Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/2000  (2000) 

KETETAPAN

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

NOMOR IV/MPR/2000

TENTANG

REKOMENDASI KEBIJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; b. bahwa penyelenggaraan otonomi daerah selama ini belum dilaksanakan sebagaimana yang diharapkan sehingga banyak mengalami kegagalan dan tidak mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Kegagalan itu menimbulkan ketidakpuasan dan ketersinggungan rasa keadilan yang melahirkan antara lain tuntutan untuk memisahkan diri dan tuntutan keras agar otonomi daerah ditingkatkan pelaksanaannya; c. bahwa kewajiban politik yang telah dibuat oleh Majelis berupa ketetapan maupun produk perundang-undangan yang dikeluarkan oleh lembaga tinggi negara yang berkaitan dengan otonomi daerah belum dilaksanakan sepenuhnya; d. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a, b, dan c, perlu dikeluarkan sebuah ketetapan Majelis tentang Rekomendasi Kebijakan dan Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Mengingat:

1. Pasal 18 dan Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 4. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I/MPR/2000 tentang Perubahan Pertama Atas Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia.

Memperhatikan:

1. Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor I//MPR/2000 tentang Jadwal Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000, 2. Permusyawaratan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tanggal 7 sampai dengan 18 Agustus 2000 yang membahas Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, yang telah dipersiapkan oleh Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3. Putusan Rapat Paripurna ke-9 Tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN:

Menetapkan: KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG REKOMENDASI KEBIJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH.

Pasal 1

Rekomendasi Kebijakan Penyelenggaraan Otonomi Daerah disusun sebagai berikut:

I. Latar Belakang II. Permasalahan III. Rekomendasi IV. Penutup Pasal 2

Muatan Rekomendasi sebagaimana tersebut pada Pasal 1 diuraikan dalam sebuah naskah dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ketetapan ini.

Pasal 3

Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal 18 Agustus 2000

MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

Ketua,

Prof. Dr. H. M. Amien Rais, M.A.

Wakil Ketua,

Prof. Dr. Ir. Ginandjar Kartasasmita

Wakil Ketua,

Ir. Sujipto

Wakil Ketua,

H. Matori Abdul Djalil, Wakil Ketua,

Drs. H.M. Husnie Thamrin

Wakil Ketua,

Dr. Hari Sabarno, S.IP., M.B.A., M.M.

Wakil Ketua,

Prof. Dr. Jusuf Amir Feisal, S.Pd.

Wakil Ketua,

Drs. H.A. Nazri Adlani

REKOMENDASI KEBIJAKAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH

1. LATAR BELAKANG Majelis Permusyawaratan Rakyat mencermati bahwa harapan dan tuntutan masyarakat tentang proses pencapaian keadilan dalam penyelenggaraan berkehidupan di bidang ekonomi, politik, dan sosio-kultural, dan penegakan hukum, maupun penghargaan terhadap hak asasi manusia, tidak lagi bisa ditawar-tawar. Harapan dan tuntutan masyarakat agar proses demokratisasi untuk terciptanya masyarakat demokratis yang berkeadilan berjalan lebih cepat, merupakan gambaran sebuah dinamika dari bangsa Indonesia dalam menjawab tantangan perubahan zaman dan memberikan visi dalam upaya menciptakan masa depan yang lebih baik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam rangka menampung aspirasi masyarakat tersebut, Majelis Permusyawaratan Rakyat berpendapat bahwa penyelenggaraan otonomi daerah merupakan salah satu upaya strategis yang memerlukan pemikiran yang matang, mendasar, dan berdimensi jauh kedepan. Pemikiran itu kemudian dirumuskan dalam kebijakan otonomi daerah yang sifatnya menyeluruh dan dilandasi oleh prinsip-prinsip dasar demokrasi, kesetaraan, dan keadilan disertai oleh kesadaran akan keanekaragaman kehidupan kita bersama sebagai bangsa dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. Kabijakan otonomi daerah diarahkan kepada pencapaian sasaran-sasaran sebagai berikut:

