Dominus Iesus

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Halaman ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikisumber.
Baca halaman bantuan ini sebelum mulai merapikan. Setelah dirapikan, Anda dapat menghapus pesan ini.

Dominus Iesus (Bahasa Latin untuk "Tuhan Yesus") adalah sebuah deklarasi dari Kongregasi bagi Doktrin Iman. Deklarasi ini disetujui dalam sebuah sidang paripurna kongregasi tersebut, dan ditandatangani oleh pemimpin kongregasi tersebut saat itu, Kardinal Joseph Ratzinger (sekarang Paus Benediktus XVI), dan sekretarisnya, Uskup Agung Tarcisio Bertone (sekarang Kardinal Menteri Luar Negeri). Deklarasi ini kemudian disetujui oleh Paus Yohanes Paulus II dan diterbitkan pada tanggal 6 Agustus 2000. Penjelasannya adalah "Mengenai kesatuan dan keuniversalan penyelamatan dari Yesus Kristus dan Gereja".

Terjemahan tidak resmi[sunting]

Berikut ini adalah terjemahan yang tidak resmi (unofficial translation) dari Deklarasi CDF yang berjudul Dominus Iesus (Tuhan Yesus) tentang keunikan dan keselamatan bagi semua umat manusia di dalam Yesus Kristus dan Gereja Katolik. Jika anda ingin mengutip terjemahan ensiklik ini, mohon mencantumkan www.katolisitas.org sebagai sumbernya, sehingga kalau ada masukan dapat diberitahukan kepada kami.

Kongregasi untuk Doktrin Iman (CDF) Deklarasi “DOMINUS IESUS” tentang Keunikan dan Keselamatan bagi semua umat manusia dalam Yesus Kristus dan Gereja Katolik Pendahuluan

1. Tuhan Yesus sebelum kenaikan-Nya ke surga memerintahkan para murid-Nya untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia dan untuk membaptis semua bangsa: “Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk. Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang tidak percaya akan dihukum”; (Mk 16:15-16); “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.” (lih. Mk 16:15-16, Mat 28:18-20,Lk 24:46-48; Yoh 17:18,20,21; Kis 1:18).

Maka misi Gereja ke semua bangsa lahir dari perintah Yesus Kristus dan digenapi di sepanjang abad dalam pewartaan misteri Allah: Bapa, Putera dan Roh Kudus dan misteri Inkarnasi (penjelmaan) Allah Putera menjadi manusia sebagai kejadian yang menyelamatkan bagi semua umat manusia. Maka pernyataan iman Kristiani secara mendasar diekspresikan seperti dalam Credo Aku percaya: “Aku percaya akan Allah, Bapa yang Maha kuasa, Pencipta langit dan bumi, dan segala sesuatu yang kelihatan dan tak kelihatan. Aku percaya akan satu Tuhan, Yesus Kristus, Putera Allah yang Tunggal, Ia lahir dari Bapa sebelum segala abad. Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah benar. Ia dilahirkan bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-Nya. Ia turun dari sorga untuk kita manusia, dan untuk keselamatan kita. Dan Ia menjadi daging oleh kuasa Roh Kudus dari Perawan Maria dan menjadi manusia. Iapun disalibkan untuk kita waktu Pontius Pilatus. Ia wafat kesengsaraan dan dimakamkan. Pada hari ketiga Ia bangkit, menurut Kitab Suci. Ia naik ke sorga, duduk di sisi kanan Bapa. Ia akan kembali dengan mulia, mengadili orang yang hidup dan yang mati; Kerajaan-Nya takkan berakhir. Aku percaya akan Roh Kudus, Ia Tuhan yang menghidupkan; Ia berasal dari Bapa. Yang serta Bapa dan Putera, disembah dan dimuliakan Ia bersabda dengan perantaraan para nabi. Aku percaya akan Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik. Aku mengakui satu pembaptisan akan penghapusan dosa. Aku menantikan kebangkitan orang mati, dan hidup di akhirat. Amin.”[1]

2. Di sepanjang abad, Gereja telah mewartakan dan memberi kesaksian tentang Injil Kristus dengan setia. Namun demikian, menjelang penutupan milineum kedua, misi ini masih jauh dari selesai.[2] Maka ajaran Rasul Paulus menjadi makin relevan, “Karena jika aku memberitakan Injil, aku tidak mempunyai alasan untuk memegahkan diri. Sebab itu adalah keharusan bagiku. Celakalah aku, jika aku tidak memberitakan Injil.” (1 Kor 9:16). Ini menjelaskan perhatian khusus Magisterium untuk memberikan alasan-alasan dan dukungan kepada misi evangelisasi Gereja, terutama dalam kaitannya dengan berbagai tradisi religius di dunia.[3]

Dalam mempertimbangkan nilai-nilai dari berbagai agama ini, maka Konsili Vatikan II mengajarkan: “Gereja Katolik tidak menolak apapun, yang dalam agama-agama itu serba benar dan suci. Dengan sikap hormat yang tulus Gereja merenungkan cara-cara bertindak dan hidup, kaidah-kaidah serta ajaran-ajaran, yang memang dalam banyak hal berbeda dari apa yang diyakini dan diajarkannya sendiri, Tetapi tidak jarang toh memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang.”[4]. Melanjutkan pemikiran ini, pewartaan Gereja tentang Kristus sebagai “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6) dewasa ini juga menggunakan dialog antar agama. Dialog ini tidak menggantikan tetapi menyertai misi kepada seluruh bangsa (misio ad gentes), yang terarah kepada “misteri kesatuan”, di mana semua orang yang diselamatkan sesungguhnya mengambil bagian di dalam misteri yang sama, yaitu misteri keselamatan di dalam Yesus Kristus melalui Roh Kudus.[5] Dialog antar agama, yang merupakan bagian dari misi evangelisasi Gereja[6], mensyaratkan sikap pemahaman dan hubungan pengetahuan timbal balik dan saling memperkaya, di dalam ketaatan terhadap kebenaran dan dengan penghormatan akan kehendak bebas.[7]

3. Dalam praktek dialog antara iman Kristiani dan tradisi-tradisi religius lainnya, bersamaan dengan pencarian akan pemahaman dasar teoretis dengan lebih mendalam, pertanyaan- pertanyaan baru muncul, yang perlu dibahas melalui mengikuti jalur-jalur penyelidikan, pengajuan usulan/proposal dan penawaran cara-cara bertindak yang membutuhkan pertimbangan/ discerment yang penuh perhatian. Karena itu, Deklarasi ini mengingatkan kepada para Uskup, teolog dan semua umat beriman untuk mengingat hal-hal yang penting dalam doktrin Kristiani, yang dapat membantu permenungan demi tercapainya solusi yang konsisten dengan makna iman dan responsif terhadap kebutuhan masa kini.

Bahasa penerangan dari deklarasi ini sesuai dengan maksudnya, yang tidak menjabarkan secara sistematik masalah keunikan dan keselamatan bagi semua manusia dari misteri Yesus Kristus dan Gereja, ataupun mengusulkan solusi- solusi yang dapat diperdebatkan dengan bebas, melainkan sekali lagi menjabarkan ajaran Gereja Katolik tentang hal ini, sambil menunjukkan masalah mendasar yang tetap terbuka terhadap pengembangan lebih lanjut dan menolak pendapat-pendapat yang salah dan kabur/ ambigu. Untuk alasan ini, Deklarasi mengambil sumber dari apa yang sudah diajarkan di dalam dokumen-dokumen Magisterium sebelumnya, dalam rangka mengulangi kebenaran-kebenaran tertentu yang merupakan bagian dari iman Gereja.

4. Dewasa ini, pewartaan misionaris Gereja yang tetap berlangsung diancam oleh teori-teori yang mencari pembenaran terhadap pluralisme agama, tidak hanya secara de facto, tetapi de iure (secara prinsip). Akibatnya, terdapat kebenaran- kebenaran tertentu yang dianggap kuno. Contohnya: kepenuhan dan kelengkapan wahyu Yesus Kristus, kodrat/ ciri iman Kristiani dibandingkan dengan agama lain; ciri ilahi kitab-kitab dalam Alkitab; kemanunggalan Pribadi antara Sabda Ilahi dan Yesus dari Nazareth) keunikan dan keselamatan bagi semua umat manusia dalam Yesus Kristus; perantaraan Gereja yang universal dalam keselamatan; kesatuan yang tak terpisahkan – namun juga menyadari perbedaannya- antara Kerajaan Allah, Kerajaan Kristus dan Gereja, keberadaan dari satu Gereja Kristus di dalam Gereja Katolik.

Akar- akar dari permasalahan ini adalah anggapan- anggapan baik dari segi filosofi maupun teologi yang menghalangi pemahaman dan penerimaan akan kebenaran yang diwahyukan. Beberapa anggapan ini dapat disebutkan sebagai berikut: keyakinan bahwa kebenaran ilahi tidak dapat ditangkap dan diekspresikan, bahkan oleh wahyu Kristiani; sikap- sikap relativisme terhadap kebenaran itu sendiri (kebenaran dipandang sebagai hal yang relatif): yang benar bagi saya belum tentu benar bagi orang lain; pertentangan radikal yang ditempatkan antara mentalitas logika dari dunia Barat dengan mentalitas simbolik dari dunia Timur; subyektivisme yang, dengan menempatkan akal sebagai satu-satunya sumber pengetahuan, menjadi tidak mampu untuk menaikkan “pandangan ke arah ketinggian, tak berani untuk bangkit menuju kebenaran tentang hakekat sesuatu”;[8] kesulitan memahami dan menerima kehadiran kejadian-kejadian definitif yang bernilai eskatologi [berhubungan dengan akhir jaman] di dalam sejarah, pengosongan Inkarnasi Sabda Ilahi di dalam sejarah dikurangi menjadi hanya penampakan Tuhan di dalam sejarah manusia; eklektisme dari mereka yang di dalam penyelidikan teologis, menyerap ide-ide secara tidak kritis, dari berbagai konteks filosofi dan teologi tanpa memperhitungkan konsistensi, hubungan sistematis atau kesesuaian dengan kebenaran Kristiani; dan akhirnya, kecenderungan untuk membaca dan meng-interpretasikan Kitab Suci di luar Tradisi dan Magisterium Gereja.

