dikaitkan dengan tatanan waktu dan satuan ukuran dari setiap jenis jasa yang diberikan oleh penyelenggara bandar udara.

(2) Golongan tarif jasa kebandarudaraan merupakan penggolongan tarif yang ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan jasa kebandarudaraan, klasifikasi, dan fasilitas yang tersedia di bandar udara.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan golongan tarif jasa kebandarudaraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri.


Pasal 34

(1) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(2) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Propinsi ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(3) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

(4) Besaran tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandarudaraan ditetapkan oleh Badan Usaha Kebandarudaraan setelah dikonsultasikan dengan Menteri.


BAB IX

BANDAR UDARA KHUSUS


Pasal 35

(1) Pengelolaan bandar udara khusus dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota atau Badan Hukum Indonesia untuk kepentingan sendiri guna menunjang kegiatan tertentu.

(2) Pengelolaan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dilakukan apabila:

a. bandar udara umum yang ada tidak dapat melayani sesuai dengan yang dibutuhkan karena keterbatasan kemampuan/ fasilitas yang tersedia;

b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional, akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan penerbangan apabila membangun dan mengoperasikan bandar udara khusus.


Pasal 36

(1) Bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4) huruf b harus berada di luar kawasan keselamatan operasi penerbangan bandar udara umum dan pangkalan udara.

(2) Wilayah bandar udara khusus meliputi daratan dan/atau perairan dan ruang udara.

(3) Penggunaan wilayah daratan dan/atau perairan dan ruang udara pada bandar udara khusus dilaksanakan oleh pengelola bandar udara khusus sesuai ketentuan keamanan dan keselamatan penerbangan.

(4) Pengelola bandar udara khusus wajib menyediakan dan memelihara:

a. fasilitas pendaratan, lepas landas dan parkir pesawat udara;

b. fasilitas keamanan dan keselamatan penerbangan; dan

c. fasilitas lainnya yang sesuai dengan kebutuhan operasional.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan dan pemeliharaan fasilitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 37

(1) Dilarang menggunakan bandar udara khusus untuk melayani kepentingan umum, selain dalam keadaan tertentu dengan izin Menteri.

(2) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

a. dalam hal bandar udara umum tidak dapat melayani permintaan jasa kebandarudaraan oleh karena keterbatasan kemampuan fasilitas yang tersedia;

b. terjadi bencana alam atau keadaan darurat lainnya sehingga mengakibatkan tidak berfungsinya bandar udara umum;

c. pada daerah yang bersangkutan tidak terdapat bandar udara umum dan belum ada moda transportasi lain yang memadai.

(3) Izin penggunaan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya diberikan apabila fasilitas yang terdapat di bandar udara tersebut dapat menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan.

(4) Dalam hal bandar udara khusus digunakan untuk pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberlakukan ketentuan tarif jasa kebandarudaraan pada bandar udara umum yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota.

(5) Penggunaan bandar udara khusus untuk pelayanan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat sementara dan apabila bandar udara umum telah berfungsi untuk memberikan pelayanan umum, izin penggunaan bandar udara khusus untuk pelayanan umum dicabut.

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan bandar udara khusus untuk melayani kepentingan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 38

(1) Pembangunan bandar udara khusus dilakukan setelah mendapat izin Menteri untuk:

a. Bandar udara yang melayani pesawat udara berkapasitas lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk;

b. Bandar udara yang melayani pesawat udara berkapasitas sama atau kurang dari 30 (tiga puluh) tempat duduk yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.

(2) Pembangunan bandar udara khusus dilakukan setelah mendapat izin Bupati/Walikota untuk bandar udara yang melayani pesawat udara berkapasitas sama atau kurang dari 30 tempat duduk yang ruang udara di sekitarnya tidak dikendalikan.

(3) Izin pembangunan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diberikan setelah memenuhi persyaratan:

a. administrasi;

b. memiliki penetapan lokasi bandar udara;

c. memiliki rencana induk bandar udara;

d. rancangan teknis bandar udara khusus yang meliputi rancangan awal dan rancangan teknik terinci, yang mengacu pada standar yang berlaku; dan

e. kelestarian lingkungan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 39

(1) Pengoperasian bandar udara khusus dilakukan setelah mendapat izin operasi dari Menteri untuk:

a. Bandar udara yang melayani pesawat udara berkapasitas lebih dari 30 (tiga puluh) tempat duduk.

b. Bandar udara yang melayani pesawat udara berkapasitas sama atau kurang dari 30 (tiga puluh) tempat duduk yang ruang udara di sekitarnya dikendalikan.

(2) Pengoperasian bandar udara khusus dilakukan setelah mendapat izin operasi dari Bupati/Walikota untuk Bandar udara yang melayani pesawat udara berkapasitas sama atau kurang dari 30 (tiga puluh) tempat duduk yang ruang udara di sekitarnya tidak dikendalikan.