1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreaktivitas masyarakat serta aparatur pemerintahan di daerah. 2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dan antarpemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan. 3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi, dan kesejahteraan masyarakat di daerah. 4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah. II. PERMASALAHAN DALAM PENYELENGGARAAN OTONOMI DAERAH Permasalahan-permasalahan mendasar yang dihadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah antara lain adalah sebagai berikut:

1. Penyelenggaraan otonomi daerah oleh Pemerintah Pusat selama ini cenderung tidak dianggap sebagai amanat konstitusi sehingga proses desentralisasi menjadi tersumbat. 2. Kuatnya kebijakan sentralisasi membuat semakin tingginya ketergantungan daerah-daerah kepada pusat yang nyaris mematikan kreativitas masyarakat beserta Seluruh perangkat pemerintahan di daerah. 3. Adanya kesenjangan yang lebar antara daerah dan pusat dan antar daerah sendiri dalam kepemilikan sumber daya alam, sumber daya budaya, infrastruktur ekonomi, dan tingkat kualitas sumber daya manusia. 4. Adanya kepentingan melekat pada berbagai pihak yang menghambat penyelenggaraan otonomi daerah. Dengan mengingat permasalahan-permasalahan mendasar tersebut dan besarnya harapan masyarakat untuk segera ditingkatkannya pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, sebagaimana tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Reublik Indonesia Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan rekomendasi.

III. REKOMENDASI Rekomendasi ini ditujukan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar ditindaklanjuti sesuai dengan butir-butir rekomendasi di bawah ini;

1. Undang-undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dan Irian Jaya, sesuai amanat Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis- Garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, agar dikeluarkan selambat-lambatnya 1 Mei 2001 dengan memperhatikan aspirasi masyarakat daerah yang bersangkutan. 2. Pelaksanaan otonomi daerah bagi daerah-daerah lain sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dilakukan sesuai jadwal yang telah ditetapkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Keseluruhan peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari kedua undang-undang tersebut agar ditertibkan selambat-lambatnya akhir Desember tahun 2000. b. Daerah yang sanggup melaksanakan otonomi secara penuh dapat segera memulai pelaksanaannya terhitung 1 Januari 2001 yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. c. Daerah yang belum mempunyai kesanggupan melaksanakan otonomi secara penuhdapat memulai pelaksanaannya secara bertahap sesuai kemampuan yang dimilikinya. d. Apabila keseluruhan peraturan pemerintah belum ditertibkan sampai dengan akhir Desember 2000, daerah yang mempunyai kesanggupaan penuh untuk menyelenggarakan otonomi diberikan kesempatan untuk menertibkan peraturan daerah yang mengatur pelaksanaannya. Jika peraturan pemerintah telah diterbitkan, peraturan daerah yang terkait harus disesuaikan dengan peraturan pemerintah dimaksud. 3. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, masing-masing daerah menyusun rencana induk pelaksanaan otonomi daerahnya, dengan mempertimbangkan antara lain tahap-tahap pelaksanaan, keterbatasan Kelembagaan, kapasitas dan prasarana, serta sistem manajemen anggaran dan manajemen publik. 4. Bagi daerah yang terbatas sumber daya alamnya, perimbangan keuangan dilakukan dengan memperhatikan kemungkinan untuk mendapatkan bagian dari keuntungan badan usaha milik negara yang ada didaerah bersangkutan dan bagian dari pajak penghasilan perusahaan yang beroperasi. 5. Bagi daerah yang kaya sumber alamnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kewajaran. Terhadap daerah-daerah yang ketersediaan sumber daya manusia terdidiknya terbatas perlu mendapatkan perhatian khusus. 6. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah agar dibentuk tim koordinasi antar instansi pada masing-masing daerah untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, memfungsikan lembaga pemerintah maupun non pemerintah guna memperlancar penyelenggaraan otonomi dengan program yang jelas. 7. Sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undangundang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antar Pemerintah Pusat dan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 Undangundang Dasar 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap provinsi, kabupaten/kota, desa/nagari/marga dan sebagainya.

IV. PENUTUP Hasil pelaksana Ketetapan Majelis ini dilaporkan oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bagian dari laporan pelaksanaan Garis Garis Besar Haluan Negara pada Sidang Tahunan Majelis berikutnya.