Dengan dasar anggapan-anggapan di atas, yang dapat menunjukkan nuansa-nuansa yang berbeda, usulan-usulan teologis tertentu dikembangkan- di banyak kesempatan dihadirkan sebagai pernyataan, dan di kesempatan yang lain sebagai hipotesa- di mana wahyu Kristiani dan misteri Yesus Kristus dan Gereja kehilangan karakter dalam hal kebenaran absolut dan hal keselamatan yang bersifat universal (bagi semua orang), atau sedikitnya bayangan-bayangan keraguan dan ketidakpastian ditujukan pada mereka. I. Kepenuhan dan kelengkapan wahyu Yesus Kristus

5. Sebagai obat dari sikap relativisme ini, yang sekarang menjadi lebih umum, adalah penting di atas segalanya untuk menyatakan kembali karakter definitif dan lengkap dari wahyu Yesus Kristus. Sesungguhnya, harus diimani dengan teguh bahwa di dalam misteri Yesus Kristus, yang adalah “jalan kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6), kepenuhan wahyu kebenaran ilahi diberikan: “…tidak seorangpun mengenal Anak selain Bapa, dan tidak seorangpun mengenal Bapa selain Anak dan orang yang kepadanya Anak itu berkenan menyatakannya.” (Mat 11:27), “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.” (Yoh 1:18), “Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan…. Dialah kepala semua pemerintah dan penguasa.” (Kol 2:9-10)

Setia dengan sabda Tuhan ini, Konsili Vatikan II mengajarkan: “Tetapi melalui wahyu itu kebenaran yang sedalam-dalamnya tentang Allah dan keselamatan manusia nampak bagi kita dalam Kristus, yang sekaligus menandai pengantara dan kepenuhan seluruh wahyu.”[9] Lebih lanjut, “Yesus Kristus, Sabda yang menjadi daging, diutus sebagai “manusia kepada manusia”, “menyampaikan sabda Allah” (Yoh 3:34), dan menyelesaikan karya penyelamatan, yang diserahkan oleh Bapa kepada-Nya (lih. Yoh 5:36 ; Yoh 17:4). Barang siapa melihat Dia, melihat Bapa juga (lih. Yoh 14:9). Karena alasan ini, Yesus menyempurnakan wahyu dengan menggenapinya melalui seluruh pekerjaan-Nya untuk membuat Diri-Nya hadir dan nyata: melalui sabda-Nya maupun karya-Nya, dengan tanda-tanda serta mukjizat-mukjizat-Nya, namun terutama dengan wafat dan kebangkitan-Nya penuh kemuliaan dari maut, dan akhirnya dengan mengutus Roh Kebenaran, Ia memenuhi dan menyempurnakan wahyu dan meneguhkannya dengan kesaksian ilahi, ….. Adapun tata keselamatan Kristiani, sebagai perjanjian baru dan definitif, tidak pernah akan lampau; dan sama sekali tidak boleh dinantikan lagi wahyu umum yang baru, sebelum Tuhan kita Yesus Kristus menampakkan Diri dalam kemuliaan-Nya (lih. 1Tim 6:14 dan Tit 2:13).[10]

Karena itu, ensiklik Redemptoris missio juga memanggil Gereja sekali lagi untuk tugas menyatakan Injil sebagai kepenuhan kebenaran. “Di dalam penjelmaannya, Sang Sabda telah menyatakan Diri-Nya dengan cara yang paling penuh. Ia telah menyatakan kepada manusia siapa Diri-Nya. Pewahyuan Diri Allah secara definitif ini adalah alasan dasar mengapa Gereja bersifat misionaris. Ia tidak dapat melakukan yang lain daripada mewartakan Injil, yaitu kepenuhan kebenaran, di mana Tuhan memampukan kita untuk mengenal Diri-Nya sendiri.”[11] Oleh karena itu, hanya wahyu Yesus Kristus inilah yang “memperkenalkan sebuah kebenaran universal (yang berlaku untuk semua orang) dan kebenaran tertinggi yang menjawab pertanyaan-pertanyaan pemikiran manusia yang tiada henti.[12]

6. Maka teori yang mengatakan bahwa karakter wahyu Yesus Kristus itu terbatas, tidak lengkap atau tidak sempurna, yang akan dilengkapi oleh agama lain, adalah bertentangan dengan iman Gereja. Pandangan semacam ini berdasarkan atas pendapat bahwa kebenaran Tuhan tidak dapat ditangkap dan diwujudkan secara menyeluruh dan lengkap oleh agama manapun, tidak juga oleh agama Kristiani ataupun oleh Yesus Kristus.

Pandangan ini sangat bertentangan dengan pernyataan-pernyataan iman Katolik yang sesuai dengannya wahyu yang menyeluruh dan lengkap tentang misteri keselamatan Tuhan diberikan di dalam nama Yesus Kristus. Oleh karena itu, perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan dan seluruh kehidupan Yesus, walaupun terbatas dalam realitas manusia, namun mempunyai pribadi Ilahi (Sabda yang menjelma), “sungguh Allah dan sungguh manusia”[13] sebagai pelakunya. Untuk alasan ini, semua hal tersebut merupakan pernyataan definitif dan kelengkapan wahyu keselamatan Tuhan, meskipun kedalaman misterinya tetaplah merupakan sesuatu yang melampaui segala akal dan tak terselami. Kebenaran tentang Tuhan tidak dihapuskan atau dikurangi karena hal itu diucapkan di dalam bahasa manusia; melainkan, hal itu adalah unik, penuh dan lengkap, sebab Ia yang mengatakannya dan melakukannya adalah Allah Putera yang menjelma. Oleh karena itu, iman mensyaratkan kita untuk menyatakan bahwa Sabda yang menjelma menjadi manusia, di dalam keseluruhan misteri-Nya, dari penjelmaanNya sampai kemuliaan-Nya, adalah sumber… dan juga penggenapan setiap wahyu keselamatan Tuhan bagi manusia,[14] dan Roh Kudus, yang adalah Roh Kristus akan mengajarkan “kepenuhan kebenaran” (Yoh 16:13) kepada para Rasul dan melalui mereka kepada seluruh Gereja.

7. Maka tanggapan yang layak terhadap wahyu Tuhan adalah “ketaatan iman” (Rom 16:26; lih. Rom 1:5: Kor 2 10: 5-6), di mana manusia menyerahkan keseluruhan dirinya kepada Tuhan, mempersembahkan “kepatuhan akalbudi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan.”[15] Iman adalah karunia rahmat: untuk beriman, rahmat Tuhan harus ada terlebih dahulu dan memberikan bantuan; juga harus ada bantuan rohani dari Roh Kudus yang mendorong hati dan membalikkannya kepada Tuhan, yang membuka mata pikiran dan memberikan ‘kepada setiap orang suka cita dan kemudahan untuk percaya kepada kebenaran’ .”[16]

Ketaatan iman maksudnya adalah penerimaan kebenaran tentang wahyu Kristus, yang dijamin oleh Tuhan yang adalah Kebenaran itu sendiri:[17] “Iman adalah pertama-tama, melekatnya seseorang kepada Tuhan.[18] Pada saat yang sama dan tak terpisahkan, iman adalah dengan kehendak bebas tunduk pada seluruh kebenaran yang diwahyukan kepada Tuhan.[19] Oleh karena itu, iman sebagai “sebuah karunia Tuhan” dan “sebuah kebajikan ilahi yang diberikan oleh Tuhan“,[20] melibatkan perlekatan terhadap kedua hal: kepada Tuhan yang mewahyukan dan kepada kebenaran yang diwahyukan oleh-Nya, karena percaya kepada Ia yang menyatakannya. Maka, “kita harus percaya kepada hanya satu Tuhan: Bapa, Putera dan Roh Kudus.”[21]

Karena alasan ini, perbedaan antara iman teologis dan kepercayaan dari agama-agama lain harus dipegang dengan teguh. Kalau iman adalah penerimaan kebenaran yang diwahyukan oleh kasih karunia, “yang memungkinkan kita untuk meresapkan misteri tersebut dengan cara yang membuat kita dapat memahaminya secara koheren”[22], dengan kepercayaan pada agama- agama lain, yang merupakan perbendaharaan manusia tentang kebijaksanaan dan cita-cita religius, yang dipikirkan oleh manusia dalam pencariannya akan kebenaran dan yang dilakukan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, Sang Absolut.[23]

Perbedaan ini [antara iman teologis dan kepercayaan agama- agama lain] tidak selalu ada di dalam permenungan teologis dewasa ini. Karena itu, iman teologis (penerimaan kebenaran yang diwahyukan oleh Allah yang Satu dan Tritunggal) seringkali diartikan sama dengan kepercayaan di dalam agama-agama lain, di mana pengalaman religius masih di dalam tahap pencarian terhadap kebenaran absolut dan masih kurang dalam kepatuhan terhadap Tuhan yang mewahyukan Diri-Nya. Ini adalah salah satu alasan mengapa perbedaan antara Kristianitas dan agama- agama lain kerap kali cenderung untuk ditiadakan.