(3) Untuk memperoleh izin operasi bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), harus memenuhi persyaratan:

a. pembangunan bandar udara khusus telah selesai dilaksanakan sesuai izin pembangunan yang telah diberikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38;

b. keamanan dan keselamatan penerbangan;

c. pengelolaan lingkungan;

d. tersedia pelaksana kegiatan di bandar udara khusus; dan

e. memiliki Sertifikat Operasi Bandar Udara yang dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Izin operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) berlaku selama penyelenggara bandar udara khusus masih menjalankan usaha pokoknya.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengoperasian bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 40

(1) Permohonan izin pembangunan dan izin operasi bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dan Pasal 39 diajukan secara tertulis kepada Menteri atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.

(2) Pemberian atau penolakan atas permohonan izin pembangunan dan izin operasi bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima secara lengkap.

(3) Penolakan permohonan izin pembangunan dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberikan secara tertulis disertai alasan penolakan.


Pasal 41

Pemegang izin pembangunan bandar udara khusus dalam melaksanakan pembangunan

bandar udara khusus diwajibkan:

a. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang kebandarudaraan, keamanan dan keselamatan penerbangan serta pengelolaan lingkungan;

b. mentaati peraturan perundang-undangan dari instansi pemerintah lainnya yang berhubungan dengan bidang tugas/usaha pokoknya;

c. bertanggung jawab terhadap dampak yang timbul selama pelaksanaan pembangunan bandar udara khusus yang bersangkutan;

d. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara khusus sesuai dengan rencana induk bandar udara;

e. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara khusus paling lambat 1 (satu) tahun sejak izin pembangunan diterbitkan;

f. melaksanakan pekerjaan pembangunan bandar udara khusus sesuai dengan jadwal yang ditetapkan; dan

g. melaporkan perkembangan kegiatan pembangunan bandar udara khusus setiap bulan kepada Menteri atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.


Pasal 42

(1) Pemegang izin operasi bandar udara khusus diwajibkan:

a. mentaati peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang penerbangan serta kelestarian lingkungan;

b. mentaati peraturan perundang-undangan dari instansi Pemerintah lainnya yang berhubungan dengan bidang tugas/ usaha pokoknya;

c. bertanggung jawab sepenuhnya atas pengoperasian bandar udara khusus yang bersangkutan; dan

d. melaporkan kegiatan operasional setiap bulan kepada Menteri atau Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 43

Dalam hal usaha pokok tidak lagi dilaksanakan oleh pengelola bandar udara khusus, izin operasi bandar udara khusus dinyatakan tidak berlaku lagi.


Pasal 44

(1) Izin operasi bandar udara khusus dapat dialihkan kepada pihak lain bersamaan dengan usaha pokoknya.

(2) Pengalihan izin operasi bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan kepada Menteri, Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


Pasal 45

(1) Izin pembangunan bandar udara khusus dicabut apabila pemegang izin tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41.

(2) Izin operasi bandar udara khusus dicabut apabila pemegang izin tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 44.

(3) Pencabutan izin pembangunan dan/atau izin operasi bandar udara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui proses peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan tenggang waktu masing-masing 1 (satu) bulan.

(4) Apabila telah diberikan peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), pengelola bandar udara khusus tidak melakukan usaha perbaikan atas peringatan yang telah diberikan, maka izin pembangunan dan/atau izin operasi bandar udara khusus dicabut.


Pasal 46

Izin pembangunan dan izin operasi bandar udara khusus dapat dicabut tanpa melalui proses peringatan dalam hal pengelola bandar udara khusus yang bersangkutan terbukti:

a. melakukan kegiatan yang membahayakan pertahanan keamanan negara; atau

b. memperoleh izin pembangunan atau izin operasi bandar udara khusus dengan cara tidak sah.


BAB X

PELAYANAN BANDAR UDARA KE/DARI LUAR NEGERI


Pasal 47

(1) Bandar udara umum dan bandar udara khusus dapat ditetapkan sebagai bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri.

(2) Kegiatan bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan lalu lintas pesawat udara, penumpang, kargo dan pos.

(3) Bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri dapat disinggahi pesawat udara berkebangsaan Indonesia atau asing yang melakukan kegiatan angkutan udara ke/dari luar negeri.


Pasal 48

(1) Penetapan bandar udara umum dan bandar udara khusus yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri dilakukan dengan mempertimbangkan:

a. pertumbuhan dan perkembangan pariwisata serta ekonomi daerah yang mengakibatkan meningkatnya mobilitas orang, kargo dan pos ke/dari luar negeri;

b. kepentingan pengembangan kemampuan angkutan udara nasional yaitu dengan meningkatnya kerja sama antara perusahaan penerbangan nasional dengan perusahaan penerbangan asing dalam rangka melayani angkutan udara ke/dari luar negeri;

c. pengembangan ekonomi nasional yang telah meningkatkan peran serta swasta dan masyarakat dalam pembangunan nasional, sehingga menuntut pengembangan pelayanan angkutan udara yang memiliki jangkauan pelayanan yang lebih luas dengan kualitas yang makin baik;

d. keamanan dan keselamatan penerbangan serta kelancaran operasi penerbangan; dan

e. kepentingan nasional lainnya yang mendorong sektor pembangunan lainnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan bandar udara umum dan bandar udara khusus sebagai bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.


Pasal 49

(1) Menteri menetapkan bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47.

