Konstitusi Jepang

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas

Konstitusi Jepang(Shinjitai: 日本国憲法 Kyūjitai: 日本國憲法|Nihon-Koku Kenpō) adalah dokumen legal pendirian negara Jepang sejak tahun 1947. Konstitusi ini menetapkan pemerintahan berdasarkan sistem parlementer dan menjamin kepastian akan hak-hak dasar warga negara. Berdasarkan ketetapannya, Kaisar Jepang berperan sebagai "simbol Negara dan persatuan rakyat" dan menjalankan peran yang murni seremonial tanpa kedaulatan yang sesungguhnya. Dengan demikian, berbeda dengan raja atau ratu lainnya, Kaisar Jepang secara formal bukanlah kepala negara[1] meskipun ia ditampilkan dan diperlakukan sebaimana layaknya seorang kepala negara. Konstitusi ini, yang disebut juga "Konstitusi Damai 平和憲法 Heiwa-Kenpō," memiliki karakteristik utama dan terkenal karena tidak memberikan hak untuk memulai perang; yang terdapat pada Pasal 9, dan dalam penjelasan yang lebih ringkas pada ketetapan de jure kedaulatan rakyat yang berhubungan dengan peranan kekaisaran.

Konstitusi ini ditulis ketika Jepang berada di bawah pendudukan Sekutu seusai Perang Dunia II dan direncanakan untuk menggantikan sistem monarki absolut yang militeristik dengan suatu bentuk demokrasi liberal. Saat ini, dokumen konstitusi ini bersifat kaku dan belum ada amandemen yang ditambahkan sejak penetapannya.

Pasal 9[sunting]

第九条 日本国民は、正義と秩序を基調とする国際平和を誠実に希求し、国権の発動たる戦争と、武力による威嚇又は武力の行使は、国際紛争を解決する手段としては、永久にこれを放棄する。

二 前項の目的を達するため、陸海空軍その他の戦力は、これを保持しない。国の交戦権は、これを認めない。


Terjemahan resmi pasal ini dalam bahasa Inggris:

ARTICLE 9. Aspiring sincerely to an international peace based on justice and order, the Japanese people forever renounce war as a sovereign right of the nation and the threat or use of force as means of settling international disputes. (2) To accomplish the aim of the preceding paragraph, land, sea, and air forces, as well as other war potential, will never be maintained. The right of belligerency of the state will not be recognized.


Referensi[sunting]

  • Kijūro Shidehara, 外交の五十年 (Gaikō Gojū-Nen,, Lima Puluh Tahun Diplomasi?) (1951), hlm. 213-14.
  1. Constitution of Japan“...do proclaim that sovereign power resides with the people...” (Preamble); “The Emperor shall be the symbol of the State and of the unity of the people, deriving his position from the will of the people with whom resides sovereign power” (Article One)