8. Hipotesa tentang nilai ilahi dari tulisan-tulisan suci di agama- agama lain juga dikemukakan. Tentunya, harus diakui bahwa terdapat elemen-elemen di dalam tulisan-tulisan ini yang merupakan alat-alat nyata/ de facto yang oleh mereka [tulisan-tulisan itu] orang-orang sepanjang abad telah dan sampai sekarang masih dapat memelihara dan menjaga hubungan yang hidup dengan Tuhan. Maka, seperti diketahui di atas, Konsili Vatikan II, mengajarkan bahwa “meskipun berbeda dengan ajaran Gereja, tulisan-tulisan ini memantulkan sinar kebenaran, yang menerangi semua orang.”[24]

Namun demikian, tradisi Gereja mempertahankan penetapan teks- teks yang diinspirasikan kepada kitab-kitab kanonik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sebab keduanya ini diinspirasikan oleh Roh Kudus.[25] Konsili Vatikan II menyatakan, “Bunda Gereja yang kudus, berdasarkan iman para Rasul, memandang Kitab-kitab Perjanjian Lama maupun Baru secara keseluruhan, beserta semua bagian-bagiannya, sebagai buku-buku yang suci dan kanonik, karena ditulis dengan ilham Roh Kudus (lih. Yoh 20:31 ; 2Tim 3:16 ; 2Ptr 1:19-21 ; 2Ptr 3:15-16), dan mempunyai Allah sebagai pengarangnya, serta dalam keadaannya demikian itu diserahkan kepada Gereja.”[26]. Kitab-kitab ini “degan jelas dan setia, tanpa kesalahan, mengajarkan kebenaran yang ingin disampaikan oleh Tuhan demi keselamatan kita melalui Kitab Suci.”[27]

Namun demikian, Tuhan yang ingin memanggil semua bangsa kepada-Nya di dalam Kristus dan untuk menyampaikan kepada mereka kepenuhan wahyu dan kasih-Nya, “tidak gagal dalam membuat Diri-Nya hadir di dalam banyak cara, tidak hanya pada orang-per orang, tetapi pada keseluruhan bangsa melalui kekayaan spiritual mereka, yang menjadi agama-agama mereka, meskipun ketika di dalamnya terkandung hal-hal yang tak menyambung (gaps), kurang lengkap dan keliru.”[28] Oleh karena itu, kitab-kitab suci agama-agama lain yang secara nyata membimbing dan memelihara keberadaan para pengikutnya, menerima elemen-elemen kebaikan dan rahmat, dari misteri Kristus. II. Sang Sabda yang menjelma dan Roh Kudus di dalam karya Keselamatan

9. Di dalam permenungan teologis kontemporer kadang timbul sebuah pendekatan tentang Yesus dari Nazareth yang menganggap-Nya hanyalah seseorang figur yang khusus, terbatas, tokoh historis yang menyatakan keilahian, namun tidak dengan cara yang eksklusif, tetapi dengan cara yang saling melengkapi dengan tokoh-tokoh penyelamat yang lain. [Pendapat ini mengatakan bahwa] Tuhan yang Tidak terbatas dan Absolut menyatakan diri-Nya kepada manusia dalam banyak cara dan di dalam banyak tokoh historis: Yesus dari Nazareth hanya salah satu dari tokoh-tokoh ini. Lebih konkretnya, bagi beberapa orang, Yesus hanyalah salah satu dari banyak wajah yang diambil oleh Sang Sabda di sepanjang waktu untuk menyampaikan kepada manusia jalan keselamatan.

Selanjutnya, untuk membenarkan ke-universal-an keselamatan Kristiani [keselamatan bagi semua orang] dan pluralisme religius, diusulkan bahwa terdapat pembagian Sabda ilahi yang sah, juga di luar Gereja dan tidak berhubungan dengannya, sebagai tambahan dari pengaturan tentang Inkarnasi Sang Sabda. Hal yang pertama sifatnya lebih universal daripada yang kedua, yang terbatas hanya pada umat Kristen, walaupun kehadiran Tuhan lebih penuh di dalam hal yang kedua.

10. Pandangan- pandangan ini sangat bertentangan dengan iman Kristiani. Ajaran iman harus diimani dengan teguh yang mewartakan bahwa Yesus dari Nazareth, Putera Maria, dan Ia sendirianlah yang adalah Putera Allah. Sang Sabda, yang “pada mulanya bersama-sama dengan Allah” (Yoh 1:2) adalah Ia yang menjelma menjadi daging (Yoh 1:14). Di dalam Yesus, “Kristus, Putera Allah yang hidup” (Mat 16:16), “dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan ke-Allahan” (Kol 2:9). Ia adalah “… Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa” (Yoh 1:18). Ia adalah “Anak-Nya yang kekasih; di dalam Dia kita memiliki penebusan kita…… Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia, dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus. (Kol 1:13-14; 19-20)

Setia dengan Kitab Suci dan menolak ajaran yang salah, dan interpretasi-interpretasi yang ‘dikurangi’, maka Konsili pertama di Nicea mendefinisikan iman ini di dalam: “Tuhan Yesus Kristus, Putera Allah yang Tunggal. Ia lahir dari Bapa yaitu, dari hakekat Allah Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar, dilahirkan, bukan dijadikan, sehakekat dengan Bapa, segala sesuatu dijadikan oleh-Nya, yang di surga dan di bumi. Untuk kita manusia dan untuk keselamatan kita, Ia turun dan menjelma menjadi manusia, sengsara, dan bangkit lagi pada hari ketiga. Ia naik ke surga dan akan kembali mengadili yang hidup dan yang mati.”[29]. Mengikuti ajaran para Bapa Gereja, Konsili Chalcedon mengajarkan, “Putera yang satu dan sama, Tuhan kita Yesus Kristus, yang sama sempurna di dalam keilahian dan sempurna di dalam kemanusiaan, yang sama, sungguh-sungguh Tuhan dan sungguh manusia ….., satu sehakekat dengan Bapa menurut keilahian-Nya dan satu sehakekat dengan kita menurut kemanusiaan-Nya, berasal dari Bapa sebelum segala abad menurut keilahian-Nya, dan di hari-hari akhir ini, demi kita dan keselamatan kita, Putera dari Maria, Perawan Bunda Allah, menurut kemanusiaan-Nya.[30]

Untuk alasan ini, Konsili Vatikan II menyatakan bahwa Kristus, “Adam yang baru …’gambaran dari Allah yang tidak kelihatan’ (Kol 1:15) adalah seorang manusia yang sempurna yang menampakkan keserupaan dengan Tuhan di dalam keturunan Adam yang telah cacat/ disfigured sejak adanya dosa yang pertama… Seperti seekor domba yang tak bersalah Ia memperoleh bagi kita kehidupan dengan darah-Nya yang dicurahkannya dengan rela. Di dalam Dia, Tuhan mendamaikan kita dengan Diri-Nya dan antara kita satu sama lain, membebaskan kita dari belenggu Iblis dan dosa, sehingga setiap kita dapat berkata dengan Rasul Paulus: Putera Allah “mengasihi aku dan menyerahkan Diri-Nya untuk aku (Gal 2:20)”.[31]

Tentang ini Yohanes Paulus II telah secara eksplisit menyatakan, “Untuk memperkenalkan suatu bentuk pemisahan antara Sang Sabda dan Yesus Kristus adalah bertentangan dengan iman Kristiani …. Yesus adalah Sabda yang menjelma- Seorang yang sama dan tak dapat dibagi…. Kristus tidak lain adalah Yesus dari Nazareth; Ia adalah Sabda Allah yang menjadi manusia demi keselamatan semua orang… Di dalam proses penemuan dan penghargaan karunia-karunia yang berlimpah -terutama harta kekayaan rohani- yang dicurahkan oleh Tuhan kepada setiap bangsa, kita tidak dapat memisahkan karunia-karunia itu dari Yesus Kristus, yang ada di pusat rencana keselamatan Tuhan.”[32]

Juga bertolakbelakang dengan iman Katolik, pemisahan antara tindakan penyelamatan dari Sang Sabda tersebut dan tindakan Sang Sabda yang menjadi manusia. Dengan inkarnasi, semua tindakan penyelamatan dari Sabda Allah selalu dilakukan di dalam kesatuan dengan kodrat manusia yang dikenakan-Nya demi keselamatan semua orang. Satu Subyek pelaku yang bekerja dalam dua kodrat, manusia dan ilahi, adalah seorang Pribadi dari Sang Sabda.[33]

Oleh karena itu, teori yang menganggap, setelah Inkarnasi, sebuah tindakan penyelamatan dari Sang Sabda sedemikian seperti di dalam keilahian-Nya, dilakukan sebagai “tambahan” atau “melampaui” kemanusiaan Kristus, adalah tidak sejalan dengan iman Katolik.[34]

11. Serupa dengan itu, ajaran iman tentang keunikan pengaturan rahmat keselamatan yang diinginkan oleh Allah Trinitas harus diimani dengan teguh, di mana sumber dan pusatnya adalah misteri dan Inkarnasi Sang Sabda, Pengantara rahmat ilahi pada saat Penciptaan dan Penyelamatan (lih. Kol 1:15-20), Ia yang merangkum semua (lih. Ef 1:10), Ia “yang oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia membenarkan dan menguduskan dan menebus kita” (1 Kor 1:30). Kenyataannya, misteri Kristus mempunyai kesatuan yang hakiki, yang membentang dari pilihan Tuhan yang ilahi sampai paraousia [kedatangan Kristus yang kedua]: “Sebab di dalam Dia [Kristus] Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya (Ef 1:4); “Di dalam Kristus, …kami mendapat bagian yang dijanjikan–kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya– (Ef 1:11); “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara. Dan mereka yang ditentukan-Nya dari semula, mereka itu juga dipanggil-Nya. Dan mereka yang dipanggil-Nya, mereka itu juga dibenarkan-Nya. Dan mereka yang dibenarkan-Nya, mereka itu juga dimuliakan-Nya.” (Rom 8:29-30)

Magisterium Gereja, setia dengan wahyu ilahi, menyatakan kembali bahwa Yesus Kristus adalah Sang Pengantara dan Penebus umat manusia: “Sebab Sabda Allah sendiri – karena-Nya segala sesuatu dijadikan – telah menjadi daging, supaya Ia sebagai manusia yang sempurna menyelamatkan semua orang dan merangkum segalanya dalam Dirinya. Tuhanlah … yang ditetapkan Bapa menjadi hakim bagi mereka yang hidup maupun yang mati”.[35] Pengantaraan keselamatan ini termasuk juga keunikan dari korban Kristus yang menyelamatkan, Sang Imam Agung yang abadi (lih. Ibr 6:20; 9: 11; 10:12-14).