(2) Penetapan bandar udara yang terbuka untuk melayani angkutan udara ke/dari luar negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang keimigrasian serta Menteri yang bertanggung jawab di bidang bea dan cukai.


BAB XI

FASILITAS PENGELOLAAN LIMBAH DI BANDAR UDARA


Pasal 50

(1) Pada setiap bandar udara wajib disediakan fasilitas pengelolaan limbah sebagai akibat pengoperasian bandar udara dan/atau pesawat udara untuk mencegah terjadinya pencemaran.

(2) Fasilitas pengelolaan limbah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disediakan oleh penyelenggara bandar udara umum atau pengelola bandar udara khusus, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Badan Hukum Indonesia dan/atau Warga Negara Indonesia dapat melaksanakan usaha pengelolaan limbah dengan persetujuan penyelenggara bandar udara umum atau pengelola bandar udara khusus.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pengelolaan limbah di bandar udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.


BAB XII

PENGGUNAAN BERSAMA BANDAR UDARA ATAU PANGKALAN UDARA


Pasal 51

(1) Bandar udara atau pangkalan udara dapat digunakan secara bersama untuk penerbangan sipil dan penerbangan militer.

(2) Penggunaan bersama suatu bandar udara atau pangkalan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:

a. keamanan dan keselamatan penerbangan;

b. kelancaran operasi penerbangan;

c. keamanan dan pertahanan pangkalan udara; dan

d. kepentingan penerbangan sipil dan militer.


Pasal 52

(1) Penggunaan bersama bandar udara atau pangkalan udara untuk penerbangan sipil dan penerbangan militer ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

(2) Dalam penetapan penggunaan bersama bandar udara atau pangkalan udara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:

a. hak, kewajiban, tanggung jawab dan wewenang dari masing-masing pihak;

b. status kepemilikan/penguasaan aset pada bandar udara atau pangkalan udara yang digunakan bersama;

c. sistim dan prosedur penggunaan bersama bandar udara atau pangkalan udara;

d. jenis kegiatan yang dominan dalam penerbangan.


Pasal 53

Dalam hal suatu bandar udara atau pangkalan udara tidak lagi digunakan bersama untuk penerbangan sipil dan penerbangan militer, maka status bandar udara atau pangkalan udara yang digunakan bersama kembali kepada status sebelum digunakan secara bersama yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.


BAB XIII

KETENTUAN LAIN-LAIN


Pasal 54

(1) Bandar Udara umum yang saat ini diselenggarakan oleh Pemerintah (Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja) penyelenggaraannya dapat dilimpahkan atau diserahkan kepada:

a. Pemerintah Propinsi;

b. Pemerintah Kabupaten/Kota.

(2) Penyelenggaraan bandar udara umum dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Propinsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, merupakan tugas dekonsentrasi.

(3) Penyelenggaraan bandar udara umum dapat diserahkan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, merupakan tugas desentralisasi.


Pasal 55

(1) Pelimpahan atau penyerahan penyelenggaraan bandar udara umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54, dilakukan berdasarkan hirarki fungsi Bandar udara dan jenis pengendalian ruang udara di sekitarnya.

(2) Bandar udara yang dilimpahkan atau diserahkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), lebih lanjut ditetapkan oleh Menteri .


Pasal 56

Dalam hal Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dapat menyelenggarakan bandar udara yang diserahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3), Pemerintah Kabupaten/Kota dapat melakukan kerja sama penyelenggaraan bandar udara dengan Badan Usaha Kebandarudaraan yang telah ada dan/atau mengembalikan penyelenggaraannya kepada Pemerintah.


Pasal 57

Pelayanan navigasi penerbangan dilakukan oleh Pemerintah dan pelaksanaannya dapat dilimpahkan kepada badan usaha milik negara yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


Pasal 58

Bandar Udara yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandar udaraan, penyelenggaraannya tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Kebandar udaraan.


BAB XIV

KETENTUAN PERALIHAN


Pasal 59

(1) Pelimpahan atau penyerahan penyelenggaraan bandar udara umum (Unit Pelaksana Teknis/Satuan Kerja) oleh Pemerintah kepada Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota, disesuaikan dengan hirarki fungsi bandar udara dan jenis pengendalian ruang udara di sekitarnya, dapat dimulai pada tahun 2002 sepanjang telah disediakan anggaran dan pernyataan kesanggupan dari Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Kabupaten/Kota untuk pengoperasian bandar udara umum tersebut.

(2) Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua bandar udara umum dan bandar udara khusus yang telah ada dan beroperasi tetap dapat beroperasi, dengan ketentuan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku wajib menyesuaikan dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.


BAB XV

KETENTUAN PENUTUP


Pasal 60

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari Peraturan Pemerintah ini yang mengatur mengenai kebandar udaraan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini .


Pasal 61

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 1996 tentang Kebandar udaraan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3662), dinyatakan tidak berlaku.


Pasal 62

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.



Ditetapkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 17 Oktober 2001

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI


Diundangkan Di Jakarta,

Pada Tanggal 17 Oktober 2001

SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

Ttd.

BAMBANG KESOWO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2001 NOMOR 128