5 Juli

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
5 Juli  (2006) 
oleh Goenawan Mohamad

Majalah Tempo Edisi 21, 17 - 23 Juli 2006

Demokrasi diberi cap buruk dan akhirnya dibuang dari Indonesia pada tanggal 5 Juli 1959.

Republik berubah sejak itu.

Konstitusi yang disusun pada tahun 1950, yang salah satu sendinya adalah hak-hak asasi manusia, dihapus. Sebuah majelis penyusun undang-undang dasar yang dibentuk berdasarkan hasil sebuah pemilihan umum yang bebas pada tahun 1955—majelis yang disebut ”Konstituante”—dibubarkan.

Praktis, Presiden Soekarno mengambil-alih kekuasaan. Dengan ”Dekrit 5 Juli” itu pula, Undang-Undang Dasar yang disusun pada tahun 1945 diberlakukan kembali. Orang tahu, juga saat itu, bahwa dengan undang-undang dasar itu—yang disingkat dengan ”UUD 45”—kekuasaan terpusat di tangan presiden. Sebuah sistem yang disebut sebagai ”demokrasi terpimpin” diterapkan.

Bagi Presiden Soekarno, itulah jalan ke arah ”penemuan kembali revolusi kita”.

Segera sesudah itu, kata ”Revolusi” (ditulis dengan ”R”) berkembang jadi kata yang sakti: ia bisa menggetarkan, ia bisa menggugah, ia menghalalkan atau membabat apa saja yang dikehendaki sang penafsir. Sang penafsir tentu saja sang ”Pemimpin Besar Revolusi”, dan itu adalah Bung Karno.

Agak aneh, sebenarnya. Jika kita baca buku Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusionil di Indonesia, Studi Sosio-Legal atas Konstituante 1956-1959, kita akan melihat pada mulanya Bung Karno sendiri ragu untuk memberlakukan kembali UUD 1945. Yang paling gigih mendorongnya adalah Angkatan Darat yang dipimpin Jenderal Nasution.

Dalam memoarnya yang terbit pada tahun 1984, Nasution menulis bahwa pada 28 Oktober 1958 ia mengutus dua orang kolonel untuk meminta ketegasan Bung Karno. ”Kedua perwira menengah itu kemudian dengan gembira melaporkan kepada saya bahwa Presiden kini telah setuju kembali ke UUD 1945.”

Tak berarti dalam diri Bung Karno tak ada kecenderungan menyukai apa yang dikehendaki militer: memberi cap buruk pada demokrasi—yakni cap ”liberal” atau ”Barat”. Sudah pada tahun 1945, sebagaimana yang tercantum dalam notulen yang merekam perdebatan antara anggota panitia persiapan kemerdekaan waktu itu, Bung Karno meminta dengan sangat agar hak-hak manusia dan warga negara tidak dicantumkan dalam undang-undang dasar Indonesia. Tak mengherankan bila sebelum ”Dekrit 5 Juli” ia juga termasuk penganjur utama ”demokrasi terpimpin”.

Tak mengherankan pula bila ia kemudian menganggap ”UUD 1945” dapat dipertahankan selama-lamanya. Tampaknya Bung Karno dan para pendukung ”UUD 1945” alpa, bahwa pada saat sebuah konstitusi diperlukan dan dijalankan, ia pun masuk ke dalam sejarah. Ia diuji, dan ia tergantung pada yang tak abadi. Tapi dalam riwayat Republik ini, ”UUD 1945” itu akhirnya diletakkan di atas sejarah, bagaikan pusaka.

Itu juga yang telah diperingatkan Asmara Hadi, seorang anggota Konstituante yang pernah dikenal sebagai seorang pengikut dan anak angkat Bung Karno. Sebagaimana dikutip dalam Aspirasi Pemerintahan Konstitusionil, Asmara Hadi ”menolak pendapat Soekarno bahwa UUD 1945 dapat dipertahankan selama-lamanya”. Pandangan seperti itu, menurut Asmara Hadi, ”bersifat sombong dan menghina generasi yang lebih muda—seakan-akan generasi yang membentuk UUD 1945 merupakan generasi yang terbaik, puncak jenius bangsa yang tidak akan dapat dilampaui oleh generasi mendatang.”

Memang sebuah kontradiksi: di satu pihak ada kehendak kembali ke ”UUD 1945” yang menunjukkan sikap memuliakan sebuah keputusan masa silam yang ingin ”dipertahankan selama-lamanya”, di lain pihak ada retorika ”revolusi” yang, sebagaimana laiknya revolusi, hendak mengubah dunia jadi baru.

Memang kemudian ternyata—ketika kata ”revolusi” tak lagi sakti dan Bung Karno, sang ”Pemimpin Besar Revolusi”, dimakzulkan pada tahun 1966—kehendak mempertahankan ”UUD 1945” berlanjut dalam sebuah pemerintahan yang justru antirevolusi. ”Orde Baru”, yang didesain oleh pemikiran Angkatan Darat, adalah ”demokrasi terpimpin” dalam variasi lain.

Tapi seperti dalam revolusi, di dalamnya ada kehendak yang tak sabar. Ia mengasumsikan adanya subyek yang utuh dalam tubuh bangsa, untuk menggerakkan seluruh proses.

Sejarah membuktikan asumsi itu keliru. Pelbagai usaha membentuk sebuah subyek yang utuh—dengan penyatuan ideologis, dengan retorika yang diulang-ulang, dengan mithos tentang Pemimpin yang bagaikan gading yang tak retak—akhirnya gagal.

Maka sebuah sistem politik yang punya asumsi lain diperlukan: sebuah demokrasi yang tanpa ilusi, yang menganggap tak ada dasar a priori apa pun yang memberi posisi istimewa kepada seseorang sebagai sang Subyek. Artinya tak dapat kita elakkan pluralitas, tak dapat ditiadakan persaingan politik, dan tak mungkin ada kekuasaan yang mutlak membentuk masyarakat. Yang ada hanyalah hegemoni yang tak abadi.

Demokrasi dibuang dari Indonesia 5 Juli 1959 karena ia mengakui pelbagai tak itu. Pengakuan itu bukan pandangan negatif tentang hal-ihwal. Justru yang tak a priori, tak mutlak, tak tunggal dan tak utuh itu mengacu kepada sesuatu yang positif: tiap sistem akan berbatas kepada sesuatu yang tak dapat dijangkaunya.

Manusia selalu mengandung yang tak dapat dijangkau itu. Sebab itu akan selalu tampil liyan, ”sesama” yang ”beda”, yang tak dapat ditelan ataupun dimuntahkan sebuah sistem. Maka sebuah sistem politik harus siap menghadapi itu, menghargainya, dan mengelolanya. Tak mudah. Sistem apa pun tak mungkin jadi jembatan emas.

Asmara Hadi, yang pada tahun 1930-an dikenal sebagai seorang penyair, bahkan menyamakan sistem politik yang berdasar ”UUD 1945” dengan shiratal mustaqim, titian serambut dibelah tujuh menuju ke surga. Kita harus pandai-pandai berjalan di sana. Sebab, katanya, ”di bawahnya terdapat api neraka kediktatoran dengan beribu-ribu lidah api.”

Ia benar. Sejarah Indonesia pernah menyaksikan itu sejak ”Dekrit 5 Juli”.