12. Ada juga orang-orang yang mengusulkan hipotesa tentang pengaturan rahmat Roh Kudus dengan sebuah aliran yang lebih universal daripada Sabda yang menjelma menjadi manusia, disalibkan dan bangkit. Pandangan ini juga bertentangan dengan iman Katolik, yang sebaliknya, menganggap Inkarnasi Sang Sabda yang menyelamatkan sebagai kesatuan tindakan/ kejadian Allah Trinitas. Di dalam Perjanjian Baru, misteri Yesus dan Sang Sabda yang menjelma, merupakan wadah kehadiran Roh Kudus dan juga sebagai prinsip penyebaran Roh Kudus kepada umat manusia, tidak hanya pada jaman mesianis (lih. Kis 2:32-36; Yoh 7:39, 20:22; 1 Kor 15:45), tetapi juga sebelum kedatangan-Nya di dalam sejarah (lih. 1 Kor 10:4; 1 Pet 1:10:12).

Konsili Vatikan II telah mengingat kembali dengan kesadaran tentang iman Gereja tentang kebenaran yang mendasar ini. Dengan menghadirkan rencana keselamatan Bapa bagi semua umat manusia, Konsili menghubungkan eratnya misteri Kristus dengan awal permulaan misteri Roh Kudus.[36] Keseluruhan karya membangun Gereja oleh Yesus Kristus Sang Kepala, di sepanjang segala abad, dilihat sebagai sebuah tindakan yang dilakukan-Nya di dalam persekutuan dengan Roh-Nya.[37]

Selanjutnya, tindakan penyelamatan oleh Yesus Kristus, dengan dan melalui Roh-Nya, melampaui batas-batas yang kelihatan dari Gereja kepada semua umat manusia. Berbicara tentang misteri Paska, di mana Kristus bahkan sekarang menghubungkan umat beriman dengan Diri-Nya sendiri dengan cara yang hidup di dalam Roh Kudus dan memberikan kepada umat pengharapan akan kebangkitan, Konsili menyatakan: “Semua ini bukan hanya berlaku bagi kaum beriman Kristiani, melainkan bagi semua orang yang berkehendak baik, yang di hatinya rahmat yang tidak kelihatan aktif berperan. Sebab karena Kristus telah wafat bagi semua orang, dan panggilan terakhir manusia benar-benar hanya satu, yakni bersifat ilahi, kita harus berpegang teguh, bahwa Roh Kudus membuka kemungkinan bagi semua orang, untuk dengan cara yang diketahui oleh Allah digabungkan dengan misteri Paska itu”.[38]

Oleh karena itu, hubungannya jelas antara misteri keselamatan Sabda yang menjelma dan misteri Roh Kudus, yang merealisasikan kemanjuran penyelamatan dari Sang Putera yang menjelma menjadi manusia di dalam kehidupan semua orang, yang dipanggil oleh Tuhan kepada tujuan yang satu, baik mereka yang secara historis hidup sebelum penjelmaan Sang Sabda, dan mereka yang hidup setelah kedatangan-Nya di dalam sejarah: Roh dari Allah Bapa, yang dicurahkan secara melimpah oleh Sang Putera Allah, adalah yang menghidupkan segalanya (lih. Yoh 3: 34).

Dengan demikian, Magisterium Gereja belakangan ini mengingatkan kembali dengan teguh dan jelas kebenaran akan sebuah/ satu pengaturan ilahi: “Kehadiran Roh Kudus dan tindakan-Nya tidak hanya mempengaruhi pribadi-pribadi tetapi masyarakat dan sejarah, bangsa-bangsa, budaya dan agama-agama… Kristus yang bangkit ‘sekarang ini sedang bekerja di dalam hati manusia melalui kekuatan Roh Kudus-Nya’…. Lagi, adalah Roh Kudus yang menaburkan ‘benih dari Sang Sabda’ yang hadir di dalam berbagai cara hidup dan budaya, mempersiapkan mereka bagi kedewasaan di dalam Kristus”.[39] Sementara mengenali fungsi Roh Kudus yang menyelamatkan secara historis di seluruh alam semesta dan di dalam seluruh sejarah manusia,[40] Magisterium menyatakan: “Ini adalah Roh Kudus yang sama, yang bekerja pada saat Inkarnasi dan di dalam hidup, kematian dan kebangkitan Yesus, dan yang kini bekerja di dalam Gereja. Karena itu, Ia bukanlah merupakan alternatif di samping Kristus ataupun seperti yang kadang diduga, Ia mengisi kekosongan yang ada antara Kristus dan Sang Sabda. Apapun yang dihasilkan oleh Roh Kudus di dalam hati manusia dan di dalam sejarah bangsa-bangsa, di dalam budaya-budaya dan agama-agama, menjadi sebuah persiapan bagi Injil dan hanya dapat dimengerti dengan mengacu kepada Kristus, Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia oleh kuasa Roh Kudus ‘sehingga karena Ia adalah sungguh-sungguh manusia, maka Ia dapat menyelamatkan semua manusia dan merangkum segala sesuatu’”.[41]

Kesimpulannya, pekerjaan Roh Kudus tidaklah berada di luar ataupun sejajar dengan pekerjaan Kristus. Hanya ada satu pengaturan keselamatan dari Allah yang satu dan Tritunggal, yang dinyatakan di dalam misteri Inkarnasi, kematian dan kebangkitan Putera Allah, yang dilakukan dengan kerjasama Roh Kudus dan diteruskan di dalam nilai yang menyelamatkan kepada semua umat manusia dan kepada segenap alam semesta. “Oleh karena itu, tak seorangpun, yang dapat masuk ke dalam persekutuan dengan Tuhan kecuali melalui Kristus, dengan kuasa perbuatan Roh Kudus”.[42] III. Keunikan dan keuniversalan Misteri Keselamatan oleh Yesus Kristus

13. Tesis yang menolak keunikan dan keselamatan bagi semua orang dari misteri Yesus Kristus juga diketengahkan di sini. Pandangan semacam ini tidak mempunyai dasar Alkitabiah. Kenyataannya, kebenaran tentang Yesus Kristus, Putera Allah, Tuhan dan satu-satunya Penyelamat, yang melalui kejadian Inkarnasi-Nya, kematian dan kebangkitan-Nya telah membawa sejarah keselamatan kepada penggenapannya, dan yang mempunyai kepenuhan dan pusat di dalam diri-Nya, harus diimani dengan teguh sebagai sebuah elemen iman Gereja yang tetap.

Perjanjian Baru menegaskan hal ini dengan jelas: “Dan kami telah melihat dan bersaksi, bahwa Bapa telah mengutus Anak-Nya menjadi Juruselamat dunia.” (1 Yoh 4:14) Pada keesokan harinya Yohanes melihat Yesus datang kepadanya dan ia berkata: “Lihatlah Anak domba Allah, yang menghapus dosa dunia. (Yoh 1:29). Di dalam pernyataannya di hadapan Sanhedrin, Petrus, untuk membenarkan penyembuhan seorang laki-laki yang cacat dari lahir, yang dilakukan di dalam nama Yesus (lih. Kis 3:1-8), menyerukan: “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kis 4:12). Rasul Paulus menambahkan, selanjutnya, bahwa Yesus Kristus adalah “Tuhan di atas segalanya”, “hakim dari yang hidup dan mati”, dan karenanya, “barang siapa yang percaya kepada-Nya menerima pengampunan dosa melalui nama-Nya.” (lih. Kis 10:36, 42, 43)

Paulus, kepada jemaat di Korintus, menuliskan: “Sebab sungguhpun ada apa yang disebut “allah”, baik di sorga, maupun di bumi–dan memang benar ada banyak “allah” dan banyak “tuhan” yang demikian– namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup.” (1 Kor 8:5-6) Selanjutnya Rasul Yohanes mengatakan, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan dapat beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.” (Yoh 3:16-17) Di dalam Perjanjian Baru, kehendak Allah yang untuk menyelamatkan semua orang adalah sangat erat berhubungan dengan Pengantaraan Kristus yang satu-satunya: “[Tuhan] menghendaki supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran. Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.” (1 Tim 2:4-6)

Adalah suatu kesadaran tentang satu karunia keselamatan yang universal yang ditawarkan oleh Allah Bapa melalui Yesus Kristus di dalam Roh Kudus (lih. Ef 1:2-14), bahwa jemaat Kristen yang pertama bertemu dengan bangsa Yahudi, menunjukkan kepada mereka pemenuhan keselamatan yang terjadi melampaui Hukum Taurat dan, pada saat yang sama, kesadaran, yang dinyatakan oleh mereka untuk menentang dunia pagan pada jaman mereka, yang menginginkan keselamatan melalui banyak juru selamat. Warisan iman ini telah diingatkan kembali oleh Magisterium: “Adapun Gereja mengimani, bahwa Kristus telah wafat dan bangkit bagi semua orang (lih. 2 Kor 5:15). Ia mengaruniakan kepada manusia terang dan kekuatan melalui Roh-Nya, supaya manusia mampu menanggapi panggilannya yang amat luhur. Dan dibawah langit tidak diberikan kepada manusia nama lain, yang bagi mereka harus menjadi pokok keselamatan (lih. Kis 4:12). Begitu pula Gereja percaya, bahwa kunci, pusat dan tujuan seluruh sejarah manusia terdapat pada Tuhan dan Gurunya”.[43]

14. Karena itu, juga harus diimani dengan teguh sebagai sebuah kebenaran iman Katolik bahwa kehendak Allah yang Satu dan Trinitas akan keselamatan [umat manusia] secara universal ditawarkan dan digenapi satu kali dan selama-lamanya di dalam misteri Inkarnasi, kematian dan kebangkitan Putera Allah.

Dengan memegang artikel iman ini, teologi dewasa ini, di dalam permenungannya atas keberadaan pengalaman-pengalaman religius dan atas maknanya di dalam rencana keselamatan Tuhan, diundang untuk meneliti apabila dan di dalam hal apa tokoh- tokoh sejarah dan elemen-elemen positif dari agama-agama ini dapat masuk di dalam rencana ilahi tentang keselamatan. Konsili Vatikan II, telah menyatakan bahwa: “begitu pula satu-satunya pengantaraan Penebus tidak meniadakan, melainkan membangkitkan pada makhluk-makhluk aneka bentuk kerja sama yang berasal dari satu-satunya sumber”.[44] Isi dari partisipasi pengantaraan ini harus diteliti dengan lebih mendalam, tetapi harus tetap konsisten dengan prinsip pengantaraan Kristus yang unik: “meskipun bentuk- bentuk partisipasi dalam pengantaraan di berbagai cara dan derajatnya tidak diabaikan, mereka memperoleh maknanya dan nilainya hanya dari Pengantaraan Kristus sendiri, dan mereka tidak dapat dipahami sebagai sesuatu yang sejajar ataupun melengkapi terhadap Pengantaraan Kristus”.[45] Oleh karena itu, solusi-solusi tersebut yang mengusulkan sebuah tindakan penyelamatan Allah yang melampaui Pengantaraan Kristus yang satu- satunya, bertentangan dengan iman Kristiani dan iman Katolik.

15. Tidak jarang, dikatakan bahwa teologi harus menghindari penggunaan istilah- istilah seperti “keunikan”, “keuniversalan” dan “keabsolutan”, yang memberi kesan penekanan yang berlebihan pada keutamaan dan nilai penyelamatan Yesus Kristus dalam hubungannya dengan agama-agama lain. Namun pada kenyataannya, istilah itu hanyalah karena kesetiaan kepada wahyu, karena hal itu menyampaikan perkembangan sumber- sumber iman itu sendiri. Sejak awal mula, para umat beriman telah mengenali sebuah nilai keselamatan di dalam Yesus, bahwa Ia sendiri, sebagai Putera Allah yang menjelma menjadi manusia, disalibkan dan bangkit, dengan misi yang diterima dari Allah Bapa dan dengan kuasa Roh Kudus, mencurahkan wahyu (lih. Mat 11:27) dan kehidupan ilahi (lih. Yoh 1:12; 5:25-26; 17:2) kepada semua umat manusia dan kepada setiap orang.

Dalam hal ini, seseorang dapat dan harus mengatakan bahwa Yesus Kristus mempunyai sebuah keutamaan dan sebuah nilai bagi umat manusia dan sejarahnya, yang unik dan satu- satunya…, eksklusif, universal dan absolut. Yesus adalah, Sabda Allah yang menjelma menjadi manusia untuk keselamatan semua orang. Di dalam mengekspresikan kesadaran iman ini, Konsili Vatikan II mengajarkan: “Sebab Sabda Allah sendiri – karena-Nya segala sesuatu dijadikan – telah menjadi daging, supaya Ia sebagai manusia yang sempurna menyelamatkan semua orang dan merangkum segalanya dalam Dirinya. Tuhanlah tujuan sejarah manusia, titik-sasaran dambaan-dambaan sejarah maupun peradaban, pusat umat manusia, kegembiraan hati semua orang dan pemenuhan aspirasi-aspirasi mereka. Dialah yang oleh Bapa dibangkitkan dari kematian, ditinggikan dan ditempatkan disisi kanan-Nya; Dialah yang ditetapkan-Nya menjadi hakim bagi mereka yang hidup maupun yang mati”.[46]. “Justru keunikan Kristus inilah yang memberikanNya sebuah keutamaan yang absolut dan universal, yang walaupun menjadi bagian dari sejarah, Ia tetap menjadi pusat dan tujuan: ‘Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Pertama dan Yang Terkemudian, Yang Awal dan Yang Akhir’ “.[47] IV. Keunikan dan kesatuan Gereja Katolik

16. Tuhan Yesus Kristus, dan satu-satunya Penyelamat, tidak hanya mendirikan sebuah komunitas sederhana yang terdiri dari murid-murid-Nya, tetapi mendirikan Gereja sebagai sebuah misteri yang menyelamatkan: Ia sendiri adalah Gereja dan Gereja adalah di dalam Dia (lih. Yoh 15:1ff.; Gal 3:28; Ef 4:15-16; Kis 9:5). Oleh karena itu, kepenuhan misteri Kristus yang menyelamatkan menjadi milik Gereja dan tidak dapat dipisahkan dengan Tuhannya. Sungguh, Yesus Kristus melanjutkan kehadiran-Nya dan pekerjaan keselamatan di dalam Gereja dan melalui Gereja (lih. Kol 1:24-27)[48], yang adalah Tubuh-Nya (cf. 1 Kor 12:12-13, 27; Kol 1:18).[49] Dan oleh karenanya, seperti kepala dan anggota-anggota tubuh dalam sebuah tubuh yang hidup, meskipun tidak sama, tapi tidak dapat dipisahkan, maka demikian juga Kristus dengan Gereja juga tidak dapat dicampur-baurkan atau dipisahkan, dan merupakan sebuah “keseluruhan Kristus”[50]. Ketidakterpisahan ini juga dinyatakan di dalam Perjanjian Baru dengan analogi Gereja sebagai Mempelai Kristus (lih. 2 Cor 11:2; Eph 5:25-29; Rev 21:2,9).[51]

Oleh karena itu, di dalam hubungan dengan keunikan dan Pengantaraan Yesus Kristus yang menyelamatkan semua umat manusia, keunikan Gereja yang didirikan oleh-Nya harus diimani dengan teguh sebagai sebuah kebenaran iman Katolik. Seperti bahwa hanya terdapat satu Kristus, maka hanya terdapat satu Tubuh Kristus, satu Mempelai Kristus: “sebuah Gereja yang satu dan apostolik”.[52] Selanjutnya, janji-janji Tuhan bahwa Ia tidak akan meninggalkan Gereja-Nya (lih. Mat 16:18; 28:20) dan bahwa Ia akan membimbingnya dengan Roh Kudus-Nya (lih. Yoh 16:13) berarti, menurut iman Katolik, bahwa keunikan dan kesatuan Gereja – seperti segala sesuatu yang menjadi milik keutuhan Gereja- tidak akan pernah kurang.[53]

Umat Katolik disyaratkan untuk mengakui bahwa terdapat kesinambungan historis- yang berakar dari rantai apostolik[54] – antara Gereja yang didirikan Kristus dengan Gereja Katolik: “Itulah satu-satunya Gereja Kristus … Sesudah kebangkitan-Nya Penebus kita menyerahkan Gereja kepada Petrus untuk digembalakan (lih. Yoh 21:17). Ia mempercayakannya kepada Petrus dan para rasul lainnya untuk diperluaskan dan dibimbing (lih. Mat 28:18 dsl), dan mendirikannya untuk selama-lamanya sebagai “tiang penopang dan dasar kebenaran” (lih. 1Tim 3:15). Gereja itu, yang didunia ini disusun dan diatur sebagai serikat, berada [subsistit in] dalam Gereja katolik, yang dipimpin oleh pengganti Petrus dan para Uskup dalam persekutuan dengannya”.[55] Dengan istilah subsistit ini, Konsili Vatikan II menyelaraskan dua pernyataan doktrin: di satu sisi, bahwa Gereja Kristus, meskipun terbagi-bagi di antara umat Kristen, tetaplah terus berada dalam kepenuhannya hanya di dalam Gereja Katolik dan di sisi lain, bahwa “di luar strukturnya, dapat ditemukan banyak elemen pengudusan dan kebenaran”, [56], yaitu di dalam Gereja- gereja dan komunitas eklesial yang belum bersatu dengan penuh dengan Gereja Katolik.[57] Tetapi berkenaan dengan hal ini, perlu dikatakan bahwa, “…hanya melalui Gereja Kristus yang katoliklah, yakni upaya umum untuk keselamatan, dapat dicapai seluruh kepenuhan upaya-upaya penyelamatan”.[58]

17. Dengan demikian, terdapat sebuah Gereja Kristus, yang berada di dalam Gereja Katolik, dipimpin oleh Penerus Rasul Petrus dan dengan para Uskup dengan persekutuan dengannya.[59] Gereja -gereja yang, sementara ini tidak dalam persekutuan yang sempurna dengan Gereja Katolik, tetap bersatu dengannya melalui ikatan yang terdekat, yaitu dengan rantai apostolik dan Ekaristi yang sah, adalah Gereja-gereja partikular yang sejati.[60]. Karena itu, Gereja Kristus hadir dan bekerja juga di dalam Gereja- gereja ini, meskipun mereka kurang dalam persekutuan penuh dengan Gereja Katolik, karena mereka tidak menerima ajaran Katolik tentang Keutamaan Paus, yang menurut kehendak Tuhan, telah secara obyektif dimiliki dan dilaksanakanoleh Uskup Roma terhadap seluruh Gereja.[61]

Di lain pihak, komunitas-komunitas eklesial yang tidak mempertahankan Episkopat yang sah dan hakekat misteri Ekaristi yang asli dan menyeluruh,[62] tidak dapat disebut sebagai Gereja dalam arti yang sebenarnya; namun demikian mereka yang dibaptis di dalam komunitas ini adalah, dengan Pembaptisan, tergabung di dalam Kristus dan karenanya di dalam persekutuan tertentu, walaupun tidak sempurna, dengan Gereja.[63] Pembaptisan, sesungguhnya cenderung mengarah kepada perkembangan hidup yang penuh di dalam Kristus, melalui pengakuan iman yang menyeluruh, Ekaristi, dan persekutuan yang sempurna di dalam Gereja[64].

“Karena itu, umat Kristiani tidak diijinkan untuk membayangkan bahwa Gereja Kristus adalah tidak lebih dari sekedar sebuah kumpulan – terbagi-bagi, tetapi dikatakan satu- dari Gereja-gereja dan komunitas eklesial; ataupun mereka tidak boleh menganggap bahwa sekarang ini Gereja Kristus tidak benar- benar ada, dan menganggap sebagai hanya sebuah tujuan yang harus dicapai dengan kerja keras oleh semua Gereja-gereja dan komunitas-komunitas eklesial.”[65] Sebenarnya, “elemen-elemen yang telah diberikan kepada Gereja, ada dan tergabung bersama di dalam kepenuhannya di dalam Gereja Katolik dan, tanpa kepenuhannya, di dalam komunitas-komunitas yang lain”.[66] “Oleh karena itu Gereja-Gereja dan Jemaat-Jemaat yang terpisah, walaupun menurut pandangan kita diwarnai oleh kekurangan-kekurangan, sama sekali bukannya tidak berarti atau bernilai dalam misteri keselamatan. Sebab Roh Kristus tidak menolak untuk menggunakan mereka sebagai upaya-upaya keselamatan, yang kekuatannya bersumber pada kepenuhan rahmat serta kebenaran sendiri, yang dipercayakan kepada Gereja Katolik.”[67]

“Kekurangan kesatuan di antara umat Kristiani tentu adalah sebuah luka bagi Gereja; tidak dalam arti bahwa ia kehilangan kesatuannya, tetapi “bahwa hal itu menghambat pemenuhan yang lengkap dari ke-universalannya di dalam sejarah”.[68] V. Gereja Katolik: Kerajaan Tuhan dan Kerajaan Kristus

18. Misi Gereja adalah untuk “mewartakan Kerajaan Kristus dan Kerajaan Allah, dan mendirikannya ditengah semua bangsa. Gereja merupakan benih dan awal mula Kerajaan itu di dunia”[69]. Di satu sisi, Gereja adalah “sebuah sakramen – “yakni tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah dan kesatuan seluruh umat manusia”.[70] Karena itu, ia adalah tanda dan alat kerajaan; ia dipanggil untuk mempermaklumkan dan mendirikan kerajaan. Di sisi lainnya, Gereja adalah “umat yang disatukan berdasarkan kesatuan Bapa dan Putera dan Roh Kudus”.[71]; dengan demikian, ia adalah “kerajaan Kristus yang sudah hadir dalam misteri”[72] dan merupakan benihnya dan permulaannya. Kerajaan Allah, sesungguhnya, mempunyai segi eskatoligis: hal itu adalah realitas di saat ini, tetapi realisasi sepenuhnya hanya akan dicapai dengan penggenapan atau pemenuhan sejarah.[73]

Arti istilah-istilah kerajaan surga, kerajaan Allah dan kerajaan Kristus di dalam Kitab Suci dan tulisan para Bapa Gereja, juga di dalam dokumen-dokumen Magisterium, tidak selalu sama persis, demikian juga hubungan-hubungan mereka dengan Gereja, yang adalah sebuah misteri yang tidak dapat dipahami secara total oleh pemikiran manusia. Oleh karena itu, terdapat berbagai penjelasan teologis dari istilah-istilah ini. Namun demikian, tidak satupun dari penjelasan- penjelasan yang mungkin ini sama sekali dapat menolak atau meniadakan hubungan yang akrab antara Kristus, kerajaan dan Gereja. Nyatanya, kerajaan Allah yang kita ketahui dari wahyu, “tidak dapat dipisahkan baik dari Kristus atau dari Gereja… Jika kerajaan dipisahkan dari Kristus, itu bukan lagi kerajaan Allah yang diwahyukan-Nya. Hasilnya adalah sebuah distorsi tentang makna kerajaan, yang beresiko diubah menjadi sebuah tujuan yang murni dari manusia atau ideologis dan sebuah distorsi tentang identitas Kristus, yang tidak lagi tampil sebagai Tuhan, yang kepada-Nya setiap ciptaan suatu hari nanti akan tunduk (lih. 1 Kor 15:27). Karena itu, seseorang tidak boleh memisahkan kerajaan dengan Gereja. Adalah benar bahwa Gereja bukan sebuah akhir dari dirinya sendiri, sebab ia diarahkan menuju kerajaan Allah, yang mana ia adalah benihnya, tanda dan alat. Tetapi, sementara tetap berbeda dari Kristus dan kerajaan, Gereja disatukan secara tak terceraikan dengan keduanya.[74]

19. Untuk menyatakan hubungan yang tak terceraikan antara Kristus dan kerajaan adalah tidak untuk mengabaikan kenyataan bahwa kerajaan Allah – meskipun jika dianggap di dalam tahap historis- tidak diidentifikasikan dengan Gereja di dalam realitasnya yang kelihatan dan bersifat sosial. Kenyataannya, “tindakan Kristus dan Roh Kudus di luar batas- batas Gereja yang kelihatan” tidak boleh diabaikan.[75] Sehingga, seseorang harus juga mengingat bahwa, “kerajaan menyangkut semua orang: pribadi-pribadi, masyarakat dan dunia. Bekerja untuk kerajaan berarti mengakui dan memajukan pekerjaan Allah, yang hadir di sejarah manusia dan mengubahnya. Membangun kerajaan berarti bekerja bagi pembebasan dari kejahatan di dalam segala bentuknya. Singkatnya, kerajaan Allah adalah perwujudan dan realisasi rencana keselamatan Allah di dalam segala kepenuhannya”.[76]

Dalam mempertimbangkan hubungan antara kerajaan Allah, kerajaan Kristus dan Gereja, adalah penting untuk menghindari penekanan yang tak berimbang, seperti dalam kasus dengan “pengertian-pengertian itu yang secara sengaja menekankan kerajaan dan yang menjabarkan mereka sendiri sebagai ‘kerajaan terpusat’. Mereka menekankan gambaran sebuah Gereja yang tidak peduli terhadap dirinya sendiri, tetapi yang sepenuhnya peduli untuk menjadi saksi dan melayani kerajaan. Ia adalah sebuah ‘Gereja bagi sesama,’ seperti Kristus adalah ‘manusia bagi sesama’…. Bersamaan dengan hal- hal positif, konsep-konsep ini sering menyatakan hal-hal negatif juga. Pertama, mereka bungkam tentang Kristus: kerajaan yang mereka bicarakan adalah berdasarkan ‘teosentris’, karena menurut mereka, Kristus tidak dapat dimengerti oleh mereka yang kurang beriman Kristiani, sedangkan bangsa-bangsa yang berbeda, budaya-budaya, dan agama-agama dapat menemukan dasar bersama di dalam sebuah realitas ilahi, dengan nama apapun juga. Dengan alasan yang sama, mereka menempatkan penekanan besar pada misteri penciptaan, yang dicerminkan di dalamnya keanekaragaman budaya dan kepercayaan, tetapi mereka bungkam tentang misteri penebusan dosa. Selanjutnya, kerajaan, seperti yang dimengerti oleh mereka, berakhir dengan entah meninggalkan sangat sedikit ruang bagi Gereja atau merendahkan nilai Gereja sebagai reaksi terhadap sebuah anggapan ‘eklesiosentrism’ di masa lalu dan karena mereka menanggap Gereja sendiri hanya sebagai sebuah tanda, untuk hal itu, tanda yang tidak tanpa banyak arti/ ambigu.”[77]. Thesis- thesis ini bertentangan dengan iman Katolik sebab mereka menolak keunikan hubungan yang dimiliki oleh Kristus dan Gereja dengan kerajaan Allah. VI. Gereja Katolik dan agama-agama lain di dalam hubungannya dengan keselamatan

20. Dari apa yang telah dinyatakan di atas, timbul beberapa butir yang penting untuk permenungan teologis sebab hal itu menjelaskan hubungan Gereja dan agama-agama lain dalam hal keselamatan.

Di atas segalanya, haruslah diimani dengan teguh bahwa “Gereja yang sedang mengembara ini perlu untuk keselamatan. Sebab hanya satulah Pengantara dan jalan keselamatan, yakni Kristus. Ia hadir bagi kita dalam tubuh-Nya, yakni Gereja. Dengan jelas-jelas menegaskan perlunya iman dan baptis (lih. Mrk 16:16; Yoh 3:5). Kristus sekaligus menegaskan perlunya Gereja, yang dimasuki orang-orang melalui baptis bagaikan pintunya’.[78] Ajaran ini harus tidak ditempatkan berlawanan dengan kehendak keselamatan Tuhan yang bersifat universal: Gereja yang satu adalah pengantara dan jalan keselamatan (cf. 1 Tim 2:4); “Adalah penting untuk menjaga dua kebenaran ini bersama-sama, yaitu, kemungkinan yang nyata akan keselamatan di dalam Kristus untuk semua umat manusia dan pentingnya Gereja untuk keselamatan ini.”[79]

Gereja adalah “sakramen keselamatan bagi semua orang”[80], karena, selalu bersatu secara misterius dengan Sang Juru Selamat Yesus Kristus, Kepalanya, dan tunduk kepada-Nya, ia mempunyai, di dalam rencana Tuhan, sebuah hubungan yang sangat diperlukan dengan keselamatan setiap manusia.[81] Bagi mereka yang bukan merupakan anggota resmi dan yang kelihatan (visible) dari Gereja, “keselamatan di dalam Kristus dicapai dengan kebajikan rahmat, yang ketika mempunyai hubungan yang misterius dengan Gereja, tidak membuat mereka secara resmi bagian dari Gereja, tetapi [rahmat ini] menerangi mereka di dalam cara yang diakomodasikan dengan situasi rohani dan jasmani mereka. Rahmat ini datang dari Kristus; rahmat ini adalah hasil dari kurban-Nya dan disampaikan oleh Roh Kudus”;[82]; ia [rahmat ini] mempunyai sebuah hubungan dengan Gereja, yang “berasal dari perutusan Putera dan perutusan Roh Kudus menurut rencana Allah Bapa”.[83]

21. Dengan memperhatikan cara yang di dalamnya rahmat Allah yang menyelamatkan – yang diberikan selalu melalui Kristus di dalam Roh Kudus dan mempunyai sebuah hubungan yang misterius dengan Gereja- datang kepada pribadi yang non- Kristiani, Konsili Vatikan II membatasi dirinya kepada pernyataan bahwa Tuhan memberikan hal itu “dengan cara yang diketahui oleh Diri-Nya sendiri.”[84] Para teolog sedang mencari untuk memahami masalah ini dengan lebih penuh. Pekerjaan mereka harus didukung, sebab itu tentunya sangat berguna bagi pemahaman yang lebih baik tentang rencana keselamatan dan cara- cara yang melaluinya hal itu diwujudkan. Namun demikian, dari apa yang telah disebutkan di atas tentang Pengantaraan Yesus Kristus dan “keunikan dan hubungan yang khusus”[85] yang dimiliki oleh Gereja dengan kerajaan Allah di antara manusia- yang pada hakekatnya adalah kerajaan universal Kristus Sang Penyelamat- adalah jelas bahwa menjadi bertentangan dengan iman, untuk menganggap Gereja sebagai satu jalan keselamatan yang ada berdampingan dengan jalan-jalan agama- agama lain, yang dilihat sebagai yang melengkapi Gereja atau yang secara hakiki sama dengannya, meskipun jika ini dikatakan sebagai pertemuan dengan Gereja menuju kerajaan Tuhan di akhir jaman.

Jelaslah, berbagai tradisi religius mencakup dan menawarkan elemen-elemen religius yang datang dari Tuhan,[86] dan yang mana bagian dari apa “yang dihasilkan oleh Roh Kudus di dalam hati umat manusia dan di dalam sejarah bangsa-bangsa, di dalam budaya-budaya dan agama-agama”.[87] Sungguh, beberapa doa dan ritual dari beberapa agama dapat mengambil sebuah peran persiapan bagi Injil, dalam hal bahwa mereka adalah kesempatan-kesempatan dan bantuan-bantuan yang mendidik di mana hati manusia didorong untuk menjadi terbuka terhadap pekerjaan Allah.[88] Namun demikian, seseorang tidak dapat menganggap hal-hal ini, [sebagai] sebuah sumber ilahi atau sebuah ex opere operato kemanjuran keselamatan, yang layaknya pada sakramen-sakramen Kristiani.[89] Selanjutnya, tidak dapat diabaikan bahwa ritual-ritual yang lain jika mereka tergantung pada tahyul dan kesalahan- kesalahan yang lain (cf. 1 Kor 10:20-21), merupakan sebuah penghalang keselamatan.[90]

22. Dengan kedatangan Sang Juru Selamat Yesus Kristus, Tuhan telah meginginkan bahwa Gereja yang didirikan-Nya menjadi alat bagi keselamatan semua manusia (lih. Kis 17:30-31).[91] Kebenaran iman ini tidak mengurangi penghormatan yang tulus yang dimiliki oleh Gereja terhadap agama-agama di dunia, tetapi pada saat yang sama, Gereja mengatasi, dengan cara yang radikal, mentalitas acuh tak acuh, “yang ditandai dengan sebuah relativisme religius yang mengarah kepada kepercayaan bahwa ‘suatu agama adalah sama bagusnya dengan agama yang lainnya’ “.[92] Jika itu benar bahwa para pengikut agama-agama lain dapat menerima rahmat ilahi, maka pastilah, secara obyektif, mereka berada dalam keadaan yang sungguh kurang jika dibandingkan dengan dengan mereka yang berada di dalam Gereja, yang mempunyai kepenuhan sarana keselamatan.[93] Namun demikian, “Pun hendaklah semua Putera Gereja menyadari, bahwa mereka menikmati keadaan yang istimewa itu bukan karena jasa-jasa mereka sendiri, melainkan berkat rahmat Kristus yang istimewa pula. Dan bila mereka tidak menanggapi rahmat itu dengan pikiran, perkataan dan perbuatan, mereka bukan saja tidak diselamatkan, malahan akan diadili lebih keras”.[94] Karena itu, seseorang memahami bahwa mengikuti perintah Tuhan (lih. Mat 28:19-20) dan sebagai sebuah persyaratan dari kasihnya kepada semua orang, Gereja “tiada hentinya mewartakan dan wajib mewartakan Kristus, yakni “jalan, kebenaran dan hidup” (Yoh 14:6); dalam Dia manusia menemukan kepenuhan hidup keagamaan, dalam Dia pula Allah mendamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya”.[95]

Di dalam dialog antar agama, kegiatan misi ad gentes “sekarang ini seperti selalu tetap sepenuhnya mempunyai daya-kekuatan dan sifat keharusannya”.[96]. “Sungguh, Tuhan menghendaki “supaya semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran” (1 Tim 2:4); yaitu Allah menghendaki supaya semua orang sampai kepada keselamatan melalui pengetahuan akan kebenaran. Keselamatan terdapat dalam kebenaran. Barang siapa taat kepada dorongan Roh Kebenaran, ia sudah berada di jalan menuju keselamatan: tetapi Gereja, kepada siapa dipercayakan kebenaran ini, harus memperhatikan kerinduan manusia dan membawakan kebenaran itu kepadanya. Oleh karena Gereja percaya kepada keputusan keselamatan yang mencakup semua manusia, maka ia harus bersifat misioner”.[97]. Oleh karena itu, dialog antar agama, sebagai bagian dari misi evangelisasi, adalah hanya salah satu tindakan-tindakan Gereja di dalam misinya di seluruh bangsa/ad gentes.[98] Kesetaraan, yang merupakan sebuah persyaratan kondisi awal dari dialog antar agama, mengacu kepada persamaan martabat pribadi dari pihak-pihak di dalam dialog, tidak dari isi pengajarannya, atau bahkan kurangnya posisi Yesus Kristus- yang adalah Tuhan sendiri yang menjadi manusia- dalam hubungannya dengan agama-agama lain. Sungguh, Gereja, yang dibimbing oleh kasih dan hormat bagi kemerdekaan,[99] harus pada dasarnya berkomitmen untuk mewartakan kebenaran yang diwahyukan oleh Tuhan kepada segala bangsa, dan untuk mengumumkan pentingnya pertobatan kepada Yesus Kristus dan perlekatan kepada Gereja melalui Baptisan dan sakramen-sakramen yang lain, agar dapat mengambil bagian secara penuh di dalam persekutuan dengan Tuhan, Allah Bapa, Putera dan Roh Kudus. Jadi, kepastian tentang kehendak Allah untuk menyelamatkan semua orang tidak mengurangi, tetapi sebaliknya meningkatkan tugas dan keadaan mendesak tentang pewartaan keselamatan dan pertobatan kepada Tuhan Yesus Kristus. Kesimpulan

23. Maksud Deklarasi ini, dalam hal mengulangi dan menegaskan kembali kebenaran-kebenaran tertentu dari iman, telah mengikuti teladan dari Rasul Paulus, yang menulis kepada umat di Korintus: “Sebab yang sangat penting telah kusampaikan kepadamu, yaitu apa yang telah kuterima sendiri.” (1 Kor 15:3). Berhadapan dengan anggapan- anggapan tertentu yang problematik dan salah, permenungan teologis dipanggil untuk menguatkan kembali iman Gereja, dan untuk memberikan alasan- alasan bagi pengharapannya dengan cara yang meyakinkan dan efektif.

Untuk menanggapi pertanyaan tentang agama yang sejati, para Bapa Konsili Vatikan II mengajarkan: “Kita percaya, bahwa satu-satunya Agama yang benar itu berada dalam Gereja katolik dan apostolik, yang oleh Tuhan Yesus diserahi tugas untuk menyebarluaskannya kepada semua orang, ketika bersabda kepada para Rasul: “Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putera dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat 28:19-20). Adapun semua orang wajib mencari kebenaran, terutama dalam apa yang menyangkut Allah dan Gereja-Nya. Sesudah mereka mengenal kebenaran itu, mereka wajib memeluk dan mengamalkannya”.[100]

Wahyu Kristus akan terus menjadi “bintang pedoman sejati”[101] dalam sejarah umat manusia: “Kebenaran, yang adalah Kristus, menekankan sendiri sebagai sebuah otoritas yang menjangkau semua”.[102] Misteri Kristiani, pada kenyataannya, mengatasi semua penghalang waktu dan ruang, dan mencapai kesatuan keluarga besar umat manusia: “Dari tempat-tempat dan tradisi- tradisi mereka yang berbeda, semua [manusia] dipanggil di dalam Kristus untuk mengambil bagian di dalam kesatuan keluarga anak-anak Allah…. Yesus menghancurkan tembok-tembok pemisah dan menciptakan kesatuan di dalam sebuah cara yang baru dan tak terlampaui melalui keterlibatan kita di dalam misteri-Nya. Kesatuan ini adalah sangat dalam sehingga Gereja dapat berkata dengan Rasul Paulus: “Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah… ” (Ef 2:19).[103]

Imam Agung Yohanes Paulus II, pada saat Audiensi 16 Juni 2000, memberikan jaminan kepada Kardinal Prefek dari Kongregasi untuk Doktrin Iman (CDF) yang menandatangani di bawah ini, dengan pengetahuan yang pasti dan dengan otoritas apostolik, meratifikasi dan menyetujui Deklarasi ini, mengambilnya di dalam Sesi Plenary (keseluruhan) dan memerintahkan publikasinya.

Roma, dari Kantor Kongregasi untuk Doktrin Iman (CDF), 6 Agustus 2000, pada Pesta Transfigurasi, Yesus dimuliakan di atas gunung Tabor.

Kardinal Yosef Ratzinger Prefek

Tarcisio Bertone, S.D.B Uskup Agung Emeritus Vercelli Sekretaris

[1]

Referensi[sunting]

  1. First Council of Constantinople, Symbolum Constantinopolitanum: DS 150. [↩] Cf. John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 1: AAS 83 (1991), 249-340. [↩] Cf. Second Vatican Council, Decree Ad gentes and Declaration Nostra aetate; cf. also Paul VI Apostolic Exhortation Evangelii nuntiandi: AAS 68 (1976), 5-76; John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio. [↩] Second Vatican Council, Declaration Nostra aetate, 2. [↩] Pontifical Council for Inter-religious Dialogue and the Congregation for the Evangelization of Peoples, Instruction Dialogue and Proclamation, 29: AAS 84 (1992), 424; cf. Second Vatican Council, Pastoral Constitution Gaudium et spes, 22. [↩] Cf. John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 55: AAS 83 (1991), 302-304. [↩] Cf. Pontifical Council for Inter-religious Dialogue and the Congregation for the Evangelization of Peoples, Instruction Dialogue and Proclamation, 9: AAS 84 (1992), 417ff. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Fides et ratio, 5: AAS 91 (1999), 5-88. [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Dei verbum, 2. [↩] Ibid., 4 [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 5. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Fides et ratio, 14. [↩] Council of Chalcedon, Symbolum Chalcedonense: DS 301; cf. St. Athanasius, De Incarnatione, 54, 3: SC 199, 458. [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Dei verbum, 4. [↩] Ibid., 5. [↩] Ibid. [↩] Cf. Catechism of the Catholic Church, 144. [↩] Ibid., 150. [↩] Ibid., 150. [↩] Ibid., 153. [↩] Ibid., 178. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Fides et ratio, 13. [↩] Cf. ibid., 31-32. [↩] Second Vatican Council, Declaration Nostra aetate, 2; cf. Second Vatican Council, Decree Ad gentes, 9, where it speaks of the elements of good present “in the particular customs and cultures of peoples”; Dogmatic Constitution Lumen gentium, 16, where it mentions the elements of good and of truth present among non-Christians, which can be considered a preparation for the reception of the Gospel. [↩] Cf. Council of Trent, Decretum de libris sacris et de traditionibus recipiendis: DS 1501; First Vatican Council, Dogmatic Constitution Dei Filius, cap. 2: DS 3006. [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Dei verbum, 11. [↩] Ibid. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 55; cf. 56 and Paul VI, Apostolic Exhortation Evangelii nuntiandi, 53. [↩] Konsili pertama Nicea, Symbolum Nicaenum: DS 125 [↩] Konsili Chalcedon, Symbolum Chaldonense, DS 301 [↩] Second Vatican Council, Pastoral Constitution Gaudium et spes, 22. [↩] Paus Yohanes Paulus II, surat ensiklik Redemptoris missio, 6. [↩] Cf. St. Leo the Great, Tomus ad Flavianum: DS 294. [↩] Cf. St. Leo the Great, Letter to the Emperor Leo I Promisisse me memini: DS 318: “…in tantam unitatem ab ipso conceptu Virginis deitate et humanitate conserta, ut nec sine homine divina, nec sine Deo agerentur humana”. Cf. also ibid. DS 317. [↩] Second Vatican Council, Pastoral Constitution Gaudium et spes, 45; cf. also Council of Trent, Decretum de peccato originali, 3: DS 1513. [↩] Cf. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 3-4. [↩] Cf. ibid., 7; cf. St. Irenaeus, who wrote that it is in the Church “that communion with Christ has been deposited, that is to say: the Holy Spirit” (Adversus haereses III, 24, 1: SC 211, 472). [↩] Second Vatican Council, Pastoral Constitution Gaudium et spes, 22. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 28. For the “seeds of the Word” cf. also St. Justin Martyr, Second Apology 8, 1-2; 10, 1-3; 13, 3-6: ed. E.J. Goodspeed, 84; 85; 88-89. [↩] Cf. John Paul II, Encyclical Letter, Redemptoris missio, 28-29. [↩] Ibid., 29 [↩] Ibid., 5 [↩] Second Vatican Council, Pastoral Constitution Gaudium et spes, 10. Cf. St. Augustine, who wrote that Christ is the way, which “has never been lacking to mankind… and apart from this way no one has been set free, no one is being set free, no one will be set free” De civitate Dei 10, 32, 2: CCSL 47, 312 [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 62 [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 5. [↩] Second Vatican Council, Pastoral Constitution Gaudium et spes, 45. The necessary and absolute singularity of Christ in human history is well expressed by St. Irenaeus in contemplating the preeminence of Jesus as firstborn Son: “In the heavens, as firstborn of the Father’s counsel, the perfect Word governs and legislates all things; on the earth, as firstborn of the Virgin, a man just and holy, reverencing God and pleasing to God, good and perfect in every way, he saves from hell all those who follow him since he is the firstborn from the dead and Author of the life of God” (Demonstratio apostolica, 39: SC 406, 138) [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 6 [↩] Cf. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 14 [↩] Cf. ibid., 7 [↩] Cf. St. Augustine, Enarratio in Psalmos, Ps. 90, Sermo 2,1: CCSL 39, 1266; St. Gregory the Great, Moralia in Iob, Praefatio, 6, 14: PL 75, 525; St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, III, q. 48, a. 2 ad 1. [↩] Cf. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 6 [↩] Symbolum maius Ecclesiae Armeniacae: DS 48. Cf. Boniface VIII, Unam sanctam: DS 870-872; Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 8. [↩] Cf. Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 4; John Paul II, Encyclical Letter Ut unum sint, 11: AAS 87 (1995), 927. [↩] Cf. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 20; cf. also St. Irenaeus, Adversus haereses, III, 3, 1-3: SC 211, 20-44; St. Cyprian, Epist. 33, 1: CCSL 3B, 164-165; St. Augustine, Contra adver. legis et prophet., 1, 20, 39: CCSL 49, 70. [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 8. [↩] Ibid.; cf. John Paul II, Encyclical Letter Ut unum sint, 13. Cf. also Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 15 and the Decree Unitatis redintegratio, 3. [↩] The interpretation of those who would derive from the formula subsistit in the thesis that the one Church of Christ could subsist also in non-Catholic Churches and ecclesial communities is therefore contrary to the authentic meaning of Lumen gentium. “The Council instead chose the word subsistit precisely to clarify that there exists only one ‘subsistence’ of the true Church, while outside her visible structure there only existelementa Ecclesiae, which — being elements of that same Church — tend and lead toward the Catholic Church” (Congregation for the Doctrine of the Faith, Notification on the Book “Church: Charism and Power” by Father Leonardo Boff: AAS 77 [1985], 756-762). [↩] Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 3. [↩] Cf. Congregation for the Doctrine of the Faith, Declaration Mysterium Ecclesiae, 1: AAS 65 (1973), 396-398. [↩] Cf. Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 14 and 15; Congregation for the Doctrine of the Faith, Letter Communionis notio, 17: AAS 85 (1993), 848. [↩] Cf. First Vatican Council, Constitution Pastor aeternus: DS 3053-3064; Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 22. [↩] Cf. Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 22. [↩] Cf. ibid., 3. [↩] Cf. ibid., 22. [↩] Congregation for the Doctrine of the Faith, Declaration Mysterium Ecclesiae, 1. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Ut unum sint, 14. [↩] Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 3. [↩] Congregation for the Doctrine of the Faith, Letter Communionis notio, 17; cf. Second Vatican Council, Decree Unitatis redintegratio, 4. [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 5. [↩] Ibid., 1. [↩] Ibid., 4. Cf. St. Cyprian, De Dominica oratione 23: CCSL 3A, 105. [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 3. [↩] Cf. ibid., 9; cf. also the prayer addressed to God found in the Didache 9,4: SC 248, 176: “May the Church be gathered from the ends of the earth into your kingdom” and ibid. 10, 5: SC 248, 180: “Remember, Lord, your Church… and, made holy, gather her together from the four winds into your kingdom which you have prepared for her”. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 18; cf. Apostolic Exhortation Ecclesia in Asia, 17: L’Osservatore Romano (November 7, 1999). The kingdom is so inseparable from Christ that, in a certain sense, it is identified with him (cf. Origen, In Mt. Hom., 14, 7: PG 13, 1197; Tertullian, Adversus Marcionem, IV, 33,8: CCSL 1, 634. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 18. [↩] Ibid., 15. [↩] Ibid., 17. [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 14; cf. Decree Ad gentes, 7; Decree Unitatis redintegratio, 3. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 9; cf. Catechism of the Catholic Church, 846-847. [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 48. [↩] Cf. St. Cyprian, De catholicae ecclesiae unitate, 6: CCSL 3, 253-254; St. Irenaeus, Adversus haereses, III, 24, 1: SC 211, 472-474. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 10. [↩] Second Vatican Council, Decree Ad gentes, 2. The famous formula extra Ecclesiam nullus omnino salvatur is to be interpreted in this sense (cf. Fourth Lateran Council, Cap. 1. De fide catholica: DS 802). Cf. also the Letter of the Holy Office to the Archbishop of Boston: DS 3866-3872. [↩] Second Vatican Council, Decree Ad gentes, 7. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 18. [↩] These are the seeds of the divine Word (semina Verbi), which the Church recognizes with joy and respect (cf. Second Vatican Council, Decree Ad gentes, 11; Declaration Nostra aetate, 2). [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 29. [↩] Cf. ibid.; Catechism of the Catholic Church, 843. [↩] Cf. Council of Trent, Decretum de sacramentis, can. 8, de sacramentis in genere: DS 1608. [↩] Cf. John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 55. [↩] Cf. Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 17; John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 11. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 36. [↩] Cf. Pius XII, Encyclical Letter Mystici corporis: DS 3821. [↩] Second Vatican Council, Dogmatic Constitution Lumen gentium, 14. [↩] Second Vatican Council, Declaration Nostra aetate, 2. [↩] Second Vatican Council, Decree Ad gentes, 7. [↩] Catechism of the Catholic Church, (Katekismus Gereja Katolik) 851; cf. also 849-856. [↩] Cf. John Paul II, Encyclical Letter Redemptoris missio, 55; Apostolic Exhortation Ecclesia in Asia, 31. [↩] Cf. Second Vatican Council, Declaration Dignitatis humanae, 1. [↩] Ibid. [↩] John Paul II, Encyclical Letter Fides et ratio, 15. [↩] Ibid., 92. [↩] Ibid., 70. [↩]

Pranala luar[sunting]